Bab 7
Satu per satu undangan datang kian meramaikan halaman depan rumah Elsa yang terhampar luas.
Halaman yang luasnya hampir menyamai setengah lapangan sepakbola itu sudah terhias lampu berkelap-kelip di beberapa tanaman. Meja kursi yang sudah dibalut kain putih, dipasang di beberapa titik. Belum lagi jajaran makanan manis serta minuman berwarna oranye, menambah keindahan halaman ini.
Belum lagi ikon utama; kue bertingkat tiga bernuansa cokelat dan putih serta di puncaknya ada lilin bentuk angka tujuh belas, berdiri gagah di atas sebuah meja tepat di depan teras rumah Elsa.
Sang pemeran utama kini berdiri di tengah ingar-bingar pesta berlatar lagu Despacito itu. Dengan ekspresi wajah penuh harap sembari sesekali melihat ponselnya.
"Elo kenapa?" tanya Novi yang baru tiba sambil bercipika-cipiki dengan Elsa.
"Gue nungguin Gibran," sahut Elsa dengan senyum yang dipaksakan.
"Emang dia bakalan dateng?"
"Dia udah janji."
Novi mengangguk. Tidak ingin memberikan hasutan buruk pada Elsa. Karena hari ini adalah hari spesial buat cewek itu dan Novi tidak ingin menghancurkannya. Sayang kalau otaknya hanya dipenuhi rasa keraguan soal kedatangan Gibran.
Novi tadinya mau bilang, namanya cowok susah kalau nempatin janji. Apalagi buat cewek yang tidak dia suka. Palingan bisa saja Gibran datang. Maksudnya datang buat ngapelin mantan pacar. Siapa sih namanya? Ahh itulah, Novi lupa.
Jadi, daripada aura jahanamnya menghasut Elsa, lebih baik Novi menghampiri makanan-makanan yang sedari tadi melambai ke arahnya.
"Sa, pestanya kapan dimulai?"
Elsa menoleh. Terlihat Evan --lawan mainnya di teater.
"Bentar lagi, Van. Sorry ya," jawab Elsa dengan rasa tidak enak. Evan mengangguk maklum. Kemudian meninggalkan Elsa.
Sepeninggalnya Evan, cewek dengan balutan gaun yang melebar di pinggul serta panjangnya tak sampai ke lutut itu, mengedarkan pandangannya. Hampir seluruh undangan telah tiba.
Ngomong-ngomong, orang-orang yang diundang Elsa adalah mereka yang memiliki ketenaran sendiri di SMA Perjuangan alias mereka yang ikut organisasi dan membuat namanya terkenal.
Seperti seluruh anggota teater, OSIS, MPK, Kapten basket, Futsal, danton Paskibra serta komandan PMR. Elsa memang pemilih masalah orang yang diundang. Sebab Elsa paling malas untuk berkenalan dengan orang baru. Alhasil hanya orang-orang tertentu yang diundang olehnya.
Sudah hampir setengah jam, pesta yang harusnya diselenggarakan jam tujuh belum juga dimulai.
Beberapa undangan sudah mulai bosan terlihat dari beberapa orang yang melirik jam tangannya. Membuat Elsa semakin dirundung rasa takut kalau Gibran tak datang.
Ketidakdatangan orangtuanya hari ini, sudah cukup membuat Elsa sedih. Jangan sampai Gibran pun tak datang. Elsa nggak mau. Ulang tahun ketujuhbelasnya ini harus spesial tanpa diganggu gugat.
"Sa, mulai aja pestanya. Kasian anak-anak udah pada nunggu," ujar Novi sedikit keras karena alunan lagu Despacito yang menjadi latar pesta Elsa kali ini.
Elsa menggigit bibir bawahnya khawatir kemudian menatap sekilas gerbang rumahnya yang terbuka lebar. Elsa menghela napas panjang lantas mengangguk dengan berat hati.
Cewek itu berjalan anggun menuju letak ikon pesta malam ini. Berdiri di sampingnya dengan senyum yang berusaha dibuat tulus. Setidaknya Elsa harus menghargai mereka yang meluangkan waktunya untuk datang malam ini.
Elsa menepuk tangan dan lagu berhenti. Sorot semua orang kini mengarah pada cewek cantik yang sudah terkenal lihai di atas panggung itu. Elsa sedikit gugup. Meski Elsa sudah terbiasa dipandang banyak orang, Elsa tetap saja deg-degan.
"Gue mau bi--"
"Maaf, gue telat," potong seseorang membuat Elsa sempat menghentikan napasnya. Atensi undangan serta-merta menatap cowok yang sedang berjalan ke arah tokoh utama pesta malam ini.
"Elo dateng?" tanya Elsa dengan tatapan penuh kebahagiaan.
Gibran tersenyum sambil mengelurakan sebuah kubus berukuran sedang dan dilapisi kertas kado bergambar kartun Frozen dari punggungnya.
"Hadiah buat kakaknya Anna," ucap Gibran membuat Elsa kontan memeluk Gibran erat dan menciptakan jeritan khas para jones serta decakkan kesal dari fansnya Gibran.
"Gue kira elo gak dateng, Gib." Elsa menghapus air mata bahagianya di sela pelukan eratnya.
Gibran mengusap punggung Elsa lembut. "Gue gak mungkin ngelanggar janji gue sama elo, Sa."
Kebahagiaan Elsa semakin bertambah. Ia yakin, suatu saat Gibran akan kembali. Memprioritaskannya seperti saat ini. Elsa tinggal menunggu.
Entah kapan, Elsa akan terus bersabar. Demi Gibran. Demi bahagianya.
**
"Elo nggak dateng ke ultah Mira?" tanya seseorang membuat Gibran menoleh sambil mengunyah kue manis.
Gibran lantas menelan makanannya. "Elo tau Mira ultah hari ini?"
Gladys mengedikkan bahunya. "Iya. Soalnya si Tena nggak dateng. Kan dia OSIS. Pas kita mau berangkat, dia bilangnya nggak akan pergi. Dia mau ke rumah Mira, gitu katanya."
Gibran mengangguk paham. Gibran lupa kalau Gladys dan Tena itu sepupuan. Berhubung orang tua Gladys sedang liburan ke luar negeri, jadilah Gladys tinggal di rumah Tena dulu.
"Elo kenapa nggak ke sana? Kalau ada Mira pasti ada Agnes, 'kan?"
Gibran menghirup napas pelan sambil melihat Elsa yang saat ini tengah mengobrol dengan beberapa kenalannya.
"Gue udah terlanjur janji sama Elsa."
Gladys terdiam sebentar. Meresapi jawaban Gibran yang terdengar ragu.
"Pasti bukan itu aja alasannya ya?"
Gibran memandang Gladys penuh tanda tanya.
Gladys tergelak. "Elo itu mudah ditebak tau nggak?"
"Oke. Emang ada," sahut Gibran dengan raut wajah putus asa.
"Pasti soal Agnes," tebak Gladys tepat sasaran.
Mau nggak mau Gibran mengangguk. Sebagai seorang ekstrovert, Gibran paling tidak bisa menyimpan rahasia. Jadinya begini, Gibran hendak jujur masalahnya tentang Agnes.
"Ya gitu, Dys. Agnes nggak jawab perasaan gue. Gue jadi gimana gitu kalo ketemu."
"Elo nembak Agnes lagi? Dan dia nggak jawab, gitu?" tanya Gladys seolah tak kaget lagi tentang persoalan yang menimpa Gibran saat ini.
Gibran mengangguk lemas mengingat kejadian tempo hari yang berhasil membuat hidupnya tak bergairah lagi.
Tawa Gladys berderai lantas berpangku tangan memandang Gibran. "Elo sakit hati, Gib?"
"Lo pikir aja sendiri. Siapa coba yang nggak sakit hati cintanya ditolak?" sungut Gibran melihat Gladys mencemoohnya seakan permasalahan Gibran adalah hal yang sepele.
"Nggak jawab bukan berarti ditolak, 'kan?"
"Maksud lo?" Gibran mendadak penasaran dengan ucapan Gladys penuh makna itu. Raut wajah cewek itu pun berubah serius.
"Lo tau kan Agnes itu orangnya gimana?"
Gibran mengangguk ragu.
"Orang kaya Agnes emang tertutup soal perasaan. Dan elo sebagai orang yang suka sama Agnes, seharusnya ngerti soal cewek itu. Bukannya nyerah kaya gini. Lo harus ulik terus perasaan Agnes sampai dia jujur. Jangan jadi pengecut kaya gini," papar Gladys arif.
"Kalo hasilnya sama aja?" sahut Gibran meremehkan.
Gladys berkacak pinggang melihat Gibran yang terlalu pesimis. Padahal kan biasanya Gibran yang selalu menjadi dorongan orang-orang untuk semangat. Khususnya buat cewek.
"Emang cowok yang bisa deket sama Agnes selain lo siapa? Agnes itu paling nggak bisa kan nerima orang baru."
Gibran tampak berpikir. Apa yang dikatakan Gladys memang benar. Agnes cenderung tertutup pada orang-orang.
Kalau soal cowok, Gibran memang menjadi yang terdepan. Mengingat kalau Tena pasti membenci Agnes. Kalau Fahri, itu nggak mungkin. Masalahnya Fahri itu takut pada Agnes. Jadi yang berpeluang bisa dapetin Agnes itu cuma Gibran. Dan cewek mau sepinter-pinter apapun, pasti yang kena itu perasaannya.
Paling nggak Gibran harus buat Agnes baper. Bukannya ninggalin kayak gini. Kalau Gibran jadi pengecut, bukannya Agnes juga akan meragukan perasaannya? Ketika Agnes Agnes ragu, gimana Gibran mau dapetin Agnes lagi?
Kemana aja, Gibran? Kenapa cowok itu baru sadar ketika orang lain yang mengatakannya? Bukannya peka duluan?
"Jadi gue harus apa?" Gibran memelas, sadar soal kecerobohannya.
"Susulin dia, buktiin elo masih ada buat dia," kata Gladys lugas, penuh keyakinan.
Gibran mengangguk antusias. Semangatnya tercharge kembali oleh wejangan Gladys. Meski cewek itu tinggi hati, nyatanya kalau urusan begini, lebih jago daripada Gibran yang rendah hati. Tahu begini, Gibran harus menjadikan Gladys sebagai pakarnya kalau masalah hati.
Dan Gladys sekarang hanya menatap Gibran yang kesenangan minta ampun. Cowok itu berlari meminta izin pada Elsa. Kemudian langsung berbalik lagi ke gerbang tanpa menggubris panggilan Elsa.
"Satu hati patah lagi," ujar Galdys sambil menatap raut terluka di wajah Elsa.
Gladys jadi mengingat pertemuannya dengan Agnes tempo hari. Hari yang membuat Gladys memantapkan diri untuk bisa merelakan Gibran pada Agnes.
Nyatanya, spekulasi yang ditancapkan di otak Gladys berbanding terbalik pada kenyataan kalau Agnes memang pantas untuk Gibran.
Kata-kata Agnes itu masih jelas teringat di otak Gladys.
"Gue emang nggak kayak kalian yang bisa dengan mudah bilang suka, rela sakit hati walau ditolak. Tapi itu yang menjadi ujian buat kalian. Dan gue, gue tau gue diterima sama Gibran. Tapi yang menjadi ujian buat gue adalah gue gak bisa bilang suka sama orang secara langsung. Karena bilang gitu sama aja untuk nyuruh gue mati. Asal lo tau, gue akan berusaha. Gue akan berusaha untuk nunjukkin perasaan gue lebih besar daripada kalian. Meski bukan dengan ucapan."
Sejak itu, Gladys sadar. Semua orang punya tantangan masing-masing untuk mengejar cintanya. Dan pastinya akan berbeda-beda.
Untuk Gladys, mengejar Gibran tantangannya adalah ditolak. Bagi Agnes, untuk mengucapkan kata cintalah yang menjadi tantangan.
Sehingga Gladys tidak akan menilai lagi usaha seseorang. Lantaran mereka punya tantangan dan usaha masing-masing untuk mengejar tujuannya.
**
"Happy birthday, Mira...." Suara lagu ulang tahun kini menggema di rumah megah Mira. Semua orang; orang tua Mira, Tena, Fahri dan Agnes, bertepuk tangan sambil tersenyum bahagia di depan Mira. Hmm..., kecuali Agnes tentunya. Cewek itu memang bertepuk tangan, tapi rautnya tetap masam dan mulut ditutup rapat.
Mira tak pernah menghapus binaran kegembiraan di wajahnya. Mimpinya untuk mengadakan ulang tahun bersama teman-temannya sekarang sudah terwujud.
Tahun ini begitu berbeda. Biasanya hanya Mama dan Papa yang merayakan pesta ultah Mira. Sekarang ada teman-teman Mira ikut menyanyikan lagu ulang tahun itu.
Walau Mira tahu pesta ini jauh dikatakan meriah dibandingkan pesta Elsa, Mira tetap bersyukur. Setidaknya masih ada orang yang mau meluangkan waktunya untuk Mira.
Selesai lagu mengalun, Mira menutup matanya dengan kedua tangan dikatup di bawah dagu. Lantas membuka kembali kelopak matanya sambil meniup lilin berangka tujuh belas tahun di depannya.
Kontan, rumah yang tadi terasa senyap mendadak riuh karena tepuk tangan orang-orang di dalamnya.
Sekali lagi, Mira merasa bahagia.
"Nih kamu potong kuenya, Sayang," ujar Diah --Mama Mira sembari memberikan pisau khusus untuk memotong kue. Mira menerimanya dengan senang hati. Tanpa mengulur waktu, Mira memotong kuenya beberapa bagian. Kemudian diletakkan ke masing-masing piring kertas yang sudah tersedia.
"Ini buat Mama sama Papa." Mira memberikan sepiring kue pada pasangan paruh baya itu.
"Makasih, Sayang," kata Mama sambil memeluk Mira erat. "Semoga sehat selalu dan bisa banggain Mama sama Papa."
Kini giliran Ridho --Papanya Mira mengecup kening anaknya itu lantas memeluknya erat. "Panjang umur, Sayang."
Mira melepaskan dekapan Papa dan mengangguk. "Makasih Ma, Pa, doanya."
"Iya. Mama sama Papa ke ruang makan dulu untuk siapin makanannya, ya," ujar Mama sambil mengusap anak semata wayangnya itu.
"Jadi kue kedua mau dikasih siapa, Mir?" tanya Tena nggak tahu malu memecah momen sentimental tadi.
Mira menggigit bibir bawahnya malu. Kalau ditanya seperti tadi, pasti orang kedua yang Mira sayang untut mendapat kuenya setelah orang tua. Tapi Mira mana berani.
"Siapa, Mir?" Tena mulai penasaran. Fahri menatap kue bertingkat dua itu dengan tatapan lapar. Kalau Agnes sih bodo amat. Yang penting dapat kue.
Beberapa lama, Mira meraih kue yang sudah ditatanya tadi. Dia kemudian mengulurkannya ke depan Tena.
"Woaaaa... lo kasih ke gue?"
Mira mengangguk dan kembali mengambil dua piring kue lain.
"Nih buat lo, Nes."
"Nih," tawar Mira pada Fahri. Fahri menatap kue itu penuh rasa damba.
"Akhirnya...." Dengan nggak tahu malunya, dalam satu suapan Fahri menghabiskan kue ultah Mira.
Untung saja yang ulang tahun itu Mira dan yang datang juga orang yang tahu Fahri banget. Tapi tetap saja, Fahri malu-maluin buat yang kenal sama dia.
"Elo kaya bocah, Ri," sindir Tena dengan tatapan menjijikkan. Kalau Agnes jangan ditanya, cewek itu udah anteng sama kuenya.
Meski begitu, Agnes tak sepenuhnya menikmati kue penuh coklat itu. Agnes sesekali menatap pintu kembar Mira yang tertutup rapat. Seolah mengharapkan sesuatu yang bisa membukanya dan ingin tahu ada apa di baliknya.
Alias, Agnes menginginkan Gibran mengetuk pintu itu dan membukanya lebar. Walau terlambat, Agnes tetap menginginkan kehadiran Gibran. Agnes ingin mengatakan maaf. Meski Agnes pun ragu bisa mengatakan itu.
"Kita ke ruang makan, yuk!" ajak Mira membuyarkan lamunan Agnes.
Agnes mengangguk. Meski berat, Agnes tetap melangkahkan kakinya mengikuti yang lain dari belakang. Dan terakhir kalinya, Agnes memandang pintu rumah Mira.
Gue harap lo datang, Gib batin Agnes berdoa dan ia pun benar-benar menghilang menuju ruang makan dengan perasaan penuh harap.
**
Tbc tralala~
See u next update😆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro