Bab 36
Devin Jonathan Wicaksono.
Cowok yang sebenarnya nggak mau nama terakhirnya disebut itu, adalah keturunan Padang-Surabaya yang lahir di Bali. Mungkin kalau lebaynya, harta keluarga Devin tidak akan habis tujuh turunan. Makanya, Devin nggak mau orang-orang ikut memujanya hanya karena embel-embel 'Wicaksono'.
Nakalnya ia di Jakarta, masih dikatakan lebih baik daripada dirinya ketika di Bali. Merokok setiap istirahat dan bolos di satu pelajaran dalam satu hari, masih masuk ke dalam daftar jadi anak baik di dalam kamus hidup Devin. Lantaran dulu, Devin hampir bolos di semua pelajaran dan pernah penasaran sama yang namanya minuman beralkohol.
Devin sebenarnya bukan anak nakal yang kurang kasih sayang orangtua. Tapi, Devin adalah sosok manusia yang serba penasaran terhadap sesuatu.
Memang wajar kalau remaja punya rasa ingin tahu yang tinggi. Tapi, Devin adalah salah satu spesies yang ingin langsung menghilangkan rasa ingin tahu dengan cara mencobanya.
Cowok itu sengaja dipindahkan oleh orangtuanya ke Jakarta dan hidup sederhana bersama adik dari mamanya. Devin tidak memberontak dan menolak. Dia juga tidak mengiyakannya. Intinya, Devin terlalu cuek pada perbuatan orang pada dirinya.
Unik.
Itulah Devin.
Dan dunia si maniak milkita ini berubah seratus delapan puluh derajat sewaktu bertemu Agnes. Awalnya, Devin mengira kalau Agnes adalah tipe cewek yang suka jual mahal. Setelah beberapa waktu ia lewati dengan cewek itu, Devin mengambil kesimpulan.
Agnes berbeda.
Agnes menariknya seperti magnet yang menarik besi. Devin tidak bisa menolak.
Seminggu ditinggal Agnes ditambah dua hari Agnes tidak ada, Devin benar-benar berubah. Nikmatnya merokok tidak bisa dirasakannya kembali. Indahnya membolos tidak terasa dinamikanya. Kabur dari guru BK, udah nggak ada rasanya.
Hampa. Kosong. Dan Devin mendadak rajin di kelas.
Bukan untuk ikut pelajaran, tapi untuk melamun dan akhirnya tidur.
Sekarang sudah hari ketiga, Devin tidak melihat Agnes. Devin sejujurnya kebelet gemas dan ingin cepat-cepat ke Jepang. Untuk mencari doraemon dan meminjam kantong ajaibnya. Walau terdengar mustahil, apa salahnya mencoba?
Seharian ini saja, Devin cuma diam di kursi. Dari mulai jam tujuh, kemudian ke luar buat beli minum dan tiga bungkus milkita, Devin kembali ke kelas.
Melamun.
Main tetris.
Tidur.
Guru sudah memperingatinya berulang kali. Tapi, Devin hanya bertahan sepuluh menit, sisanya Devin kembali termenung.
Ah, lama-lama cowok itu bisa gila juga. Daripada stress terus-terusan di sekolah, setelah bel pulang berbunyi, Devin langsung cus ke luar sekolah.
Seperti biasa, Devin menuju halte untuk menunggu bis. Devin memang tidak punya motor. Orangtuanya benar-benar mengambil seluruh kemewahan dari Devin. Tapi, cowok itu sudah tahan banting. Yang penting bisa merokok dan makan, udah cukup kok! Eh iya, plus tiga loli milkita.
Langkah Devin langsung terhenti ketika melihat seorang cewek sedang duduk di halte bersamaan dengan beberapa orang yang berdiri di sana. Devin tidak salah lihat. Karena Devin memang tidak rabun jauh.
Lantas cowok itu kembali berjalan dengan langkah lebar dan cepat, lalu menepuk cewek yang tadinya hanya menatap jalanan di depan.
"Nes?" Cewek itu menoleh.
"Hai, Vin," sapa Agnes dengan senyum merekahnya. Dan lagi-lagi Devin terbius pada hal sederhana itu.
**
"Nggak kerasa ya Gib, besok lombanya." Elsa berpaling dan Gibran berhenti menegak minumannnya.
Keduanya sedang menikmati jam istirahat di tengah-tengah latihan. Maklum, besok adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota teater. Jadi, hari ini adalah hari penentuan bagaimana esok berjalan. Ah, bukan penentuan juga. Justru setiap hari adalah hari dimana semuanya dipertaruhkan untuk berhasil atau tidaknya besok.
"Iya, Sa. Nggak kerasa."
"Lo seneng?" tanya Elsa membuat Gibran refleks mengangguk.
"Gue seneng. Gue bisa mencoba hal yang baru."
"Gue kira lo bertahan di sini karena terpaksa," ujar Elsa pelan. Gibran sempat tertegun. Namun, cepat-cepat cowok itu ganti dengan senyum tipisnya.
"Nggak kok! Gue justru bersyukur karna lo ngajakkin gue ke sini," sahut Gibran setengah berbohong. Lantaran memang benar. Setengahnya Gibran senang bisa masuk teater. Lewat hobi barunya ini, ia bisa melupakan masalahnya karena Agnes. Lewat ekskul ini juga, Gibran bisa dekat dengan Elsa. Cinta pertamanya dan cewek yang selama ini bersabar menunggunya.
"Thanks ya, Sa," sambung Gibran seraya menoleh.
Elsa mengangguk antusias. Tapi, tetap saja. Gibran tidak merasakan apapun lagi sewaktu melihat senyum Elsa itu.
**
Kedai ramen yang dimasuki Agnes dan Devin sekarang terkesan ramai. Untung saja keduanya mendapatkan tempat duduk di paling ujung.
Tak henti-hentinya Agnes mengagumi interior kedai tersebut. Dimulai dari dindingnya yang ditempel tulisan Hiragana sampai-sampai lampu gantung berbentuk kandang burung. Ada pula hiasan bunga sakura di setiap meja. Menambah kesan suasana khas Negara matahari terbit itu.
"Gue dari dulu penasaran buat nyobain ramen di sini," ujar Agnes. "Katanya rasanya itu khas Jepang banget, Vin."
Devin tidak membalas keantusiasan Agnes barusan. Cowok itu malah sibuk mencerna soal kedatangan Agnes yang tiba-tiba di halte dan kenapa sifat cewek itu otomatis berubah banget dari pertama bertemu.
"Lo beneran nggak sakit kanker, 'kan?" tanya Devin hati-hati membuat Agnes sontak melotot.
"Enak aja!" tukasnya kasar memukul keras kepala Devin. "Lo doain gue ya?"
Devin sedikit meringis dan mengusap kepalanya yang terasa berdenyut. "Lo tiba-tiba kayak gini soalnya, Nes."
"Nggak boleh?"
"Bukan antara boleh atau nggak, gue cuma aneh aja."
Agnes mengendik. "Ya udah jangan lo pikirin. Tambah beban pikiran aja."
"Tapi, gue mau nanya dulu sama elo," kata Devin tak ingin membuang-buang kesempatan lagi. Sudah cukup dirinya memendam rasa penasarannya. Devin tidak akan membiarkan Agnes berkilah lagi.
"Dari kemarin lo kemana? Trus katanya hari ini lo nggak sekolah, tapi kenapa lo pake seragam?"
Agnes tertawa kecil sambil menggeleng. "Cie Devin perhatian."
Cowok itu refleks mendengus. "Gue serius, Agnes."
"Oke, gue jawab satu-satu," sahut cewek berkucir kuda itu. "Gue nggak sekolah karna ada urusan keluarga dan hari ini gue nggak sempet masuk kelas karna sibuk ngobrol sama Bu Anna."
Devin memiringkan kepalanya penasaran. "Ya, soal bolosnya gue," jawab Agnes kemudian. "Udahlah jangan omongin itu mulu. Gue males inget lagi ceramahan Bu Anna yang panjang kali lebar itu."
Devin mengulum senyumnya. Agnes sekarang begitu santai untuk terbuka. Devin tidak ragu pada jawaban Agnes. Lihat saja senyum yang cewek itu buat. Mampu membuat Devin seketika terdiam dan memandangnya cukup lama.
Tak lama berselang, dua mangkok ramen serta dua gelas es teh manis besar terhidang di atas meja. Agnes hampir memekik kegirangan dan Devin hanya menggeleng-gelengkan kepalanya gemas.
"Cuma ramen doang seneng banget lo."
Agnes menyeruput kuah ramen itu kemudian menjawab, "Ini asli enak. Lo pasti ketagihan."
Devin pun mengikuti apa yang dilakukan cewek itu. Dan yang diceritakan Agnes memang benar. Kuahnya terasa kuat di lidah. Rasa yang jarang Devin nikmati. Pasalnya, ini pertama kalinya ia makan makanan Jepang dan untuk pertama kalinya juga, Devin mengakui kalau rasa ramen memang enak.
"Ketagihan kan lo?"
Devin mengangguk dan mencoba mienya serta seafood sebagai pelengkapnya. Bukan hanya dari racikan bumbu yang tercampur di dalamnya membuat Devin ketagihan. Tapi, dengan Agneslah Devin merasakan kembali nikmatnya makan bersama.
**
"Nes, mau ke mana?"
Devin berjalan cepat mengikuti langkah Agnes setelah ke luar dari kedai ramen. Ternyata, cewek itu ikut mengantre di salah satu pedagang es krim di sebrang kedai tersebut.
"Mau ngapain?" Devin mengernyit.
Agnes menoleh sambil nyengir. "Ngantri kompor gas."
Devin mendongak membaca tulisan cetak besar di atas pedagang es krim tersebut. "Perasaan ini tukang es krim, Nes," gumam Devin dan kembali berpaling pada Agnes. Belum juga menatap kedua matanya, Agnes sudah duluan menjitak kepala Devin sadis.
"Makanya jangan keseringan bolos, tambah bego kan lo!"
Devin mengusap kepalanya. Hari ini dia sudah kena dua kali belaian Agnes dan rasanya tetap tak berkurang.
"Lo sih jawabnya serius banget. Gue kira lo beneran ngantri kompor gas."
"Ya kali lo nggak mikir, Vin," sahut Agnes sambil berjalan satu langkah, maju antrean.
"Lo nggak akan pulang?"
Agnes mengambil ponselnya dari saku seragam dan melihat jam. "Jam empat ya," kemudian ponselnya ia masukkan kembali dan berpaling pada Devin. "Lo udah mau pulang emangnya?"
Devin menggeleng. "Lo nggak akan kesorean? Nggak akan dicariin sama bonyok lo?"
"Gue udah izin," kata Agnes dan maju lagi. Tinggal satu orang yang ada di depan Agnes.
"Lo nggak akan pergi, 'kan?" Tiba-tiba Agnes menangkap nada khawatir dari ucapan Devin. Pergi? Memangnya Agnes mau ke mana? Cuma pindah ke Bandung. Eh, Devin tahu nggak ya kepindahan Agnes?
"Emang gue bakalan ke mana?" tanya Agnes dan maju. Ia kemudian memesan. "Cokelat ya, Pak," cewek itu menoleh. "Lo mau, Vin?"
"Nggak usah."
"Oke."
"Agnes, jawab gue dulu," ucap Devin gemas. Agnes terkekeh. Devin ternyata tipe orang yang mudah berspekulasi buruk.
"Gue kan nanya, emang gue mau kemana?"
"Ya kan siapa tahu. Apa yang lo lakuin hari ini cuma pelampiasan karena besok lo nggak akan ada."
Agnes refleks memukul lengan Devin. Dan menjadi ketiga kalinya Devin meringis. "Lo nggak bismillah dulu kalo ngomong," Agnes lalu menerima es krim yang disodorkan penjualnya, membayar dan mengucapkan terima kasih.
Baik Agnes dan Devin pun menjauh dan kembali ke trotoar untuk berjalan-jalan.
"Gue kan nanya. Kalo nggak, ya syukur."
Agnes hanya menyahutinya dengan bergumam. Cewek itu sudah sibuk bersama dunia es krimnya. Devin terdiam dan sesekali melirik Agnes. Tidak ada percakapan di antara keduanya. Agnes yang menjilati es krim dan Devin nyaman dengan kebersamaan ini. Dia bahkan lupa untuk membawa milkita.
"Tumben lo nggak makan permen."
"Lupa bawa."
Agnes tertawa geli sambil membuang bekas es krimnya ke tempat sampah. "Kirain lo nempel banget sama permen."
"Nggak segitunya juga."
"Ohiya," timpal Agnes lantas merogoh pinggir tasnya yang biasa digunakan untuk tempat minum. Diambilah sebuah gantungan kunci dengan tulisan cetak bersambung terbuat dari karet bertuliskan bestfriend. Lantas diacungkannya gantungan tersebut ke depan Devin.
"Buat lo."
Devin mengambilnya dengan raut muka bingung. "Buat apaan?"
Agnes kembali berjalan di samping Devin. "Gue kan abis beresin kamar, trus nemu itu. Yaudah, gue kepikiran buat ngasih gantungannya ke elo."
Devin mengusap gantungan itu. Ada perih yang tersirat ketika ia mulai memaknai tulisannya.
Sahabat? Apa tidak ada kesempatan lain untuknya agar bisa melebihi kata itu?
"Cuma sahabat ya?" Devin tersenyum hambar.
Agnes berhenti dan menatap Devin. "Kenapa? Lo nggak suka?"
Devin bergeming. Ditatapnya cewek yang saat ini memandangnya sedih.
Devin suka gantungannya, tapi lebih suka sama yang ngasihnya. Dan Devin nggak suka sama tulisannya.
"Nggak bisa lebih?"
"Maksudnya?" tanya Agnes dengan alis tertaut. Lalu cowok itu memasukkan lingkaran logam gantungan itu di telunjuknya dan mulai menggengam tangan Agnes. Cewek itu terperangah melihat tangannya yang digenggam Devin. Agnes mencoba melepaskannya, tapi Devin semakin mengeratkannya.
"Gue suka sama elo, Nes," jantung Devin seketika berdebar seusai kata-kata itu mulai meluncur di lidahnya. Agnes tak berkutik. Ia mulai menatap dalam kedua mata cowok itu.
Beberapa jeda, mereka hanya saling bertatapan. Devin tidak melanjutkan ucapannya. Begitu pun Agnes yang masih diam dan tenggelam dalam berhentinya waktu.
"Nes?"
Agnes kelimpungan. Cewek itu perlahan melepaskan tangannya dan memandang ke arah lain. Cewek itu tertawa kecil. "Lo l-lucu banget sih, Vin."
Devin masih menatap serius Agnes. "Gue tahu, lo anggep ucapan gue itu nggak bercanda, Nes."
Agnes memberhentikan tawanya pelan-pelan. "Lo tau kan gue-"
Devin tersenyum maklum. "Gue tahu," ucapnya menyela. "Gue cuma ngomong ini takut keburu nyesel."
Cewek beriris cokelat itu mulai menatap Devin kembali minta jawaban. "Maksud lo?"
"Gue nggak tahu hal apa yang bakal terjadi di masa depan nanti. Jadi, daripada ada sesuatu yang bikin gue nyesel nantinya, mending gue bilang dulu dari sekarang," jelas Devin. "Lebih baik gitu, 'kan? Daripada nyesel seumur hidup karena terus-terusan dipendem."
Setengah sindiran itu berhasil menyentil hati kecil Agnes. Sebelum Devin bilang itu, Agnes sudah tahu duluan. Bahkan penyeselan itu sudah Agnes rasakan.
Devin kemudian menghirup oksigen dan mengempaskannya lega. "Gue jadi tenang," ia tersenyum. "Seenggaknya kalo lo ada niatan move on dari Gibran, lo bisa langsung inget gue, Nes."
Kalau Devin tahu, Agnes sudah punya niat seperti itu. Hanya saja, kalau Devin yang dijadkan alasan Agnes untuk melupakan Gibran, hasilnya akan tetap sama-sama menyakitkan. Karena Agnes akan pergi. Meninggalkan Gibran dan Devin serta kenangannya selama di ibu kota.
Untuk menutupi kegundahan, Agnes mengulas senyumannya. "Gue pasti inget kok!"
Di balik arti senyum itu, Agnes mencoba menyampaikan salam perpisahan. Mungkin, bisa jadi menjadi senyum terakhir yang ia sunggingkan di depan Devin. Senyum yang menyiratkan bahwa tak ada lagi hari esok untuknya di Jakarta.
Agnes akan pergi. Meninggalkan lembaran memori di benak beberapa orang dan membawa rekaman ingatan untuk dibawanya jauh. Membuka hidup baru tanpa luka yang bahkan belum mengering. Setidaknya luka itu pasti sembuh terbawa waktu dan jarak hingga hilang akhirnya.
"Gue seneng ketemu lo, Vin. Thanks ya!"
Ada rasa berat hati yang Devin terka. Tapi, cowok itu terlalu girang melihat senyum langka itu. Dan ke sekian kalinya, Devin terbius dan tertipu oleh topeng yang Agnes gunakan. Sejak ia tahu, ia telah jatuh cinta pada cewek itu. Dan jatuh cinta mampu menutupi kabut kepedihan yang tersirat.
Tergantikan oleh asap kebahagiaan yang lebih tebal dan menyamarkan.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro