Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 28

“Gib,” sapa Elsa di ambang pintu kelas Gibran.

Cowok itu menoleh dan mendapati Elsa sedang tersenyum. Dan senyuman itu entah sejak kapan terlihat memiliki makna yang berbeda dari biasanya. Membuat jantung Gibran berdetak dua kali lebih cepat.

Tena memandang cowok itu sedang terpaku. Merasa ada sesuatu yang aneh, Tena tidak lantas bertanya. Ini bukan waktu yang tepat. Berhubung sang pacar telah membuat janji untuk bermain sepulang sekolah. Entah apa alasannya, Mira mendadak ingin jalan-jalan dengan Tena.

Tanpa ada izin, Tena melengos dan sekilas melirik Elsa. Ada sesuatu yang berbeda dari cewek itu. Dan Tena tidak ingin jauh memikirkannya.

Di samping itu, Gibran mendekati Elsa bersama wajah datar seperti biasanya. Rasanya Gibran tidak tega untuk berbuat keras pada Elsa. Cewek itu sudah terlampau sabar di dekatnya. Tapi, Gibran juga tidak ingin menimbulkan harapan bagi cewek itu.

“Gue mau—“

“Latihan yuk!” ajak Elsa suka cita tanpa mau mendengar kelanjutan ucapan Gibran. Padahal cowok itu hendak menolak ajakkanya untuk ke aula. Mengetahui Agnes tidak ke sekolah kata Mira, Gibran kembali frustrasi. Sekolah tampak jadi tempat membosankan. Gibran tambah malas untuk berdiam lama-lama di sekolah jika tidak ada Agnes di dalamnya.

“Lombanya dua minggu lagi lho, Gib.”

Gibran terdiam. Mendengar deadline lombanya semakin dekat, Gibran tidak punya pilihan lagi. Bukankah lebih baik menyelesaikan ranah praktingannya ini lebih cepat? Toh, tidak ada gunanya lagi sekarang. Agnes tidak melihatnya selama di atas panggung. Terakhir kali cuma waktu itu. Itu juga baru setengah. Terus apa gunanya Gibran totalitas sekarang.

“Elo nggak mau ngecewain Mas Ret dan anggota teater lain, 'kan?” Elsa mencoba memastikan karena melihat Gibran tak menjawab.

Gibran semakin bimbang saja untuk menolak. Kalau urusannya itu sudah ada sangkut-pautnya dengan perasaan orang lain, Gibran tidak tega. Mau tidak mau, ia harus menyanggupinya. Kan cuma dua minggu ini bukan dua tahun. Kalau selesai, Gibran tinggal ke luar dan kembali mendekati Agnes. Simple. Terlalu mudah. Beres.

“Oke,” jawab Gibran akhirnya. Ia pun pergi berniat menuju aula. Elsa bersorak dalam hati. Gibran terlalu mudah untuk dipermainkan. Tinggal disinggungkan dengan perasaannya yang sensitif, Gibran langsung nggak tegaan.
Tinggal selangkah lagi. Mudah. Selesai. Elsa bahagia.

“Ohya, Gib. Tadi pagi gue ketemu Agnes,” ucap Elsa membuat langkah Gibran terhenti. Cowok itu berbalik ke belakang menatap Elsa penuh tanya.

“Di mana?”

“Pas gue ke kantin, gue liat Devin sama Agnes berdua ngobrol, gitu. Dan gue kaget banget di situ,” tutur Elsa membuat Gibran semakin penasaran. Elsa merekahkan senyum sebahagia mungkin. “Gue baru liat Agnes senyum sama Devin, Gib. Kemajuan, 'kan?”

Beribu godaman tepat mengenai ulu hati Gibran. Ia semakin terperosok ke dalam rasa sakitnya sendiri. Dari kemarin ia cemas soal keadaan Agnes. Dan sekarang cewek itu sedang bersama cowok lain? Ditambah Agnes tersenyum?

Pada Gibran saja Agnes jarang tersenyum. Lalu, sekarang cewek itu mudah senyum pada orang lain? Dan notabenenya adalah rival Gibran sendiri? Harusnya ia tahu sedari awal. Devin tidak mudah ditaklukan kalau Gibran tidak melakukan antisipasi. Devin sudah mencolong start duluan. Ah, tidak. Lebih tepatnya Devin menyalipnya dari belakang tanpa Gibran sadari.

Bersama amarah yang menggebu, Gibran berbalik bersama kepalan tangan yang terus menguat. Bukannya menenangkan, Elsa malah menyeringai. Namun, cepat-cepat ia ganti dengan wajah ketakutan dan mengejar Gibran yang berlangkah panjang.

“Elo gak bisa nemuin Agnes di kelas!” tahan Elsa sewaktu Gibran hampir tiba di depan kelas Agnes yang sudah tampak sepi itu.

Akal sehat cowok itu mati dan ia berbalik. “Dia di mana?”

“Gue tadi liat dia ke belakang sekolah.”

Gibran tak bertanya banyak hal lagi. Yang ia mau adalah kepastian atas realita yang Elsa jelaskan tadi. Jika Agnes sekolah, kenapa Mira berkata bohong? Apa Agnes yang menyuruhnya? Jika iya, apa tujuan Agnes sebenarnya? Apa ia hanya ingin tenang tanpa ada gangguan dari cowok seperti Gibran?

Bukankah terakhir ketemu, Agnes terlihat baik-baik saja sewaktu bersama dirinya? Apa sih yang ada di dalam otak cewek itu? Kenapa begitu mudahnya menarik ulur hati Gibran bergitu mudahnya?

**

Ada satu hal yang mengganggu pemandangan Agnes. Terasa mengganjal dan aneh terus ingin muntah. Devin sedang membuka lebar tangannya seolah menunggu Agnes untuk datang ke pelukannya. Benar-benar GR tingkat maksimal. Boro-boro mau meluk, lihat Devin begitu saja Agnes sudah mau buang hajat.

“Ngapain lo ke sini?” Agnes sekilas mengangkat dagunya. Devin merengut melihat reaksi di luar khayalnya. Padahal dirinya sudah membayangkan Agnes datang dan berlari. Devin merentangkan tangannya dan memeluk Agnes penuh suka cita dan kebahagiaan dimana-mana. Mengangkat Agnes dan memutar-mutarnya bak di film sinetron India. Nyatanya, bukan pelukan yang Devin dapatkan. Tapi, tatapan laser khas Agnes yang menusuk hatinya.

“Elo kan yang ngajak gue ke sini.”
Devin menurunkan kedua lengannya lesu. Agnes mengangkat salah satu alisnya tak mengerti. Oh, ayolah. Agnes terlalu punya gengsi tinggi untuk ngajak janjian seorang cowok. Gibran saja sering Agnes cuekkin buat ngajak jalan. Dan cowok itu yang selalu punya inisiatif untuk ngajak main. Dan Agnes malah dituduh Devin mengajaknya ketemuan?

Kayaknya Devin benar-benar harus dibawa psikiater. Kepercayaandirinya sudah lewat dari ambang batas manusia normal.

“Gue gak pernah ngajak elo.”

“Elo bohong.”

“Gue ga—“

“Ini buktinya,” potong Devin menunjukkan secarik kertas yang ia temukan di kantin tadi pagi. Agnes memandang kertas itu dengan sorot kebingungan.
Agnes tak pernah menulis surat seperti itu. Tulisannya juga beda dari tulisan Agnes. Cewek itu jadi tambah yakin kalau dirinya bukan tersangka dari penulisan surat kecil itu. Sehingga Agnes tidak takut kalau misalnya ia pernah tidak sadar untuk menuliskan itu untuk Devin.

“Itu bukan tulisan gue.”

Alis Devin berkerut sambil memandang tulisan yang katanya bukan dari Agnes. “Masa?”

“Trus buat apa lo kemari?” Devin mendongak.

“Gue tadi dapet sms—“
Agnes menghentikan ucapannya. Devin menunggu jawaban Agnes yang belum ada kelanjutannya itu. Agnes yakin Elsa yang mengirimkan smsnya tadi pagi dan pasti Elsa juga ada sangkut pautnya dengan surat yang ditulis untuk Devin itu.

Belum selesai berspekulasi, Agnes tiba-tiba mematung mendengar namanya dipanggil cukup keras. Ia berbalik dengan seluruh tenaga yang punya. Cowok itu berjalan dengan kecepatan penuh bersama seorang cewek di belakangnya yang tergopoh-gopoh.

Gibran datang bersama kilatan amarahnya.

Bugh

Satu godaman keras membuat jantung Agnes hampir berhenti. Devin tersungkur ke tanah selesai satu pukulan mengenai rahangnya dan membuat sudut bibirnya berdarah. Belum sempat Devin bangkit dan membalas, ia melihat Agnes ditarik kasar oleh pelaku pemukulnya.

Devin memandang cewek yang saat ini memunggunginya. Ia berdiri susah payah dan mendekati cewek itu sambil meringis merasakan perih di bibirnya.

Sejak kapan Gibran punya tenaga sebesar badak? Bahkan ketika SMP, untuk membuka tutup botol saja Gibran harus pakai gigi. Benar-benar cowok lemah.
Dan sekarang dalam satu detik Gibran membuat Devin berdarah? Apa Gibran telah bertransformasi menjadi popeye?

“Elo yang buat semua ini?”

Elsa yang tadi memandang kepergian Gibran dengan miris menoleh. Ia kira bisa mendapat tontonan spektakuler. Seperti Gibran yang membentak Agnes habis-habisan. Tapi, sekarang Gibran malah terlihat seperti cowok yang cemburuan. Menarik Agnes menjauh dan tidak membiarkan orang-orang tahu masalahnya.

Kalau dibuat berdua kayak gitu, bagaimana Elsa mau so jadi malaikat yang selalu ada di sisi Gibran? Sedangkan cowok itu malah berbalik pada cewek egoisnya itu. Eh bukannya Elsa juga egois?

“Kalo iya kenapa?”

“Maksud lo apa buat mereka jadi marahan gitu, hm?”

Elsa berdecih. Bisa-bisanya Devin jadi orang munafik. “Bukannya lo ngarepin mereka pisah juga ya?”

“Maksud lo?” tanya Devin kebingungan.

“Emang lo pikir gue buta?” tukas Elsa. “Mana ada seorang Devin penasaran sama cewek sampe segitunya? Gue aja lo tolak.”

Devin masih tidak mengerti. Penasaran? Ia hanya berusaha bersikap manusiawi. Dia hanya ingin berteman dengan Agnes. Dan hanya ingin meluruskan kepelikan masalah hidupnya.

“Gue gak ngerti.”

Elsa mendelik. Ganteng sih ganteng. Kalau urusan perasaan sendiri ternyata Devin bego ya?

“Elo itu suka sama Agnes. Dan elo pura-pura marah karena Gibran dan Agnes gak akur?” sindir Elsa telak. “Elo pikir gue bego?”

“Gue gak—“

“Elo suka, Vin,” sela Elsa. “Harusnya elo ada di pihak gue juga buat misahin mereka. Gue suka Gibran dan elo suka sama Agnes. Kita sama-sama misahin mereka dan akhirnya kita dapet pasangan kita masing-masing. Adil, 'kan?”

Elsa mencoba mencari sekutu. Tidak ada larangannya kok kerja sama dengan mantan gebetan. Bukannya hal ini juga menguntungkan dirinya? Kedatangan Devin ternyata bisa berguna juga di saat genting seperti ini.

“Gimana? Lo mau?”

Tawaran Elsa tampak menggiurkan. Devin tidak bisa menapik lagi ada perasaan penasaran yang berubah menjadi perasaan bahagia membuncah kala bersama Agnes di dekatnya. Meski cewek itu selalu terlihat ketus, namun selalu bisa membuat Devin panas dingin untuk membuatnya tersenyum. Lalu sekalinya tersenyum, malah membuat Devin ingin tertembak di tempat.

Tapi, apakah ia tak berdosa memisahkan dua insan yang saling mencintai namun salah satunya gengsi itu?

**

Agnes mengelus pergelangannya yang sakit. Bekas tarikkan Bapaknya tempo hari sekarang semakin terasa lagi. Dan dilakukan oleh laki-laki yang punya tempat istimewa di hati Agnes.

Cewek itu tidak berani memberontak. Gibran selalu punya racun yang mematikan untuk membuat dirinya bungkam dan lumpuh seketika. Tangannya yang ditarik secara paksa menjadi mati rasa. Dan sakitnya malah terasa sekarang.

“Gue mau lo jawab jujur, Nes,” ucap Gibran menahan sesuatu yang meledak di dadanya.

Agnes terdiam. Jangan sampai Gibran menanyakan itu. Agnes tidak ingin jujur sekarang. Apalagi di tempat yang membuat Agnes mendadak sentimental seperti danau ini. Hati Agnes tidak mungkin bisa berkutik.

“Apa gue masih ada di hati elo?”

Cewek itu semakin terjerembab dalam ruang kosong. Hanya menyisakan dirinya dan Gibran serta sederetan kata yang tidak pernah Agnes harapkan.

Kalau ia adalah ekstrovert, dengan senang hati Agnes jujur. Tapi, Agnes bukan tipikal seperti itu. Sekali lagi, untuk kesejuta kalinya, Agnes bukan cewek yang mudah mengatakan perasaannya.

“Kenapa lo nanya gitu?”

Gibran menghela napasnya. Teralu sulit untuk membuat cewek itu menjawab pertanyaan yang selalu bermakna sama seperti barusan. Memang fitrahnya kalau sebuah tindakan lebih baik dibandingkan sepatah ucapan. Namun, Agnes yang tidak menunjukkan keduanya membuat Gibran ragu berdiri di ambang batas seperti ini.

Antara bertahan... atau menyerah.

“Gue bingung sama perasaan elo, Nes,” keluh Gibran. Perasaannya mulai melemas. “Elo selalu menjauh. Elo seakan nggak mau kalo gue menyentuh hidup lo, Nes. Dan gue mau nanya. Apa gue bukan orang yang penting buat hidup lo lagi?”

Tatapan Gibran yang penuh harap hampir membuat Agnes memeluk cowok itu dan mengatakan kalau semua persepsi buruk cowok itu tidak ada yang benar. Agnes ingin bilang kalau Gibran adalah sosok penting. Gibran yang selama ini menggantikan Bapak yang dulunya selalu menjadi pelita buat Agnes.

Karena Gibran penting, Agnes tidak ingin terlihat lemah. Agnes ingin terlihat tak punya masalah apapun sehingga orang yang dianggapnya penting itu, tidak menganggapnya remeh. Jadi, Agnes berusaha menutup diri. Ia tidak ingin membuat Gibran mengasihani dirinya dan malah beropini kalau dia bukan cewek tangguh.

“Nes,” panggil Gibran seraya mendekat. Namun, Agnes mundur. Luka Gibran semakin menganga lebar. Perihnya semakin nyata. Dan Gibran semakin rapuh untuk menahan sakit yang terus-menerus mencabik nadinya.

“Apa lo masih…,” Gibran menggeleng. “Maksud gue, apa lo pernah suka sama gue, Nes?”

Cewek di depan Gibran itu semakin kaku. Saraf otaknya seakan berhenti berputar mencari jawaban untuk berdalih kembali. Mengalihkan atau berlari melewatkan momen seperti ini. Namun, tubuhnya seolah diguyur oleh cairan semen dan akhirnya mengering. Agnes mendadak seperti patung.

“Gue mohon. Biar gue yakin, Nes. Apa gue harus bertahan... atau menyerah?”

Jangan nyerah, Gib. Tunggu lebih lama lagi.

Agnes ingin mengutarakan isi hatinya itu. Tapi, ia sadar kembali. Ia tidak ingin egois. Ia tidak mau melihat Gibran berjuang sendirian untuk menunjukkan perasaannya. Sedangkan dirinya berdiri bak patung yang tak pernah mengerti sama sekali tentang perasaan cowok itu.
Itu tidak adil bagi Gibran.

“Nes, gue—“

“Nyerah aja, Gib,” potong Agnes berat hati. Ia berusaha tenang. Dengan topeng temboknya, Agnes kembali melanjutkan, “Kalo lo udah cape, mending lo berhenti.”

Agnes ingin menjerit. Ia ingin meralat dan membuang kata-kata busuk itu dari mulutnya. Tapi, waktu sudah terlanjur berputar. Satu luka terlanjur tergores di hati Gibran. Dan satu penyesalan kembali menjadi beban di hati cewek itu.

“Kenapa? Apa lo nggak mau balikkin kita yang dulu, Nes?”

Agnes ingin menangis. Liquidnya sudah mulai menggumpal di pelupuk mata. Kenapa membohongi perasaan bisa sesakit ini?

“Nggak, Gib. Lebih baik kita kembali menjadi dua sisi yang tidak saling mengenal,” ucap Agnes serak. “Elo dengan hidup lo dan gue dengan hidup gue. Gak ada pihak mana pun yang disakiti atau menyakiti.”

“Kasih gue kejelasan untuk berjuang, Nes. Dengan lo mau nangis gitu, apa gue mudah percaya dengan ucapan elo?”

Agnes refleks menghapus air matanya kasar. Ia menarik napas untuk menstabilkan emosi yang terus berkecamuk di dalam dadanya. Ia harus siap. Apapun risikonya, Agnes harus menanggungnya. Meski Gibran harus meninggalkannya, Agnes harus bisa tegar. Lebih baik Gibran tak masuk lagi dalam kehidupannya daripada ia tahu soal semua bebannya.

“Gue gak punya perasaan sama kayak elo, Gib.”

“Tapi—“

“Apa gue nangis berarti gue sedih?" tanya Agnes retorik. “Bahkan ada yang senyum tapi hatinya nangis. Lo pasti paham, 'kan? Nggak semua ekspresi muka menyuratkan apa yang hati rasain, Gib.”

“Nes, maksud gue—“
Agnes menghirup napasnya dalam. “Berhenti, Gib,” sanggah Agnes tegas. “Kita bukan siapa-siapa lagi.”

Dunia Gibran runtuh. Sakitnya semakin melebar. Lukanya yang mulai kering sekarang kembali basah dan tersiram air garam dalam bentuk ucapan perpisahan Agnes. Cowok itu memandang Agnes tak percaya.

Perjuangannya, kesabarannya, kecemasannya, sama sekali tidak ada yang membuahkan hasil. Agnes tetap menjadi Agnes. Cewek keras kepala yang mengalahkan batu terkeras di dunia. Kini, Gibran sudah memiliki kepastian hidup ke depannya.

Agnes menolak untuk tetap berjuang. Agnes tak pernah menghargai ketulusannya. Lalu, untuk apa dirinya terus bertahan sampai sekarang? Untuk apa mencintai orang yang tidak ingin dicintai?

Seolah-olah ingin memiliki langit yang tak mungkin merendah untuk menapaki bumi. Sulit. Mustahil. Tidak mungkin.

“Semoga lo bahagia, Nes.”

Gibran pergi. Agnes terduduk lemas.

Mendengar suara motor yang kian menjauh, Agnes terisak. Sakitnya tak pernah bisa dideskripsikan oleh kalimat apapun.

Ia menyesal. Ia ingin menarik Gibran kembali. Tapi, semuanya sudah terjadi. Agnes tinggal menikmati perihnya luka yang telah ia buat sendiri.

Tanpa Gibran.

Hanya berdiri seorang diri.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Kerasa feelnya nggak? Maaf, aku nggak bisa bikin orang kebaperan. Bikin bingung sih, iya😅

Ohiya, trus hidup Agnes dan Gibran berakhir gimana ya? Aku nggak tega bikin sad ending. Tapi, kalau happy ending kurang ada tantangannya, ye nggak?

Biarlah menjadi rahasia illahi. Ngga ding. Nanti juga kejawab. Jadi, stay tune aja kuy!

Apasih. Gaje😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro