Bab 26
“Kamu anaknya Bu Nina ya?”
Agnes menoleh pada wanita dewasa itu.
Seusai sarapan, Agnes membantunya membereskan sisa mereka makan. Cewek itu memutuskan untuk tidak hadir untuk sekolah. Mengingat keadaan dirinya yang memang belum pulih. Lagi pula dengan kondisinya sekarang, Agnes pasti akan dihujani pertanyaan serta gunjingan. Dan Agnes seketika ngeri membayangkan hal itu.
“Iya, Tante,” jawab Agnes seraya membilas piring di wastafel.
Irma menatap lekat gadis yang memang jarang dilihatnya itu. Agnes terbilang cantik bagi ukuran remaja. Tapi, ekspresi wajahnya membuat nilai kecantikan itu hilang. Setiap kali berpapasan di jalan pun, Irma tidak berani menyapanya. Wajah Agnes menyeramkan kalau lagi sinis.
“Kalo boleh tau kamu ada masalah apa?”
Agnes terdiam. Perlahan ia menyimpan piring yang telah dibilasnya. Aura kekepoan ibu-ibu mulai tercium. Dan Agnes yang tidak pandai cerita, harus berdalih dulu sekarang.
“Maaf, Tante. Agnes gak bisa cerita dulu.”
Agnes masih punya sopan santun. Tidak mungkin ia berkata sarkastik pada orang yang menampungnya. Sekalipun nada ketus itu ingin sekali Agnes ucapkan.
Irma tersenyum maklum. “Gapapa. Kapan-kapan kamu harus cerita ya. Masalah gak akan selesai kalau kamu diam saja.”
Agnes mengangguk dan Irma pergi ke kamarnya untuk bersiap bekerja.
Kalau saja masalah bisa semudah itu selesai dengan cara bicara, mungkin saat ini Agnes tidak akan di dalam rumah Devin. Agnes tidak akan merasakan rasa penyesalan yang masih meranjamnya kian kuat. Dan Agnes dulu mungkin akan tetap menjadi Agnes sekarang. Penuh ceria dan keterbukaan.
Agnes tersenyum miris dalam hati. Semuanya sudah terlalu berotasi semakin jauh. Agnes tidak lagi seperti dulu. Ia juga merasakannya sendiri. Berawal dari keterbukaan, semuanya harus berakhir seperti ini.
Menyedihkan.
**
“Lo mau kapan pulang?”
Agnes memutar haluan. Berpaling dari buku pelajaran yang sedang ditekuninya saat ini.
“Lo ngusir?” tanya Agnes seraya menutup kembali bukunya dan memasukkan ke dalam tas. “Yaudah gue pulang.”
“Jangan dulu,” cegah Devin dan mengarahkan Agnes untuk duduk dan menyimpan tasnya kembali. “Gue cuma nanya aja. Lo jangan marah gitu dong.”
Agnes melipat tangannya dengan tatapan tajam. “Trus apa alasannya lo nanya gitu kalo gak ngusir gue?”
“Apa ya?” tanya Devin lebih kepada dirinya sendiri sambil mengusap tengkuknya bingung.
Niatnya Devin cuma ingin basa-basi saja. Kehadiran Agnes membuat Devin jadi betah lama-lama di rumah. Adanya Agnes membuat Devin mau cepat-cepat pulang. Devin takut kalau Agnes sebenarnya bosan.
“Atau lo nggak suka gue di sini?” tanya Agnes menurunkan kedua tangannya. Devin terperangah.
“Gue suka kok!” Devin seketika menutup rahangnya kembali. Wajahnya bersemu. “Maksud gue, gue suka lo di sini.”
Entah kenapa, otak Devin jadi buntu sekarang. Berhadapan dengan Agnes membuat jantungnya berdentum lebih cepat di luar ritme seharusnya. Mukanya saja kala ditilik kembali sudah mengeluarkan keringat dingin. Ciri kalau Devin sedang gugup sekarang.
“Kalo lo suka, kenapa ngusir? Atau lo bohong ya?”
Devin tidak tahan untuk menahan senyumnya. Ada nada ceria yang Devin tangkap dalam cara Agnes bertanya barusan. Akhirnya salah satu sisi Agnes dapat ia lihat. Dan ternyata euforianya membuat Devin kehilangan arah.
“Kenapa lo senyum-senyum?”
Devin menurunkan kedua ujung bibirnya kembali datar. Agnes kembali berubah jadi malaikat penjaga neraka. Serem banget.
“Terserah gue dong!”
“Kok lo yang marah sih?”
“Gak! Gue nggak marah,” timpal Devin tak mau kalah.
“Iya, lo marah. Tadi kenapa teriakin gue segala?” Agnes mengangkat dagunya menantang. “Mau mati lo?”
“Oh elo nggak suka dibentak?” tanya Devin menyindir. Mulut Agnes berkedut. Bisa-bisanya Devin memancing emosinya.
“Emang gue cewek lemah?”
“Iya, lo kan—“ Devin menelan kembali ucapannya. Tadinya ia ingin mengumbar masalah semalam, eh pasti Agnes bakalan mellow lagi. Devin tidak mau Agnes kembali seperti kemarin. Rasanya begitu tersiksa melihat air mata Agnes karena cewek itu menderita.
Devin ingin mengembalikan senyum Agnes. Senyum semalam. Senyum tulus yang entah kenapa sudah menjadi candu bagi Devin.
“Apa?” sembur Agnes melihat Devin kembali terdiam.
“Jadi pacar gue yuk?” Devin mengalihkan pembicaraan. Pertanyaan yang biasanya ia lontarkan dengan perasaan ringan, sekarang malah memberi setruman sendiri di lidah Devin. Keluarnya pertanyaan itu sekaligus keluarnya gelenyaran aneh di perutnya. Serasa sedang melamar seorang gadis.
“Ogah!”
“Kenapa?” tanya Devin menahan jantungnya yang sudah hampir jatuh ke perut. Ada sakit dan juga gugup dalam dadanya.
Biasanya kan Devin bercanda kalau bertanya seperti itu. Tapi, sekarang malah seperti sungguhan saja. Atau mungkin Devin cuma ngetes aja kalau Agnes suka atau nggak sama dia? Eh tapi, apa peduli Devin? Dia juga kan nggak suka sama Agnes.
Serius?
Bisa jadi ada perasaan lain yang nggak Devin sadari.
“Mau gue sebut satu-satu kekurangan elo?”
Devin mengendikkan bahunya. “Boleh. Pasti lo kesusahan nyebutinnya. Kan gue cowok sempurna,” puji Devin tinggi hati.
Agnes berdecak. Mimpi apa Agnes semalam bisa ketemu makhluk sombong kayak Devin.
Dasar nggak tahu malu!
“Lo suka bolos, ngerokok, ngajakkin orang sesat buat bolos—“
“Itu kan mau lo juga,” timpal Devin tidak terima.
“Gue kan mau karna lo yang maksa gue.”
“Gue nggak maksa!”
“Iya lo maksa!”
Keduanya pun saling beradu argumentasi mana yang salah dan mana yang benar. Agnes yang tidak mau kalah mencoba merobohkan gengsi Devin yang tidak mau menyerah.
Sebenarnya Devin tidak peduli. Entah dirinya yang salah ataukah Agnes yang berkilah. Tapi, mendengar Agnes mengatakan banyak hal dan tidak irit ngomong lagi, sebuah kesempatan emas yang tidak akan Devin sia-siakan.
Bukankah kedekatan seseorang berawal dari banyaknya waktu dalam berbicara?
“Udah ah. Lo keras banget. Cowok itu udah kodratnya ngalah.”
“Teori macam apa itu?” timpal Devin. “Sekarang udah zaman milenia, cewek selalu benar udah gak musim lagi.”
“Emang rambutan ada musim.”
“Emang nggak ada. Tapi musim untuk mencintaimu kan sepanjang tahun, Nes,” gombal Devin seraya mengedipkan mata. Agnes memelotot siap bersama banyak hal umpatannya.
Devin ngacir ke luar disusul teriakkan Agnes yang membahana. “COWOK GILAAA!!”
Tapi, Agnes tak menapik pipinya menghangat ketika Devin merayunya seperti barusan. Kendati, dalam hati dan otaknya masih bertanya-tanya.
Apa yang Gibran lakukan saat ini?
**
Gibran menghela napasnya berat. Seolah sudah bekerja keras membanting tulang untuk keluarganya. Padahal baru saja SMA kelas dua. Masih setahun lagi buat UN. Dan terbilang sangat lama untuk berkeluarga. Oke, itu ngaco banget. Maksudnya kejauhan untuk memprediksi hidup Gibran nanti gimana.
Pokoknya Gibran begitu lelah sekarang. Padahal cuma naik motor dan ke rumah, rasanya sudah berjalan kaki dari Jakarta ke New York. Tapi, dengan beban tak kasatmata yang terus membebani punggungnya, Gibran sungguh-sungguh tidak bisa tenang sekarang.
Gibran baru sampai rumahnya. Sebelum pulang, ia singgah ke rumah Agnes yang telah ia hafal di luar kepalanya. Berharap bisa menjenguknya atau setidaknya ia tahu keadaan cewek itu. Sehingga Gibran tidak mesti menerka bagaimana kondisi Agnes.
Namun, perjuangannya harus menelan sebuah kesia-siaan. Rumah Agnes kosong. Diketuknya beberapa kali rumahnya, tidak ada satu pun yang ke luar dari bangunan tersebut. Seolah-olah si pemilik sudah pindah.
Gibran menunggu ketidakjelasan selama setengah jam. Hingga akhirnya ada tetangga yang iba. Lalu, mengatakan kalau satu keluarga itu sedang ke luar. Entah apa alasannya, si tetangga tidak tahu-menahu. Yang jelas, ketika tetangga itu ingin mengajak ibu Agnes arisan, rumah sudah dalam keadaan ksong.
Gibran pulang bersama rasa yang belum terselesaikan.
Lantas cowok itu membuka helmnya. Dibawanya bersama untuk ke dalam rumah.
Satu keanehan yang ia rasakan. Rumahnya dalam keadaan terbuka. Padahal Ibunya jarang sekali menerima tamu. Kalaupun ada, paling akan bercengkrama di kafe milik mendiang ayahnya.
Tanpa membuang-buang waktu, Gibran membawa kakinya ke dalam rumah.
Memasuki ruang tamu, Gibran dikejutkan oleh kedatangan seseorang. Gibran terpaku di tempat. Ia tidak percaya kalau cewek itu akan senekad sekarang untuk datang ke rumahnya.
“Elsa?”
Yang merasa terpanggil menoleh. Elsa mendapati Gibran bersama wajah terkejutnya. Ina --ibunya Gibran, mengulas senyum penuh jahil. Mengetahui anaknya ternyata tidak kaku perihal perempuan. Buktinya, ada seorang cewek yang terang-terangan datang ke rumah Gibran. Untung Ina ada di rumah. Jadi, ia bisa mengamati masa pubertas anaknya.
Ah, enaknya masa muda.
Tapi, beda lagi kalau perasaan Gibran. Elsa seperti wanita baik dan tulus menggunakan ulasan senyum yang membuat Gibran jengah itu. Pasti ada niat buruk di balik wajah bak malaikat itu. Gibran hanya menduga. Melihat pergaulan Elsa di tengah-tengah orang yang eksis, Elsa pasti memiliki harga diri yang cukup tinggi. Sebab Elsa jarang sekali bergaul bersama kaum biasa aja.
Jangan bilang Gibran cowok yang nggak peka. Perilaku Elsa saja sudah ia pahami. Tapi, kok perasaan Agnes susah banget buat peka ya?
“Elo ngapain di sini?” Gibran mendekat. Mamanya Gibran berdiri sambil mengusap anak sematawayangnya itu.
“Kata Elsa, dia nyariin kamu di sekolah buat latihan teater. Tapi, kamunya udah pulang. Jadi, dia ke sini buat ketemu kamu lho, Gib.”
Gibran hanya menoleh pada Mamanya. Ia kembali menatap Elsa sengit yang baru saja meminum air putih dengan anggunnya.
“Elo udah ketemu gue, 'kan? mending lo pulang.”
Mama terperangah. Ia mendorong bahu Gibran pelan. “Gak sopan. Mama gak ngajarin kamu untuk kasar sama cewek, Gibran.”
Gibran terpaksa berpaling pada Mama. Sepertinya Mama sudah termakan oleh muka dua seperti Elsa. Ia menelan emosinya yang memuncak. Tidak ingin berteriak pada wanita yang paling disayanginya itu.
“Mama bisa ke dalam dulu? ini urusan Gibran sama Elsa.”
Mama memandang Gibran penuh kekhawatiran. Gibran terlalu cepat beranjak menjadi remaja. Padahal waktu kecil, Gibran mudah terbuka pada dirinya. Sekarang Gibran malah tertutup soal perasaannya. Gibran seakan tidak disentuh bagian sensitifnya itu. Mama seperti semakin jauh dari Gibran.
Mau mendekat, takut Gibran menjauh. Mau menjauh, tapi Mama sadar kalau dia satu-satunya tempat Gibran untuk berkeluh kesah.
Mental orangtua terlalu lembut.
“Perbaikinnya baik-baik,” ucap Mama seraya mengusap pundak Gibran. Dan Gibran lantas melepaskannya pelan. Tapi, sukses membuat Mama tertohok.
Mama pergi bersama senyum untuk menutupi kekecewaannya. Gibran duduk di depan Elsa minta penjelasan dari cewek itu. Tidak memahami arti tatapan Gibran, Elsa memberanikan diri bertanya.
“Elo gak suka gue ke sini?”
“Kalo lo tau kenapa lo tetep ke sini?” tandas Gibran kasar. Elsa meringis. Bisa-bisanya ia lemah di depan seorang cowok kayak Gibran. Kalau tidak mengatasnamakan citnta, Elsa sudah siap untuk membuat Gibran menyesal nantinya.
Jadi, untuk ke sekian kalinya Elsa harus bersabar.
“Gue cuma khawatir soal keadaan elo, Gib,” ucap Elsa penuh dengan perasaan sentimentalnya. “Gue tahu, elo pasti cemas soal Agnes. Makanya gue ke sini buat mastiin kalo lo gapapa.”
Sebuah sengatan tiba-tiba menjalar ke seluruh nadi Gibran. Jantungnya berdentum keras di luar kontrolnya. Perhatian seperti ini yang jarang Gibran dapatkan. Seringnya Gibran menerima pujian dan kata-kata baik. Tidak lupa ucapan ketus Agnes yang terkadang membuat Gibran merasa lebih berbeda. Tapi, mendengar Elsa seperhatian ini ada rasa yang diam-diam menyelinap.
Satu pemikiran masuk dan mulai beranak-pinak. Elsa, cewek sabar. Meski Gibran tidak mengacuhkannya, Elsa tetap berdiri kokoh di sampingnya. Sewaktu Agnes menjauh, Elsa yang tetap setia di sampingnya bersama senyum tulusnya.
Gibran cepat-cepat menyadari jiwanya yang mulai tenggelam dalam realita itu. Elsa tak pernah tulus. Cewek itu mendekatinya ketika Gibran sudah menjadi cowok nyaris sempurna. Kemana saja Elsa ketika Gibran masih culun? Sudah jelas kan betapa munafiknya Elsa sekarang?
Namun, apa bedanya Elsa dan Agnes? Bukannya Agnes bisa saja menolaknya jika Gibran masih jadi cowok culun?
Tidak! Tidak mungkin Agnes seperti itu.
Sepertinya Gibran terlalu banyak masalah. Hingga pemikiran seperti tadi masuk begitu saja ke dalam otaknya.
“Mending lo pulang,” ucap Gibran setelah banyak persepsi muncul di setiap sel otaknya.
“Tapi, Gib—“
“Pulang, Elsa.”
Elsa menatap Gibran penuh luka. Ia pergi tanpa kata yang terucap. Setidaknya ia sudah menunjukkan perjuangannya pada cowok itu. Sekarang tinggal Gibran yang memikirkan tindakan Elsa barusan. Apakah Gibran akan kuat untuk tetap konsisten bersama cewek egoisnya? Ataukah malah berpaling pada Elsa yang penuh perhatian?
Di samping itu, Gibran merasa tidak beres dengan hatinya. Ia merasa sakit sewaktu melihat tatapan luka yang tersirat dari mata Elsa. Gibran menggeleng. Ia tidak mungkin secepat itu untuk luluh pada kepedulian Elsa. Mungkin Gibran lagi galau, jadi perhatian seperti itu terlihat istimewa.
Gibran beranjak menuju kamarnya. Tapi, satu keraguan muncul ketika ia dihadapi sebuah pikiran.
Elsa?
Atau Agnes?
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Klimaksnya 2-3 part lagi yeay🙌 berarti bentar lagi ke penyelesaian. Nggak kerasa banget😢
Tapi, untuk ke sana butuh kesabaran ya teman-teman. Karena apapun perlu proses #asekk.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro