Bab 37.1
Di tengah temaram kamar tidurnya, cewek itu mengempaskan tubuhnya ke atas kasur berukuran queen. Ditatapnya langit-langit kamar yang gelap. Kesunyian, kini mengatapi suasana kamarnya. Tidak ada sedikit pun suara, kecuali deru napasnya sendiri.
Berselang lama, suara isakkan muncul. Penghalang dari jati dirinya yang asli sekarang hancur sudah. Agnes mengeluarkan semua bebannya dalam bentuk air mata dan tangisan yang pecah.
Koper yang berisi pakaian sudah siap di samping pintu. Buku-buku yang biasanya tertata rapi di atas meja, sekarang tak tampak lagi. Ruangan tersebut sudah siap ditinggalkan olehnya. Siap tak berpenghuni dan tersisa segala macam keluh kesah yang hanya si pemilik yang tahu.
Sejurus kemudian, Agnes bangun dan duduk di samping ranjangnya. Ia menyeka air matanya dan menahan isakkan yang sesekali ke luar dari mulunya.
Ucapan Devin seketika masuk ke dalam ingatannya.
Apakah jika dikatakan besok semuanya akan kembali ke sedia kala? Apakah jika dikatakan besok di kemudian hari Agnes tidak akan menyesal? Apakah saatnya ia jujur?
Agnes menggigit bibir bawahnya sambil menatap layar ponselnya. Ada keraguan terselip di dalam keinginannya. Lalu, cewek itu kembali menidurkan tubuhnya. Menutup mata, berharap esok yang akan datang bisa berjalan lebih mudah.
**
Suara wajan bertemu spatula menggema di rumah sederhana itu. Sederhana, namun berbagai macam perlengkapannya masih terbilang mewah. Meja dengan bahan kayu jati. Dan sofa yang dilapisi kain lembut berwarna merah maroon menjadi ikon sendiri di ruang tamunya.
Tak lama kemudian, suara dentingan bel rumah membuat si penghuni dapur mematikan kompor gasnya. Lantas mengelap tangannya pada celemek yang ia gunakan dan menuju pintu rumah utama.
“Sebentar,” ucapnya saat bel rumah berbunyi lagi.
Setelah dibukanya pintu itu, sontak senyum tersungging di wajah wanita setengah baya itu. Seorang gadis dengan dress berwarna biru mudah dan rambut yang dikepang sedikit, tampak berdiri anggun.
“Nak Elsa?” tanya Ina –Mama Gibran semringah. Elsa mengangguk dan diajaknya masuk ke dalam rumah.
“Biar tante panggil Gibrannya dulu ya?”
“Nggak usah, Tante,” timpal Elsa membuat Ina kembali menoleh. “Biar sama Elsa aja.”
Tanpa banyak tanya, Ina pun memanggut dan meninggalkan Elsa untuk kembali ke dapur.
Cewek itu kemudian beralih pada kamar Gibran yang berada tepat di lantai dua. Rumah yang tidak terlalu luas, membuat kamar itu jelas terlihat dari bawah.
Sesampainya di depan kamar Gibran, Elsa mengetuk pintu yang berwarna cokelat berbahan kayu jati tersebut. “Gib, udah bangun?”
Tidak ada balasan dari dalam. Elsa terus melakukan hal yang sama dan sesekali menyebut nama Gibran lebih keras. Ina yang mendengar itu, kemudian memanggil nama Elsa dari bawah.
“Masuk aja, Nak,” ucap Ina dan Elsa kontan melihat ke bawah. “Gibran kayaknya di kamar mandi.”
Elsa mengangguk dan memutar knop pintu kamar Gibran.
Wangi maskulin khas cowok menyeruak ke dalam indra penciumannya. Ranjang yang belum dibereskan serta kaos yang tergantung di kursi depan meja balajar serta poster bergambar ilmuwan Einstein berukuran sedang, tak lepas dari sorotan Elsa.
Ini pertama kalinya ia masuk ke kamar Gibran. Ternyata kamar Gibran berkebalikan dari sifatnya yang kalem dan rendah hati. Bukannya kamar tidur seseorang melambangkan kepribadian seseorang ya? Atau Gibran sekarang memang lagi labil saja?
“Gib?”
Suara shower yang tadi terdengar otomatis mati. Elsa mendekat ke arah pintu yang mengeluarkan suara percikan air itu.
“Kenapa, Sa?” tanya Gibran dari dalam.
“Gapapa, gue pikir lo belum bangun,” sahut Elsa dan melirik ponsel Gibran yang bergetar di atas nakas samping tempat tidurnya.
“Lo tunggu di luar aja. Gue tinggal pake baju kok!” Elsa tak menyahut. Ia mendekat ke arah nakas dan mengulurkan tangannya untuk mengambil ponsel Gibran.
Tertera nama Agnes di sana. Tanpa sadar, Elsa mendengus kesal. Gibran ternyata masih menyimpan nomor hp mantan pacarnya itu. Dengan segenap emosinya, Elsa hendak membuka pesan tersebut. Namun, ponsel Gibran mendadak mati.
Elsa mencoba berkali-kali mengusap layar ponsel tersebut. Tapi, percuma. Ponselnya kehabisan daya. Elsa pun meletakkan kembali ponsel Gibran ke tempat semula. Toh, Gibran juga sudah tidak peduli pada Agnes, buat apa Elsa mesti khawatir.
Cewek itu pun kembali ke luar kamar Gibran.
**
Gib, bisa dateng ke taman deket rumah gue? Gue mau obrolin sesuatu sama lo
Agnes menatap khawatir layar ponselnya. Belum ada juga balasan pesan masuk. Sesekali ia juga melihat waktu. Keberangkatannya ke Bandung dijadwalkan siang hari. Mengingat Agnes malas pergi pagi buta dan bila sore hari, jalanan akan semakin macet karena jadwal pulang kerja.
Cewek itu mengedarkan pandangannya mencari sesuatu. Tidak ada tanda-tanda kedatangan orang yang ia tunggu, kendati sudah setengah jam berlalu. Cewek itu pula entah berapa kali menghela napasnya. Meredam sesuatu yang sudah mendobrak pertahanannya saat ini.
“Lo dimana?” gumam Agnes dan ia mulai cemas. Waktu sudah tidak bisa dikatakan lama lagi. Setelah ini, ia harus menjenguk Dendi sebentar di rumah sakit, lalu jam sebelasnya ia juga harus sudah siap di terminal bus menuju Bandung.
Agnes memutuskan akan menyatakan perasaan sebenarnya pada Gibran hari ini. Ia tidak ingin menyesal akhirnya. Agnes mau meninggalkan Jakarta dalam keadaan ringan dan tenang. Tidak ada hutang kejujuran pada siapa pun.
Mira, sudah dihubungi sejak pagi. Namun, Agnes berbohong kalau dirinya telah tiba di Bandung. Karena ia tidak mau Mira tiba-tiba datang. Sekaligus menitip salam pada Gladys.
Semuanya sudah selesai. Tapi, terkecuali untuk Gibran. Agnes harus menyampaikannya secara langsung. Dia tidak mau ada perantara apapun yang menghalanginya.
“Lo ngapain di sini?” Agnes memekik. Ia melihat cowok berdiri menjulang di depannya. Berhasil menutupi terpaan panas menuju ke wajahnya.
Mata Agnes menyipit. “Ngapain lo di sini?”
Devin tertawa kecil. Cowok itu duduk di samping Agnes dan cewek itu mengikuti pergerakan Devin.
“Gue kan nanya lo barusan,” ucap Devin sambil bersandar di bangku taman yang ia duduki.
“Ya… gue emang suka ke sini,” jawab Agnes ragu.
“Kok gue nggak percaya ya?” tatap Devin curiga, duduk menyerong mengarah pada Agnes. “Elo nggak nyembunyiin sesuatu kan dari gue?”
Agnes membuang pandangan ke arah lain. Tidak bisa berlama-lama menatap Devin jika sedang berdalih. Ia tidak mempersiapkan apapun hari ini. Tidak seperti kemarin, Agnes menyiapkan tembok super kuat hingga ia tegar berlama-lama seperti orang yang baik-baik saja. Meski dalam hati sebenarnya Agnes sedang rapuh.
“Nes, liat gue,” paksa Devin. Agnes masih menatap keramaian di depannya. Orang-orang berhilir mudik untuk lari pagi. Sesekali beristirahat untuk sekadar menegak minumannya. Tapi, semua hal itu tidak ada yang menarik bagi Agnes. Cewek itu hanya ingin segera pergi dari tempatnya sekarang.
“Agnes!” Devin meninggikan nada suaranya. Agnes refleks menoleh dengan wajah yang begitu tegang.
“Jujur sama gue.” Agnes seketika terhipnotis pada kedua mata hazel milik Devin. Ia termangu sebentar kemudian mengembuskan napasnya pasrah. Tidak ada gunanya jika disembunyikan. Bila akhirnya Devin akan tahu dari Mira atau Gladys.
“Gue mau pindah ke Bandung,” jawab Agnes akhirnya dalam satu tarikan napas.
Dahi Devin seketika mengerut. “Pindah? Kok dadakan gini, Nes? Kenapa lo baru bilang sekarang?”
Agnes menatap dua jemarinya yang saling tertaut dan meremas. Serta peluh yang seketika membasahi seluruh telapak tangannya.
“Buat apa, Vin? Mau bilang atau nggak pun, nggak akan ada yang berubah. Orang bakal tau atau nggak pun akhirnya juga gue harus pergi.”
“Kenapa?” tanya Devin masih tak terima. “Kenapa lo harus pergi?”
Agnes menelan ludahnya lantas menjawab. “Adik gue dioperasi dan perlu biaya. Gue sengaja dipindahin biar Ibu bisa fokus sama pengobatan adik gue, Vin.”
Refleks, Agnes menyeka air matanya yang sempat luluh. Devin mendengus. Sebal karena realita yang baru ia ketahui.
“Harusnya lo cerita sama gue. Gue bisa bantu lo. Gue bisa minta sama orangtua gue, Nes.”
Agnes menggeleng dan mendongak kembali 'tuk menatap Devin. “Nggak usah. Lo udah terlalu baik sama gue. Udah cukup bantuan lo buat gue. Gue makasih banget karna lo selalu ada ketika gue butuh seseorang.”
Devin bergeming. Bingung untuk membalas dan menyahuti apa. Ia jelas membenci kenyataan kalau Agnes harus pergi jauh. Meski tidak sampai menyebrangi pulau, nyatanya jarak benar-benar menghambatnya untuk berinteraksi lebih.
“Apa ini karna Gibran?”
Agnes otomatis menggeleng. “Ini nggak ada sangkut pautnya sama dia. Karna emang harusnya kayak gini,” ucapnya penuh kemirisan.
Devin tidak tahu harus berkata apa lagi. Devin tidak punya asa apapun. Itu sudah menjadi keputusan yang diambil Agnes. Dan Devin tidak bisa mengubahnya.
Agnes dan pilihannya, Devin harus bisa menghargai hal tersebut.
“Semoga lo sehat di sana,” kata Devin membuat satu senyuman kecil terlukis di wajah Agnes.
“Thanks ya. Gue pasti ngabarin lo nanti.”
Devin menengadahkan tangannya. “Nomor hp lo?”
Agnes terkekeh kemudian memberikan ponselnya agar Devin menuliskan nomornya dan memisscall ponselnya sendiri.
“Lo nggak akan ganti nomor, 'kan?” tanya Devin sembari memberikan ponsel Agnes kembali.
“Sekalipun iya, gue bakalan ngabarin elo kok!”
“Janji?”
Agnes mengangguk dan seketika kelegaan menelusup ke dalam rongga dada Devin. Setidaknya waktu dan jarak tak terasa menghalanginya untuk tetap mengetahui keadaan cewek itu.
"Gue boleh tanya?" tanya Devin langsung. Agnes mengangguk tenang. "Kenapa lo putus sama Gibran?"
"Kenapa lo tanya gitu?" Agnes tampak tak keberatan. Ia sadar, perlahan perubahan menyebar ke seluruh karakter sebelumnya.
Devin mengangkat kedua bahunya. "Gue liat, kalian punya perasaan yang sama. Jadi, gue pikir pasti ada alesan lain."
Agnes menghela napasnya. Sudah lama dia tidak mengingat lagi kenapa dirinya memutuskan hubungannya dari Gibran. Ia sudah kubur dalam-dalam semua masa itu. Kini yang bergumul di otaknya, bagaimana keutuhan keluarganya di masa mendatang. Apa ia masih terombang-ambing pada arus nasib? Ataukah masa sulit ini akan terlewatkan dengan mudah?
"Gue ngerasa nggak pantes aja."
Devin mencebik, "alesan klise."
Agnes tertawa kecil. "Gue jujur, Vin."
"Coba jelasin," ucap Devin menatap tajam Agnes.
Cewek itu kemudian menerawang. Perasaan yang dulu sempat menjadi momok baginya, harus terpaksa dipanggil lagi. Walau tidak sesakit dahulu, rasanya ia telah membuka luka itu kendati secuil.
"Gue nggak mau Gibran susah karna pacaran sama gue. Dia ramah dan gue jutek. Lo bisa bayangin kan bedanya kita?"
Agnes terkikik geli, lalu tatapannya kembali nanar ke arah suasana taman di pagi hari. "Gue punya masalah banyak dan gue nggak mau ngebagi kepikiran gue jadi beberapa cabang. Di sisi lain gue mau selesain masalah gue, tapi di sisi lain juga gue nggak mau nyuekkin Gibran. Jadi, lebih baik gue putusin dia."
Devin mengulas senyumnya. Ia lega, tapi ia juga tahu perasaan itu salah. Bahagia Agnes adalah Gibran. Mereka berdua dipisahkan oleh selaput tipis delusi berbentuk kesalahpahaman. Kalau keduanya saling jujur, hubungan mereka tak akan sedingin sekarang. Tapi, semesta terlalu banyak misteri. Kejujuran tidak selamanya mengubah nasib orang menjadi lebih baik.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro