Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 31

Gerimis hari ini tidak terlalu besar. Gerimis pertama di bulan November. Tapi, sekaligus merayakan ramainya luka yang datang bertubi-tubi pada cewek itu.

Tubuhnya tak luput dari singgahan air dari langit. Tak ada satu tetes pun yang ia rasakan. Semua indra perasanya mendadak mati. Saraf dan perasaannya terasa sudah kadaluarsa. Entah memang mati ataukah karena ia terlalu terbiasa lantaran hidupnya seperti ini terus.

"Kamu nggak sekolah?"

Suara itu menyentaknya kembali ke dunia nyata. Cewek itu tersenyum sekuat yang ia mampu. Geryl bisa menerka senyum itu bukan dari hati. Tetapi, sisa senyum yang cewek itu miliki hingga detik ini.

"Aku nggak akan fokus sekolah Kak kalau dalam keadaan gini," ujarnya prihatin sembari menatap taman rumah sakit yang sudah terbilang sepi.

"Maaf," kata Geryl lugas. "Semua masalah kamu karna Genta. Dan sumbernya dari Kakak yang nggak bisa jaga Genta dengan becus, Nes."

Agnes menghapus air mata yang sempat meluncur. Jika ia diingatkan terus perihal masa lalu itu, sama saja terus menyiram lukanya dengan air garam. Perih dan sukar kering.

"Lupain aja, Kak. Aku nggak mau inget lagi." Lantas Agnes menundukkan pandangannya serta mecengkram erat kedua tangannya untuk menahan tangisan. "Genta juga nggak mungkin bangun lagi untuk memperbaiki semuanya."

Geryl berpaling pada cewek yang saat ini terlihat begitu lemah. Wajah tembok dan sikapnya yang tak pernah lagi acuh, kini semuanya sudah lebur. Tergantikan oleh sosok sebenarnya. Sosok yang ternyata begitu lemah dan ringkih tuk menanggung luka.

Pria itu tetap terdiam. Ia merasa tak pantas untuk menyentuh cewek itu lagi. Semenjak kejadian dua tahun lalu, ia memutuskan untuk membentangkan jurang di antara mereka. Itu sudah cukup untuk menyadarkan dirinya kalau tak ada kata pantas untuknya di samping Agnes.

"Apa kamu menyesal menolong Genta waktu itu?"

Geryl bertanya setelah beberapa menit berselang. Cewek itu mendongakkan kembali kepalanya. Bersama sesak yang berkecamuk di dalam dadanya, Agnes mencoba menjawab, "Jujur, aku nyesel kalo ternyata malah adik aku yang jadi korbannya, Kak." Air mata itu meluncur dan secepat itu juga ia seka. "Tapi, kalo aku biarkan, aku malah ngerasa jadi manusia jahat karna membuat Genta sampai tertangkap."

"Bukannya itu lebih baik, Nes? Mengorbankan Genta daripada adik kamu sendiri?"

Cewek itu menarik napasnya dalam. Menenangkan berbagai macam emosinya yang menggelegak. "Itulah kenapa aku nggak mau nolong orang lagi, Kak. Aku nggak mau ngerasain lagi gimana rasanya memilih untuk menolong. Antara keluarga dan sahabat. Semuanya sama-sama penting buatku."

Geryl terdiam dan Agnes kembali melanjutkan, "Aku nggak mau dampakku menolong harus berefek negatif padaku dan orang lain, Kak."

Pria itu kembali tertegun. Agnes sudah menjalankan hidupnya berlandaskan pengalaman buruk dan mengambil kesimpulan yang salah. Gadis yang sejatinya tak pernah sedikitpun tak acuh pada orang lain, sekarang harus berotasi menjadi manusia tak berhati. Geryl menyayangkannya.

Padahal, dulu cewek itu menolong adiknya yang notabene sang pecandu narkoba. Namun, sekarang kata membantu menjadi hal paling berdosa di dalam hidup Agnes. Kenapa sebuah pengalaman harus berdampak buruk pada pemikiran seseorang?

"Apa harusnya aku diciptakan menjadi manusia nggak punya hati ya, Kak?" tanya Agnes miris. Ia meremas kedua jemarinya. Menahan air mata yang terus mendobrak pertahanannya. Ia tidak ingin menangis lagi untuk menunjukkan kelemahannya.

"Bukan kamu yang salah, Nes. Bukan masalah menolong bencana itu datang."

Agnes bergeming, tak menjawab. Dirinya masih menunduk menatap jemarinya yang sudah dibasahi peluh dari telapak tangannya. Angin senantiasa membelai wajahnya. Membawa melayang anak-anak rambut Agnes yang tidak ikut terikat.

"Manusia diberi hati nurani untuk melakukan kebaikan dan memberikan pertolongan. Dan yang menjadikan pertolongan itu menjadi buruk bukan kita, Nes." Geryl memberi jeda lantas menghirup napasnya dalam dan menyambungkan, "Tapi, semuanya tergantung pada orang yang kita tolong. Bagaimana mereka memanfaatkan niat baik kita. Jadi, Kakak mohon. Jangan terus-menerus menyalahkan diri. Tetaplah jadi Agnes yang Kakak kenal."

**

Elsa lelah. Ia terus mengejar Gibran yang tak kunjung memelankan kecepatan langkahnya. Untuk ke sekian kalinya, cowok itu pergi meninggalkan latihan di tengah acara. Waktu lomba sudah seminggu lagi. Tapi, cowok itu tidak menunjukkan perubahan sama sekali. Elsa tidak bisa terus-menerus membiarkan cowok itu berlarut-larut dalam kesedihannya. Ia harus segera bergerak cepat.

Gibran sedang berada di dalam titik terlemah dalam hidupnya. Saatnya ia dibutuhkan. Saatnya Elsa menggunakan amunisi terakhir agar cowok itu berpaling.

"Gibran berhenti!" jerit Elsa lelah. Cowok itu berhenti di tempat. Elsa sudah berlinangan air mata. Ia berusaha terisak. Menunjukkan bahwa dirinya adalah manusia yang paling menderita di muka bumi in.

"Gue cape, Gib. Gue nggak tau harus berbuat apa lagi biar lo balik lagi kayak Gibran dulu." Elsa mendekat pelan begitu mendramatisir.

"Nggak ada kata dulu, Sa," sahut Gibran dingin.

"Tapi, seenggaknya elo hargain usaha gue, Gibran!" bentak Elsa serak. Ia mulai menangis. Jika cara ini gagal, mau tak mau ia harus berhenti. Cewek itu tidak mau terus-menerus merendahkan diri demi seorang cowok yang tidak pernah bisa mencintainya.

Elsa menelan salivanya. Cewek itu terlalu larut dalam tangis. Ia kemudian menghapus air matanya kasar. "Gue tau gue cewek murahan yang ngejar-ngejar cinta elo. Tapi, gue mau lo ngerti posisi gue, Gib. Ngejar orang yang nggak peduli sama perasaan kita itu rasanya sakit. Gue tau lo pasti ngerti banget perasaan kayak gini."

Elsa menghela napasnya. Gibran tak kunjung berbalik. Sudah kepalang tanggung. Ia harus cepat-cepat menyelesaikannya. "Kasih gue kepastian. Apa gue harus nyerah atau bertahan?"

Nyerah atau bertahan.

Kata-kata itu menenggelamkan Gibran pada waktu ia menagih kepastian pada Agnes. Cewek yang berhasil menjungkirbalikkan hidupnya sedemikian hebatnya.

Menanyakan hal itu merupakan hal terberat. Rasanya ingin tetap bertahan. Tapi, yang dipertahankan malah berbalik dan tak acuh. Gibran sangat mengerti perasaan itu. Dan ia tidak mau ada orang lain selain dirinya merasakan hal sama.

Cowok itu kemudian berbalik. Hatinya seketika terenyuh melihat wajah penuh peluh dan air mata milik Elsa. Ternyata tanpa disadari, dirinya telah menyakiti cewek itu. Gibran terlalu fokus mengejar cinta yang tak mungkin membalasnya dan melupakan sosok yang sabar menghadapinya.

Elsyana Abimanyu.

Perempuan sabar yang tak pernah menyerah meski Gibran selalu mengejar Agnes secara terang-terangan. Perempuan yang tegar ketika Gibran tak pernah berpaling sedikit pun dari Agnes. Perempuan yang tak pernah mengeluh untuk tetap menghadapi perangainya yang buruk.

Dirinya sudah terlampau jahat menjadi seorang cowok. Lalu, apa bedanya dia dengan Agnes?

Tidak! Gibran tidak mau menjadi orang yang menyakiti perasaan manusia lain. Gibran tidak mau seperti Agnes yang tak pernah menghargai perasaan orang lain. Gibran adalah Gibran. Cowok rendah hati yang nggak pernah tegaan.

"Maafin gue, Sa," ujar Gibran seraya mendekati Elsa yang saat ini terisak. "Gue jahat karna nggak nyadar ada elo yang selalu sabar di sisi gue."

Elsa bergeming. Dalam hati ia bergempita karena aktingnya benar-benar sukses tanpa celah. Gibran percaya. Dan cewek itu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang semesta berikan padanya.

"Elo nggak usah minta maaf, Gib. Gue yang salah. Gue udah ganggu hidup lo dan hubungan lo sama Agnes. Gue sadar, harusnya gue nyerah dari dulu, Gib." Elsa menunduk sembari isakkan terus ke luar dari mulutnya. Gibran tak membalas cepat. Cowok itu menarik tangan Elsa pelan. Dibawanya tubuh kecil itu ke dalam dekapannya.

Gibran memeluknya. Elsa tersenyum dan secara cepat ia sembunyikan dengan wajah menyedihkannya. Cowok itu mengelus rambut panjang Elsa. "Nggak. Elo jangan nyerah, Sa. Bikin gue jatuh cinta lagi sama elo kayak dulu."

Bolehkah Elsa bahagia sekarang? Akhirnya Gibran memberikan lampu hijau untuknya. Tidak ada lagi penolakan yang berujung sakit. Yang ada adalah sebuah penerimaan berujung kebahagiaan manis. Gibran menerimanya. Usahanya tak sia-sia.

Sedangkan Gibran, cowok itu sudah menyerah pada takdir. Ia tidak ingin mengambil sesuatu yang bukan miliknya lagi. Ia juga manusia. Ia punya batas kemampuan untuk menunggu. Dan inilah akhirnya. Inilah akhir dari perjuangannya mengejar Agnes.

Masa itu telah datang. Masa dirinya sudah angkat tangan untuk mendapatkan sesuatu yang ia inginkan. Elsa adalah jawabannya. Elsa adalah cewek yang seharusnya ia perjuangan dari awal. Gibran terlalu dibutakan oleh kesimpulan cepat dari analisisnya yang kurang data.

Nyatanya, Elsa adalah manusia tersabar yang pernah Gibran temui dan Agnes adalah manusia teregois yang pernah Gibran cintai.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

(!!) Jangan baca kalo gaje:

Long time no see, Gibran. Maafkan, gigiku baru bisa dikendalikan. Jadi, baru bisa update again hehe😂

Btw, ini part, sinetron banget, ya Lord. Akoeh baru nyadar, Gusti😄 Tapi, gapapa deh ya. Namanya juga sedang berimajinasi. Sebebas akoeh deh ya😄

But, kalo ada yang nggak suka, boleh komen2 sini qaqa. Aku aja kurang sreuk, Bos!

Udah tamat Gibran, aku sudah siapkan story baru. Yang lebih *uhuk* teen banget. Nggak terlalu dramatis intinya.

Sankyuu yang udah baca😘

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro