Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9

Pagi ini terasa seperti biasa untuk Agnes. Memang apa yang buat berbeda? Hidupnya terlalu monoton. Daftar kegiatan satu harinya cuma ada: berangkat sekolah-belajar-pulang-belajar-tidur. Oh satu lagi ada yang kurang. Dibaperin Gibran.

Agnes memang tidak punya hobi atau aktivitas kesukaan. Apalagi akskul. Agnes sangat menjauhi organisasi. Perkumpulan yang sering mengatasnamakan keluarga? Bulshit! Kalau udah punya kesibukkan masing-masing, pasti lupa sama anggota sendiri.

Datang cuma ada perlunya. Bahkan ikut ekskul hanya demi keeksistensian diri. Khususnya remaja sebagai lahan aktualisasi diri.

Agnes sendiri masih aneh pada dirinya. Ketika yang lain sibuk mencari jati diri, Agnes terlalu larut di dalam dunianya sendiri. Dunia dimana 'asal aku bisa bernapas, untuk apa aku peduli pada mereka'. Begitulah Agnes dan kehidupannya.

Cewek itu tidak ingin merepotkan diri untuk berempati pada permasalahan orang-orang. Hidupnya saja sudah punya banyak beban, kenapa harus menambahnya dari orang lain dan notabenenya tidak sedarah? Yang sedarah saja Agnes tidak sudi bersimpati.

Itulah dogma Agnes. Tidak bisa diganggu gugat oleh apapun.

"Mir, lo udah pr Fisika?" tanya Doni menghampiri meja Mira dan Agnes yang berada di paling belakang dan mojok.

"Udah sih. Tapi ada satu nomor lagi yang belum," jawab Mira ragu sambil mengeluarkan sebuah buku tulis.

Mira menoleh pada Agnes. "Elo udah semua, Nes?" tanya Mira takut.

Agnes meliriknya sekilas sambil kembali fokus ke arah ponselnya. "Udah."

Mira menggigit bibir bawahnya. Ingin sekali menyalin jawaban Agnes. Tapi Mira takut Agnes malah marah. Pasalnya Pak Rohandi --sang guru Fisika, tidak bisa menerima alibi apapun tentang tugas yang tidak lengkap.

Mira padahal sudah berusaha keras semalaman untuk menyelesaikan tugas ini. Menguras seluruh energi sel otaknya untuk mengerjakan soal yang entah kenapa sulit dicerna oleh kelogisan Mira. Tapi namanya otak Mira yang susah diajak kerja sama, jadilah hanya empat nomor yang bisa dikerjakan.

Eh jangan salahin Mira semua juga. Emang udah jadi budaya kan kalau nomor terakhir selalu menjadi dewa. Alias, hanya orang-orang tertentu yang bisa mengerjakan.

"Sini, Mir. Gue pinjem," ujar Doni melihat Mira hanya diam saja tanpa memberikan catatannya.

"Gue belum semua."

"Elo nunggu contekkan Agnes? Jangan harap. Dia kan paling gak bisa nolong orang," bisik Doni hati-hati sebab orang yang dibicarakan ada di dekat mereka.

"Nes, gue--"

"Gue mau ke toilet dulu." Agnes berdiri dan Mira memberikan jalan.

Agnes pergi begitu saja tanpa empati sama sekali dengan derita Mira yang sudah kepalang gemetaran.

Mira sebenarnya sudah siap menerima bagaimana pun reaksi Agnes. Ini demi harga dirinya agar tidak dimarahi Pak Rohandi. Dan Agnes beranjak santai seolah memang tak berniat menolong Mira.

"Udahlah gapapa. Lagian sekelas juga pada belum. Kalo lo sendiri yang belum, baru itu bencana."

"Ya seenggaknya gue dikenal baik sama Pak Rohandi." Mira memberenggut membayangkan satu kelas diceramahi lagi oleh Pak Rohandi. Kecuali Agnes tentunya, yang pasti akan terus-menerus dihujani pujian yang bisa membuat Mira iri untuk kesekian kalinya.

"Kalo gak bisa? Jangan dipaksain," hasut Doni membuat Mira sedikit lega. "Udah ah sini bukunya. Gue pinjem ya, Mir."

Mira mengangguk. Mungkin benar apa yang dikatakan Doni. Nggak apa-apa dihukum juga. Toh sekelas belum ngerjain. Cuma Agnes juga, 'kan?

Tapi Mira juga mau dipuji. Ah, untuk apa pujian? Senangnya di awal, nggak selamanya Mira bahagia, kan.

Hmm..., Agnes. Kenapa ya cewek itu susah banget simpati sama orang? Gimana kalau Agnes perlu bantuan? Sedangkan Agnes sama sekali tak pernah menolong orang.

Apa Agnes bisa melakukan apa-apa sendiri? Dan sejauh ini Agnes memang jarang atau bahkan mugkin belum pernah minta tolong sama orang.

Sudahlah, sekarang yang mesti Mira pikirkan adalah bagaimana tidak mengantuk di pelajaran Fisika kali ini. Mengingat Mira semalaman begadang hingga pukul satu dini hari demi tugas Pak Rohandi terhormat.

**

Mira sudah beberapa kali menahan kelopaknya untuk menutup. Tapi mau sekeras apapun Mira berusaha, tetap saja kantuk itu datang dengan seenaknya.

Minum air sudah, mencubit tangannya sendiri sudah, menampar pipinya hingga meringis juga sudah. Dan Mira tetap ingin tidur. Kepalanya sudah pusing, minta jatah tidur yang kurang karena tadi malam.

Di depan, Pak Rohandi masih menjelaskan teori listrik statis yang entah apa maksud dari rumus-rumus yang terpampang di papan tulis. Seolah apa yang ditulis Pak Rohandi seperti tulisan anak TK yang tidak dipahami oleh Mira.

Kalau begini terus, sia-sia sekali waktunya. Apalagi mode belajar Pak Rohandi. Selesai materi minggu depannya ulangan. Tidak ada rehat sama sekali.

Mira mau izin ke kamar mandi, sekadar mencuci muka dan menghirup udara segara. Akan tetapi, entah sejak kapan Mira nggak mau ke toilet sendiri. Khususnya di jam pelajaran Pak Rohandi yang selalu diselimuti hawa menegangkan. Mira juga cewek. Dan cewek nggak tahu kenapa selalu harus ada teman ke toilet.

Mau ajak Agnes mustahil. Terus Mira harus ajak siapa? Mira baru menyesali posisi duduknya sekarang. Dimana lapak para cowok itu di belakang. Dan cewek-cewek itu di depan. Ada sih cowok juga. Paling itu cuma Rahmat dan Ari yang duduk di barisan kedua. Dan itu sejenis cowok yang memang mengutamakan peringkat.

Sudahlah, sekarang Mira pasrah saja. Tidak ada sama sekali opsi yang baik untuknya saat ini.

"Pak, saya izin ke toilet dulu," izin suara familier di telinga Mira. Seolah Tuhan menolong penderitaannya, Agnes berdiri meminta izin untuk ke toilet.

"Sendiri?" tanya Pak Rohandi sambil menurunkan kacamata besarnya.

Mira terperangah, "Sama saya, Pak."

"Yasudah cepat. Jangan banyak ngobrol dan kembali ke kelas."

"Baik, Pak," jawab Agnes dan Mira nyaris bersamaan.

Seselesainya ke luar kelas, kelegaan menjalar ke rongga dada Mira. Akhirnya Mira lepas dari penderitaan tahan kantuk yang sangat menyiksa itu.

Untunglah Agnes sepertinya sepemikiran dengan Mira. Jadi Mira nggak perlu berlama-lama menganiaya diri.

"Makasih ya, Nes. Gue jadi ada temen ke toilet."

Agnes menoleh sekilas. "Gapapa. Gue juga kebelet."

Tidak ada yang tahu, Agnes sebenarnya mengetahui penyiksaan Mira. Menahan kantuk di tengah guru killer, jarang ada yang bisa bertahan. Melihat Mira terus-terusan menyiksa diri secara fisik, Agnes tidak tega.

Dengan berdalih ingin buang air kecil, Agnes izin ke toilet. Yang pasti akan diikuti oleh Mira. Meski sebenarnya Agnes tak ada keinginan itu.

Agnes memang terlalu menahan gengsi tinggi untuk menolong Mira. Agnes sudah menyadari sebenarnya, bahwa Mira sudah terlampau baik untuk menemani Agnes. Dan saatnya Agnes membalas Mira meski harus secara tidak langsung. Yang terpenting Mira merasa tertolong seperti tadi.

"Gue cuci muka aja. Jadi gue tunggu di sini. Elo masuk aja," ucap Mira dan diangguki Agnes. Agnes lalu memasuki salah satu bilik toilet. Entah untuk apa. Yang terpenting Agnes kelihatan ingin buang air kecil.

Di dalam toilet Agnes duduk di atas kloset. Rehat sejenak dari pelajaran yang sangat membuatnya pening. Hingga didengar ada suara lain dari luar.

"Eh Mir, elo sendiri aja?" tanya seorang cewek yang asing di telinga Agnes.

"Gue--"

"Gak sama iblis sebangku lo ya?" timpal salah satu yang lain.

"Elo bego banget banget sih, Mir. Elo itu tajir. Nyari temen buat orang kayak lo tuh gampang. Tapi lo malah milih cewek kayak Agnes. Gak punya otak ya lo?"

"Nah iya, Ran," sambung yang lain. "Kalo gue sih mending tinggalin aja. Apalagi elo Mir. Udah cantik. Udah baik. Ya tapi elonya sih yang terlalu bego milih temen. Jadi ya gak ada yang mau sama elo."

"Eh gue ke toilet dulu ya," izin salah satu cewek dan terdengar bilik sebelah Agnes terbuka.

"Elo yakin temenan sama Agnes?"

Tidak ada suara yang terdengar. Padahal Agnes sedikit penasaran pada jawaban Mira.

"Kenapa sih? Gue siap kok jadi temen lo, Mir."

Ada jeda sejenak hingga Mira menjawab, "Agnes emang gak tajir dan gak seterkenal kalian. Tapi Agnes orang apa adanya yang baru gue temuin. Gue emang bego. Tapi gue lebih bego lagi kalo sampe temenan kayak kalian."

Tidak ada lagi suara yang menyahut hingga cewek yang tadi masuk ke bilik keluar.

Agnes masih berdiri di balik bilik. Mencerna ucapan Mira yang berhasil monohok hati Agnes. Ternyata Mira tulus menemaninya. Tidak ada niat negatif atau sekadar mengasihaninya.

Untuk pertama kalinya, Agnes sadar. Selama ini ia terlalu kejam membuat Mira menderita di sampingnya. Dan tidak punya rasa empati sama sekali pada ketulusan yang ada di dalam hati Mira.

Agnes ke luar dari bilik. Mira mendongak sembari tersenyum pada Agnes.

"Lo--"

"Jangan bela gue kayak tadi."

Mira menatap Agnes dengan raut khawatir. "Elo denger?"

"Elo gak marah dikatain bego?" potong Agnes tanpa menggubris pertanyaan Mira.

Mira tersenyum. "Buat apa gue marah? Mereka bukan apa-apa buat gue. Yang penting elo, Nes."

Semenjak hari ini, Agnes tahu. Kalau Agnes sudah punya teman tulus di sampingnya.

**

Agnes menggendong tas ranselnya sambil berujar, "gue duluan," pada Mira tanpa menoleh.

Agnes lekas ke luar kelas. Tubuhnya terlalu lelah untuk diajak banyak bicara hari ini. Sudah mah hari Senin, pelajaran fisika pula. Agnes tidak tahu harus mengeluarkan umpatan apa lagi untuk mendeskripsikan hari Senin.

Ketika hendak ke luar kelas, Agnes kembali menarik kakinya ke dalam. Jantungnya seketika berdentam-dentam. Ada sakit yang tak bisa didefiniskan lagi oleh kata.

"Elo kenapa?" tanya Mira mengejutkan Agnes. Tangannya yang tadi ada di depan dada, sontak diturunkan lagi.

"Gue ada yang kelupaan. Elo duluan aja."

Mira sebenarnya curiga. Melihat Agnes yang tadi seperti ketakutan, Mira tahu ada sesuatu yang terjadi. Apalagi barusan Agnes sempat memegang daerah jantungnya.

Apa Agnes sakit?

Mira terlalu takut bertanya. Jadinya Mira mencoba percaya meski ada hal ambigu yang mengganjal pikirannya.

"Yaudah gue duluan ya."

Agnes mengangguk dan kembali ke mejanya. Mira ke luar kelas dan mendapati Gibran sedang berbicara bersama Elsa. Dan ada tawa yang berderai di antara mereka.

Mira sedikit curiga. Pasti cowok itu yang membuat Agnes tiba-tiba aneh.

Mira mencoba mendekati Gibran.

"Gib, lo udah pulang dari kapan?"

Gibran menoleh, berpaling dari Elsa. "Baru aja. Kenapa emang?"

Mira kembali menatap Gibran. Karena sedari tadi dia risi lantaran tatapan yang dilemparkan oleh Elsa padanya.

Penjilat umpat batin Mira.

"Iya gue mau balikkin buku Tena. Dia masih ada di kelas?"

Gibran mengangguk. "Ada. Tadi dia lagi perang dulu sama Fahri."

"Masalah apa lagi?" tanya Mira dengan alis tertaut.

"Tadi si Fahri minjem pulpen ke si Tena. Eh malah digigitin ujung pulpennya."

Mira terbahak, "Fahri makin lucu ya."

Gibran memandang Mira aneh. "Lucu dari mana? Jorok sih iya."

"Itu kan kelebihannya, Gib."

Tawa mereka pun bederai. Dan tidak lupa fakta kalau Elsa sama sekali tak menyukai ada orang yang membuat Gibran tertawa selain dirinya.

"Eh Gib, Agnes--"

"Gib, pulang yuk!" ajak Elsa memotong pembicaraan Mira. Gibran yang tadi ingin mendengar kelanjutan ucapan Mira otomatis berpaling.

"Nanti ya." Gibran menoleh lagi pada Mira.

"Pokoknya sekarang. Ayo!" Elsa dengan beraninya menggandeng tangan Gibran dan menariknya agar segera pergi.

"Bentar ya, Sa." Gibran mencoba bersabar dan melepaskan gandengan Elsa. Serta menahan untuk membentak Elsa, mengingat Elsa adalah cewek.

"Udahlah, Gib. Lo pulang aja. Asuhan lo kayaknya butuh minum ASI tuh," sindir Mira mendapat delikkan mata Elsa.

Padahal Elsa ingin melawan. Hanya saja ada Gibran. Elsa nggak mau kelembutannya turun beberapa persen.

"Tapi Agnes, kata lo."

"Gak penting. Gue pergi dulu."

Mira lekas menuju kelas Gibran. Tak henti-hentinya Mira memuji diri karena berhasil menyindir Elsa. Padahal Mira sama sekali tak berani berumpat kasar. Apalagi menyindir ratu drama kayak Elsa.

Tapi Mira kepalang emosi. Selain karena Elsa merebut perhatian Gibran, Mira sangat jijik dengan cewek macam Elsa. Dimana cewek itu terlalu berlebihan menunjukkan perasaannya.

"Ten--"

"Elo pokoknya gantiin selusin!" bentak Tena di depan pintu membuat jantung Mira seketika ingin copot.

"Mira?" panggil Tena tak percaya. Kontan Tena merasa bersalah. "Gue ngagetin ya? Sorry, Mir. Gue lagi emosi sama siluman gayung ini soalnya," sindir Tena pada Fahri yang saat ini sudah terisak.

"Fahri kenapa?" tanya Mira khawatir dan mencoba medekati Fahri memberikan kekuatan.

Entah kenapa, Tena merasa tak suka. Tena lantas menahan pergelangan Mira agar tak menghampiri Fahri.

"Gapapa. Dia pantes digituin. Gak usah dipuk-pukin."

Mira akhirnya mengurungkan niatnya. Tapi tatapan Mira masih tidak lepas dari keadaan Fahri yang begitu menyedihkan.

"Elo mau apa ke sini?" tanya Tena mengalihkan perhatian Mira. Karena cowok itu sudah jengah melihat simpati Mira pada Fahri. Tena nggak suka.

"Ini gue mau balikkin buku biologi elo." Mira memberikan sebuah catatan dan diterima oleh Tena. "Thanks ya," sambung Mira.

"No problem. Gue seneng bantu lo."

"Yaudah gue pulang ya, Ten."

"Eh tunggu," tahan Tena membuat Mira kembali ke posisi awal dengan tatapan tanya.

"Pu-pulang bareng gue yuk," ajak Tena yang entah kenapa membuat perasaan Tena seketika gugup.

"Nggak bareng Fahri?"

Tena bergidik. "Sejak kapan gue bareng Fahri? Nanti gue disangka homo."

"Ih Tena m-maafin Fahri," rengek Fahri sembari sesenggukan mendengar Tena masih marah padanya.

"Cengeng banget sih lo, Ri! Udah ah elo ke toilet. Gue mau pulang. Nanti disangkanya gue udah apa-apain lo."

Fahri mengangguk sambil mengusap air matanya.

Tena pun pergi bersama Mira saling bersampingan. Dan tanpa sadar ada salah satu dari mereka yang berharap lebih. Ataukah keduanya juga?

Entahlah. Perasaan manusia, siapa yang bisa menebak. Waktu akan terus berputar maju. Dan pasti menjawab semua rahasia semesta yang disembunyikan hari ini.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro