Bab 5
Nasib manusia tidak ada bisa menebak. Misalnya, kalau kena sial awalnya siapa tahu dapat untung nantinya.
Tidak ada yang bisa memprediksi.
Kayak yang dialami Gibran sekarang. Waktu pagi dapat sial karena jam istirahatnya dipotong gara-gara Fahri. Sekarang dia kena durian untung. Alias bisa kencan sama Agnes lagi.
Bisa jadi sekarang itu balasan untuk Gibran lantaran sudah membantu Zaki sewaktu istirahat tadi.
Sekali lagi, tidak akan ada yang tahu.
"Kok ke mall sih? Kita kan mau ke toko buku!" sembur Agnes setelah turun dari motor Gibran.
Memang Agnes banget. Belum apa-apa sudah ngambek. Gibran makin gila. Cowok itu malah senyum-senyum sambil melepas helmya dan berdiri di depan Agnes.
"Kan di mall ini juga ada toko bukunya, Nes."
"Ih tapi--"
"Udah, bawel banget lo!" Gibran memotong protesnya Agnes. Dan cowok itu menarik lengan Agnes sambil tersenyum kemenangan.
Lagi-lagi Gibran modus.
"Nggak usah pegang-pegang."
Agnes menghempaskan cekalan Gibran. Gibran memang punya kesabaran banyak sepertinya. Kalau cowok lain mungkin sudah kabur terbirit-birit waktu lihat Agnes ngamuk.
Ungkapan cinta itu buta kayaknya pas banget sama yang diderita Gibran sekarang.
"Eh mau ke mana?" Gibran menarik lengan Agnes kembali sebab Agnes berbelok ke arah toko buku.
"Elo buta? Ini toko bukunya, Gibran."
"Iya, gue tau."
"Trus?" tanya Agnes dengan alis tertaut.
"Kita jalan-jalan dulu aja, ya?" tanya Gibran dengar kerlingan matanya.
"Tap--"
"Jangan bilang enggak, oke?" potong Gibran (lagi). Dan Agnes harus nurut (lagi).
Agnes sebenarnya bisa menolak, bisa teriak dan bisa mengancam Gibran. Semuanya bisa. Cuma nggak tahu kenapa, Gibran seolah punya mantra agar Agnes terus-terusan menaati titahnya.
Entah sejak kapan, Agnes juga lupa. Yang Agnes tahu cuma ia bahagia waktu Gibran menggenggam tangannya seperti saat ini.
"Gibran!"
Gibran kontan berpaling ke belakang untuk mengetahui suara siapa yang memanggilnya itu. Diikuti oleh Agnes juga.
"Gladys?"
Jantung Agnes mendadak sakit. Dadanya kepanasan. Gibran kenal sama cewek lain lagi. Bahkan cewek itu juga kenal pada Gibran.
Apa ada cewek yang tidak kenal pada Gibran? Pasti setiap orang yang baru kenal Gibran pun akan mengingatnya sepanjang masa. Mengingat Gibran tipikal manusia ramah dan memberi kesan yang baik pada semua orang.
Mau tak mau, Agnes harus memperhatikan percakapan mereka berdua.
Ngomong-ngomong, Agnes pernah melihat cewek itu. Seragamnya sama dengan apa yang dikenakan oleh dirinya. Hanya saja Agnes terlalu cuek kepada orang-orang. Bahkan Agnes nyaris tidak kenal pada teman-teman sekelasnya.
Apalagi cewek yang disapa oleh Gibran ini.
"Elo ngapain di sini, Dys?"
"Gue lagi main sama dia tuh," tunjuk Gladys ke belakang. Terlihat cowok yang sedang melambai ke arah Gibran dan tangan kanannya sedang menjinjing hasil belanjaaan sepertinya.
"Gue Firman." Cowok itu memperkenalkan diri setelah ada di hadapan Gibran dan Agnes. Kemudian Gibran maupun Agnes melakukan hal yang sama.
"Kalo lo ngapain di sini, Gib?" tanya Gladys pada Gibran.
"Kencan," jawab Gibran melirik Agnes membuat cewek itu mendengus kesal.
Gladys memperhatikan Agnes dengan tatapan menilai. Seakan Agnes tak pantas untuk berdiri di samping Gibran seperti sekarang.
Kesal? Tentu. Dari awal mengenal Agnes, Gladys tak suka.
Btw, Gladys itu cewek terkenal di kelas IPS. Gladys cantik, cuma dia sombong. Nggak pinter-pinter banget, tapi Gladys kalau dalam bidang modern dance dapat diancungi jempol.
Intinya Gladys itu kayak cewek-cewek tenar umumnya. Sejenis Elsa kalau di kelas IPA.
Dan ya bisa ditebak. Kalau Gladys adalah salah satu dari sekian juta cewek SMA Perjuangan yang kena virus baper Gibran.
Mengetahui Gibran punya gandengan, Gladys tentu tidak bisa diam. Gladys harus tahu, cewek macam apa sih Agnes itu? Sampai-sampai Gibran ngejar-ngejar walau sering dibentak sekali pun.
"Kita ke kafe yang di sana itu yuk!" tunjuk Gladys dan membuat Gibran menoleh. "Itu kafe tante gue, kebetulan masih baru. Trus gue dapet kupon gratisan juga. Pas kok buat empat orang."
Gibran mengangguk, "Boleh tuh. Gimana, Nes?" tanya Gibran. Agnes mendelikkan matanya.
"Gue gak ikut."
Gladys tidak membiarkan itu. Kalau Agnes pergi, bagaimana Gladys mau modus pada Gibran. Dan gimana Gladys mau mengulik soal Agnes? Gladys tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
"Tunggu," tahan Gladys pada Agnes. Agnes kontan berbalik ke posisi awal.
"Pergi yuk, Nes. Sayang banget kuponnya. Jarang-jarang gue bawa temen empatan kaya gini."
Gladys berusaha menopengi dirinya dengan kepura-puraan. Meski sebenarnya Gladys sendiri sudah jijik untuk berusaha berantusias dan merendahkan diri di depan manusia lain --mengingat Gladys sombong, apalagi pada Agnes.
Agnes memandang tangannya yang dicekal Gladys. Kemudian melihat Gibran. Dan cowok itu mengangguk sebagai kode kalau Agnes harus menyanggupi permintaan Gladys tadi.
Agnes memutar bola matanya, melepaskan genggaman Gladys dan mengendikkan bahu. "Oke."
Gibran tersenyum lega. Akhirnya Agnes mau mengikuti kemauan Gladys.
Baru disadari, ternyata Agnes sudah banyak berubah, menurut Gibran. Cewek itu beberapa kali mau menerima permohonan orang. Kendati secara tak langsung. Tapi itu sama saja telah menolong.
Gibran tidak tahu kalau itu merupakan efek dari kenal Gibran atau bukan. Gibran tidak terlalu memikirkannya. Yang penting sekarang, Agnes sudah berubah menjadi lebih baik.
**
Agnes tahu, seharusnya ia tidak mengikuti permintaan Gibran. Kalau Agnes punya mesin waktu, Agnes ingin kembali ke awal. Bukan menjawab 'oke', tapi harusnya bilang 'nggak mau'.
Kalau itu terjadi, mungkin saat ini Agnes tidak akan melihat pemandangan seperti sekarang. Pemandangan yang selalu menjadi momok bagi Agnes kala bersama Gibran.
Terlihat, Gibran dan Gladys sedang bercakap-cakap banyak hal. Entah itu tentang sekolah, kelas, bahkan keluarga. Padahal keduanya berbeda jurusan.
Agnes yang ada di samping Gibran berpura-pura tidak peduli. Hanya mencocol kentang gorengnya ke sambal dan sesekali menyeruput jus stroberinya. Meski sebenarnya ada sesuatu yang tak mengenakkan di dada Agnes. Sesuatu yang ingin ia katakan pada Gibran. Dan membuat makanan serta minuman Agnes kini terasa hambar.
"Nih deh lo cobain steaknya. Lembut banget, Gib," tawar Gladys sambil mengasongkan daging yang telah tertancap garpu itu di depan Gibran
"Nggak usah," tolak Gibran halus. "Makanan gue udah enak kok!"
"Sekali aja, Gib. Nih gue suapin. Ayo!" Gladys tetap konsisten dengan tawarannya. Gibran tak enak hati sebenarnya. Apalagi saat ini ada Agnes di sampingnya.
Akan tetapi, Gibran tak punya pilihan lain. Salahkan hatinya yang selembut malaikat.
"Iya deh!" jawab Gibran akhirnya sambil membuka mulut dan Gladys secara mudah menyuapi Gibran.
Lagi-lagi Agnes harus menahan sesak yang membuncah dadanya. Jantungnya terasa berdenyut ngilu. Seolah-olah ada tangan-tangan tak kasat mata yang terus-menerus meremas hati Agnes.
Agnes tidak rela. Pemandangan seperti itu sudah cukup menguras batin Agnes.
"Enak juga, Dys," puji Gibran sembari mengunyah daging sapi itu yang terasa meleleh di lidah.
"Tuhkan yang gue bilang. Mau lagi?"
"Gue ke toilet dulu." Agnes spontan berdiri sebelum mendengar jawaban Gibran.
Tak ingin mendengar suara dari siapapun itu, Agnes lekas pergi.
Gibran menatap kepergian Agnes yang tiba-tiba itu. Firasatnya mendadak buruk. Apa semuanya karena Gibran yang menerima suapan Gladys? Kalau karena itu, apa mungkin Agnes cemburu?
Kalau Agnes cemburu berarti.... Ah tidak, Gibran tidak ingin terlalu berharap banyak. Mungkin kebetulan saja keinginan Agnes ke toilet bersamaan dengan selesainya Gladys menyuapi Gibran.
Sementara itu, Gladys tersenyum miring di sela makannya. Akhirnya ia berhasil menyadari kalau Gibran tak pernah pantas untuk Agnes. Tinggal satu hal lagi, Gladys akan memberi penegasan pada Agnes bahwa Gibran akan selalu menjadi langit yang tak pernah tercapai oleh Agnes.
"Gue juga kebelet nih! Lo ngobrol sama Firman aja ya," izin Gladys lantas pergi meninggalkan Gibran dan Firman.
Di samping itu, Agnes sedang menatap pantulan bayangannya dari cermin. Memperhatikan dirinya yang lemah --tidak bisa berbuat apa-apa.
Hatinya tersakiti, namun Agnes tak bisa membela diri. Memang Agnes siapa? Apa berhak Agnes marah karena kedekatan Gibran dan Gladys? Bahkan untuk merasakan seperti itu, Agnes tidak pantas.
Agnes tidak menyesali hubungannya yang kandas, tapi Agnes sangat menyesali kenapa perasaan menyakiti itu hadir di dalam dirinya?
Jujur, Agnes tak pernah bisa kuat.
Tak lama, suara pintu toilet berdecit, menandakan seseorang masuk. Agnes menyeka pipinya yang sempat diluncuri oleh air mata. Kemudian memandang cewek yang saat ini melipat tangan di belakang Agnes melalui cermin.
"Kenapa?" tanya Agnes sambil memutar haluan menatap Gladys.
"Kalian balikan?"
"Enggak."
"Trus kenapa kalian jalan berdua dan Gibran nyebut kalian lagi kencan?" tanya Gladys spekulatif.
"Gibran yang mau ikut," jawab Agnes seolah tak terintimidasi sama sekali oleh tetapan Gladys.
"Gibran ikut senang hati? Tanpa elo yang minta? Berarti Gibran masih suka sama elo."
Agnes tertegun. Hatinya bergetar. Tetapi Agnes mencoba tetap tak gentar. "Trus?"
Gladys berdecak tak percaya. Hei! Ini itu Gibran Julian. Siapa yang bisa menolak cowok nyaris sempurna ini? Dan Agnes malah begitu santai menerima fakta itu?
"Elo suka nggak sih sama Gibran?" tanya Gladys curiga.
Agnes terdiam. Cewek itu mencoba merangkai kata atau huruf yang sebisa mungkin Agnes ucapkan tanpa terlihat lemah. "Mungkin."
"Mungkin?" desis Gladys tak percaya. "Elo mikir gak ketika cewek-cewek sekarang relain harga dirinya cuma ngejar Gibran dan elo dengan entengnya bilang mungkin?"
Agnes mengembuskan napasnya kasar. Kemudian memangku tangan dengan ekspresi dingin.
"Gue gak tahu."
Agnes aneh. Tatapannya tajam tapi jawabannya ragu. Gladys memandang Agnes keheranan.
Gladys sudah memperjuangan semuanya untuk Gibran sejak cewek itu kecantol pada cowok itu dari kelas sepuluh. Tapi Gladys harus kalah oleh cewek yang ragu kepada perasaannya sendiri. Gladys tak bisa terima begitu saja.
Gladys pikir ia sudah tepat untuk menggugurkan perasaannya kepada cewek yang menurutnya baik untuk Gibran. Namun nyatanya, Gladys salah.
Agnes lebih dari sekadar manusia iblis. Untuk bertatapan dengan Gibran saja, Agnes tidak pernah berhak.
Gladys mulai menyalak, "Jauhin Gibran kalo lo emang nggak suka sama dia!"
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro