Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11 - Aul

Makhluk berbentuk humanoid yang kurus dengan kulit pucat dan mata yang buta karena hidup terlalu lama di kegelapan. Kini dirantai menempel di dinding goa yang bersinar oleh cahaya bintang laut yang menempel di setiap dinding. Cakarnya yang besar di tutup oleh roh vulkanik yang membentuk seperti borgol.

Myrktura menatap Aul dengan tatapan penuh hina, sedangkan Aul duduk pada kursi kayu di depannya mengenakan sebuah gaun merah muda yang memperlihatkan belahan dada. Gaun itu jatuh sampai menutup mata kaki Aul yang tanpa alas kaki.

Menit demi menit telah berlalu. Namun, Aul dan Myrktura tidak saling berbicara. Makhluk itu memang buta, tapi dia bisa melihat dengan cara berbeda.

"Namamu," lirih Aul setelah jenuh dengan suasana tersebut.

"Aku tidak akan memberikan apa pun yang kau minta. Tidak peduli dengan ancaman kekasih penghancurmu padaku."

Aul menggigit bibir bawahnya. Jelas, kesal karena kalimat ejekan tersebut.

"Kau akan kupanggil dengan Nalu, jika memang kau tidak mau memberitahu namamu."

"Nalu?" Myrktura tertawa sinis. "Baiklah, anggap saja itu namaku, Buih Laut. Atau kupanggil kau dengan Run juga?"

Aul tidak merespon. Run, membuatnya teringat Kamil dan Anggiri. Sekarang, Myrktura yang dia panggil Nalu juga memanggilnya seperti itu.

"Nalu."

"Apa?"

"Aku ingin tahu segala hal tentang dirimu. Maukah kau bekerja sama denganku?"

Nalu meludah ke samping. Rambut biru gelapnya berantakan dan tidak terawat saat ia menggelengkan kepala oleh sesuatu di pikirannya.

"Kau pemilik pengetahuan laut. Kupikir kau mengetahui sistem kerja semua kehidupan lautan."

"Cara kerjanya tidak seperti itu. Aku mengetahui hal yang umum secara naluriah. Namun, beberapa detail pengetahuan didapatkan dari interaksi dan pengalaman. Aku memang bisa memanggil makhluk laut dalam sepertimu. Tapi, tanpa interaksi, aku tidak bisa mengetahui detail-detail tersembunyi tentang kalian. Buku-buku yang ditulis, semua melewati pendekatan seperti itu."

Nalu mendengar dengan wajah tidak peduli. Dia benar-benar tidak berminat dengan pembicaraan Aul. Dia hanya bersandar, sambil menutup mata di dinding goa.

Rantai yang membelenggu kakinya tertanam kuat di dinding. Nalu tidak bisa berjalan terlalu jauh dan tangannya yang diselimuti roh vulkanik tidak bisa digunakan untuk menyerang. Dia melirik Aul penuh perhitungan. Nalu ingin menghancurkan Aul, namun dia tahu bahwa Giza tidak akan membiarkan itu terjadi.

"Di mana kekasihmu?" tanya Nalu dengan melirik sekeliling ruangan yang merupakan penjara tertutup.

"Dia mengawasi kita."

"Kenapa tidak hadir di sini bersamamu?"

"Aku hanya ingin kita berdua saja."

"Berdua? Apa maksudmu? Untuk mengorek informasi dariku? Kau tahu jawabannya bukan? Aku tidak akan memberimu itu."

Aul tetap tenang, dia teringat permintaan Giza untuk mendapatkan sebuah buku pengetahuan tentang makhluk laut dalam dan buku itu harus ditulis oleh Aul sebagai Buih Laut. Buku yang akan membawa Giza mengendalikan perairan laut dalam.

Sebelumnya, Aul memberitahu Giza bahwa menciptakan buku dari pengetahuan lautan selalu memiliki harga yang harus dibayar. Tetapi, tanggungjawab itu diberikan pada Aul dengan janji Giza akan melindunginya sebagai jaminan atas risiko tersebut.

Aul menurut dan di sinilah ia berada. Duduk berhadapan dengan Nalu tanpa keberadaan Giza. Pria itu mengawasi dari balik kegelapan.

"Kau harus bekerja sama. Suka atau tidak. Kau di bawah kendali Giza dan aku. Mari buat ini berjalan lancar."

Nalu masih tetap memasang sikap tidak peduli. Hal itu semakin membuat Aul bertambah kesal. Dia mengalami pertentangan dalam dirinya, ini bukan dirinya. Dia tidak pernah sekasar ini pada seseorang. Semua terjadi, karena kepatuhan dan harga yang ia bayar demi menjadi Penjaga Gelombang secara resmi.

Aul menutup mata, meletakkan telapak tangan di dada sambil mengatur napas. Mata Nalu yang semuanya memutih menangkap gerakan tersebut. Ia
memiliki cara lain untuk melihat melalui bunyi, bahkan perubahan kecil pada arus udara yang menyapu kulitnya seperti sentuhan lembut untuk melihat bagaimana dunia bekerja di sekelilingnya.

Dalam keheningan tersebut. Walau tidak bisa melihat kecantikan Aul dalam wujud fisik. Nalu dapat merasakan kehadirannya dengan cara yang jauh lebih mendalam, lebih intim.

Aul masih bernapas perlahan, matanya terpejam, seperti tenggelam dalam keheningan dirinya sendiri. Setiap tarikan nafasnya adalah gerakan halus yang mengirimkan riak-riak kecil di udara, menggulung ke arah tubuh Nalu, menghantamnya seperti godaan yang tak bisa Nalu hindari.

Aul hanya mencoba mengatur napas dan emosi untuk bernegoisasi dengan Nalu. Namun, entah mengapa gerakan tidak terduga itu menarik minat Nalu.

Nalu sangat merasakan bagaimana
pergeseran kecil pada udara, denyut lembut dari dada Aul yang naik dan turun. Tiap tarikan napasnya mengalir seperti bisikan, mengirimkan pesan yang tidak terucapkan ke dalam pikiran Nalu.

Nalu tidak pernah menyaksikan sesuatu yang begitu memikat. Di dunia yang hanya gelap dan sepi, kehadiran Aul adalah cahaya yang tidak perlu dilihat untuk dipahami. Bahkan sejak awal Aul memanggilnya.

Nalu menggeser tubuhnya mendekat, perlahan, tanpa ia sadari. Rantai di kakinya berderak. Setiap gerakan tarikan napas Aul terasa seperti nyanyian, suaranya menggetarkan udara di sekitar Nalu.

Dan saat Nalu melihat lebih dalam, merasakan lebih dalam. Nalu mulai memahami indahnya Aul. Bibirnya yang tertutup, matanya yang terpenjam, seolah membuka pintu ke dunia yang selama ini dia kira tidak ada. Nalu tidak hanya tertarik, dia terperangkap dalam sensasi ini.

Di dalam hatinya, sebuah gairah yang asing mulai bangkit. Ini bukan sekedar berasumsi, ini adalah obsesi, sebuah kekaguman yang membara dengan intensitas gelap. Setiap kali Aul menghela napas, setiap gerakan halusnya, itu seperti memanggil seluruh keberadaan diri Nalu.

"Bagaimana kau bisa bernapas seperti itu? Seolah-olah dunia ini adalah milikmu, seolah-olah bahkan kegelapan tunduk padamu," ujar Nalu dengan suara bisikan yang serak.

Aul membuka matanya, kebingungan.

"Apa maksudmu?"

"Aku mulai memahami. Mengapa Dewa itu sangat terobsesi padamu, sebab aku merasakannya sekarang."

Aul merasakan buku kuduknya merinding. Ia ingin menggeser kursi sedikit menjauh. Tetapi, Aul tidak bisa melakukannya. Dia tidak akan menunjukkan reaksi itu pada Nalu.

Gairah itu lebih dari sekadar daya tarik fisik pada Nalu. Dia masih fokus mendengar tarikan napas Aul yang mulai sedikit berbeda karena terkejut.

Nalu tersenyum tipis, menikmati perubahan tarikan napas tersebut.
Itu adalah kebutuhan untuk menguasai, untuk memeluk sesuatu yang tidak bisa dia miliki. Dalam kegelapan kedalaman laut, dia mendapati dirinya berjuang dengan emosi yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah rasa lapar untuk sesuatu yang indah, tetapi juga rapuh, seperti cahaya kecil yang berkedip di tengah malam abadi.

Pikiran Nalu dipenuhi ide-ide jahat untuk membalas perbuatan Aul padanya. Di samping itu, Nalu menyadari. Setiap tarikan napas Aul, dia semakin tenggelam dalam keinginannya. Sensasi itu manis sekaligus menyiksa Nalu.

Nalu merasa seperti sedang mencoba menggenggam udara dengan tangan yang kasar—tidak peduli seberapa erat dia menggenggam, keindahannya tetap mengalir, tetap tidak bisa dimiliki sepenuhnya. Karena itu bukan miliknya, itu membuat Nalu kecewa.

"Tampaknya kau tertarik bicara padaku," ujar Aul dengan seulas senyum kecil.

"Tidak juga." Nalu menjaga nada suaranya. "Kau Buih Laut, berapa lama kau akan di sini? Bukankah kau butuh lautan."

Emosi wajah Aul menjadi kelabu. Ada sedikit mendung di mata Aul.

"Aku tidak bisa. Giza melarangku menyentuh lautan tanpa izinnya. Sebagai gantinya, ia memberikanku darah bayi naga Carstensz untuk menahan hasratku pada lautan. Tapi itu tidak cukup."

"Aku tidak heran." Nalu terkekeh mendengar penderitaan Aul. Dia punya ide jahat di benaknya. "Ternyata, kau tunduk padanya juga. Apa kau memberi tubuhmu padanya? Apa dia merasakan kulitmu di bawah sentuhannya?"

"Bukan urusanmu!" marah Aul. Wajahnya memerah. " Itu bukan urusanmu."

"Tenang saja, memang bukan urusanku. Aku hanya bertanya, kalau kau tidak mau menjawab. Ya sudah. Bukankah kau ingin tahu sesuatu tentang kami? Makhluk laut dalam? Akan kuberitahu sesuatu padamu. Kami sedikit gila dalam mengontrol birahi."

Aul menatap Nalu dengan alis bertaut. Tetapi, Aul tetap mendengarkan.

"Kau tahu, Run. Makhluk seperti kami, yang lahir di tempat tergelap, tidak seperti kau. Kami tidak pernah diajarkan cara mengendalikan diri. Tidak ada batasan. Tidak ada aturan. Semua didikte oleh kebutuhan yang membakar seperti api yang tidak pernah padam. Kami lebih mengutamakan nafsu dan obsesi dalam segala hal. Kami cukup kasar saat birahi. Sulit mengendalikannya, tidak peduli jantan atau betina."

"Apa maksudmu? Mengapa kau mengatakan ini padaku?" Aul sebenarnya lebih fokus untuk mengetahui pengetahuan Myrktura dalam mengenal laut dalam, bukan bagaimana mereka bercinta. Dia tidak butuh itu.

"Bukankah itu yang kau ingin tahu tentangku?" tanya Nalu dengan seringai nakal.

"Itu benar. Tapi maksudku, tentang bagaimana kehidupan kalian dalam beradaptasi pada lingkungan laut dalam, sejenis pengetahuan yang bisa membawa seseorang untuk memahami risiko dan antisipasi mengendalikan kalian."

"Ah, tidak. Ini juga mempengaruhi kehidupan kami. Aku ingin kau mengerti, bahwa saat aku di sini, merasakanmu. Setiap napas yang kau tarik, setiap arus kecil yang kau ciptakan itu memanggilku. Kau tahu apa artinya ini? Itu artinya aku berada di ambang kehancuran. Aku tidak tahu bagaimana menahannya."

"Jadi, kalian punya hasrat yang sulit dikendalikan?" Aul tidak yakin, apakah informasi ini berguna bagi Giza atau tidak.

Nalu mencoba menenangkan dirinya. Tetapi meskipun dia berusaha, suara arus udara di sekitarnya, membuat Nalu terus mengingat detak jantungnya yang meningkat, tanda bahwa dia tengah terhanyut pada keberadaan Aul.

"Ya, kami tidak hidup dengan kendali. Birahi kami berbeda. Bukan sesuatu yang bisa disimpan. Itu seperti badai yang menguasai. Menarik kami lebih dalam. Tidak peduli, apakah menghancurkan atau tidak," ucap Nalu dengan suara lebih rendah, lebih intim, hampir terdengar seperti sebuah pengakuan.

"Apakah aku sekarang adalah badai itu?"

"Mungkin saja."

"Aku bukan milikmu."

"Aku tahu. Apa aku mengatakan ingin memilikimu? Kau percaya diri sekali."

Aul dibuat kesal. Nalu mempermainkannya. Dia mencoba tersenyum, namun yang terlihat senyum itu tidak indah.

"Kau adalah sesuatu yang aku tahu tidak akan pernah bisa kumiliki, tapi kehadiranmu, cara kau bernapas, bahkan ketenanganmu, itu membakar aku dari dalam."

Aul menatap Nalu dengan ekspresi yang penuh campuran emosi, tetapi juga penasaran.

"Katakan tentang keseharianmu di laut dalam dan bagaimana kau beradaptasi."

"Kami memiliki tubuh yang dirancang oleh alam. Dipengaruhi sentuhan Arus Abadi. Tekanan yang mematikan bagi makhluk biasa menjadi hal yang biasa kami hadapi."

"Aku tahu itu, Nalu."

"Memangnya, aku bilang kau tidak tahu? Kau ini bagaimana sih? Kau ingin aku menceritakan aktiftasku. Aku memulainya dari hal umum. Dasar wanita buih yang tidak sabaran. Ah, tapi itu menarik. Dengan aku yang tidak terkendali, bukankah kita cocok?"

Nalu tersenyum miring pada Aul. Senang menggoda Aul yang wajahnya memerah.

"Tubuh kami lentur secara alami dan dapat menyerap esensi tertentu. Darah kami berwarna perak. Hal paling menggangumkan yang membuat kami tidak bisa hancur oleh tekanan arus. Itu juga yang membuat kulit kami memancarkan cahaya.

Mata Aul berbinar. Satu kepingan informasi yang menarik mulai tersampaikan. Darah para Myrktura.

"Dan alasan mata kalian? Apa memang seperti itu sejak awal?" tanya Aul penuh ingin tahu.

"Itu bukan sesuatu yang bisa kubagikan."

"Kau harus memberitahuku."

"Tidak akan."

"Ayolah, Nalu. Beritahu aku, akan lebih buruk jika Giza yang memaksa."

"Aku tidak takut ancamanmu. Giza bukan sesuatu yang kutakuti. Dia hanya Dewa berbahaya. Dia berbahaya, tapi jika kau ingin aku punya rasa takut. Itu hanya ada pada Arus Abadi. Aku lebih takut padanya dari apa pun di dunia ini."

"Kau menyebalkan, kau tahu?" Aul menghakimi dengan kesal. Dia mencari cara untuk memaksa Nalu. Ada satu cara yang bisa Aul manfaatkan dari pengetahuannya tentang Myrktura. Tetapi itu berisiko, Giza akan menghukumnya. Itu terlalu lancang.

Sesaat Aul ragu. Dia bimbang. Haruskah meminta izin pada Giza terlebih dahulu. Tetapi, Aul teringat bahwa Giza telah memberi tanggungjawab atas harga yang harus ia bayar dan Giza hanya akan melindunginya dari risiko tersebut.

Aul berdiri dari kursi. Berjalan mendekati Nalu dengan langkah lembut. Dia terus meyakinkan diri, bahwa ini harga yang harus ia bayar demi pengetahuan rahasia Myrktura.
Dengan sangat hati-hati dan penuh kelembutan. Aul menyentuh pipi Nalu dan mengusapnya sambil berjongkok di depan Nalu.

"Apa yang akan kau lakukan?" Sentuhan itu seperti sengatan listrik pada Nalu. Tubuhnya bereaksi, birahinya bangkit kembali.

"Aku akan memberimu nilai tukar. Dan kau akan memberikan aku informasi."

"Nilai tukar apa yang kau maksud?"

"Tergantung. Kebebasan?"

Aul masih menyetuh pipi Nalu dengan lembut. Nalu bahkan sedikit bersandar pada sentuhan tersebut. Dia ingin lebih, dia ingin Aul menyentuh yang lain.

Nalu mendesah pelan saat Aul terus menerus menyentuh wajah dan matanya. Dia tak dapat menahan diri untuk tidak bersandar pada sentuhan Aul, menikmati sensasinya.

"Kau akan membuatku gila, kau tahu itu?"

Seekor kupu-kupu hitam terbang di sekitar Aul dan Nalu lalu berhenti di atas rambut Aul yang dikepang tipis. Nalu menatap tajam kupu-kupu tersebut dengan tatapan tidak suka.

"Apa aku bisa bebas?" Nalu bertanya ragu.

"Aku tidak punya jawaban tentang itu. Tapi, aku bisa memberimu hal lain."

Aul menyentuh bibir Nalu dengan ragu. Mengusap bibir bawah Nalu berulang kali. Tubuh Nalu bergetar atas gerakan tersebut.

"Hentikan!" Nalu membentak keras. Tatapannya sesekali melirik ke arah kupu-kupu hitam di rambut Aul. "Run, sebaiknya kau berhenti. Kau akan dapat masalah. Hentikan godaanmu."

Aul tidak mendengarkan kata-kata Nalu. Dia terus mengusap bibir bawah Nalu.

"Demi Lautan! Berhenti!" Nalu berteriak putus asa. "Kau memancing si Penghancur itu. Kau akan kena masalah, Run! Kau—"

Roh vulkanik perlahan-lahan melelehkan telapak tangan Nalu. Membuat cairan aneh jatuh di dasar lantai. Nalu mengerang kesakitan, Aul berkedip, sesuatu menghantamnya. Secara naluriah. Pikiran Aul memanggil ombak, tetapi tidak ada yang terjadi. Kuasa akan kendali lautan telah direbut Giza.

Aul mencoba mendekat, tetapi cairan yang mendesis dan uap panas membuat Aul tidak bisa mendekati Nalu. Dia melihat sekeliling, panik melihat Nalu mengerang kesakitan. Tangannya perlahan-lahan dibakar dengan cara dilelehkan.

"HENTIKAN! HENTIKAN! KUMOHON HENTIKAN GIZA! DEMI LAUTAN, KUMOHON!"

Tidak ada jawaban. Aul putus asa. Dia tidak bisa melakukan apa pun. Tanpa bisa berpikir jernih. Aul merobek setengah pakaiannya dan berlari menyentuh Nalu. Namun, sebelum Aul sempat melakukan bantuan.

Pinggangnya ditarik kuat untuk mundur dan dia segera dipikul di pundak oleh Giza yang berjalan membawanya keluar dari penjara. Nalu hanya bisa menatap Aul dengan tatapan kebencian dan kesedihan.

...

"Apa kau lupa siapa pemilikmu? Beraninya kau menggoda makhluk seperti dia?"

Aul menatap Giza dengan beragam emosi. Lilin di kamar Giza menyala dengan cahaya yang redup dan samar.

"Aku sudah bilang padamu. Ada harga untuk setiap pengetahuan."

"Dengan menggoda untuk menciumnya?" Giza tertawa getir. Dia menjambak rambut Aul dengan kuat dan memaksa Aul menatap matanya.

"Hentikan! ini sakit." Aul mengerang kesakitan. Dia menahan pergelangan tangan Giza, mencegahnya menarik lebih kuat. "Aku suka warna rambut ini. Jika rontok, bukankah itu buruk?"

Ketegangan di mata Giza mengendur. Dia melepaskan tangan dari rambut Aul dan merapikan rambut Aul yang berantakan. Aul diam-diam bernapas lega. Dia mulai memahami melawan Giza dengan cara halus.

"Aku suka sekali rambutku. Warnanya manis." Aul tidak berbohong, tetapi ia harus mengatakan ini untuk menenangkan emosi Giza. "Kau kan senang bermain dengan rambutku."

Giza masih menyisir rambut Aul dengan tangan. Ekspresi wajahnya sedikit melunak.

"Kau benar." Tetapi Giza kembali melingkarkan tangan dirambut Aul dan menariknya kembali, tidak sekeras sebelumnya. Namun, tetap membuat Aul mengerang kesakitan dan terkejut. "Kenapa kau menggodanya?"

"Aku ingin memanfaatkan birahi Myrktura untuk memberi informasi rahasia mereka. Kau lihat sendiri bukan? Mereka akan tetap tutup mulut meski disiksa."

Giza kembali melepaskan tangan dari rambut Aul. Merapikannya sebentar, sebelum mundur beberapa langkah untuk mengamati wajah Aul.

"Dengar. Aku sudah bilang padamu. Aku tidak akan pernah berbagi milikku dengan orang lain. Aku tidak akan pernah membagimu. Aku tidak akan pernah membiarkan pria lain melirikmu, aku memiliki hati dan tubuhmu, kau milikku."

Giza meraih dagu Aul. Cengkeramannya kuat, ujung jarinya sedikit menusuk kulit saat dia berdiri di depan Aul. Aul menegang, dia tahu situasi ini akan terjadi lagi .

Tubuh Giza berdiri di antara kedua kaki Aul. Dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, sehingga wajahnya hanya beberapa inci dari Aul saat dia berbicara dengan nada lembut namun posesif. "Kau milikku. Jadi, jangan berani berbagi sentuhan dengan pria lain. Kau mengerti?"

Aul mengganguk. Dia sedikit kesal dengan Giza. Dia ingin mendapatkan pengetahuan rahasia tersebut. Namun, dia keberatan dengan harga yang harus dibayar. Aul benar-benar tidak mengerti.

"Jadi, aku harus bagaimana?"

"Terserah kau. Tapi, tidak dengan kontak fisik. Aku tidak peduli dengan cara apa pun yang kau pakai."

"Itu sulit." Aul sedikit mengeluh. Mata Giza berubah gelap dan berbahaya.

"Jadi, kau ingin tetap mencium makhluk rendahan itu dibandingkan aku? Kau bermain api, Buih Laut. Cium dia dan kau akan menyesal. Aku bahkan merasa jijik mencium wanita lain selain dirimu. Tapi, di sinilah kau. Mengatakan ingin mencium makhluk rendahan."

Wajah Aul memerah, dadanya sesak dan nyeri luar biasa. Dia menatap Giza dengan galak. Jantung Aul berdetak lebih cepat dan semakin cepat. Dia tidak tahan lagi, dia lelah dikendalikan Giza.

Aul sudah berusaha menjadi yang terbaik. Tetapi, Giza tidak pernah puas padanya dan di sini. Dia menuduh Aul dengan hal menyakitkan. Tanpa di duga Giza, Aul menepis tangannya dengan kasar dan berdiri di depan Giza. Dia harus mendongak untuk menatap mata hitam Giza.

"Aku bukan wanita murahan yang suka berbagi ciuman dengan pria mana pun. Hanya kau satu-satunya yang meniduri, menyentuh dan menciumku. Teganya kau berkata seperti itu padaku. Dasar sombong, dewa menyebalkan, pemarah, kriminal, bajingan, penghancur!"

Mata Giza berkedip-kedip beberapa kali. Dia terkejut dengan luapan emosi Aul yang tidak terduga. Binar mata Aul berbeda. Tidak ada gadis laut yang patuh dan tidak berdaya di sana. Sayangnya, rasa terkejut tersebut segera digantikan senyum sinis, mengejek dan berbahaya.

"Penuh kejutan." Tangan Giza segera ditepis Aul dengan kasar sebelum ia sempat menyentuh dagu Aul lagi. "Ah, mulai keras kepala dan jadi anak nakal?"

"Aku tidak punya ide lain memaksa Nalu. Dia tidak akan buka mulut. Aku sudah bilang padamu, mendapatkan pengetahuan itu ada harganya dan harga yang harus dibayar memberi mereka sesuatu yang mereka inginkan. Bukankah kau sangat tahu hal itu dalam negoisasi?" Tubuh Aul gemetar, bukan karena dingin, tapi karena kemarahan yang tidak terbendung.

"Kau ingin aku menggali pengetahuan laut terdalam dari makhluk-makhluk yang bahkan takut pada bayanganmu, tapi kau tidak memberiku petunjuk! Tidak ada Arah, tidak ada strategi hanya perintah!"

Giza hanya tersenyum tipis, ekspresinya tenang, tetapi matanya seperti api yang menyala.

"Apakah Mahkota Lautku ini baru saja mengeluh? Kukira kau lebih tangguh dari ini, Buih Laut. Kau berdiri di sini, menyalahkanku atas kelemahanmu  sendiri?"

"Aku tidak lemah! Aku hanya mencoba menawarkan nilai tukar pada Nalu agar dia—"

"Menawarkan ciuman?" Giza
memotong dengan suara dingin dan tajam."Hanya apa? Mencoba mencium makhluk ciptaan hina itu? Makhluk yang bahkan tidak pantas menyebut namamu, apalagi menerima sentuhanmu."

Giza mendekat, aura gelapnya seperti badai yang mengancam. Dia berdiri di depan Aul seperti bayangan kematian.
Giza mencondongkan tubuh
hampir menyentuh wajah Aul, suaranya menurun menjadi bisikan yang menyeramkan.

"Dengar, pikiranmu, tubuhmu, bahkan hatimu. Semuanya adalah milikku. Aku tidak akan membiarkanmu merusak dirimu sendiri demi sesuatu yang tidak berarti."

Aul tidak dapat menahan diri. Ia mengeraskan suara, emosinya mulai meluap-luap, siap kembali meledak.

"Kau menyuruhku melakukan sesuatu yang tidak mungkin tanpa memberikan solusi! Kau hanya duduk di sana, mengawasi dari kegelapan, sementara aku harus menangani makhluk itu sendirian! Kau bilang aku harus memaksa mereka tanpa menyentuh mereka. Kau tahu betapa sulitnya itu? Kau tahu betapa mereka tidak takut pada ancamanmu? Pada bayanganmu yang selalu mengintai? Tapi kau tidak peduli! Kau hanya ingin hasil tanpa peduli caranya."

Suara Giza semakin dingin dan tajam, saat berbicara di telinga Aul.

"Kau lupa siapa yang sedang kau ajak bicara, Buih Laut. Aku bukan sekadar menguasai—aku penghancur itu sendiri. Aku tidak memberikan tugas untuk meminta. Aku memberi tugas untuk menyelesaikan."

Aul hanya diam melirik Giza dengan ekor matanya. Kemudian, dia merasakan sekali lagi napas hangat Giza saat pria itu berbicara.

"Berhati-hatilah, Buih Laut. Kau mulai berbicara seolah-olah kau setara denganku. Aku memberi tempat di sisiku."

Aul tertawa getir, matanya memancarkan kekecewaan yang mendalam pada Giza. Aul mengutuk diri sendiri. Dia seharusnya sadar siapa pria di depannya. Pria yang merebutnya dari lautan, pria yang menawarkan solusi dengan tawaran beracun.

"Kau ingin aku menggali pengetahuan dari makhluk-makhluk itu tanpa menyentuh mereka, tapi kau lupa bahwa mereka takut. Takut padamu. Takut pada kegelapan yang kau ciptakan."

Aura gelap Giza mengutuk ruangan, terdengar menggelegar.

"Mereka takut karena mereka harus takut. Ketakutan adalah kendali, Buih Laut, dan kendali adalah segalanya. Jika mereka tidak memuaskan apa yang kau mau, maka itu karena kau tidak cukup kuat untuk membuat mereka berbicara."

Aul tidak bisa menahan diri mendorong dada Giza agar dia menjauh. Tindakan di luar dugaan tersebut membuat Giza terkesima. Sedetik kemudian, dia tersenyum tipis pada Aul. Aul menatapnya dengan wajah memerah. Emosinya meledak.

"Kuat?" ulang Aul dengan nada mencemooh. "Ini bukan soal kekuatan! Ini soal cara! Kau ingin aku melakukan ini, tapi kau tidak memberiku pilihan selain memikul beban ini sendirian! Aku bukan boneka yang bisa kau kendalikan sesuka hatimu!"

Mata mereka saling menatap tajam, kekuatan mereka beradu dalam keheningan yang penuh ketegangan. Untuk sesaat, tidak ada suara selain riak udara dan arus desiran yang terbentuk dari emosi tersebut.

"Kau lupa, Buih Laut. Aku tidak pernah meminta. Aku memerintah. Dan jika kau berani melawan, maka kau akan belajar seperti apa rasanya menjadi musuhku." Giza merendahkan suara, tetapi nadanya penuh ancaman dan obsesi. Kemudian, ia melanjutkan. "Lakukan tugasmu, kau mengerti? Kumpulkan informasi terlarang dan berbahaya tentang menguasai dunia laut dalam makhluk itu tanpa menyentuhnya."

"Bagaimana jika aku tetap melakukannya?" Aul menatap tajam Giza dengan penuh tekad.

"Lakukan dan kau akan hancur."

"Hancur? Aku sudah hancur dari awal."

"Jangan menggodaku, Buih Laut. Aku tidak akan segan menyakitimu. Aku bersikap lunak padamu, bukan berarti aku tidak bisa menjadi lebih brengsek saat kau tidak patuh padaku. Kau milikku dan semua yang menjadi milikku harus patuh padaku. Jangan buat aku memaksamu merangkak seperti anak anjing."

Aul ingin menangis. Dia terluka, benar-benar merasa hina. Ia mulai sadar. Dia menunduk, tidak kuasa menatap wajah Giza. Kepalanya seperti di hantam ribuan batu bata. Dia telah terjebak, terjebak atas obsesinya kembali menjadi Penjaga Gelombang pada Dewa Kehancuran dan dia tidak bisa kembali.

Kekecewaan itu sudah terlambat. Aul merasa frustasi, di satu sisi dia mulai tertarik pada Giza, menginginkan Giza. Tetapi, pria itu membuat Aul merasa seperti boneka yang dikendalikan. Sekedar alat untuk mencapai tujuannya.

Tangan Aul terkepal tanpa sadar. Dia kembali menatap Giza dengan penuh tekad. Dia tidak akan mundur, Aul tidak akan menyerah pada mimpinya, bukan pada Giza. Aul bertekad dengan motivasi baru. Dia akan kembali menjadi Penjaga Gelombang dengan bantuan Giza. Jika Giza memperlakukannya seperti boneka, maka Aul hanya perlu menjadi boneka yang menghancurkan pemiliknya.

...

Aul diantar kembali di ruang yang sama dengan dipikul Giza seperti sekarung beras di pundak. Giza memberinya tatapan tajam penuh peringatan sebelum beranjak pergi.

Sementara itu, Nalu yang kehilangan kedua lengannya menatap Aul dengan sorot kebencian yang semakin dalam dan gelap.

"Habis bercinta?" sindir Nalu tanpa basa-basi.

"Ya." Aul membalasnya dengan sarkasme. Dia sedikit sedih melihat Nalu, namun emosi itu ia sembunyikan rapat-rapat jauh di lubuk hati.

"Aku akan langsung. Nilai tukar apa yang kau inginkan dariku? Beri aku informasi terlarang tentang kehidupan dunia laut dalam dengan sudut pandang berbeda."

Nalu merasakan tekad Aul dalam nada suaranya sekarang. Emosi dan aura keberadaanya sedikit berbeda dari sebelumnya.

"Kalau aku minta tubuhmu. Apa kau akan memberikannya? Kau tahu, hal terlarang dibeli dengan harga yang sangat mahal. Apa kau ingin menukar hal semacam itu dengan tubuhmu?"

Aul hanya diam menatap tajam Nalu, sedangkan Nalu menunggu dengan tidak sabar reaksi Aul. Tangan Aul terkepal kuat di atas paha.

"Kau tidak akan bekerja di sini. Kau akan ikut bersamaku. Apa itu cukup?"

Nalu menatap Aul dengan terkesiap, "Mengikutimu? Untuk apa? Jadi badutmu?"

"Teman," balas Aul tulus.

"Teman? Teman tapi mesra?" Nalu terkekeh.

"Kau ingin menghabiskan waktu di tambang ini atau ikut denganku? Tanpa tangan. Kau tidak akan berguna di tambang. Penjaga hanya akan menyiksamu seperti mainan. Kau akan sangat di rendahkan di depan makhluk lainnya. Apa kau ingin?"

Nalu mengertakkan gigi. Jelas tidak suka dengan hal tersebut. Dia tahu, Aul benar. Tetapi, Nalu tidak akan menyerah begitu saja.

"Biar saja. Lebih baik tersiksa dari pada memberi kalian pengetahuan lautan dalam."

Aul tidak heran. Nalu mau menurut dengan mudah. Makhluk satu ini jauh lebih keras kepala. Tetapi, Aul tidak menyalahkannya. Dialah yang membawa Nalu dalam masalah ini. Itu kepingan yang membuat Aul merasa bersalah. Dia tidak akan mengorbankan makhluk laut demi mencapai tujuannya.

"Tidak ada bayaran lain yang kau inginkan?" Aul mencoba menawar.

"Aku ingin tubuhmu."

"Kau tidak akan mendapatkannya."

"Dan kau pun tahu, Run. Kau juga tidak akan mendapatkan yang kau inginkan. Aku tidak masalah, disiksa sampai mati dan kau akan menarik Myrktura lain. Tapi, percayalah. Kami semua akan meminta yang sama. Tubuh makhluk cantik sepertimu berada dalam sentuhan kami."

Aul tetap menjaga sorot mata dan reaksinya di depan Nalu. Mereka sama-sama keras kepala dan diskusi ini tidak akan berakhir. Hanya masalah waktu, tekad siapa yang akan menang.

"Run. Di sini kau yang membutuhkan kami. Bukan aku yang membutuhkan kalian. Jadi, jika kau ingin tawaran. Tawaranku tetap satu dan itu tidak akan berubah. Biarkan aku merasakan tubuhmu dengan sentuhanku."

"Kau kehilangan kedua tanganmu."

"Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu. Kami ini sedikit istimewa."

"Tubuhku hanya milik Giza." Aul menegaskan hal tersebut pada Nalu, sekalipun dia membenci Giza. Aul hanya ingin Giza yang menyentuhnya.

"Kesepakatan selesai. Tidak ada transaksi. Jangan tawarkan aku gadis duyung. Aku tidak minat pada mereka."

"Kau tahu. Mengapa aku di usir dari Arus Abadi? Mengapa banyak Buih Laut diusir setiap dekade?"

Nalu hanya diam mendengarkan. Tetapi, dia tertarik, "Kau ingin aku menebak? Baiklah. Dari bisikan ombak. Arus Abadi adalah pria yang di idolakan banyak wanita laut. Aku bosan mendengar Myrktura betina, gadis duyung, roh laut dan segalanya membicarakan pria itu. Memujanya seolah hanya dia lah laki-laki di dunia ini. Sebagian Penjaga Gelombang terusir karena berani menggodanya dan memancing perhatiannya. Hal tersebut, membuat Arus Abadi merasa terganggu dan mengusir mereka. Dan apakah kau ... menggodanya juga?"

"Ya," jawab Aul singkat, padat dan jelas. "Aku menggodanya. Aku berusaha lebih keras dari yang lain untuk menarik perhatiannya dan dia mengusirku karena menggangapku tidak berguna. Dia memang tidak tertarik dengan buih laut. Arus Abadi tertarik pada wanita berbeda. Itu menyebalkan."

"Dan kenapa kau menceritakan ini padaku? Kau ingin aku bersimpati? Yang aku tahu, kau sangat penggoda. Ehehehe. Apa kau menggunakan ini menggoda si Penghancur?"

"Aku tidak menggodanya. Tapi, aku bisa menggodamu!"

"Wow. Kau ingin menggodaku? Ya, memang berhasil. Aku tergoda, aku ingin bercumbu denganmu."

"Jadi, ada alasan apa dibalik mata kalian?" Aul mulai kembali fokus pada tujuan awal. Tetapi Nalu, hanya tersenyum tipis dengan kecewa.

"Aku tidak akan membahasnya. Sekalipun kau baru saja membujukku dengan cara menarik."

Aul mengepalkan kedua tangannya. Usahanya lagi-lagi gagal. Mustahil dia akan mencium semua makhluk jantan dalam setiap perintah Giza. Aul tidak ingin melakukannya. Dia frustasi. Situasi ini membuat Aul pusing. Dia tidak ingin berbagi ciuman, dia juga tidak sanggup melihat Giza berbagi ciuman.

"Maaf." Aul berdiri dari kursi. "Aku tidak bisa melakukannya."

Alis Nalu bertaut. Entah, kepada siapa kalimat tersebut Aul tunjukkan.

"Kau menyerah? Begitu saja?"

Aul tidak menjawab pertanyaan Nalu. Dia membalikkan badan. Menunggu Giza menjemputnya, tidak peduli apakah pria itu akan marah atau tidak.

"Kau tidak bisa pergi seperti itu, Run. Tidak setelah kau menggodaku."

Nalu mencoba berjalan mendekati Aul. Tetapi, rantai di kakinya membuat gerakannya terbatas. Dia hanya bisa berdiri beberapa langkah di belakang Aul. Aroma wangi tubuh Aul membius dan membuatnya candu. Dia mulai tidak bisa menahan diri.

"Kemarilah, berbalik padaku dan mendekatlah." Wajah Nalu memerah, matanya penuh nafsu dan air liurnya mulai menetes menatap lekuk tubuh Aul dari belakang. "Kumohon, berbaliklah sebentar padaku."

Aul tidak memberikan tanggapan. Dia harus mendorong Nalu sampai batas jurang. Suara rantai berderak kasar di sekeliling penjara. Nalu berusaha menggapai Aul dengan memaksakan diri lebih dekat. Sikap Aul yang mengabaikannya, mendorong Nalu tidak bisa berpikir jernih. Nafsu nya semakin bertambah dan nakal.

"Arus Abadi memberi kami ujian." Nalu akhirnya buka suara untuk memberikan yang Aul inginkan dan betapa senangnya Nalu saat Aul membalikkan badan. Nalu tersenyum lebar, wajahnya semakin merah.

"Ujian pada makhluk laut dalam." Nalu melanjutkan. "Pilihan antara penglihatan atau kemampuan bertahan hidup. Banyak makhluk yang memilih untuk menyampaikan penglihatan mereka. Sebaliknya, mereka memperoleh kemampuan melihat melalui perubahan arus udara, energi, dan suara. Ini adalah adaptasi alami, tetapi dalam dongeng ini, kekuatan itu diperkuat oleh keajaiban ombak—"

Sekujur tubuh Nalu seperti tersengat listrik saat bibir Aul mendarat di pipinya dengan lembut. Mata Aul bersinar biru saat ia berbisik dalam bahasa ombak di telinga Nalu dan Nalu membahas kalimat tersebut dalam bahasa yang sama beberapa menit. Nalu terus mengungkapkan semua rahasia kehidupan laut dalam dengan kegilaan di matanya. Menikmati tangan Aul yang bebas mengelus pipinya berulang kali.

Saat pertukaran informasi itu berakhir. Aul berbisik, "Terima kasih."

Itu adalah tindakan sebagai bentuk kasih sayang dan penghormatan dari Aul pada Nalu. Meskipun ini adalah tanda kebaikan, itu bukanlah tindakan yang diukur oleh Giza dengan cara yang sama.

Giza yang sebelumnya tersembunyi dalam bayang-bayang, muncul dengan langkah cepat dan penuh amarah. Tubuhnya yang besar, dikelilingi oleh gelombang kegelapan yang menarik perhatian. Matanya menyala dengan api kemarahan. Tangan Giza mencengkram bahu Aul dengan kuat dari belakang.

"Aku ingin Nalu dan Anggiri jadi milikku," kata Aul dingin sebelum Giza buka suara.

"Kau ingin sampah? Apa kau gila?" Amarah Giza terlihat jelas. Dia menarik Aul berbalik padanya.

Ada sebuah kekuatan yang tak bisa dipahami Aul di dalam mata sang Dewa Kehancuran. Tangan Giza melesat mencengkram rahang Aul dengan kuat.

"Apakah kau benar-benar mencium pipi makhluk ini?" ucap Giza dengan suara gemetar penuh kebencian dan obsesi.

"Aku tidak akan membawa sampah pulang ke rumah dan kapalku, Buih Laut. Harus berapa kali aku bilang padamu?"

Suara Giza mengandung kekuatan yang menggetarkan, seolah-olah ombak laut di luar tambang ikut bergulung di dalam kata-katanya.

Aul berusaha menarik dirinya, meronta, namun cengkeraman Giza terlalu kuat. Udara di sekitar mulai bergolak dengan liar, seolah merasakan intensitas kemarahan yang menarik dari Giza. Namun, yang lebih mengerikan adalah bayangannya yang terus meluas, membanjiri seluruh ruangan dengan kegelapan dan ketegangan yang semakin berat. Nalu sampai diam tidak bergerak sama sekali oleh intesitas seperti itu.

Giza mencengkeram rahang Aul lebih erat. "Kau pikir kau bisa memperlakukan mereka seperti itu? Dengan sentuhan lembut? Kau pikir itu akan membuatku diam? Tidak ada yang bisa memiliki sentuhanmu kecuali aku. Tidak ada yang bisa merasakan kehangatan dari bibirmu selain aku!"

"Itu hanya kasih sayang dalam bentuk penghormatan pada makhluk laut." Aul mencoba membela diri, dia merasa itu tindakan tulus, tetapi tampaknya dia tahu. Giza tidak memandang dengan hal yang sama.

"Siapa yang memberi izin padamu untuk menunjukkan kasih sayang itu?  Kau adalah milikku, Buih Laut! Dan kau tidak akan pernah membiarkan makhluk-makhluk ini menyentuhmu lagi. Aku yang mampu mengendalikan semua yang ada di sekitarmu. Kau hanya milikku!"

Aul hanya bisa menatap mata hitam Giza yang kini penuh amarah yang meluap-luap. Bulu kuduknya berdiri saat Giza berbisik dengan nada menegangkan.

"Jangan pernah lagi menyentuh mereka. Jangan pernah lagi menunjukkan kelembutan itu pada siapa pun selain aku. Kau mengerti?"

"Tapi aku berhasil mendapatkan yang kau inginkan. Aku memiliki informasi yang kau butuhkan dari kasih sayang tersebut."

Aul tetap membela diri. Tidak ingin tunduk di bawah amarah Giza. Pandangan Giza kini penuh dengan obsesi yang gelap, sebuah hasrat yang berbahaya, keinginan untuk mengontrol segala hal yang ada di sekitar Aul. Bahkan hingga titik dimana ia merasa tidak ada orang lain yang bisa mendekatinya.

Giza tidak peduli dengan pembelaan tersebut. Bagi, Giza. Aul tetap bersalah karena melakukan kontak fisik. Dengan suara lebih lembut, tetapi lebih menakutkan, hampir seperti janji berbahaya.

"Jangan lupakan siapa yang memegang kendali di sini, Buih Laut. Jangan lupakan siapa yang bisa menghancurkan dunia ini hanya dengan satu perintah. Sekarang, kau harus dihukum. Merangkaklah padaku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro