Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8

"Thanks ya kalian udah dateng," ucap Mira di ambang pintu rumahnya.

Hari ini Mira tidak bisa berkata banyak untuk mendeskripsikan apa yang dirasakan. Hanya kata bahagia yang tak mungkin Mira hapus secara mudah dari otaknya.

Ilusinya yang selalu hadir setiap tahun, sekarang benar-benar terjadi. Manusia mana yang tidak bahagia kala salah satu angannya menjadi nyata?

"Iya, Mir. Udah kewajiban. Apalagi gue sama elo kan waktu kelas delapan pernah sekelas," ujar Tena pada Mira.

Mira tersenyum. Begitu mensyukuri karena kedatangan Tena yang tak pernah disangka sebelumnya.

Mengingat Tena jarang sosialisasi sama cewek. Waktu kelas delapan pun, Tena seolah menciptakan jarak pada spesies yang namanya cewek. Kalau butuh pun Tena kayak yang ogah-ogahan banget.

"Elo juga, Nes. Maaf kalo gue udah ganggu waktu lo," ucap Mira merasa tak enak.

Agnes mengendikkan bahunya dengat raut wajah datar. "Gapapa. Jangan dipikirin."

"Hmm..., Ri. Gu--"

"Fahri seneng kok deteng ke rumah Mira. Kue enaknya. Ehh kuenya enak maksud Fahri. Nanti sering-sering undang Fahri ya," potong Fahri dan sukses mendapat toyoran di dahi dari Tena.

"Gak tau malu banget lo! Bukannya bilang maaf ngerepotin," cerca Tena.

Fahri mengusap dahinya. "Fahri kan jujur." Alhasil cowok itu cemberut.

"Yaudah deh, Mir. Kita pulang dulu ya," izin Tena. "Salamin ke bonyok elo, ya."

"Iya nanti gue salamin. Kalian juga hati-hati. Maafin gue ya gak bisa nganter ke gerbang. Gue gak enak sama nyokap gue. Apalagi Bi Odah lagi pulkam."

"Gapapa. Kita nggak akan nyasar kok!"

Mereka pun melambaikan tangan dan Mira berpisah dari teman-temannya dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, ada satu harapan yang tersirat jelas di matanya.

Di depan gerbang rumah Mira, Agnes melambaikan tangannya singkat pada Tena dan Fahri yang sudah duluan pulang. Sebab Tena membawa motor dengan Fahri yang di boncengannya.

Sebenarnya, dari awal Tena ingin menawari Agnes untuk diantar sampai rumah. Lantaran Agnes itu cewek dan bahaya kalau jalan malam-malam sendirian. Tapi Tena lebih khawatir Fahri.

Cowok itu selain ranking terbawah, untuk masalah pulang ke rumah cowok itu suka kesasar. Ditambah kenaifan Fahri yang mudah kena tipu orang. Untung kalau pulang sekolah angkotnya berhenti di depan rumah Fahri, jadi Fahri akan aman.

Berhubung Agnes mengatakan kalau dia baik-baik saja, Tena jadi tenang. Selain karena Agnes meyakinkan seperti biasa, Agnes punya muka yang menyeramkan. Ah bukan seram maksudnya. Melainkan wajah Agnes yang buat orang-orang jadi malas berpapasan dengan Agnes.

Kembali lagi pada keadaan Agnes. Saat ini cewek itu sedang berjalan sendirian di samping jalan. Karena rumah Mira yang jauh dari jalan raya. Alhasil Agnes harus berjalan untuk mendapat angkutan umum.

Raga Agnes mungkin sekarang masih memijak bumi. Tapi jiwanya tak mungkin berada di tempat. Karena manusia mustahil berhenti untuk berpikir.

Agnes masih tidak bisa tenang. Gibran sepertinya memang marah pada dirinya. Buktinya Gibran tidak menunjukkan batang hidungnya di rumah Mira. Tahu begini, harusnya Agnes tak banyak berharap selama di rumah pesta tadi. Agnes sebaiknya mengukur setinggi apa harapannya soal kedatangan Gibran. Agar jatuhnya pun tak sesakit ini.

Tanpa sadar, Agnes ternyata sudah besar kepala. Gibran tak mungkin sebaik itu. Gibran pasti sudah lelah utuk mengejar Agnes.

Terlalu lama pikiran Agnes berkelana, sebuah lampu motor menyorot ke arahnya bersamaan dengan datangnya motor itu. Membuat pelopak mata Agnes memincing karena silau.

Perasaan Agnes sedikit timbul harapan ketika mengetahui siapa manusia yang sekarang mengarah padanya.

Sepertinya Tuhan mengabulkan doa Agnes, motor itu berhenti di samping Agnes. Dan mesinnya pun masih dinyalakan.

Sang pengendara menoleh.

"Elo pulang?" tanya Gibran sedikit berteriak dengan nada suara yang begitu dingin. Hati Agnes berdenyut perih. Ini bukan Gibran yang ia kenal. Gibran tidak mugkin bersikap acuh tak acuh seperti ini.

Di sisi lain, Gibran berusaha terlihat cuek dan biasa saja. Padahal hati Gibran sedang bergempita bahagia karena mendapati Agnes baik-baik saja. Sebab sepanjang perjalanan hati Gibran tak bisa tenang begitu saja mengenai keselamatan Agnes. Barusan Tena meneleponnya dan mengatakan bahwa Agnes tidak ada yang mengantar sampai rumahnya. Jadilah Gibran ngebut bak Valentino Rossi yang nyalip sana-sini.

Dan entah dapat ide dari mana, kali ini Gibran akan jual mahal. Berusaha cuek sama cewek jutek nggak salah, 'kan? Gibran akan berusaha tega.

Maaf, sekarang Gibran nggak semurah biasanya.

"Iya. Elo juga?" sahut Agnes.

"Elo bisa liat," jawab Gibran singkat. "Yaudah lo hati-hati."

Gibran hendak melajukan kembali ninjanya. Tetapi Agnes serta-merta menahan lengan Gibran. Gibran tadinya ingin melompat bahagia. Akhirnya setelah sekian lama, Agnes mau bergerak sendiri tanpa ada paksaan.

Tidak sia-sia Gibran sedari tadi menahan euforianya.

"Elo marah?" tanya Agnes dengan raut datar.

Gibran membuka helmnya.

"Marah kenapa?" tanya Gibran sambil mematikan motornya dan hendak mengulik lebih dalam apa yang ingin dikatakan Agnes.

Apa mungkin Agnes akan mengatakan maaf untuk pertama kalinya?

Tahu begini Gibran harus membuat piagam penghargaan karena bisa merubah Agnes begitu sifnifikan.

"Gue kan nanya. Lo marah?"

Gibran mengendikkan bahunya berusaha mempertahankan harga dirinya yang selalu turun di depan Agnes.

"Kalo iya. Kenapa?"

Agnes menghela napasnya panjang. Tampak memilah-milah kata, terlihat dari pandangannya yang mengarah ke arah lain.

"Lo mau gue traktir bakso Bu Ati yang di depan rumah gue?" tanya Agnes sekonyong-konyong tanpa ada keraguan di dalam nada bicaranya.

Bolehkah Gibran sekarang memekik bahagia?

Ahh tidak, jangan. Saat ini Gibran mau tahan harga. Eh tapi ini bakso masalahnya. Makanan kesukaan Gibran! Satu-satunya makanan yang bisa bikin air liur cowok itu menetes cuma dengar namanya. Apalagi makannya sama Agnes. Jadi nambah mantap, 'kan.

"Yaudah kalo lo--"

"Eh gue mau!" potong Gibran lugas. Biarlah Gibran jadi murahan lagi. Karena kesempatan emas ini nggak bisa Gibran sia-siakan begitu saja.

Agnes menatap Gibran. "Elo mau banget ya gue traktir?"

Kalau yang nanya itu orang lain pasti disebut sedang bergurau. Kalau Agnes malah kedengarannya kayak yang mengancam; elo mau mati?

"Lo niat gak sih nraktir gue?" tanya Gibran cemberut.

Agnes tak kuat melihat wajah lucu Gibran. Jadinya Agnes mengulas senyumnya tipis. Tipis banget malahan. Bahkan Gibran yang melihatnya harus berkedip berkali-kali.

"Elo senyum?" tanya Gibran sambil meredam detak jantungnya yang berdentam-dentam. Lagi-lagi Gibran harus jatuh cinta pada hal kecil yang jarang dilakukan Agnes.

Ketahuan, otomatis Agnes memasang wajah seramnya kembali. "Mau gak?"

"Iya deh iya. Ayo naik ke motor gue."

Dan malam itu, perasaan Agnes semakin dirambak rasa bersalah.

Gibran ternyata masih meluangkan waktunya untuk menemani Agnes. Membuat cewek itu berpikir. Apakah sebuah tindakan masih bisa dianggap pantas daripada sebuah ikrar?

**

Sudah sejam berlalu, Tena tidak bisa menutup matanya. Tugas sekolah sudah diperiksa berkali-kali hingga Tena bosan. Berharap kantuk dapat menjemputnya secepat biasa.

Tapi jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Tena yang biasanya jam segini sudah membuat pulau Kalimantan di bantal, masih sadar alias tidak ada kantuk sama sekali.

Otak Tena selalu otomatis memutar kejadian selama di pesta Mira tadi. Ya mungkin bukan disebut pesta, melainkan sebuah perkumpulan keluarga dan teman. Meski begitu, Tena merasakan sesuatu yang berbeda.

Apalagi ketika mengingat Mira memberikan potongan kue keduanya pada Tena. Bohong kalau Tena tidak senang. Justru jantung Tena berdentum kencang ketika Mira menatapnya sambil memberikan kue yang mungkin tidak seberapa itu.

"Kok gue inget Mira terus ya?" tanya Tena bermonolog sambil menatap langit-langit kamar yang minim pencahayaan.

Suaranya, wajahnya bahkan bagaimana Mira tersenyum sukses memberikan perasaan aneh yang tak pernah Tena rasakan.

"Ah paling dia ngasih karna gue paling normal kali ya. Kalo Agnes nggak mungkin. Dia kan jahat mulu. Apalagi si Fahri. Gue aja najis ngasih permen sama dia."

Tena terus saja berspekulasi maksud dari tindakan Mira tadi yang memberikan potongan kue kedua. Dan berarti orang kedua yang Mira sayang.

Tena berusaha nggak baper. Tena ingin menggunakan akal sehatnya kalau Mira ngasih itu cuma atas nama teman. Nggak lebih.

Tapi nyatanya, perbuatan Mira sudah menjadi makna lain di hati Tena. Mengaktifkan sesuatu yang tidak pernah Tena gunakan. Perasaan? Apa saatnya Tena menggunakan perasaan di tengah canggihnya otak Tena?

Mau bagaimana lagi. Tena sedang di usia remaja. Mau cowok, mau cewek, pasti perasaan yang dominan. Apalagi manusia yang kurang perhatian kayak Tena. Dapat perhatian kecil saja sampai nggak bisa tidur kayak gini.

Apa mungkin Mira suka sama Tena?

Ah Tena tidak ingin terlalu berharap. Lebih baik Tena berusaha keras untuk tidur meski besok libur. Tena tidak mau merusak rekornya yang tidak pernah terlambat bangun. Walaupun Tena juga ragu kalau dia bisa tidur cepat malam ini.

Kendati seperti itu, Tena tidak bisa menapik kalau ia bahagia misalnya spekulasi terakhir itu benar.

Semuanya tinggal menunggu waktu. Mana yang terjadi.

Dan pilihan Tena berharap atau tetap biasa aja pada Mira akan menjadi penentu kisah apa yang akan Tena jalani di masa depan.

Karena tidak ada yang bisa menebak semesta akan memberi kejutan apa lagi. Bisa jadi ekspetasi jauh dari realita. Teori dan kepercayaan bisa jadi berbeda dari apa yang terjadi.

Semuanya ada di tangan Tena. Oh dan satu lagi. Pilihan Mira juga. Apa dia memang menyimpan hati pada Tena?

Ataukah....

Hanya sebuah pengharapan semu belaka?

**

Sepulangnya makan malam bersama Gibran di tukang bakso yang menjadi favorit mereka berdua, Agnes mendapati rumahnya sudah gelap. Ia melihat jam dinding yang terlihat dicahayai oleh sinar bulan.

Jam sepuluh malam kurang lima belas.

Gibran benar-benar membuat Agnes lupa waktu. Walau Gibran sering menggoda Agnes hingga berkali-kali membuat cewek itu tersenyum, Agnes tetap betah. Bahkan ingin lama-lama bersama Gibran jikalau waktu tak membatasi.

Agnes berjalan menuju kamarnya. Ketika hendak membuka knop pintu, Agnes sedikit dikejutkan oleh panggilan lembut sang Bunda.

"Apa, Bu?"

Nina --Ibunda Agnes tersenyum. "Baru pulang?"

"Ibu liatnya?" tanya Agnes cuek tanpa memperhatikan sama sekali nada bicaranya yang terdengar tak sopan.

"Besok bapakmu pulang, Sayang."

Tubuh Agnes seketika kaku. Perasaannya yang daritadi sudah malas karena harus berhadapan dengan ibunya, sekarang sudah tak bisa diartikan apapun lagi.

"Yaudah jangan bangunin Agnes besok."

"Tapi--"

"Udahlah, Bu. Agnes cape. Jangan ngomongin masalah itu lagi. Agnes mau tidur," ucap Agnes lantas membuka pintu kamarnya. "Dan jangan bangunin Agnes sampe bapak pergi."

Hingga akhirnya cewek itu benar-benar menghilang dari pandangan Nina.

Nina menghela napasnya panjang. Lagi-lagi ia merasa gagal menjadi seorang ibu. Agnes saat ini sangat jauh untuk disentuh. Bahkan oleh ibu kandungnya sendiri.

Hati dan pikirannya, Nina sama sekali tidak bisa memahaminya. Jika saja dulu ia tak mementingkan ego, apa Agnes tidak akan menjadi pribadi seperti sekarang?

Nina tidak bisa memprediksinya. Seandainya bisa, Nina tidak akan merasakan penyesalan sedalam ini.

Keluarganya yang dikira akan kembali harmonis, ternyata tetap mengalami perang dingin yang entah kapan akan berakhir. Bahkan Nina ragu, apa konflik ayah dan anak itu akan selesai?

Sedangkan keduanya memiliki ego yang sama-sama kuat serta harga diri yang tinggi untuk terus dipertahankan. Kedua-duanya tidak mungkin ada yang mau mengalah duluan.

Suaminya yang berwatak keras dan Agnes yang ada di dalam masa remaja. Nina tidak tahu. Kapan keduanya akan berdamai.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro