Bab 21
"Tena... kenapa?" Fahri bertanya dengan suara berbisik. Soalnya dari tadi, Tena duduk di samping Fahri senyum-senyum sendiri sampai kelihatan gigi sambil main ponsel.
Fahri jadi takut Tena kenapa-kenapa.
"Tena," panggil Fahri lagi seraya menepuk pundak Tena pelan membuat si empu berjengit.
"Apaan, Ri?" tanya Tena menoleh sambil mengulas senyumnya.
Alis Fahri yang ada di atas bingkai kacamatanya berkerut heran. Tena untuk pertama kalinya tersenyum tulus kayak gitu. Biasanya Tena terus saja ketus pada Fahri. Kendati ketusnya Tena tidak menyiratkan kebencian, tetap saja melihat Tena akur dengan Fahri merupakan sebuah keajaiban.
"Tena kok baik?"
Pertanyaan lugu dari Fahri tersebut membuat sunggingan senyum Tena memudar seketika. Emang selama ini Tena nggak baik apa? Kalau nggak ada Gibran yang ngajarin, Tena siap siaga membantu Fahri. Meski pakai sistem militer. Tapi, intinya membantu, 'kan?
Terus sekarang Tena disebut baru baik? Kok Tena jadi tambah kesal ya pada Fahri?
"Trus gue harus jahatin lo mulu? Gitu?"
Fahri memberengut sambil menggeleng. Kalau disuruh memilih, Fahri lebih memilih Tena yang suka senyum. Kalau Tena marah-marah terus malah bikin olahraga jantung.
Akan tetapi, kalau Tena tiba-tiba baik juga kayak sekarang, Fahri lebih ngeri lagi. Jangan-jangan... ah, Fahri takut membayangkannya.
"Fahri cuma takut aja," ujar Fahri hati-hati. "Maksudnya Tena kemarin marah-marah terus sama Fahri. Dan sekarang Tena baik, Fahri bingung."
Tena mengembuskan napas lega. Ia tahu yang sebenarnya salah itu dirinya sendiri. Mencampuradukkan masalah pribadi ke dalam persahabatan. Fahri cukup sabar sewaktu Tena masa patah hati. Fahri justru nggak menjauh dan trauma pada Tena seperti pada Agnes.
Tena justru bersyukur punya sahabat kayak Fahri. Meski culun, Fahri punya hati baja tatkala menghadapi amukkan Tena. Kalau saja Fahri cewek, kayaknya bakalan jadi pasangan yang cocok buat Tena.
"Sorry, Ri. Mungkin kemarin gue lagi PMS," gurau Tena malah membuat Fahri menatapnya tak percaya.
"Tena kan cowok?!"
"Bu--"
"Tena gimana rasanya mens?" potong Fahri panik. Tawa Tena berderai. Fahri terlalu lugu menanggapi kelakarnya.
"Bercanda, Ri."
Fahri malah cemberut. "Fahri kan udah serius," ujar Fahri tak suka. Kemudian cowok itu mengubah rautnya serius. "Tena gak ke kantin?"
"Trus yang nungguin lo siapa?"
"Fahri bisa sendiri."
"Dan kalo lo nanya-nanya buat ngerjain soalnya gimana?"
Fahri menggaruk kepalanya sambil nyengir. "Fahri bisa ngasal."
Tena otomatis menoyor kepala Fahri sadis. "Yang serius dong, Ri!"
"Tapi kan kemampuan otak Fahri terbatas, jadi wajar aja Fahri pake otak Fahri seadanya."
"Otak itu gak ada ukuran kapasitasnya," jelas Tena arif. "Lo aja yang males mikir banyak-banyak."
Lagi-lagi Fahri kesal karena mulut pedas Tena.
**
"Lo mau pesen apa, Nes?" tanya Gladys yang duduk di depannya. Agnes melihat menu dan menyimpannya kembali di atas meja. Tidak terlalu berminat untuk membayangkan menu yang tertera di kertas.
"Gue pesen sama kayak kalian aja," ucapnya datar.
Gladys pun memberikan menu serta menyebutkan apa yang mereka pesan kepada maid. Sepulang sekolah, tak ada petir tak ada hujan, Gladys mengajak Agnes serta Mira ke kafe depan sekolah.
Niat awalnya, Gladys ingin menguak alasan perubahan Agnes. Tapi, realitasnya Gladys tidak berani. Agnes seolah menutup diri. Tidak ingin seorang pun mengorek isi otaknya.
Namun, Gladys juga tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Soalnya untuk mengajak Agnes main seperti sekarang, butuh kesabaran besar. Kalau ada Gibran, kayaknya tuh cewek bakalan cepet banget mengiyakan.
"Jadi, masalah lo itu apa, Mir?" tanya Gladys memulai percakapan.
Agnes sudah tahu masalah apa yang dimaksud Gladys barusan. Apalagi ketika Mira menyebut-nyebut nama Tena. Lalu, mengalirlah cerita dari mulut Mira.
Sesekali Gladys melirik Agnes yang sedang memandang jendela di sampingnya. Gladys sempat tak percaya aksi heroic yang dilakukan Agnes pada hubungan Mira dan Tena. Gladys ingin bertepuk tangan sebenarnya.
Dibalik kecuekkan Agnes, ternyata memiliki pemikiran kritis yang tidak mungkin orang pikirkan sebelumnya.
"Gue gak percaya lo mikir kayak gitu, Nes," kata Gladys pada Agnes.
Agnes meliriknya sekilas dan kembali bertopang dagu menatap jendela. Seakan di dalam mejanya itu tidak ada lagi manusia.
Gladys jengah. Harusnya acara main itu waktunya seru-seruan. Kalau cuma Gladys dan Mira saja yang berbicara, mana letak ramainya? Ya, walaupun ada Agnes atau nggak, tidak berpengaruh sama sekali. Setidaknya keeksistensiannya kentara.
"Lo ada cerita gak,Nes?"
Merasa terpanggil, Agnes menggeleng. Ia sadar, ketidakacuhannya akan membuat orang berasumsi buruk tentangnya. Eh, tapi kan Agnes nggak peduli.
"Gak ada. Kalian aja cerita. Gue dengerin."
Gladys ingin memukul kepala Agnes pake garpu yang disediakan di atas meja. Ini kan acara main khusus buat Agnes. Kalau diserahterimakan pada Gladys atau Mira, mana uniknya?
"Lo kan paling gak banyak ngomong. Siapa tahu lo punya cerita banyak di balik diemnya elo."
"Hidup gue biasa aja. Gak ada yang seru," ucap Agnes seraya menyandarkan punggungnya ke kursi.
Mira mulai berani bertanya. "Lo bisa cerita masa SMP lo misalnya?"
Agnes tertegun. Tidak menyukai pertanyaan yang dikatakan Mira.
Mira seketika menggigit bibirnya takut. Wajah Agnes semakin menyeramkan ketika ia selesai menyelesaikan kalimatnya. Gladys memandang Agnes curiga.
Merasa diperhatikan, Agnes menetralkan kembali raut wajahnya. Seolah-olah ia tidak pernah mendengarkan apa yang dikatakan Mira sebelumnya.
"SMP gue biasa aja."
Mira mengembuskan napasnya lega. Akhirnya Agnes nggak mudah ngamuk kayak biasanya. Lain halnya kalau Gladys yang masih bertahan bersama asumsi ambigunya.
Tidak mungkin ada kata biasa saja jika ekspresi mengatakan ada apa-apanya. Gladys terlalu pintar menerka perasaan dan pemikiran orang lain. Melihat Agnes yang mudah dibaca seperti itu, pasti Agnes memiliki beragam hal yang harus diulik.
"Yaudah, lo aja Mir. Gimana rasanya pacaran sama Tena?"
Gladys mengalihkan pikirannya pada Mira. Jika dipikirkan terus perihal Agnes, pasti tidak akan ada ujungnya. Mungkin suatu hari nanti rahasia itu akan terbuka sendiri. Mengingat, tidak akan ada rahasia yang bisa disembunyikan berlama-lama.
"Ya gitu sih," sahut Mira dengan pipi bersemu. "Tena romantis banget, Dys."
"Ohya?" Gladys begitu antusias. "Romantis gimana, Mir?"
"Tiap pagi, dia jemput gue," jelasnya malu-malu. "Trus anterin ke kelas dan liatin gue sampe duduk, Dys."
"Itu mah biasa. Apa lagi yang aneh?" tanya Gladys menggebu. Kalau Agnes tampak tak tertarik. Kendati, dalam hati Agnes iri pada kisah Mira yang begitu lancar.
"Tiap malem dia vc gue, trus nyanyiin lagu."
"Anjir! So sweet! Trus apa lagi, Mir?"
Mira mulai menerawang kembali. Perilaku sederhana namun kaku yang dilakukan Tena sukses membuat perasaan Mira semakin berkembang. Tena yang baru ngerasain punya cewek, tapi kayaknya berpengalaman banget buat baperin cewek. Mira benar-benar beruntung menjadi cewek spesial pertama bagi Tena.
"Dia suka marah kalo gue males-malesan. Dan dia kadang kasih hadiah kalo ulangan gue bagus. Hadiahnya kadang ngajak jalan atau kasih es krim. Trus suka cemburu kalo gue bareng Fahri."
Gladys menyatukan kedua tangannya dengan ekspresi lebay. "Duh, kok gue sirik banget sih!" lantas raut wajah cewek itu mendadak geram. "Tapi ya Mir, kalo di rumah, si Tena itu galaknya minta ampun." Gladys menyatukan kepalan tangannya dengan telapak tangan bersama ekspresi muka seram. "Pengennya gue benyek-benyek tuh si setan tengil!"
Tawa Mira berderai. "Namanya cowok, Dys. Kalo sama orang biasanya ngeselin tapi kalo sama cewek yang disuka kan kadang so sweet."
Mira lantas menoleh pada Agnes. "Iya nggak, Nes?"
Agnes hanya bergumam pelan tak peduli.
Gibran beda dari cowok umumnya. Gibran terlalu ramah pada siapapun khususnya cewek. Membuat mereka akan mudah berharap pada cowok itu. Seandainya Gibran seperti Tena, setidaknya Agnes tidak akan terlalu tersiksa oleh perasaannya sendiri.
**
Gibran sedang meminum air mineral gelas yang biasa disediakan ekskul teater kala selesai latihan. Cowok itu baru saja menyelesaikan sesi terakhir latihan.
Berkali-kali Gibran menunjukkan bakatnya berakting yang sukses membuat decakkan kagum dari anggota lain serta Mas Ret.
Gibran yang awalnya kaku, sekarang lebih terlihat percaya diri. Gibran benar-benar menghayati dari setiap perasaan tokoh yang ia mainkan. Sebagai aktor pemula, Gibran sudah bisa dikatakan nyaris sempurna.
"Saya kagum sama kamu, Gib," puji Mas Ret menghampiri Gibran setelah anggota lain beliau bubarkan. Gibran menoleh ke arah Mas Ret yang sama-sama duduk di atas panggung. "Kamu seperti sudah terbiasa dengan panggung."
"Saya hanya memaksimalkan apa yang saya bisa, Mas," timpal Gibran rendah hati.
"Tapi kamu seperti sudah berpengalaman." Mas Ret melirik kedatangan Elsa yang sekarang ada di samping Gibran. "Dan kalian benar-benar seperti pasangan sungguhan sekarang."
Gibran menoleh mengikuti pandangan Mas Ret sekilas. Elsa merekahkan senyumnya bahagia. Mendengar pujian Mas Ret merupakan sebuah kebanggaan sendiri apalagi dipasangkan bersama Gibran.
Elsa lupa terakhir kali bermimpi indah kapan. Pasalnya adanya Gibran ketika Elsa bermain peran, bahkan cowok itu yang menjadi pasangannya, hal-hal tersebut sudah ada di luar khayalannya. Bahkan setiap malam Elsa harus memastikan bahwa dirinya ada di dunia nyata.
Sedangkan Gibran hanya mengangguk dan tersenyum sebagai rasa hormat terhadap pujian Mas Ret yang terdengar salah itu.
"Atau kalian emang pasangan beneran?"
Pertanyaan Mas Ret terlalu tiba-tiba. Gibran sontak menghentikan senyumnya menjadi wajah datar.
"Do--"
"Bukan," potong Gibran menyela ucapan Elsa. "Kita cuma temen SMP."
Mas Ret mengangguk maklum. Sadar, kalau pertanyaannya barusan sudah mengulik hal yang terbilang privasi.
"Pantes kalian akrab."
Elsa tersenyum masam. Mas Ret pergi meninggalkan dua remaja itu berdua.
Beberapa anggota teater meninggalkan aula. Sambil menyapa Gibran maupun Elsa yang masih nyaman bersama suasana diamnya mereka.
Gibran sudah kehabisan kesabaran. Berdua bersama Elsa, merupakan waktu yang ingin Gibran hindari. Tapi, Gibran bisa apa?
Agnes katanya suka kalau Gibran berakting. Dan Gibran berusaha untuk terus totalitas agar Agnes memuji bakatnya. Jadi, mau tak mau Gibran harus menahan kejengahannya akan eksistensi Elsa.
Demi Agnes.
"Gue pulang."
Gibran beranjak. Elsa memandang punggung cowok itu tanpa ada niatan untuk menyusul. Ia tahu, Gibran dalam mood yang buruk. Salahnya sendiri yang terlalu memaksakan kehendak cowok tersebut.
Elsa harus menyerah lagi. Tidak ingin sang pangeran lebih menakutkan lalu parahnya pergi.
Namun, bukan berarti Elsa berdiam diri kembali. Justru, Elsa sedang meruntut rencana agar cowok itu melihat ke arahnya seperti dulu. Dan meninggalkan cewek yang sekarang menjadi pujaan hatinya tanpa beban sama sekali.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro