Bab 22
Hari ini Agnes mendapati bangkunya masih kosong setelah masuk ke kelas. Biasanya Mira sudah stay di sana sambil main ponsel. Kalau nggak, pasti lagi diapelin Tena di depan kelas.
Dan sekarang, roman-romannya Mira datang siang. Daripada gabut, alhasil Agnes ke luar kelas lagi. Mengeluarkan setoran malam yang belum dibuang tadi pagi.
Baru saja selangkah di depan kelas, langkah Agnes terhenti. Ia bertatap muka dengan Mira yang sedang mengobrol bersama seseorang. Dan yang membuat Agnes tak percaya, Mira yang katanya tak terlalu menyukai keberadaan orang itu, sekarang tampak biasa saja.
“Eh Nes,” sapa Elsa setelah menyadari eksistensi Agnes. Agnes mengangguk dan beralih pada Elsa yang sekarang berdiri di samping Mira.
“Ini Nes.” Mira memulai pembicaraan bersama binaran kebahagiaannya membuat Agnes menoleh. “Elsa punya kupon diskon salon. Semua perawatan bayarannya murah banget. Lo mau ikut gak?”
Agnes mengernyit heran. Lantas melirik Elsa sekilas yang sekarang sudah mengulas seringaian khas, yang entah kenapa selalu membuat Agnes kesal.
“Gak bisa,” ucap Agnes lugas. Elsa semakin merekahkan seringain itu lebar. Merasa puas atas jawaban Agnes.
Sedangkan Mira malah cemberut. “Ya nggak akan seru dong! Gladys juga ikut kok!”
Hati Agnes mendadak sesak. Tidak tahu kenapa mendengar kabar itu dari Mira, seperti sebuah kabar yang sangat buruk. Merasa… semua yang ada di samping Agnes menjauh.
“Lo bisa kan main tanpa gue kayak biasa?”
Untuk ke sekian kalinya, Agnes menyesali ucapannya. Dan Mira menekuk wajahnya. Tidak memahami kebohongan Agnes dari ucapannya.
“Iya sih! Tapi seenggaknya, kalo ada elo jadi tambah rame.”
Tak lama kemudian, Elsa menepuk pundak Mira. “Gapapa. Ada gue. Mungkin Agnes punya acara lain,” saran Elsa kemudian ia berpaling pada Agnes. “Iya kan, Nes?”
Pertanyaan itu bukan pertanyaan biasa. Di pendengaran Agnes, ucapan itu tersirat ada kepuasan tersendiri soal realita yang terjadi.
Agnes tahu maksudnya. Agnes sudah kalah dari Elsa. Dan lagi-lagi Agnes harus mengalah. Bukan karena dia yang lemah tak bisa melawan. Melainkan posisi dirinya yang tidak bisa mendukung sama sekali untuk menang.
“Iya, bener kata dia.” Ah, bahkan untuk menyebut nama cewek itu terasa berdosa sekali di mulut Agnes. Kenapa hidupnya jadi sepelik sekarang sih gara-gara nenek sihir itu?
“Gue ke toilet dulu.”
Agnes pergi. Mira memandang kesenduan sedangkan Elsa tersenyum penuh kemenangan.
Semuanya benar-benar terasa mudah bagi Elsa. Memanfaatkan kelemahan Agnes, ternyata berhasil merebut semuanya. Mulai dari Gibran, sang mantan pacar. Bahkan sampai teman satu-satunya seperti Mira, mudah Elsa renggut hanya dengan kelebihannya cewek itu.
Tinggal selangkah lagi. Agnes akan merasakan penderitaannya.
“Gue ke kelas ya, Sa,” ujar Mira lesu kemudian berlalu dari hadapan Elsa.
Terlalu mudah untuk menghasut manusia tipe cewek kayak Mira yang senang potongan harga. Ditambah diskonan salon yang bisa menambah penampilan makin oke.
Elsa akan lakukan apapun. Demi mendapat kebahagiaannya.
Bukannya Elsa sudah bersumpah, 'kan? Kalau ia akan merebut semua yang harusnya ia miliki. Yang berarti harus merebut apa yang ada di sisi Agnes. Meski caranya haruslah langkah yang kotor.
**
“Apa, Bu?” tanya Agnes setelah sampai di depan meja Bu Anna –wali kelas XI IPA 1. Setelah istirahat, cewek itu dipanggil ke ruang guru. Entah apa alasannya, Agnes tidak terlalu peduli. Karena nilainya tidak pernah ada yang anjlok dari KKM. Kalaupun ada, itu sudah setahun yang lalu.
“Gapapa. Ini tolong bagikan buku tulis teman-teman kamu dan besok ibu gak akan ngajar, jadi beri pengumuman untuk mengerjakan soal di BAB 3.”
Agnes mengangguk dan menarik tumpukkan buku bersampul cokelat itu mendekat. Namun, suara Bu Anna menginterupsi.
“Kamu ada masalah?” Agnes berhenti dari kegiatannya dan menatap Bu Anna datar. Tidak ada raut kebingungan. Karena Agnes terlalu lihai untuk menyembunyikan emosi sesungguhnya.
“Saya biasa saja.”
“Atau kamu lagi kesal pada seseorang mungkin?”
“Ibu kenapa nanya gitu?” tanya Agnes menahan nada ketusnya. Bu Anna menghela napasnya berat.
“Ibu hanya mendengar dari guru-guru lain karena sikap kamu yang kurang sopan, Nes.”
“Maksud ibu?” Agnes mengerutkan kedua alisnya.
“Kamu jarang sekali bertegur sapa dan tersenyum. Bahkan terkadang guru lain sering mendengar kamu marah tiba-tiba pada orang lain. Ibu pikir kamu punya masalah, Nes.”
Agnes sadar. Cepat atau lambat, sikapnya akan dikritik oleh gurunya sendiri. Ia berbuat seperti ini pun, sudah tahu konsekuensi yang harus ditanggung.
Berlandaskan kurikulum 2013, karakter muridlah yang diutamakan. Tapi, Agnes tidak bisa menjalankan sesuatu yang berkontradiksi dengan prinsip hidupnya. Bertegur sapa dan berbuat baik pada orang lain, Agnes sudah membuang sifat itu jauh-jauh.
“Ini sudah bawaan saya, Bu,” sahut Agnes asal. Bu Anna menarik napasnya mencoba sabar.
“Kalau kamu biasakan, pasti bawaan itu akan hilang.”
“Susah dan—“
“Gak ada kata susah,” sela Bu Anna. “Tinggal kamunya yang berusaha, Nes.”
Agnes menelan salivanya. Menahan untuk memutar bola matanya di depan wali kelas sendiri. Dia sudah ada di posisi tersangka. Mau membalas perkara yang menurutnya benar sekali pun, tidak mungkin didengar. Jadi, jalan satu-satunya berusaha untuk terlihat taat dan patuh.
“Nanti saya usahakan.”
Tidak ada kata janji di dalamnya. Agnes sudah cukup tahu, hal seperti yang Bu Anna inginkan mustahil terjadi.
Lantas cewek itu ke luar guru bersama tumpukan buku yang ditugaskan untuk dibagikan kepada teman sekelasnya.
Eh, bukannya Agnes tidak suka menolong? Sepertinya sekarang pun Agnes harus memikirkan bagaimana caranya tugas ini dipindahtugaskan pada orang lain. Pokoknya, bukan Agnes yang membantu.
Beberapa kali Agnes mendengus membawa buku-buku yang banyaknya sekitar tiga puluh itu. Bukan hanya beratnya yang menjadi masalah. Tetapi karena dirinya yang saat ini sadar telah menolong orang. Kendati, orang itu adalah gurunya sendiri. Kalau saja ia tidak ingat soal budi pekerti, sudah dipastikan buku-buku teman sekelasnya berakhir di tong sampah.
Langkah Agnes sekonyong-konyong berhenti. Menatap Gibran yang sedang berjalan menyebrangi koridor yang dilalui Agnes.
Rasanya Agnes ingin berteriak dan memanggil cowok itu. Pasti baru saja menoleh, Gibran senang hati akan menyumbangkan tenaganya. Tapi, Agnes yang gengsi harus menahan nama itu disebut. Dan Gibran sudah melewati koridor tanpa menoleh sedikit pun pada Agnes.
Tanpa sadar, Agnes mendesah kesal. Rasanya benar-benar sakit jika membayangkan Gibran memang sengaja tidak mengacuhkannya. Membiarkannya menderita sendirian, tanpa uluran tangan cowok itu.
Namun, Agnes harus melatih diri dari sekarang juga. Bukannya suatu saat pun Gibran akan lelah untuk mengejarnya? Jadi, untuk apa Agnes terus-menerus mengharapkan atensi Gibran jikalau atensi tersebut perlahan akan menghilang juga?
“Berharap Gibran liat lo?” Agnes berjengit mendengar suara familier di gendang telinganya. Cewek itu sontak menoleh dan mendapati Elsa sedang melipat tangannya.
“Ngapain lo di sini?”
“Salah gue liat lo lagi merana?” tanya Elsa sarkastik dan Agnes sukses harus menahan emosinya yang seketika naik ke ubun-ubun.
“Lo benci sama gue?” timpal Agnes. “Gue salah apa sama lo?”
Elsa mengangkat salah satu ujung bibirnya. “Lo udah ngerebut semuanya dari gue.”
Kedua alis Agnes tertaut. Tidak mengerti salah satu kata dari kalimat yang Elsa ucapkan.
“Soal Gibran?”
“Bukan. Tapi semuanya,” jawab Elsa ambigu.
“Gue mau udahin semua permainan ini.”
Agnes mulai berani mengatakan perasaan sesaknya. Lelah dan asanya ingin Agnes sampaikan pada cewek yang notabenenya tidak Agnes kenal sama sekali. Cewek yang saat ini ada di atas jangkauan Agnes.
“Lo kira semua ini gampang lo udahin?” tantang Elsa menatap tajam Agnes. “Jangan harap.”
Elsa hendak berlalu dan meninggalkan Agnes bersama harapannya, tetapi langkah cewek itu berhenti mendengar Agnes mulai menyahut.
“Gue tinggal kasih kebenaran dan semuanya beres,” ancam Agnes begitu dingin.
Bukannya merasa kalah, Elsa berbalik bersama senyum kemenangannya. “Sekali lo bilang, rahasia lo gue umbar.”
“Lo tau apa soal gue?”
“Lo ingat? Kamar nomor 18, penangkapan pemakai narkoba?”
Seluruh buku yang ada di tangan Agnes otomatis terjatuh. Tubuh cewek itu bergetar dengan wajah yang sudah pucat pasi. “L-lo tau dari mana?” tanya Agnes ketakutan.
Elsa malah semakin menyeringai. Mengetahui informasinya adalah sebuah fakta yang sudah teruji kebenarannya. “Lo gak perlu tau. Yang penting lo gak ngelakuin hal-hal yang buat gue rugi.”
Elsa hendak memutar haluan namun ia urungkan kembali. Memandang Agnes yang sedang mematung bersama senyum meremehkan. “Gue akan lakuin apapun itu, Nes. Demi menghancurkan elo.”
Dunia Agnes semakin terguncang. Apapun. Asal jangan rahasia itu yang Elsa ketahui. Agnes tidak ingin mengingat masa kelam itu.
Dan bagaimana Elsa tahu soal peristiwa itu? Bukannya kejadian itu sengaja ditutup di depan publik? Lalu sekarang Elsa yang berotasi menjadi rivalnya mengetahui kepelikan masa lalu itu?
Tidak, Agnes tidak akan membiarkan semua orang tahu rahasianya. Rahasia dibalik perisiwa yang membuat Agnes trauma menolong orang.
Jadi, satu-satunya cara hanyalah menerima nasib dari yang sudah dituliskan semesta. Menderita mungkin menjadi salah satu dampaknya. Tapi, yang terpenting rahasia itu jangan sampain tercuat ke permukaan.
Lebih baik Agnes mati tercekik daripada masa itu terulang kembali di masa sekarang.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro