Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 33

Agnes sedang memegang pagar sekolahnya ragu. Ia enggan untuk masuk sekarang. Setelah satu minggu tidak sekolah, rasanya ia menjadi orang baru, baru kenal dunia.

Kalau saja tidak ada alasan untuk mengurus arsip kepindahannya, Agnes tidak akan ke sekolah hari ini. Banyak alasan baginya untuk malas ke sekolah. Selain tidak mau diwawancarai oleh orang-orang, ia juga tidak mau ketemu cowok itu. Rasanya ingin berlari menjauh dan tidak mengijak lagi gedung yang namanya SMA Perjuangan.

Penghuni sekolah bergiliran masuk. Mereka sesekali melihat Agnes heran dan juga sinis. Persepsi mereka ternyata masih sama. Agnes bukan manusia yang punya hati.

Cewek itu kemudian menarik napasnya untuk mengumpulkan tenaga, lalu diembuskannya pelan. Jika terus-terusan berdiam di gerbang, bisa-bisa dia terlambat dan malah dicap sebagai murid yang tidak tahu aturan.

Dengan sisa energinya, Agnes mengajak kakinya berpijak. Mau hal apapun itu, Agnes harus menghadapinya. Toh, waktu juga akan terus berputar. Meski Agnes tetap diam, hal yang tak diingkinkan pun tetap terjadi. Kenapa harus tetap merasa takut?

Suasana sekolah ternyata masih sama. Tidak ada perubahan spesifik apapun di sana. Kecuali, perasaan Agnes yang sekarang berubah.

Langkah Agnes menuju kelasnya yang sudah tampak dekat, serta-merta terhenti. Dua suara yang familier di ingatannya, sekarang menelusup ke indranya. Agnes tidak kuasa menoleh, bahkan untuk bernapas pun, Agnes terasa kesulitan.

Hingga dua orang itu melewatinya bersama tawa berderai, namun berkebalikan dengan perasaan Agnes yang telah terpatri luka yang banyak.

Gibran terlihat sedang mengusap puncak kepala Elsa dan Elsa yang menggenggam lengan Gibran erat. Keduanya terlihat bahagia. Raut wajah Gibran yang selama ini terlihat sendu, sekarang memancarkan kebahagiaan yang tiada tara.

Hati Agnes berdenyut. Rasanya seperti dipecut rantai. Rasanya sakit. Agnes terasa terperosok ke dalam sebuah lubang tak berujung dan tertahan di sana.

Gibran kemudian bersitatap dengan Agnes. Cewek itu hendak melambaikan tangannya. Tapi, Gibran kembali mengalihkan perhatiannya pada Elsa.

Terlambat.

Itu kata yang cocok dengan keadaan sekarang.

Agnes tidak rela. Ia ingin senyum Gibran itu kembali padanya.

Tapi, apa bisa?

Apa boleh?

Sedangkan dirinya sudah menciptakan luka yang banyak untuk Gibran.

Agnes refleks menghapus air matanya yang sempat ke luar. Dia tidak pantas menangis. Toh, dirinya yang membuat hal ini terjadi. Kalau Agnes saat itu mengatakan hal sejujurnya, pasti pemandangan menyakitkan ini tidak akan pernah ada.

Bukankah semua yang terjadi di dunia ini merupakan mukjizat dari apa yang kita pilih?

Agnes memilih berbohong dan membuat Gibran menyerah.

Itu yang terjadi dan Agnes harus menanggungnya.

Kenapa sakit hati bisa sesulit ini sih?

Kalau tahu, Agnes tidak akan menerima keberadaan Gibran dulu. Tapi, jika ia dulu memilih untuk tidak mengenal Gibran, apa ia akan terbebas dari yang namanya penyesalan? Tidak ada yang tahu.

"Nes, lo baru dateng?" Devin tiba-tiba ke luar dari kelas Agnes dan membuat cewek itu beringsut. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan Devin. Sudah cukup dulu Devin melihatnya menangis. Dan jangan lagi.

"Kenapa lo di sini?"

Agnes sempat ingin melirik keberadaan Gibran sekarang. Tapi, Devin seperti tidak memberi izin. Cowok itu bergeser untuk menutupi pandangan Agnes.

"Lo nggak kangen gue gitu?"

Mau tak mau, Agnes kembali berpaling pada Devin. Ternyata Devin mengerti perasaannya. Cowok itu tidak menanyai hal-hal klise seperti 'dari mana aja lo?', 'lo ada masalah?', dan Agnes bersyukur pada hal itu.

"Gue bahagia karna gue nggak liat lo."

Devin mendadak terlihat mendramatis. "Kok sakit ya lo bilang gitu?" tanyanya sambil memegang dada.

"Lebay lo!" Agnes terkekeh geli.

Devin merasakan hal berbeda, itu yang ia rasakan. Hanya saja, yang Devin tidak tahu adalah sejak beberapa hari menangis dan mendengar wejangan Geryl, Agnes merasa kekang yang selama ini menjeratnya terlepas. Agnes seperti burung yang baru bebas dari sangkarnya. Dan menunjukkan ekspresi selain sinis, kali ini terasa ringan sekali.

"Gue seneng liat muka lo kayak gitu," kata Devin sambil menunjuk wajah Agnes. Agnes seketika mendatarkan kembali ekspresinya. Baru juga diajak seneng, malah dibuat kesel.

"Diem lo!" hardik Agnes.

"Tapi tetep aja, Agnes galak gue suka." Agnes memelotot dan membuat Devin ngacir untuk menjauhi auman singa.

Tibanya di dalam kelas, Agnes mendapatkan tatapan heran dari teman-teman sekelasnya. Mungkin aneh saja, Agnes hilang tanpa kabar. Dan sekarang cewek itu datang tiba-tiba tanpa apapun yang kurang.

Mira langsung menatap kaget ketika Agnes menyimpan tasnya di kursi. Mira harus beberapa kali mengerjapkan matanya melihat keadaan Agnes sekarang. Ia tidak percaya, Agnes yang hilang saat ini kembali.

"Lo... baik?" tanya Mira ragu. Agnes menoleh dan menyunggingkan senyum tipisnya. Setidaknya, di hari terakhir sekolah, Agnes harus menunjukkan sifat baiknya.

"Gue baik."

Mira yang melihat senyum langka Agnes itu serta-merta menganga. Ia menggelengkan kepalanya memastikan realita yang dianggapnya ajaib.

"Lo yakin gapapa?" tanya Mira sambil mencodongkan badannya. Ia menatap Agnes khawatir. Apa Agnes sudah kecelakaan hingga ia lupa sifat sebenarnya?

"Iya, gue gapapa. Lo kali yang kenapa-kenapa."

Sekali lagi, Mira hanya bisa melongo tak percaya. Tidak ada lagi tatapan sinis dan nada bicara ketus. Yang ada, yaitu ucapan hangat dan ramah ketika Agnes berbicara barusan. Dan Mira berkali-kali harus mencerna apa yang terjadi.

Keduanya pun diatapi keheningan. Mira bingung ingin berbicara apa, sedangkan Agnes bimbang untuk menanyakan pertanyaan yang sedari tadi ada di otaknya. Tapi, Agnes mencoba berpikir lagi. Kalau hanya di simpan dalam hati, kebingungannya tidak akan pernah terjawab.

"Gibran..." Mira sontak menoleh, "Gimana?"

Mira tahu, ada maksud lain dari sepenggal pertanyaan itu. Kabar itu pasti sudah sampai di telinga Agnes. Mengingat reputasi Gibran dan Elsa yang seimbang.
Lantas Mira mengembuskan napasnya. "Ya, dia jadian sama Elsa."

Agnes berusaha tegar, meski nyatanya air mata sudah bergumul di retinanya. Walau ia sudah meyakinkan hatinya untuk tetap kuat, tapi tetap saja sakit itu ada.

"Lo gapapa?"

Agnes kontan mengusap matanya. Menghapus air mata yang bisa meluncur kapan saja. "Gue udah tau dan gue gapapa."

"Sorry," ucap Mira lesu. "Gue udah bilang yang sebenernya sama Gibran, tapi dia tetep nggak dengerin gue. Tena juga-"

"Udah, Mir," tahan Agnes. "Lo udah baik banget sama gue. Mungkin ini emang udah jalannya gue sama Gibran."

"Lo masih suka sama Gibran?" tanya Mira hati-hati.

Agnes menyenderkan punggungnya sambil tersenyum miris. "Mau perasaan gue gimana pun juga, nggak akan penting, Mir. Semuanya udah terlambat."

"Tapi-"

"Tau nggak, Mir?." Agnes menoleh, "Kadang kebenaran yang bersifat baik pun tetep bisa kalah sama ilusi."

Mira bergeming, tapi ia juga sedang mencoba mencerna penjelasan Agnes. "Sekali pun gue bilang kebenaran perasaan gue, apa semuanya bakal balik lagi?" Agnes menggeleng dan melanjutkan, "Nggak akan bisa, Mir."

Untuk ke sekian kalinya, Mira kalah. Walaupun Mira bisa memperbaiki hubungan antara Agnes dan Gibran, nyatanya hanya itikad dari keduanya yang bisa menjawab baik atau tidaknya hubungan mereka.

Cukup di sini Mira menolong. Giliran Agnes dan Gibran yang berjuang demi perasaan mereka masing-masing.

**

"Lama-lama lo kayak jelangkung aja, Nes," ujar Gladys sembari menyimpan nampan berisi sepiring siomay dan duduk di depan Agnes. "Tiba-tiba datang, tapi pas kita cari kagak ada."

Agnes menelan kunyahan nasi gorengnya kemudian berpaling pada Gladys. "Gue ada urusan. Nggak penting juga gue umbar-umbar alesannya."

"Ya seengaknya elo ngasih sms, kek."

Agnes kemudian menyunggingnya senyumnya. "Thanks udah khawatirin gue."

Gladys berlaga muntah. "Elo pulang makin kepedean ya," ucap Gladys kesal. "Gue pikir jiwa lo udah ketuker sama arwah lain."

"Asli, Dys," Mira ikut menimpali, "Gue aja pangling."

"Lebay kalian."

"Lo tau nggak?" bisik Gladys mencondongkan kepalanya pada Agnes. "Lo tuh udah kayak pasien kanker yang sisa hidupnya tinggal seminggu lagi."

Agnes spontan memelotot. Bisa-bisanya Gladys mencelanya seperti itu. Memang salah Agnes jadi mudah senyum dan ramah? Bukannya dari dulu mereka protes karena sikap dinginnya?

"Enak aja! Gue sehat kok!"

"Trus kenapa lo berubah?"

"Nggak boleh?"

Gladys bergeming. Cewek itu memang ceplas-ceplos kalau ada yang membuatnya risau. Tapi, tergantung situasi juga. Kadang Gladys mengeluarkannya di waktu yang tepat. Atau seperti sekarang. Sekalinya ada yang aneh dari Agnes, Gladys langsung mengucapkannya.

"Eh Mir, anak ini udah tau soal cowok itu?"

Agnes yang hendak memasukkan sesendok nasi berhenti sejenak. Niatnya bisik-bisik, suara Gladys malah kedengeran kayak yang sengaja biar Agnes tahu.

Mira pun mengangguk dan melirik Agnes yang sedang damai sama makanannya.

"Lo gapapa, Nes?"

Agnes mengedik. "Like you see."

"Ohya Mir, si Tena kemana? Biasanya suka nempel sama lo," kata Gladys mengalihkan pembicaraan. Menghindari momen yang pasti akan berakhir sentimental.

"Katanya ada yang diurus di Ruang OSIS."

Gladys mengangguk-angguk. Ia segera memakan siomay yang sedari tadi dianggurkan. Tapi, belum juga siomaynya masuk mulut, sepasang mata Gladys serta-merta melihat kedatangan cewek-cowok yang begitu familer. Gladys lantas melirik Agnes bergantian.

Bisa kacau kalo Agnes sampai lihat.

"Nes-"

"Gue boleh gabung? Yang lain tempatnya penuh."

Agnes mematung. Belum sempat Gladys memperingati, sepasang kekasih baru itu sudah berdiri di samping meja mereka. Gladys mengedarkan pandangannya ke penjuru kantin. Hasilnya, nihil. Tidak ada tempat kosong selain di meja mereka.

Semesta memang seperti sengaja mempertemukan Gibran dan Agnes dalam satu kebetulan.

"Nes?" Gladys bertanya. Gibran dan Elsa melirik cewek itu. Menunggu jawaban apa yang hendak dikeluarkan.

Cewek yang sempat tertegun itu diam-diam menghela napasnya. Menahan emosi yang sudah berkecamuk di dalam dadanya.

"Terserah," jawab Agnes singkat.
Elsa duduk dengan santainya di samping Agnes dan Gibran duduk dengan canggung di samping Mira.

Suasana meja seketika berubah menjadi sepi. Tidak ada yang bersuara setelah Gibran pergi untuk memesan makanan. Gladys dan Mira sibuk dengan makanannya. Tidak ingin bercakap-cakap seperti biasa pada Elsa mengingat perbuatan cewek itu.

"Kalian udah tahu model baju baru di butik deket rumah gue?" tanya Elsa memecah kesunyian. Gladys hanya meliriknya sekilas dan Mira berpura-pura tidak mendengar.

Agnes ingin menertawakan hal itu. Tapi, dia ingat kalau mempermalukan orang di depan umum tidak masuk ke dalam perbuatan budi pekerti yang baik.

Elsa mengembuskan napasnya pasrah. Memutar bola mata tanpa sadar. Dia juga jengah untuk berpura-pura baik. Lagi pula dia sudah mendapatkan Gibran. Untuk apa terus-menerus berusaha menjadi baik?

"Nih, pesenan lo. Batagor nggak pake timun," ucap Gibran sembari membawa semangkuk batagor dan bakso ke meja.

Agnes meliriknya sebentar. Dulu dia yang menjadi prioritas Gibran. Tapi, posisi itu sekarang sudah berpindah.

Gladys mendengus. Jijik melihat reaksi Elsa yang berlebihan ketika mengucapkan terima kasih. Dan gilanya Gibran malah mengacak rambut cewek itu gemas.

Gladys nggak bisa mikir lagi. Sepertinya dunia sudah mau kiamat. Agnes yang jadi baik dan Elsa yang jadi prioritas Gibran. Setelah itu, hal apa lagi yang berubah?

"Kok lo ke kantin nggak bilang gue sih?"

Gladys tersentak. Siomaynya hampir dimuntahkan kembali ke piring. Kedatangan Devin yang duduk di sisi Agnes yang lain menambah daftar keanehan jam istirahat kali ini.

Padahal cowok itu tidak pernah ke kantin setiap kali istirahat. Tempat nongkrongnya kan di atap sambil ngerokok?

Refleks, Gladys mengempaskan sendoknya ke piring dan menciptakan bunyi yang nyaring.

Bisa gila gue.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Calm down~

This is antiklimaks, yeah? Bikin Gibran dan Elsa makin lengket gapapa kali ya?😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro