Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 37.2 [END]

Ruangan auditorium di salah satu sudut kota, sekarang tampak penuh dan sesak. Orang-orang yang datang sebagai peserta dan penonton mulai memadati gedung luas tersebut.

Berbagai macam kesibukkan mulai kentara. Dari yang sibuk menelepon seseorang sampai kecemasan peserta yang lupa membawa kostum untuk tampil hari ini.

Di tengah keramaian itu, peserta dari SMA Perjuangan sedang asyik bersama zonanya sendiri. Tidak terpengaruh pada kebisingan orang-orang. Mereka terlalu larut pada ketegangan dan ketakutan jika nanti tidak bisa tampil maksimal. Tapi, Mas Ret yang termasuk di dalamnya, mencoba menenangkan anak didiknya.

Inilah saatnya. Momen yang mereka tunggu-tunggu selama dua bulan latihan. Itu waktu yang cukup lama untuk mempersiapkan sebuah karya yang luar biasa untuk dipuji orang-orang. Kesiapan kostum dan property sudah lengkap. Karena ketegasan Mas Ret agar anggotanya itu disiplin.

Hingga acara dimulai dengan dibukanya oleh seorang MC. Semua peserta berkumpul di belakang panggung. Setiap sekolah harus mengirimkan maksimal dua puluh orang. Dan yang menadaftar pada lomba ini adalah sekitar dua puluh lima sekolah.

Anggota teater SMA Perjuangan pun mulai diselimuti ketakutan. Banyak sekolah saingan yang menjadi musuh bebuyutannya di beberapa kali perlombaan. Membuat rasa pesimis itu muncul. Apalagi dengan datangnya sosok baru, yaitu Gibran. Karena cowok itu baru pertama kali lomba dan mereka takut jika cowok itu tiba-tiba mengacaukannya.

"Jangan sampai lo ngacauin semua perjuangan kita." Gibran mendongak mendengar ucapan dingin dari seseorang. Cowok itu berdiri dan melihat Evan heran.

"Maksud lo apa?"

Evan mengangkat salah satu ujung bibirnya. "Lo anak baru. Jadi, jangan sampe lo buat kacau di panggung."

"Lo—"

"Van?" Suara seorang cewek otomatis menghentikan percakapan mereka. Evan mendengus dan berlalu tanpa menanggapi kedatangan Elsa yang merusak suasana.

"Evan ngomong apa sama lo?"

Gibran menoleh dan duduk kembali. "Biasa. Urusan cowok."

Elsa tersenyum, lalu melemparkan bokongnya di samping Gibran. "Lo seneng?"

Cowok itu mengernyit bingung. "Seneng kenapa?"

Elsa menahan senyumnya lebih lebar lagi. Hari yang ia tunggu telah tiba. Kendati setiap pulang sekolah Gibran selalu di dekatnya dan berakting di atas panggung yang sama, tapi hari ini berbeda. Banyak pasang mata yang akan melihat kelihaian keduanya. Dan ada beberapa lagi yang melengkapi kebahagiaan Elsa.

Gibran ada di sini.

Melihatnya berakting. Berdiri di atas panggung. Berdua. Sebagai sepasang kekasih.

"Gue seneng, kita akhirnya bisa sampai di sini. Gue nggak percaya. Gue kira lo atau gue berhenti di tengah-tengah."

Gibran mengulum senyum lantas mengacak-ngacak rambut Elsa sebentar. "Gue nggak mungkin kecewain elo."

Sekonyong-konyong, Gibran teringat sesuatu. Biasanya kalau lagi menunggu seperti ini, dirinya memainkan ponsel. Tapi, semenjak ia mengambilnya dari nakas, cowok itu belum lagi menyentuh benda persegi panjang tersebut.

Gibran meraba saku jeansnya. "Ohiya di tas," gumamnya lantas berdiri. Elsa menahan, "Lo mau kemana?"

"Mau ngambil hp, Sa."

Sejurus kemudian, Elsa terperangah. "Jangan main hp dulu, Gib."

Gibran mengernyit, Elsa berdiri berhadapan dengan Gibran. "Kita tampil jam sebelas. Nanti lo malah keasyikan lagi."

Cowok itu melihat jam digital yang melingkar di tangan kanannya. Sudah jam sepuluh lebih lima belas menit. "Masih lama, Sa."

"Kan bisa aja dipercepat. Mending elo ganti kostum dulu aja. Gue juga mau ke kamar ganti soalnya."

Elsa terlalu lihai menyembunyikan sebuah kebohongan. Ketika ia mengatakan sesuatu yang bertolak belakang dengan fakta pun, cewek itu seperti tidak kesulitan sama sekali. Entah memang ia terlalu andal memainkan peran atau memang dirinya yang terlalu sering menipu orang?

Gibran menimbang dan akhirnya mengangguk. Mereka pun berjalan beriringan masuk ke kamar ganti yang berbeda.

Elsa bersorak dalam hati. Misinya kali ini berhasil.

**

Mira terus mendorong cowok yang saat ini memboncenginya di atas motor.

"Cepet ih, Tena," ucap cewek itu cemas. Bahkan ada selaput bening yang hampir pecah jika Mira berkedip. Ia bingung harus melakukan apa agar lampu merah sialan itu cepat berubah menjadi hijau. Mira tidak punya waktu banyak lagi. Hari ini Agnes pergi dan Gibran malah sibuk sama lombanya.

"Tenang, Mir. Kita bakalan nyampe cepet kok!"

"Tapi, ini udah setengah sebelas, Tena." Mira akhirnya menangis. Air matanya sudah merembes di kedua pipinya. Seketika Tena mencengkram erat tangannya pada stang motor. Tidak tega melihat pacarnya itu sedih. Kalau saja Tena punya pintu kemana saja, mungkin saat ini keduanya sudah ada di area perlombaan teater. Hanya saja, realita seringnya lebih pahit dari sebuah imajinasi.

"Kata kamu Agnes udah pergi."

Mira menahan senggukannya. "Aku liat GPS. Agnes masih di Jakarta, Ten."

Tangis Mira pecah. Tena seketika kelimpungan. Orang-orang yang berkendara menyorotnya dengan tatapan intimidasi. Mungkin persepsi mereka mengatakan kalau Tena sudah melakukan hal yang tidak-tidak pada Mira.

Tena mencoba tersenyum. Walau berujung hambar. Dan mencoba menenangkan Mira yang duduk di belakangnya. "Jangan nangis dong. Aku beliin es krim ya?"

Mira mendorong kepala Tena sadis. Tidak menghiraukan tawaran Tena, Mira kembali menangis. Orang-orang yang melihatnya geleng-geleng kepala.

Ternyata, hanya sepasang ABG labil.

**

"Mira! Tunggu aku, Mir!" Tena berusaha menyusul langkah cepat Mira. Baru saja cewek itu turun dari motor tanpa melepas helm, Mira langsung berjalan cepat. Orang-orang memandangnya dengan geli. Tapi, untuk Tena, boro-boro mau ngetawain. Yang ada, cowok itu takut kalau Mira sampai kenapa-kenapa.

Bahkan, Tena harus berbohong pada petugas keamanan yang melarangnya masuk. Dengan mengatakan kalau ada keluarga dari peserta lomba yang sedang sekarat.

Sesampainya di depan pintu auditorium, Mira kontan mendorong keras. Cewek itu hendak meneriaki nama cowok yang saat ini sedang berpegangan tangan dengan seorang cewek. Berselang satu detik dari mulutnya terbuka, Tena membekap mulut Mira dan membawanya mundur.

"Tena ngapain sih?" Mira mencoba melepaskan diri dari cowok itu dan menatapnya geram. "Gibran di dalem, aku nggak punya waktu lagi."

Mira kembali membuka pintu tersebut. Seketika salah satu dialog terdengar dan membuat tubuh Mira mematung.

"Aku mencintaimu, Nathalia."

Tatapan itu penuh cinta. Gibran melihat cewek di depannya itu dengan penuh kelembutan. Mira tidak bisa mengolah informasi apapun lagi di otaknya. Tujuannya kemari sekejap menguap. Tergantikan rasa penyesalan karena terlambat datang lebih cepat.

Mira serta-merta terduduk. Lututnya lemas. Ia tidak bisa membuat hubungan Gibran Agnes kembali ke sedia kala. Ia juga tidak bisa memberikan salam perpisahan yang pantas untuk teman sebangkunya itu. Intinya, Mira benar-benar kecewa karena gagal menjadi seorang teman.

"Udahlah. Kamu jangan nangis kayak gini, Mir." Tena datang dan melepas helm yang cewek itu gunakan. Mira terisak. Ia menunduk menatap lantai semen di bawahnya. Tena merengkuh Mira, membawanya ke dalan dekapan cowok itu.

Gegap gempita memenuhi seluruh auditorium. Semua penonton bertepuk tangan dengan wajah penuh kepuasan atas akting yang SMA Perjuangan tunjukkan. Sangat berkebalikan dari apa yang dirasakan cewek yang saat ini terduduk di belakang kursi penonton.

Setetes air mata Tena turun di pipi. Ia juga merasakan apa yang dirasakan kekasihnya itu. Keduanya sama-sama menyesali yang terjadi pada sahabat mereka.

Kisah Agnes dan Gibran ternyata harus berujung perpisahan dengan kesalahpahaman yang masih belum tertuntaskan. Agnes yang tak berani jujur dan Gibran yang terlalu cepat menyimpulkan. Keduanya saling bertolak belakang untuk menemukan titik temu penyelesaian dari perasaan mereka.

**

Agnes masih memandang jendela yang ada di sampingnya. Keramaian terminal bus saat ini menjadi hal yang membuatnya sedikit tertarik di tengah kebosanan menunggu bus penuh.

Keluarga yang berat melepas salah satu anggotanya dan ada pula yang membawa tas besar dengan wajah lesunya.

Semuanya memiliki tujuan yang berbeda-beda untuk pergi. Termasuk dirinya.

Sedikit miris juga karena Agnes tak diantar oleh siapapun. Ibu sibuk menjaga Dendi. Bapak, tak perlu ditanya lagi. Entah kemana pria itu pergi. Geryl punya kesibukkan sendiri di kampusnya. Gibran, tidak mungkin bisa Agnes harapkan. Toh, pesan Agnes pun belum dibalas.

Dan Devin? Kemana cowok itu pergi?

Tanpa terasa, bus yang ditumpangi sudah menyalakan mesinnya. Cewek itu menghela napasnya pasrah merasakan tidak ada satu orang pun yang melepas kepergiannya. Mau bagaimana lagi. Sudah sepantasnya ia mendapatkan hal seperti ini.

Sewaktu bus mulai melaju, serta-merta busnya berhenti di tempat. Suara pintu bus terbuka menjadi pusat perhatian dari seluruh penumpang. Agnes berdecak. Kali ini hal apa yang membuat keberangkatan bus itu semakin lama?

Terpaksa, Agnes berdiri. Seorang cowok dengan kaus hijau dan celana pendeknya berjalan santai. Dan berdiri tepat di samping kursi penumpang asing yang duduk sebelahan sama Agnes.

Mulut Agnes sedikit terbuka. Tidak percaya pada kedatangan cowok itu. Beberapa penumpang berbisik dan berspekulasi soal eksistensi cowok itu yang tiba-tiba datang.

"Lo... ngapain?" ucap Agnes tercekat.

Cowok itu menyodorkan sebungkus permen ke arah Agnes. "Nih milkita sebungkus buat elo, dan ini," Devin menjulurkan satu tangannya lagi, menjuntaikan gantungan berbandul sapi, "buat kenang-kenangan biar elo inget gue."

Agnes menunduk malu dan mengambil dua hal yang diberikan Devin itu. Seketika seisi bus ramai karena tontonan dadakan yang ada di depan mereka. Godaan serta siulan tak ayal mengganggu suasana penuh romantisme tersebut.

"Nanti kabarin gue ya?"

Agnes mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Devin tersenyum dan turun kembali dari bus. Agnes duduk dengan wajah yang sudah memerah malu.

Orang-orang masih sibuk membicarakan peristiwa lucu barusan yang terjadi pada sepasang remeja yang terlihat sedang dimabuk cinta tersebut. Penumpang ibu-ibu di samping Agnes pun sampai-sampai menepuk bahu cewek itu memaklumi. Agnes hanya bisa merutuk dalam hati. Bisa-bisanya cowok itu membuatnya malu di depan publik.

Tanpa sengaja, Agnes menoleh kembali ke jendelanya setelah menyimpan benda pemberian Devin ke dalam tas kecil.

Terlihat, Devin sedang melambaikan tangannya serta membentuk love dengan kedua ujung jarinya yang diletakkan di puncak kepala. Pipi Agnes bersemu. Mau tak mau Agnes membalas lambaian tangan Devin seraya berisyarat dengan mulutnya berkata, "Tunggu gue."

Devin semakin merekahkan senyumannya. Seolah mengerti, cowok itu mengganguk. Hingga akhirnya bus kepergian Agnes pergi dan hilang dari pandangan Devin.

**

Tamat

Ending nih guys!

Maafkan kalau endingnya amat sangat mengecewakan😢

Yang mengharapkan Gibran dan Agnes bersatu, maaf, aku nggak bisa. Aku maunya mereka nyambung lagi kayak dulu. Tapi, kayaknya nggak ada alasan untuk mereka bersatu kembali /eaa.

Tunggu, Epilognya ya hehe😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro