Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 34

+6282198277482

Ini kakak, Geryl. Kakak jemput kamu di sekolah gapapa? Ada yang mau Kakak obrolin sama kamu.

Agnes menatap pesan itu setelah jam sekolah selesai. Sebenarnya Agnes agak risih jika bersama Geryl mengingat obrolan terakhir mereka. Tapi, sepertinya ada hal penting yang ingin Geryl sampaikan. Lantaran Geryl pasti akan mengajaknya ketemuan kalau memang ada urgensi untuk diselesaikan.

“Nes, mau balik bareng?” tanya Mira yang sudah berdiri dengan tas gendongnya.

Agnes pun ikut berdiri dan menatap Mira heran.
“Bukannya elo sama Tena ya?”

Mira menggeleng. “Dia lagi sibuk OSIS katanya. Jadi, ya gue balik sendiri deh. Gimana? Biar sekalian gue pesen ojek nih!”

Agnes menyunggingkan senyumnya. “Nggak usah, Mir. Gue udah dijemput kok!”

“Oke,” jawab Mira dan mengikuti Agnes yang ke luar dari kelas.

Setibanya Agnes di halte, ia lantas duduk di tempat kosong. Beruntung masih ada tempat untuknya. Karena halte saat ini ramai. Apalagi sekolah baru bubaran.

Hilir mudik orang-orang mulai menaiki bus dan angkot. Hingga Agnes dan satu orang yang tidak ia kenal tersisa. Langit sudah mulai mendung. Petir silih bersahutan bertanda hujan besar akan turun.

Sudah setengah jam Agnes menunggu. Tapi, Geryl tidak juga memberi pesan. Padahal Agnes sudah menanyakan kepastian datangnya Geryl. Dan pria itu belum membalasnya sama sekali.

Sebersit pikiran datang ke dalam otak Agnes untuk meninggalkan halte dan pulang duluan. Namun, ponselnya serta-merta bergetar menandakan ada yang menelepon. Kemudian cewek itu menggeser logo gagang telepon hijau untuk menjawabnya.

“Hallo.”

Hallo, Nes. Ini kakak,” jawab seseorang dari sebrang sambil meninggikan nada bicaranya. Lantaran derasnya hujan mengusik suaranya.

Di sini udah hujan, Nes. Trus kakak harus berteduh dulu buat pake jas hujan. Kamu gapapa nunggu?”

“Iya, Kak. Gapapa.”

Yaudah kakak tutup ya.”

Geryl menutup panggilannya sepihak. Agnes mengembuskan napasnya. Menunggu seperti ini memang tidak membuatnya bosan. Justru dengan menunggu sendirian, Agnes sudah berada di dalam zona nyamannya. Tidak ada yang mengganggunya, sendiri dan tidak ada yang mengajaknya bercakap. Itulah surga Agnes.

Agnes melirik gerbang sekolah yang jauh dari halte. Terlihat seorang cowok yang berjalan dengan gaya khasnya yang culun.

Ah, sudah lama ia tidak melihat Fahri. Apa cowok itu masih takut pada dirinya?

“Fahri!” panggil Agnes membuat Fahri mendongak. Wajah cowok itu serta-merta menegang. Kemudian ia membuang pandangan. Tapi, langkahnya tetap menuju Agnes.

“Kenapa baru pulang?”

Fahri pelan-pelan melihat ke arah Agnes. Sedikit terkejut karena Agnes tidak membentaknya seperti biasa.

“Ini Agnes?” tanya Fahri lugu.

Agnes tertawa kecil kemudian mengangguk. “Emang lo kira gue siapa?”

Fahri diam beberapa jeda dan menjawab, “Agnes kan biasanya jahat sama Fahri.”

“Iya deh, maafin gue.”

Cowok berkacamata itu mengangguk. “Fahri maafin.”

“Ohya kenapa lo baru balik? Lo sekarang ikutan ekskul?”

Tiba-tiba wajah Fahri mendadak merengut. Agnes kayak gini yang Fahri tunggu sejak lama. Soalnya pertama kali lihat Agnes waktu kelas sepuluh, Fahri sempat suka. Sebab Agnes itu tipe cewek yang nggak berisik. Fahri suka risih kalau ada cewek yang lebay. Gini-gini juga Fahri normal kok! Tapi, karena Agnes galak, Fahri jadi mikir-mikir lagi.

Dan Agnes sekarang berubah. Namun, Fahri tahu dan ngerti. Nanti Gibran marah kalau Agnes direbut oleh Fahri. Dan Fahri emang belum tahu kalau Gibran udah jadian sama Elsa. Soalnya menurut Fahri, Gibran dan Elsa masih temenan kok!

Ah, namanya juga Fahri. Mana ngerti soal kayak gituan.

“Fahri tadi ditinggalin sama temen sekelas.”

“Ditinggalin gimana?”

Fahri lalu duduk di samping Agnes, tapi dengan wajah yang semakin menyedihkan. “Jam terakhir di kelas Fahri kosong. Trus Fahri tidur. Eh pas Fahri bangun kelas udah kosong.”

Sontak tawa Agnes berderai. Fahri memang belum tumbuh dewasa. Dan parahnya teman-temannya itu malah menganiaya Fahri. Tena dan Gibran yang lebih nggak setia kawin, eh kawan. Fahri kan bestfriend mereka. Malah dijahilin.

“Lo sih tidur mulu. Makanya kalo tidur dialarmin.”

Fahri mengangguk prihatin. “Iya nanti Fahri pasang alarm di hp.”

“Lo nggak langsung pulang?”

Bukannya menjawab, Fahri menengadahkan tangannya pada Agnes. “Uang Fahri habis. Pinjem ongkos.”

Wajah Fahri yang terlihat polos, malah membuat Agnes semakin tergelak. Fahri jadi seneng lihatnya. Padahal biasanya kalau diketawain kayak gitu Fahri suka kesal. Tapi, kalau Agnes yang ketawa, kok Fahri senang ya?

“Gue baru sadar lo lucu gitu, Ri,” ucap Agnes sambil memberikan selembar uang sepuluh ribu pada Fahri.

“Makasih, Agnes,” ucapnya menerima uang cewek itu.

“Agnes kenapa nggak pulang? Ini udah mau hujan lho.”

Belum menjawab, suara klakson motor menginterupsi keduanya. Agnes dan Fahri kontan melihat motor matic merah yang ditumpangi seorang cowok berhenti di depan halte.

“Kak Geryl?” Geryl membuka kaca helmnya dan tersenyum.

“Yuk, Nes. Lo pake jas ini,” ucap Geryl sambil memberikan lipatan jas hujan. “Daerah sana udah hujan.”

Agnes mengangguk dan berpaling sebentar pada Fahri. “Gue duluan ya.”

Fahri memanggut dan memerhatikan Agnes yang sedang mengenakan jas hujan. Fahri tidak mampu bersuara. Fahri penasaran sama cowok yang usianya kira-kira udah kuliah itu. Soalnya asing sekali di ingatan Fahri. Entah emang nggak kenal atau ingatan Fahri saja yang sering error.

Beberapa lama kemudian, Agnes selesai dan menaiki motor yang dikendarai cowok tersebut. Fahri masih belum sadar dari kebingungannya. Cuma yang Fahri tahu adalah Fahri nggak suka ketika cowok itu senyum sama Agnes dan sebaliknya.

**

“Kamu sekolah hari ini?” tanya Geryl setelah pesanan makanan mereka tiba. “Kata Tante Nina kamu pindah ke Bandung?”

Agnes mengangguk dan mulai memasukkan kentang goreng ke dalam mulutnya. “Minggu ini aku perginya, Kak. Senin aku udah mulai sekolah di sana.”

Geryl meminum CoffeLattenya, lalu bertanya, “Kenapa nggak dari hari ini?”

“Banyak yang harus ditandatanganin dan diurus juga. Senin depan pun aku nggak langsung belajar. Harus urus ini itu juga.”

Cowok di depan itu mengulas senyumnya. Merasakan perubahan Agnes seusai pertemuan mereka terakhir sewaktu di taman.

Beginilah Agnes seharusnya. Penuh keterbukaan dan lebih ceria. Bukan Agnes yang sinis dan tertutup.

“Akhirnya kamu kayak dulu lagi, Nes.”

Agnes tersenyum dan mengangguk, “Aku mikir, Kak. Bener kata Kakak. Lagian sekali pun aku menyesali semuanya, nggak akan ada yang berubah. Justru kalo aku tertutup dan jahat sama orang, bakalan bikin orang benci sama aku. Padahal niat sebenernya nggak kayak gitu.” Agnes menghirup udara kemudian menyambungkan, “Bukan aku yang terlalu mikiran kata orang. Cuma aku mikir. Sekalipun aku mandiri, aku punya segalanya, aku tetep manusia. Aku butuh orang lain dan sebaliknya. Bukannya kaya gitu ya, Kak?”

Geryl semakin merekahkan senyumannya penuh kebanggaan. “Kamu bener, Nes.”

“Trus Kakak ngajak aku ke sini mau apa?”

Geryl terdiam. Ia kembali meminum minumannya. Agnes masih menunggu jawaban apa yang akan Geryl sampaikan. Tak lama, cowok itu merogoh sakunya dan menyimpan sebuah amplop cokelat di atas meja.

“Ini apa, Kak?” tanya Agnes dengan alis tertaut.

Geryl mengembuskan napas pelan. Rautnya berubah menjadi sendu. “Kakak nggak bisa bantu biaya pengobatan Dendi seluruhnya. Kerja kakak sebagai pelayan kafe, nggak bisa ngehasilin uang banyak, Nes. Kakak juga harus biayain uang kuliah kakak. Gapapa ya?”

Agnes refleks menghapus air matanya yang meluncur. Ia kembali mengingat Dendi. Dengan bantuan Geryl yang menurut Agnes berharga ini, sudah cukup menegaskan kalau Geryl masih peduli padanya. Sekaligus, Geryl pasti ingin menebus dosa-dosa Genta di masa lampau.

“Nggak usah, Kak,” ujar Agnes menggeser kembali amplop cokelat itu pada Geryl. “Ibu udah punya biayanya, Kak.”

Geryl menggeleng dan menyimpan amplop itu tepat di depan Agnes. “Ini emang nggak sampe setengahnya, Nes. Cuma kakak mohon supaya kamu terima ya. Kalo kamu menolak, kakak malah ngerasa makin berdosa sama keluarga kamu dan kamu sendiri.”

Agnes kontan terisak. Ia menahan tangisnya susah payah. Air matanya yang dikira sudah mengering, sekarang malah keluar kembali.

Ia tidak percaya, satu kecelakaan tempo itu malah mengakibatkan kekacauan sedemikian rupa.

Bapaknya, Ibunya, adiknya, bahkan kakak dari sahabatnya yang tidak tahu apa-apa soal kejadian dulu.

Agnes menyesal. Menyesal karena kecerobohan yang dilakukannya dua tahun lalu.

“Makasih, Kak,” ucap Agnes dengan suara bergetar, lalu membekap mulutnya.

Geryl hanya bisa terdiam di tempat. Hujan di luar seolah sedang berkonspirasi untuk mendukung kondisi cewek itu saat ini. Geryl hanya memandangi Agnes yang menunduk serta kedua bahu yang bergetar. Hatinya ikut menangis. Dirinya yang hanya sebagai penonton saja, sudah merasakan bagaimana beratnya beban yang ditanggung Agnes. Bagaimana dengan Agnes sendiri? Sekuat apa hatinya hingga cewek itu masih bertahan untuk tetap hidup?

Sementara itu, tak jauh dari keberadaan mereka berdua, seorang cowok terdiam bisu. Menatap cewek di depannya dan sesekali mengangguk untuk sekadar menunjukkan kalau dirinya sedang mendengarkan. Tapi, jauh dari realita sebenarnya, hati Gibran terenyuh.

Suara isakkan yang familier di otaknya, terdengar sampai ke indranya. Derasnya hujan tak mampu untuk menghalangi suara itu sampai ke telinga Gibran. Cowok itu tak sanggup menoleh untuk memastikan. Bukan karena ada pacarnya yang saat ini bersamanya. Melainkan cowok itu tidak tahu, apakah dirinya bisa tetap kuat untuk tidak memeluk Agnes? Lalu, mengujarkan kata-kata penenang seperti dulu dan membuat Agnes merasa lebih baik?

“Lo gapapa, Gib?”

Gibran memaksakan senyumnya tipis. Elsa yang melihatnya pun curiga.

“Lo udah selesai?” tanya Gibran lembut.

Lantas Elsa mengangguk. “Udah. Lo udah mau pulang?”

“Iya, gue udah cape. Gapapa kalo kita nerobos hujan?”

Elsa menoleh ke jendela. Hujan tidak lagi sederas tadi. Tapi, belum juga sampai dikatakan gerimis. Tadinya, kalau boleh, Elsa mau bertahan dulu di kafe. Tapi, melihat wajah Gibran yang lelah, Elsa terpaksa mengangguk. “Oke.”

Sejoli itu pun keluar dari kafe tersebut. Rasanya Gibran berat hati untuk meninggalkan kafe itu.

Agnes sedang ada di dalam dan Gibran tidak ada di sana.
Cowok itu sempat melihat sekilas posisi Agnes yang sedang menunduk dengan seorang cowok di depannya. Gibran tampak asing dengan cowok itu. Tapi, haknya apa untuk mengetahui itu?

Bukankah Agnes bukan siapa-siapa lagi?

Bukankah cewek itu tidak menerima keberadaan Gibran?

Namun, tetap saja. Ada kepedulian yang menggelegak di dalam hati Gibran. Gibran ingin menarik Agnes dan mengajaknya pergi. Merengkuhnya dan membuat cewek itu merasa lebih baik. Tapi, sekali lagi. Siapa dirinya bagi Agnes?

“Gib?”

Gibran berjengit dan cepat-cepat memakai helmnya dan satu helm lagi diberikan pada Elsa. Keduanya menaiki motor besar milik Gibran. Hingga akhirnya mereka pergi meninggalkan kafe tersebut dan menerobos hujan.

Dalam perjalan, sebersit keraguan menyelinap ke dalam sanubari Gibran.

Apa pilihannya hari ini sudah benar?

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Kayak lagu Justin Bieber, Despacito. Pelan-pelan aja for go to ending~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro