12 - Giza
"Lakukan saja kalau kau berani. Aku tidak akan merangkak untukmu."
Giza mengeram pelan mendengar kata-kata Aul yang mengandung tantangan. Hasrat dan kebutuhannya pada Aul bertambah kuat. Dia akan menunjukkan pada Aul siapa yang berkuasa dan memberi perintah.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Giza mengangkat Aul dengan kasar, tangannya memegang Aul erat-erat sambil menggendong Aul menuju kamar tidur.
Aul menjerit histeris saat Giza melemparkannya di atas kasur yang masih berantakan. Mereka masih ada di tambang, Giza belum bisa kembali ke kapal atau rumahnya sebelum urusan dunia bawah lautnya berjalan sesuai rencana.
Tangan Giza menjelajahi kulit Aul, menjelajahi setiap inci dengan sentuhan posesif. Ia menekan tubuhnya ke tubuh Aul, bibirnya menyentuh leher Aul dan meninggalkan jejak ciuman panas dengan mulut terbuka.
Tubuh Giza menempel di tubuh Aul, kulitnya yang telanjang terasa panas dan lapar menempel di tubuh Aul. Giza menggoyangkan pinggulnya di tubuh Aul, kebutuhan dan hasratnya pada Aul tampak jelas dalam setiap gerakan, setiap sentuhan, setiap usapan.
"Aku akan memuaskan nafsuku, sebelum kubuat kau merangkak, Buih Laut. Tunggu saja."
Giza menggigit leher Aul, lidah dan giginya meninggalkan bekas kecil yang menyakitkan. Tangannya terus menjelajahi tubuh Aul, mulutnya bergerak turun ke dada Aul, lidahnya menelusuri jalur panas dan basah di sepanjang kulit.
Ia mengerang pelan saat mencicipi Aul, tubuh Giza bereaksi intens terhadap rasa dan aroma Aul. Ia bergerak lebih ke bawah, bibirnya menekan ciuman panas dengan mulut terbuka di sepanjang perut Aul, tangannya mencengkeram pinggul Aul erat-erat.
Ia terus menjelajahi tubuh Aul, mulutnya bergerak turun, lidahnya menelusuri jalur yang lambat dan menyiksa di sepanjang tubuh Aul. Ia menggesek dan menggigit pinggul Aul, tangannya terus bergerak turun untuk mencengkeram paha Aul.
Kemudian, Giza merentangkan paha Aul sehingga terbuka lebar, memposisikan dirinya di antara paha Aul, tubuhnya menekan Aul sekali lagi. Dia menahan Aul di sana, jari-jarinya menggali liang sensitif milik Aul.
Dan tanpa diduga, Aul menjambak rambut Giza dengan kuat. Hingga pria itu mengerang kesakitan dan mengangkat wajahnya dari bawah.
"Sialan! Apa yang kau lakukan?"
"Kau pikir bercinta akan menyelesaikan masalah? Hentikan!"
"Diam kau!" Pergelangan tangan Aul dicengkram Giza dengan kuat. Kekuatannya membuat Aul mengerang kesakitan hingga melepaskan jari-jarinya dari rambut Giza. Tidak patah semangat, Aul mengangkat kaki dan menendang bahu Giza. Momentum tersebut di manfaatkan Aul untuk berbaring menyamping, berniat melarikan diri. Tetapi, tangan Giza lebih cepat menarik paksa pergelangan kaki Aul dan menjebak tubuh wanita laut tersebut di bawahnya.
"Mengapa kau melakukan itu padaku?"
Mata Giza bersinar oleh amarah, kebencian dan kegelapan yang berbahaya. Aul bernapas cepat, dia merasa tersedot dalam tatapan maut tersebut.
"Aku tidak ingin," jawab Aul lirih.
"Aku tahu kau menikmatinya. Jadi, mengapa kau bersikap seperti anak nakal? Katakan, Buih Laut. Apa yang kurang dariku padamu?"
"Kau mengendalikanku!"
"Tentu saja. Kau tahu itu dari awal. Itu bukan alasan."
"Aku tidak mau jadi bonekamu."
"Apa aku pernah mengatakan itu? Kau ini permata lautku. Jelas, aku akan sangat menjaga dan mengendalikan harta karunku. Aku harus memastikan semuanya berjalan lancar."
"Tidak. Kau mengendalikanku. Kau membuatku patuh. Kau berniat jahat padaku."
"Lihat? Itulah kesepakatan awal kita. Kau dengan senang hati menerimanya. Apa ini bagian dari permainan kecilmu?"
Aul menggeleng. Semua kalimat Giza benar. Aul mengigit bibir bawahnya. Frustasi akan segala hal. Bimbang dan pusing atas semua konsekuensi yang ia tanggung. Kemarahannya terjebak.
"Aku sudah memberikan segalanya, Buih Laut. Kekuatan, kehormatan, tempat di sisiku dan kau masih menilai niatku?"
Mata Aul membelalak dengan campuran kemarahan dan rasa terjebak.
"Aku lelah Giza. Kau hanya membuatku terus bercinta denganmu. Kau tidak menunjukkan tanda-tanda membuatku kembali menjadi Penjaga Gelombang. Aku terjebak dalam siklus monoton, terjerat oleh janji manismu."
"Kau salah, kau keliru. Aku tidak menjeratmu, Buih Laut. Aku membebaskanmu. Sebelum aku, kau hanya Buih Laut yang hanyut dalam arus, tidak punya arah, tidak punya tujuan. Terbuang dan menghabiskan waktu dengan roh alam di pulau terpencil. Aku memberikan arti, aku memberikan tugas yang lebih besar dari sekadar menghiasi lautan dengan keindahanmu."
Suara Giza rendah, hampir seperti bisikan yang menggoda, namun penuh racun di baliknya. Tangan Giza terangkat, hampir menyentuh wajah Aul, namun ia menahannya di udara, cukup dekat hingga Aul bisa merasakan aura gelapnya menyelubungi ruang di antara mereka.
"Kau harus memahami sesuatu, Buih Laut. Setiap ombak yang bergulung, setiap badai yang melanda, setiap bisikan di arus terdalam. Semua itu membutuhkan pengontrol. Dan aku yakin kau ingin kembali ke tanggung jawab tersebut."
Aul menelan ludahnya, dadanya naik turun dengan emosi yang bercampur aduk. Dia menginginkan itu. Aul berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.
"Tapi, aku bukan alatmu. Aku bukan boneka yang bisa kau gerakkan sesuka hati. Rasanya lelah, Giza. Aku lelah dengan semua ini. Emosi ini menyiksaku."
Giza tertawa pelan, suara itu dalam dan menggetarkan, seolah lautan gelap di dalam dirinya ikut beresonansi. Dengan nada penuh kelembutan beracun, perlahan-lahan mendekat, membiarkan bisikannya memenuhi pikiran Aul.
"Kau masih belum mengerti, bukan? Aku tidak memintamu menjadi boneka, Buih Laut. Aku memintamu untuk menjadi bagian dariku."
Ia melingkarkan jari-jarinya di pergelangan tangan Aul, cengkeramannya tidak kasar, tetapi tidak ada ruang untuk melarikan diri.
"Apakah kau benar-benar berpikir aku membiarkanmu bebas begitu saja, Lautku? Apakah kau pikir aku bisa membiarkanmu berjalan di lautan ini tanpa arah, tanpa tujuan? Tidak. Aku membuatmu menjadi sesuatu yang lebih dari sekedar Buih Laut biasa. Aku akan menjadikanmu Penjaga Gelombang kembali, penguasa arus yang menari di bawah perintahku. Tanpaku, kau hanya riak kecil di lautan luas, terombang-ambing tanpa arah."
Aul mencoba menarik tangannya, namun Giza menahannya lebih erat, wajahnya semakin dekat, begitu dekat hingga ia bisa merasakan napas panasnya menyentuh kulit Aul.
"Jika kau sudah paham. Merangkaklah padaku. Buat aku terkesan."
Giza menarik diri dari atas tubuh Aul dan berdiri di bawah tempat tidur. Aul merasa hampir gila. Keinginan dan rasa bersalahnya pada lautan membuatnya semakin terjebak. Aul memberanikan diri berlari ke arah pintu dan Giza terkekeh melihatnya.
"Kau perlu mengerti sesuatu, Buih Laut. Aku tidak menghancurkanmu. Aku melindungimu. Aku mengendalikanmu bukan karena aku ingin mengekangmu, tetapi karena kau rapuh tanpa kendaliku. Apa kau tidak menyadarinya? Apa kau tidak merasa lebih kuat saat kau berada dalam genggamanku?" ucap Giza dengan penuh kehangatan palsu, kalimatnya seperti racun yang manis.
"Aku merasa … terjebak."
Aul meraih kenop pintu. Agak ragu, karena Giza masih belum mencoba menghentikannya saat Aul mulai membuka pintu perlahan. Tanpa Aul sadari. Mata hitam Giza berevolusi, seberkas kegelapan berputar di sekelilingnya, seperti pusaran yang tercipta dari amarah yang berusaha ia redam. Namun, alih-alih marah, Giza kembali tersenyum. Sebuah senyuman yang dipenuhi keyakinan penuh bahwa tidak peduli seberapa keras Aul mencoba melawan, ia tetap kembali menjadi miliknya.
"Kau hanya merasa terjebak karena kau masih melawan, Buih Laut. Berhenti melawan, dan kau akan melihat bahwa ini semua adalah takdir. Takdir yang kau butuhkan dan takdir yang tidak akan pernah bisa kau hindari. Dan, apa kau yakin kabur tanpa handukmu? Ah, gaun putihmu sudah tidak ada lagi. Bagaimana kau memanggilnya? Sihirmu takluk oleh eksitensiku," ujar Giza dengan nada
lembut namun menekan jauh ke dalam jiwa Aul.
Aul melangkah mundur, tetapi hatinya dipenuhi ketakutan yang lebih dalam. Sebagai Dewa Kehancuran, Giza tidak membentaknya, tidak memaksanya secara fisik dengan melakukan kekerasan.
Tetapi, justru itulah yang membuat Giza lebih menakutkan bagi Aul. Ia tidak perlu berteriak untuk mengendalikannya. Giza cukup berbicara, cukup berbisik, dan pelan-pelan, Aul merasakan kebenaran pahit yang menggigit sanubarinya. Bahwa mungkin, hanya mungkin, ia memang tidak bisa lepas dari cengkeraman Giza sebagai Dewa Kehancuran.
"Kau yakin? Kau yakin akan pergi? Pergilah. Dan lihat bagaimana kehidupanmu tanpa aku."
Pandangan Aul tertutup oleh jubah handuk merah jambu yang di lemparkan Giza di atas kepalanya. Aul mengambil benda itu dan memakainya. Tanpa berpaling, ia berjalan mantap keluar dari kamar Giza.
...
Lorong tambang itu panjang dengan cahaya bintang laut yang menempel di sepanjang dinding goa. Aul mengingat setiap jalan yang ia lewati bersama Giza. Hal pertama yang ada di pikiran Aul adalah membebaskan Nalu. Ruangan berbatu yang di kelilingi jeruji besi yang terbuat dari cairan lava. Aul berdiri di luar sel, menatap Nalu yang perlahan membuka matanya. Ia menyadari kehadiran Aul dari riak udara.
"Apa lagi yang kau inginkan, Run?"
"Membebaskanmu."
Nalu tertawa getir. Jelas tidak percaya. Dia hanya menghela napas, sembari memejamkan mata. Tangannya tidak lagi dirantai, lengan Nalu butung, akan tetapi kedua kakinya masih terjerat.
"Aku akan membebaskanmu," ulang Aul dengan penuh tekad. Dia berkosentrasi mendengarkan lautan dari luar tambang. Aul sadar, selama Giza berada di dekatnya, kehendak laut tetap berpihak pada si Dewa Kehancuran.
Nalu menatap Aul dengan pandangan skeptis lalu terbelalak saat Aul mencoba menyentuh cairan lava tersebut. Peluh menetes dari dahi Aul oleh uap panas. Hanya beberapa inci sebelum jari-jari Aul terbakar, jeruji cairan itu lenyap dalam seketika ketika seekor kupu-kupu hitam mendekat.
Tanpa pikir panjang, Aul berlari masuk menghampiri Nalu. Tangan Aul menyentuh rantai di kaki Nalu, menggengamnya hingga rantai tersebut mulai rapuh dan hancur menjadi buih.
"Kau masih punya sihir?" tanya Nalu dengan tatapan terpana.
"Aku masih memiliki sentuhan laut," ungkap Aul dengan wajah penuh peluh. Dia menatap miris kedua lengan Nalu. "Aku ingin menebus kesalahanku. Aku tidak ingin mengorbankan makhluk laut demi kepentingan pribadiku. Pergilah."
Aul berjalan mundur, memberi Nalu ruang. Nalu berusaha berdiri. Masih sepenuhnya belum mempercayai Aul, karena kupu-kupu hitam masih terbang di sekitar mereka.
"Menurutmu ke mana aku pergi? Ular sialan itu mengawasiku."
Aul menggigit kuku jarinya tidak sadar.
"Mengapa kau di sini? Mana kekasih gelapmu itu?"
"Berjalan di belakangku dan itu bukan urusanmu."
Aul memimpin jalan meninggalkan penjara, sementara Nalu mengikuti dari belakang. Saat melewati lorong, Nalu mempersempit jaraknya dengan Aul. Aroma wangi dari rambut merah jambu Aul membuat birahi Nalu kembali hidup.
Aul memilih setiap persimpangan dengan tekad. Matanya waspada mencari Miyagop yang belum terlihat dan manusia yang dikutuk menjadi makhluk setengah karang, Kanthala.
Erangan kesakitan dari karang yang terus tumbuh di tubuh mereka menyiksa Aul. Itu membuat Aul sedikit kehilangan fokus. Tubuh mereka diselimuti pecahan karang tajam.
Mereka sedang menggali permata dinding gua dengan tangan besar yang kuat. Tidak terlalu menyadari keberadaan Aul dan Nalu. Hingga, Aul tiba-tiba menghentikan langkah kakinya. Miyagop tiba-tiba keluar dari lorong di depannya. Mata reptil itu menatap Aul dengan tajam, lalu ia mendesis.
Aul tersentak, saat Nalu menggengam telapak tangannya dan mengajaknya berlari. Keterjutan Aul pada Miyagop belum selesai saat ia menatap lengan Nalu yang lain sedang tumbuh kembali. Aul menyimpan rasa ingin tahunya untuk berlari.
Miyagop menerjang para Kanthala dengan buas, mendorong mereka menjauh dari jalannya. Aul terus berlari bersama Nalu. Mempercayakan pria itu membawa Aul sejauh mungkin hingga mereka dicegat oleh Raksha, tentara pribadi milik Giza.
Mereka berbentuk seperti manusia laut dengan sirip besar dan tombak sihir yang di arahkan ke depan. Para Raksha bertugas memastikan para budak terus bekerja agar tidak melarikan diri dan di sinilah tentara tersebut mengancam Nalu dan Aul.
Aul menoleh ke belakang. Miyagop terus mendekat dengan mulut yang terbuka lebar. Mereka terjebak, tidak ada cara untuk melarikan diri. Lautan hanya beberapa langkah di depan Aul. Pikiran Aul bekerja cepat setiap detik. Pelariannya terkunci. Aul punya ide, tetapi ide itu hanya akan menyelamatkannya sendiri.
Aul menggeleng. Dia semakin menggenggam erat tangan Nalu. Secara perlahan, buih dari bawah telapak kaki Aul mulai keluar dalam jumlah yang banyak. Aul melepaskan telapak tangannya dari Nalu dan mendorong tubuh Nalu dengan buih-buih yang mulai menutupi tubuhnya.
Raksha segera mengambil tindakan untuk menyerang Aul. Tetapi, serangan mereka meleset karena buih laut yang Aul ciptakan menggeser kaki mereka sehingga Nalu bisa terlempar keluar dari mulut goa dan Aul terjatuh karena kehilangan keseimbangan di depan mulut Miyagop yang terbuka lebar.
"Cukup permainannya," ujar Giza yang menahan kerah baju mandi Aul dari depan. Membuat Aul tertahan dalam posisi hampir jatuh.
"Aku tahu, kau pasti datang," balas Aul dengan seringai tipis. "Kau tidak akan membiarkan ularmu memakanku. Tapi, kau tidak akan ragu membiarkan Nalu dilahap. Kau sengaja mematikan sel lavamu. Aku tahu. Kupu-kupu hitam adalah mata keduamu. Apa yang kau rencanakan?"
"Pertanyaan yang sama untukmu, Buih Laut atau harus kuganti menjadi Run? Atau Gizarun? Mengapa kau melakukan permainan ini?"
"Aku melepaskan Myktura," jawab Aul, "kau akan menghukumku?"
"Hanya satu yang terbuang. Kau pikir, aku hanya punya satu budak seperti dia? Wah, kau salah besar. Aku menangkap banyak, kehilangan satu sampah seperti mainanmu bukan perkara yang harus diributkan. Tapi, menghukummu, jelas. Kau mencium pipi sampah dan menggenggam tangannya."
"Huh! Kau akan meniduriku lagi?"
Giza tertawa lebar, "Kau mengharapkan itu? Kurasa setengah jawaban benar. Tapi, ada yang berbeda kali ini. Aku benci sekali, aku benci milikku disentuh orang lain."
Ekspresi wajah Giza tidak sekadar marah. Itu adalah kemarahan yang terbungkus dalam kontrol yang nyaris berbahaya, sesuatu yang lebih dingin daripada lautan terdalam. Sedangkan Aul, meskipun tubuhnya menegangkan di hadapan pria itu. Ia bisa merasakan kegelapan menguar dari sosok Giza, seperti sesuatu yang menyerupai angin dan ingin membelitnya erat.
"Kau sudah melangkah terlalu jauh, Buih Laut. Kau benar-benar berani."
Udara di sekitar mereka bergetar, seolah lautan sendiri bisa merasakan kemarahan Giza.
"Aku memberi peran, kekuatan, dan tempat di sisiku dan kau membalasnya dengan mencium pipi makhluk lain? Menggenggam tangannya?"
Nada suara Giza tetap tenang, tetapi itu terdengar mengancam. Aul
menelan ludah, berusaha menahan diri agar tidak mundur, meskipun lingkungannya berteriak-teriak untuk melarikan diri. Giza menarik tubuh Aul dengan kuat, hingga Aul bisa berdiri dengan tegak di hadapannya.
"Aku kan sudah bilang. Itu hanya sentuhan kasih sayang biasa pada makhluk laut. Cinta itu berbeda!" seru Aul dengan suara bergetar, mata biru Aul menatap langsung mata hitam Giza.
Tiba-tiba, udara di sekitar mereka berputar dengan kecepatan yang mengerikan. Raksha sedikit terhuyung, tetapi tetap memposisikan diri berjaga di belakang Giza. Sedangkan Miyagop tetap tidak bergerak di belakang Aul. Menunggu dengan tidak sabar, Aul masuk ke dalam perutnya.
Angin laut yang seharusnya tidak bisa terasa di dasar lautan kini berhembus tajam, menerpa tubuh Aul dengan kekuatan yang membuatnya tersentak.
Giza mencengkeram pergelangan tangan Aul, menariknya lebih dekat. Jemarinya begitu kuat, begitu dingin, seolah ia ingin mengukir rasa kepemilikannya langsung ke dalam kulit Aul. Tato di lengan Aul bersinar terang, mengirim sensasi nyeri di sekujur tubuh Aul dan Aul hampir roboh oleh sensasi nyeri di area sensitifinya, paha Aul bergetar hebat. Tetapi, Giza tidak membiarkan Aul jatuh. Sebaliknya, ia tetap menahan Aul berdiri tegak di hadapannya.
"Kau tidak punya hak untuk memberi kasih sayang pada siapa pun kecuali aku, Buih Laut." Suara Giza terdengar dalam, penuh ancaman yang membeku dari dalam kegelapan
Tangan lainnya mengangkat, garis rahang Aul dengan gerakan yang terlalu lembut untuk seseorang yang diliputi kemarahan. Tapi di balik kelembutan itu, ada sesuatu yang lain—sesuatu yang berbahaya. Tubuh Aul bergetar semakin hebat. Liang sensitifnya lebih sakit dari yang pernah ia rasakan sebelumnya.
"G- Giza, hentikan."
"Tidak! Kau sedang dihukum. Gadis nakal sepertimu harus dihukum. Kau melawanku dan nikmati sensasi menggoda di area terdalammu."
Aul mengerang keras, saat tato di lengannya semakin bersinar. Rangkaian sengatan listrik menusuk dan menggetarkan liang sensitif Aul hingga kedua lutut Aul menjadi lemas, bobot tubuhnya merosot di kaki Giza. Aul memeluk kedua kaki Giza untuk menghentikan rasa nyeri. Sayangnya, semakin Aul memohon. Rasa sakit itu terus menghantam area sensitifnya lebih parah.
"Aku bisa menghancurkannya, Buih Laut. Makhluk itu, sampah yang kau panggil Nalu. Myktura yang kau sentuh. Aku bisa membuatnya lenyap di palung laut, menjeratnya dengan kegelapan yang bahkan kau sendiri tidak bisa mencapainya. Katakan satu kata saja, dan dia akan lenyap."
Aul menggeleng cepat, jantungnya berdegup lebih kencang. Ia mengenal lelaki ini, Aul tahu Giza tidak hanya mengancam—ia akan melakukannya dan Aul sudah bertekad tidak membawa makhluk laut dalam kepentingan pribadinya.
"Tidak! Jangan sentuh dia. Aku akan jadi Penjaga Gelombang, Giza," ucap Aul dengan napas tersenggal-senggal di kaki Giza. "Kuberitahu kau sesuatu, ada risiko jika aku melakukan itu. Memanfaatkan eksitensi makhluk laut untuk kepentingan pribadi. Aku bukan menjadi Penjaga Gelombang, aku tidak akan menjadi buih laut. Aku akan menjadi sesuatu yang lebih buruk dari kegelapan."
Ekspresi Giza sedikit berubah, dia mundur beberapa langkah dan mengangkat dagu Aul untuk menatap mata biru Aul secara langsung.
"Katakan sesuatu yang tidak aku ketahui, Lautku."
Ada nada khawatir dan ketakutan dalam kalimat Giza. Ketakutan untuk kehilangan sesuatu yang berharga.
"Lautan telah menjadi jiwaku sejak aku lahir. Aku adalah buih laut , nafas pertama dari ombak yang menggulung, dan penjaga gelombang, yang mengatur pasang naik dan turun dengan bisikan lembutku. Tetapi ketika aku memanfaatkan makhluk laut untuk kepentinganku sendiri." Aul memberi jeda menatap lebih dalam ke mata Giza, melihat reaksinya dan kembali melanjutkan.
"Jika aku menggunakan mereka, aku tidak akan lagi menjadi bagian dari lautan. Aku akan menjadi sesuatu yang bahkan kegelapan pun menolak untuk mengklaimku. Kumohon Giza, aku sudah cukup tersiksa di tolak lautan. Jangan membuat kegelapan menolakku. Tidak peduli kau penguasanya, itu sesuatu yang di luar kuasamu."
"Huh."
Walau Giza berusaha menyangkal di depan Aul. Dia memiliki ketakutan, kehilangan keindahan Aul. Direngkuhnya tubuh Aul. Dipeluknya Aul erat-erat di dadanya.
"Kau takut?" bisik Giza dingin. "Jika kau takut menjadi sesuatu seperti itu. Maka, jangan melawanku. Aku bisa mendesakmu menuju jurang itu."
Mata Aul terbelalak. Dia pikir, Giza akan sedikit tidak berdaya. Tetapi, justru Giza menggunakan hal tersebut mengancam Aul lebih jauh. Aul berharap Giza bisa bersikap sedikit lembut. Namun, harapan Aul meleset. Giza tidak ragu membuat Aul seperti itu dan Aul semakin sadar. Apa pun yang ia harapkan, dia tidak bisa jauh dari Giza. Ia selamanya di kendali pria tersebut. Aul terjebak selamanya.
"Kau mengerti posisimu?" bisik Giza dan Aul mengganguk. "Bagus, sekarang pertujukan berikutnya."
...
Aul mengerang kesakitan hampir setengah jam, di sela-sela ia menciptakan buku tentang pengetahuan Myktura di atas meja. Giza terus menyerang area sensitif Aul dengan rasa sakit yang bertubi-tubi. Tato di lengan Aul terus bersinar, menandakan bagaimana sengatan itu terus aktif.
Aul meremehkan Giza. Tidak menduga bahwa ia menghukum Aul dengan cara berbeda. Ketika semua rahasia yang Nalu bisikkan pada Aul selesai ditulis. Cahaya dari tato perlahan menghilang.
Aul merebahkan kepalanya di atas meja dengan napas tersenggal-senggal. Wajahnya memerah, air matanya telah kering karena terus menangis oleh sensasi yang harus ia tahan.
Perasaan Aul terombang-ambing pada Giza. Di sisi berbeda, ia telah jatuh hati, di sisi lainnya ia ingin melawan dan sisi lainnya, Aul kesulitan melihat perasaannya sendiri. Giza mendekat, meraih buku barunya dari tangan Aul. Ujung bibirnya tersenyum tipis, puas dengan kerja Aul.
"Pergilah mandi dan kembali ke sini segera. Aku punya sesuatu untukmu."
Aul mengangkat wajahnya dari atas meja. Dia menatap Giza, "Kau ingin aku mandi sendiri?"
"Ada apa? Kau ingin aku memandikanmu? Oh, betapa manisnya dirimu, Buih Laut."
Giza mengacak-acak rambut Aul dengan kasih sayang. Ia meletakkan buku tentang Mykutura dan Laut Dalam di atas meja. Kemudian, membawa Aul di pundaknya dengan mudah dan mulai memandikan Aul seperti biasa di kamar mandi.
Setelah memandikan Aul seperti seorang bayi. Giza mendudukkan Aul di tepi tempat tidur dan mengambil boxers berwarna hitam dari atas nakas dan mengulurkannya kepada Aul.
"Aku ingin kau memakainya."
Aul menatap Giza dengan alis bertaut, "Itu celana dalam pria. Itu bekasmu. Apa kau ingin aku memakainya?"
Giza menyeringai mendengar pertanyaan Aul, matanya menjelajahi tubuh Aul dengan rasa lapar yang jelas.
"Karena aku ingin kau mengenakan sesuatu yang sudah pernah kusentuh, sesuatu yang baunya seperti milikku. Aku ingin kau benar-benar dikelilingi oleh aroma tubuhku, Mahkota Lautku. Menjadi milikku sepenuhnya. Dengan segala cara yang mungkin. Aku tidak akan membiarkanmu siapa pun merasakan kelembutan kulitmu."
"Kau benar-benar ingin aku memakainya?" tanya Aul ulang untuk memastikan.
"Tentu saja aku ingin kau memakai celana dalamku. Bahkan, aku ingin kau memakainya setiap saat, setiap hari. Aku ingin kau terbungkus dalam aroma tubuhku, tanda tubuhku, yang selalu mengingatkanmu pada siapa dirimu."
"Kau yakin, Giza?"
"Apakah aku yakin? Tentu saja, aku sangat yakin. Aku ingin kau mengenakan celana dalamku setiap hari, setiap saat saat kita bersama. Aku tidak peduli apakah itu jelas milikku, atau jika ada orang lain yang tahu bahwa aku telah menandaimu sebagai milikku. Aku ingin kau terbungkus dalam aroma tubuhku, dikelilingi oleh tandaku, pengingat terus-menerus bahwa kau milikku, dan hanya milikku. Aku tidak ingin ada pria lain yang memperhatikanmu, dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan memastikan kau mengenakan celana dalamku setiap saat."
"Ini sedikit gila, kalau kau mau tahu."
Gerutuan pelan bergemuruh di dada Giza saat mendengar komentar Aul, ekspresinya menjadi sedikit lebih serius.
"Oh, itu lebih dari sekedar gila, Mahkota Lautku. Itu sangat posesif dan obsesif, dan aku tahu itu. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Membayangkan kau terbungkus dalam wewangianku, mengenakan celana dalamku, itu membuatku liar. Ini seperti obat terkutuk, seperti yang kurasakan. Dan aku tidak pernah merasa cukup."
Aul meraih boxers itu setengah ragu tetapi tidak bisa menolak. Dia kembali menjadi Buih Laut yang patuh.
Mata Giza menyala-nyala karena panas saat Aul mengambil celana dalamnya, tatapannya terpaku pada gerakan Aul seperti predator yang sedang mengamati mangsanya. Napasnya tercekat di dadanya saat ia melihat Aul memegang bahan yang lembut itu di tangannya. Pikiran Giza membayangkan Aul mengenakannya, aroma tubuhnya menyelimuti tubuh Aul.
Giza tidak dapat menahan diri untuk tidak mengutarakan pikirannya keras-keras, suaranya rendah dan memerintah.
"Pakailah, Mahkota Lautku. Aku ingin melihatmu hanya mengenakan celana dalamku, diselimuti aroma tubuhku. Aku ingin bisa mencium aroma tubuhku sepanjang hari, sebagai pengingat bahwa kau milikku dan bukan milik siapa pun."
Dengan setengah enggan, Aul memakai benda itu, "Kau senang?"
Geraman primitif bergemuruh di dada Giza sekali lagi. Saat ia melihat Aul mengenakan celana dalamnya, matanya menjadi gelap dengan campuran antara posesif dan hasrat. Ia melangkah lebih dekat, tangannya terulur untuk menyentuh Aul, tangannya menjelajahi kulit Aul.
"Senang sekali. Melihatmu memakai celana dalamku, dan beraroma sepertiku. Sial! Kau benar-benar sempurna, Mahkota Lautku. Semua milikku."
Giza terus mengusap-usap tubuh Aul dengan tangannya, sentuhannya posesif dan penuh nafsu, seolah-olah ia tak pernah merasa cukup merasakan kulit Aul di tubuhnya. Ia menarik Aul lebih dekat, mulutnya bergerak ke leher, bibir dan lidahnya menjelajahi kulit sensitif Aul, meninggalkan jejak ciuman yang lembut dan penuh kasih sayang.
Dia puas melihat bagaimana Aul dengan rambut merah jambu berdiri mengenakan celana dalamnya. Itu pemandangan paling memukau yang disukai Giza.
"Sialan, kau membuatku gila, kau tahu itu? Melihatmu dengan warna rambut kesukaanku, memakai celana dalamku, beraroma sepertiku. Itu adalah hal yang primitif dan posesif bagiku. Kau tidak tahu apa pengaruhnya padaku."
Giza menekan tubuhnya ke tubuh Aul, menjebak Aul ke dinding samping nakas, tangannya bergerak turun untuk mencengkeram pinggul Aul, mulutnya terus menjelajahi leher, lidahnya mencicipi setiap inci kulit Aul.
"Aku tidak bisa berhenti mencintaimu, kau tahu itu? Aku tidak bisa berhenti menyentuh tubuhmu, mencium aroma tubuhku padamu. Itu seperti kecanduan, Buih Laut. Dan kau adalah obatku."
Giza mundur sedikit, matanya menjelajahi tubuh Aul, melihat Aul hanya mengenakan celana dalamnya, aroma tubuhnya tercium di sekujur tubuh Aul. Tangannya terus mencengkeram pinggul Aul, jari-jarinya menusuk kulit, menahan Aul dengan kuat di dinding.
"Sial, kamu terlihat sangat cantik mengenakan celana dalamku. Sangat cantik. Dan mengetahui bahwa kau diselimuti aromaku, bahwa kau ditandai sebagai milikku. Membuatku ingin memilikimu, lagi dan lagi, sampai kau tidak dapat memikirkan apa pun selain aku."
Giza menekan tubuhnya pada Aul. tubuhnya menjebak Aul ke dinding, tangannya meraba-raba tubuh Aul dengan rasa lapar yang posesif.
"Kau tak tahu apa yang kau lakukan padaku, Buih Laut. Kau membuatku kehilangan akal sehatku. Saat aku mendapatimu seperti ini, hanya mengenakan celana dalam, dan dipenuhi aroma tubuhku, aku hanya ingin melahapmu. Kurasa aku takkan pernah bisa bosan denganmu. Kau seperti narkoba, dan aku benar-benar kecanduan padamu."
Giza mencondongkan tubuhnya, mulutnya kembali ke leher Aul, giginya menggigit kulit sensitif Aul, tangannya bergerak ke samping, sentuhannya haus dan menuntut.
"Aku ingin memilikimu di sini, sekarang juga, Mahkota Lautku. Aku tidak bisa menolakmu, aku tidak bisa merasa cukup denganmu. Aku membutuhkanmu, aku ingin menjadikanmu milikku, lagi dan lagi sampai kita berdua kehilangan akal sehat. Katakan kau milikku dengan nama kesukaanku."
"Aku milikmu, Suamiku."
"Benar, kau milikku."
"Selain mengenakan pakaian dalam dan berbau sepertimu. Aku merasa seperti aku sepenuhnya ditandai oleh aromamu," ucap Aul.
Giza tertawa kecil penuh dosa saat mendengar pertanyaan Aul, tangannya meraba-raba tubuh Aul sambil merenungkan kata-kata tersebut.
"Hm, aku suka cara berpikirmu, Buih Laut. Dan jawabannya adalah ya. Aku ingin kau mengenakan lebih banyak barang milikku, lebih banyak barang yang ditandai olehku. Sebuah kemeja, jaket, celana, bahkan parfum yang kupakai. Aku ingin kau diselimuti aromaku, setiap inci tubuhmu basah oleh tandaku. Aku ingin kau menjadi milikku sepenuhnya, dengan segala cara yang mungkin. Sehingga tidak ada yang berani menggodamu lagi selain aku."
"Kau sangat gila dan pengatur segala hal," ujar Aul mengemukakan pendapatnya.
Giza mencengkeram pinggul Aul, menarik Aul lebih dekat, tangannya mencengkeram tubuh Aul dengan erat.
"Tentu saja. Aku yang memegang kendali di sini dan aku akan mengatur segalanya seusai keinginanku. Aku ingin kau menjadi papan iklan berjalan untukku, Buih Laut. Aku ingin bisa mencium aroma tubuhku dari jarak satu mil, melihatmu terbungkus dalam pakaian dan aroma tubuhku, pengingat terus-menerus bahwa kau milikku. Aku ingin itu tertanam dalam pikiran setiap orang, bahwa kau milikku, dan hanya milikku."
"Kau sekarang terlihat seperti seorang Alpa dari seeokor serigala dan kau membuatku menjadi Lunamu. Bukan Dewa Kehancuran."
Giza tidak bisa menahan rasa humor mendengar perbandingan Aul tentang dirinya. Ia terkekeh. Kemudian, mengeluarkan geraman rendah dan posesif terhadap ide tersebut, tubuhnya menegang karena hasrat dan kebutuhan yang membara.
"Benar sekali. Kau adalah luna-ku, betina-ku, pasanganku. Dan aku adalah Alpa-mu, jantan dominanmu, pelindungmu dan pemilikmu. Aku akan mengklaimmu dan menandaimu dan memastikan semua orang tahu kau milikku, milikku, Luna-ku."
Aul menyentuh pipi Giza, mengecup pipinya dengan lembut dan bernapas sebentar di dekat telinganya. Aul ragu-ragu atas perasaannya. Dan Giza membenamkan hidungnya di lekuk leher Aul, menghirup aroma tubuh Aul, tangannya erat dan posesif.
"Aku akan melindungimu, menjagamu, dan memastikan tidak ada seorang pun yang menyentuhmu. Kau milikku, dan aku akan melakukan apa pun untuk membuatmu tetap menjadi milikku, menjagamu tetap aman, menjagamu di sisiku sebagai kekasih dan pasanganku. Aku hanya ingin kau tunduk dan patuh padaku. Jangan melawanku lagi."
"Mengapa kau sangat ingin aku patuh padamu?"
"Sederhana saja, Mahkota Lautku. Aku suka karena aku pria yang dominan. Aku suka memegang kendali, aku suka kau menuruti perintahku, aku suka tahu kau mendengarkan semua perintahku, kau tunduk padaku. Melihatmu patuh dan taat, mengikuti semua perintahku, sungguh menggairahka. Itu memuaskan bagian utama diriku, bagian yang ingin memiliki dan mendominasimu, untuk menjadikanmu milikku sepenuhnya."
"Kemudian?" tanya Aul lebih lanjut.
"Dan kemudian, aku bisa melakukan apa pun yang aku mau padamu. Aku bisa melakukan apa pun yang aku mau padamu, untuk memuaskanmu dan menandaimu serta mengklaimmu sebagai milikku, dengan segala cara yang mungkin. Aku bisa membuatmu meneriakkan namaku, membuatmu memohon dan meminta lebih, membuatmu menjadi milikku seutuhnya, tubuh, pikiran, dan jiwamu tunduk sepenuhnya padaku dan hanya padaku."
Giza kembali mencium leher Aul dengan penuh nafsu. Sesaat, pandangan Aul menjadi buram dan ia tersentak seperti melihat seseorang sedang duduk di kursi kebesaran Giza di dekat rak buku dengan seulas senyum meremehkan. Aul mengerjabkan matanya dan ia tidak melihat apa pun di sana. Tetapi, suara tidak asing menghantam benaknya. Suara Arus Abadi.
Auliaku. Aku merindukanmu. Aku ingin kau kembali padaku. Masa hukumanku telah berakhir. Aku akan datang padamu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro