Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 20

Agnes baru saja naik ke dalam angkot. Lalu, menunggu angkot itu penuh agar bisa langsung beranjak dari terminal.

Untunglah Agnes pergi dari jam enam pagi. Jadi, angkot itu cepat penuh dan Agnes tidak terlambat.

Tidak ada kegiatan aneh. Agnes cuma melihat satu per satu penumpang masuk. Main ponsel, bukanlah kesukaan Agnes. Lagi pula hari ini tidak ada ulangan. Jadi, tidak ada alasan untuk membaca buku pelajaran ketika perjalanan.

"Mau?" Agnes dikejutkan oleh permen Milkita cokelat di depannya. Bukannya diambil, Agnes menoleh untuk melihat orang yang memberi permen tersebut.

Alisnya berkerut. Perasaan tadi Agnes tidak melihat kedatangan Devin. Padahal pintu angkot kan cuma satu.

"Lo ngapain di sini?" tanya Agnes tak menggubris permen di depannya.

"Jawab dulu pertanyaan gue," ujar Devin. "Mau gak?"

Agnes menggeleng. "Gak usah."

Bukannya menyerah, Devin malah membuka bungkusan permen tersebut lantas disodorkan pada Agnes. "Nih! Mending lo ngemut permen daripada liatin orang sinis gitu. Nanti malah jadi salah paham."

Merasa diperhatikan berhubung angkot mulai penuh, Agnes terpaksa mengambilnya. Kini kedua joli itu mempunyai aktivitas sama. Yaitu, mengulum permen.

Maniak Milkita kayak Devin memang nggak tahu tempat dan tentunya nggak tahu umur. Meski maniak pun Devin nggak pelit-pelit amat untuk berbagi. Kecuali kalau permennya tinggal satu, Devin pelitnya na'udzubillah.

"Lo kenapa gak naik motor?" tanya Agnes setelah angkot berjalan sekaligus memecah keheningan.

"Gue gak punya."

"Aneh."

Devin berpaling. "Aneh kenapa?"

Agnes melepas permen loli dari mulutnya. Menatap jalan di depannya yang memang kebetulan posisi duduknya di depan pintu angkot yang terbuka lebar itu.

"Cowok biasanya gengsi kalo gak bawa motor. Apalagi cowok kayak lo."

Devin mengangkat salah satu bibirnya sambil melakukan hal yang dilakukan Agnes: mencabut sebentar milkitanya. "Makanya kalo liat orang tuh jangan penampilannya doang. Liat juga hatinya."

Agnes berdecih. "Gue bukan cenayang yang bisa baca hati orang."

"Gak harus cenayang yang bisa baca hati orang. Tapi dengan lo kenal orang itu, lo sekaligus bisa baca hatinya."

Agnes menyindir dalam hati. Kalau orang mudah membaca hati manusia lain dengan cara itu, tidak akan ada yang namanya pernyataan cinta. Tidak ada yang sakit hati karena lidah. Semuanya bisa dengan mudah berjalan hanya sekadar saling mengenal.

Seperti Gibran. Dia sudah kenal Agnes. Agnes kenal Gibran. Keduanya sama-sama tahu pribadi masing-masing. Tapi, tetap saja keduanya juga sulit menerka apa yang diinginkan lawannya. Ataukah memang Agnes atau Gibran saja yang belum mengenal dekat satu sama lain?

"Kalo gue ada motor, lo mau berangkat bareng gue?" tanya Devin setelah yakin Agnes tidak menyanggah jawabannya barusan.

"Nggak usah."

"Trus buat apa lo nanya kalo nggak mau?" Devin tak lama menyeringai. "Ah, atau--"

"Gue gak bohong dan gue gak peduli. Apa dengan gue nanya berarti gue mau tau urusan hidup lo?" Agnes menoleh. Angkot berhenti karena lampu merah. "Gak selamanya kayak gitu. Orang nanya bukan berarti mau tahu. Tapi orang nanya bisa jadi karena mau basa-basi doang."

Devin menelan salivanya susah payah. Maunya bercanda malah lagi-lagi dibalas dengan keseriusan. Dasar cewek! Susah banget dihadapinnya.

Maunya serius disahutinnya bercanda. Maunya bercanda malah dibalas serius. Ya kalau Agnes beda. Mau bergurau mau serius pun, mukanya tetap saja ditekuk kayak manusia yang kurang jatah hidup.

Dan Devin benar-benar membutuhkan pasokan kesabaran yang cukup banyak.

**

Turun dari angkot. Biasa saja.

Masuk gerbang. Agnes mulai punya firasat buruk.

Berjalan di koridor. Firasatnya benar-benar terjadi.

Seluruh perhatian cewek, mengarah pada satu poros. Siapa lagi kalau bukan cowok ganteng kayak Devin. Agnes baru menyadari. Berandalnya Devin ternyata tidak mengubah paradigma cewek-cewek soal cowok tersebut.

Dengan terang-terangannya, mereka melirik Devin seolah cowok itu adalah sebuah umpan yang siap dihinggapi ikan.

Agnes sejujurnya tidak peduli. Cuma karena Devin bersamanya, Agnes kecipratan gosip juga.

Dan Agnes yakin, bukan gosip baik. Soalnya Agnes tidak akan jauh-jauh dari pemberitaan buruk. Mau Agnes berbuat baik pun ujung-ujungnya malah dipengkolin jadi buruk. Mungkin memang udah bawaan kali ya.

Apalagi sekarang persepsi orang-orang mengenai Agnes bertambah. Pasalnya, selalu orang-orang ganteng yang bersama Agnes. Entah itu Gibran ataukah cowok IPS kayak Devin itu.

Apakah harus cewek-cewek jadi sejutek Agnes biar dideketin cowok macam Gibran dan Devin? Atau harus so jual mahal biar cowok-cowok ganteng penasaran?

Ah, mereka bisa jadi salah paham. Bagi Gibran atau Devin, atau bahkan cowok umumnya, udah tahu jelas ciri-ciri cewek jual mahal itu kayak gimana. Nolak sih nolak tapi ujung-ujungnya ngelirik juga.

Kalau Agnes, nolaknya emang dari hati. Dan malah bikin emosi. Contoh saja awal pertemuannya dengan Devin. Bukannya melirik dan akhirnya jadi baik, Agnes makin geram.

"Lo kenapa masih di sini?" sergah Agnes sebab Devin masih adem ayem di sampingnya ketika Agnes hampir tiba di depan kelas.

"Gue kan mau nganter elo."

"Gue bukan balita."

"Tapi lo kode pengen dianterin."

"Jangan ngaco!" bentak Agnes membuat Devin mengelus dadanya kaget. "Pergi sana!"

"Bisa lebih lembut gak kalo ngomong?" tanya Devin hati-hati dibuat dramatis.

"Gak!"

"Lebih... sopan?"

"Pergi gak?" Agnes memelotot. Mood paginya sudah hancur parah karena kedatangan cowok gila kayak Devin.

"Gak mau bolos, Nes?" tanya Devin nggak tahu malu dengan wajah naifnya.

"Lo gila?!" Suara Agnes menggelegar. Kuping Devin mendengung dan harus diusap pelan.

Lama-lama Devin harus ke THT kalau terus-terusan bareng sama Agnes. Tapi, bukannya menyerah Devin masih saja suka ganggu Agnes. Mungkin Devin sudah punya kuping cadangan jika mendadak gendang telinganya pecah.

"Yaudah kalo lo kangen, gue ada di kelas atas."

Agnes maju menggertak dan Devin sudah ngacir duluan sambil cengengesan.

Agnes mendengus kesal. Bisa-bisanya dia dipertemukan sama alien gila macam Devin. Hidupnya yang sudah tidak damai karena keberadaan Gibran, sekarang harus diganggu oleh keabsurdan tingkah Devin yang membuat kepalanya pening sebelah.

Kalau saja sekolahnya tidak punya peraturan ketat. Sudah dipastikan Agnes akan membawa kapak setiap hari untuk mencegah kedatangan makhluk macam Devin ke dalam hidupnya.

Atau dia bisa bawa dukun santet untuk memasukkan paku payung ke dalam perut nenek sihir kayak Elsa.

Ya, kalau nggak dosa.

**

"Kamu masuk gih," ujar Tena pada Mira sambil menepuk puncak kepala cewek itu.

Bersama senyum lima wattnya, Mira mengangguk dan melambaikan tangannya. Tena masih berdiri di ambang pintu memerhatikan sang pujaan hati selamat sampai tempat duduk.

Tumben, Tena lebay? Ah, apa sih yang nggak akan berubah kala punya pacar dan punya orang untuk dilindungi? Hal gila sekali pun akan sangat terlihat wajar di mata orang yang dimabuk cinta. Semisal saja Tena yang baru saja kecantol sama teman SMPnya itu.

"Awas," ucap seseorang membuat Tena sedikit berjengit. Lantas bergeser dan mendapati Agnes sedang berdiri dengan wajah dinginnya.

"Sorry," kata Tena dan kemudian cepat melanjutkan. "Thanks ya, Nes."

Agnes berbalik berhadapan dengan Tena. "Makasih buat apaan?"

"Udah nyadarin perasaan gue sama Mira."

Inilah pertama kalinya Tena berujar halus pada Agnes. Biasanya kan belum apa-apa sudah ngegas duluan. Namanya manusia baik hati, Tena tentu sadar diri. Tena nggak bakalan jadian kalau bukan wejangan bijak dari Agnes.

"Gak usah bilang makasih. Gue gak bantu apa-apa."

"Tapi karna lo kita bisa sadar, Nes," timpal Tena kemudian cowok itu menggaruk tengkuknya seakan berat hati untuk melanjutkan kalimat sebelumnya. "Gue... kira lo gak sebaik itu."

Agnes sedetik menahan napasnya. Dia tidak ada niatan sama sekali mengubah persepsi orang mengenai dirinya. Cukup Agnes dan tingkah tak bernuraninya. Namun, ternyata perbuatan yang Agnes anggap bukan apa-apa malah terbilang sesuatu yang berharga bagi orang lain.

"Jangan anggap hal kemarin kebaikan dari gue," jelas Agnes dingin. "Karna gue gak janji bisa ngelakuin hal yang sama lagi bukan kalian."

Agnes pergi meninggalkan Tena yang dibuat mematung. Tena tidak merasa sakit hati lantaran sikap tak acuh Agnes. Justru Tena merasakan sesuatu yang begitu menyedihkan di dalam kalimat Agnes barusan. Dan, Tena tahu. Kata-kata tadi bukanlah murni keinginan hati Agnes sendiri.

**

"Sorry gue gak bisa bareng ke kantin sama lo, Nes," ujar Gibran merasa bersalah.

Kedatangan Gibran untuk pertama kalinya lagi sempat membuat kelas XI IPA 1 geger. Apalagi Agnes hampir melepas senyumnya di depan cowok itu. Namun, keberadaan Elsa di samping Gibran membuat khayalan indahnya pupus.

Ditambah paparan Gibran yang begitu menusuk, membuat Agnes harus menerima realitas.

Faktanya, Gibran berat mengatakan hal sepele seperti ini. Kalau saja Elsa tidak bilang, "kata Mas Ret kita kurang keliatan deketnya, Gib. Jadi dengan lo sama gue berdua terus, pasti kita bakalan keliatan pasangan beneran," dengan senang hati Gibran akan menolak.

Gibran sudah jengah pada alasan Elsa yang selalu bisa membuat Gibran kalah telak. Entah membawa embel-embel temen SMP atau 'kata Mas Ret'. Jadi, Gibran tidak punya balasan untuk mengalah.

"Buat apa lo minta maaf? Semerdeka elo aja."

Gibran tertegun mendengar ketidakacuhan Agnes yang begitu lancar dikatakannya. Padahal Gibran sudah panas dingin untuk mengatakan ini.

Mau bagaimana lagi. Agnes benar.

Mereka berdua bukan siapa-siapa. Untuk apa lagi merasa tidak enak? Toh, tidak ada efek apapun pada hubungan mereka berdua. Masih sama-sama teman biasa.

"Gue takut lo jadi salah paham lagi," timpal Gibran mengingat Agnes pernah menangis hanya karena dirinya yang mengantar pulang Elsa. Dan Gibran tidak ingin menyakiti Agnes untuk kedua kalinya.

Cuma begonya Gibran, kenapa dia nggak nyadar kalau selama dia dekat-dekat sama Elsa kayak sekarang itu sama saja udah nyakitin Agnes? Gibran yang bener-bener bego? Atau nggak peka sih?

"Kalo gue salah paham ataupun nggak emang apa efeknya, Gib?"

Gibran dibuat terpaku oleh kalimat Agnes barusan. Memang tidak ada efeknya sama sekali. Tapi, entah kenapa telah menjadi sebuah keharusan memberikan kebenaran pada Agnes.

"Yaudah gue duluan ya." Gibran pergi dan Agnes barus saja menyesali kata-kata buruknya pada Gibran sedari tadi.

Semua kata yang berasal dari mulutnya tak ada kepersisan sama sekali dengan hatinya. Semuanya berkontradiksi. Lagi-lagi Agnes harus membohongi perasaannya.

"Ke kantin, Nes?" tanya Mira yang dari tadi hanya menontoni drama yang ada di depannya. Agnes mengangguk dan beranjak ke luar kelas.

Bukannya Mira tidak ingin menolong Agnes untuk mengatakan yang sebenarnya pada Gibran. Cuma Mira tidak ingin memperkeruh suasana di antara keduanya. Mira yakin, Agnes punya alasan tersendiri untuk mengatakan berbagai macam kebohongan.

Dan Mira benar-benar mengutuk Gibran yang tidak bisa membaca kejujuran di mata Agnes.

Sesampai di kantin, Mira dan Agnes mendapatkan meja kosong di tengah-tengah. Agnes sempat melihat Gibran yang duduk bersama Elsa di ujung kantin. Entah apa yang dilakukan, Agnes tidak yakin bisa kuat untuk tahan melihatnya. Yang jelas, pasti akan begitu menyakitkan.

"Gue gabung ya?" tanya Gladys tiba-tiba sambil membawa jus jeruknya. Agnes meliriknya sekilas tanpa peduli dan Mira tersenyum lantas lekas ke pedagang kantin untuk memesan makanan.

"Tumben gak sama Gibran?" tanya Gladys memecah keheningan setelah dirinya melihat Gibran sedang bercengkrama dengan Elsa di pojokkan.

"Ngapain? Gue bukan bonyoknya."

Gladys menatap curiga Agnes sambil menyedot jusnya hingga tertinggal setengah. Pasti Agnes ada apa-apanya. Dulu kan cewek itu janji mau buktiin perasaannya lewat tindakan. Nah, sekarang malah diem aja lihat Gibran sama madunya. Eh, Gibran kan belum nikah. Maksudnya sama Elsa.

"Lo katanya suka sama Gibran?" bisik Gladys tidak ingin ada manusia lain tahu.

Agnes terdiam. Tidak tahu harus menyahuti apa. Agnes memang suka. Tapi, mengatakannya secara gamblang memang sangat sulit. Menimpali pun, tetap saja tidak akan ada yang berubah. Terus Agnes mending bilang apa?

"Lo gak ngingkarin janji elo, 'kan?" tanya Gladys lagi ketika Agnes tidak menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Kalian ngomongin apa sih?" Mira tiba-tiba datang menginterupsi. Gladys diam-diam mendengus karena kedatangan Mira yang tak diinginkan.

"Gak ada apa-apa."

Mira mengangguk paham. Gladys kemudian menatap Mira sewaktu keingatan sesuatu. "Ohiya elo kan belom nyerita ke gue soal masalah lo, Mir?"

Mira memutar bola matanya. "Telat lo!"

"Sorry, gue kena sial waktu itu. Tadinya gue mau ke kelas elo eh malah disuruh nyari anak baru."

"Anak baru?" tanya Mira bingung.

"Iya. Dia kan duduknya di belakang gue. Trus dia bolos waktu pelajaran BK. Dan gue harus balikkin tasnya sampe ketemu coba," papar Gladys kesal. Belum lagi dia sendiri yang mendapat semprotan dari sang guru karena dituduh tidak peduli pada teman sekelasnya. Lantaran membiarkan anak baru itu bolos tanpa keterangan.

Alasannya sederhana. Karena Gladys duduknya paling dekat dengan cowok itu.

"Maksudnya siapa orangnya? Kok gue baru tau ya?"

"Lo kan sibuk nangisin masalah mulu," sindir Gladys membuat Mira merengut.

"Gue serius, Dys."

"Namanya Devin. Ganteng orangnya cuma rese-in."

Agnes sempat menghentikan kegiatan makannya dan malah tertangkap basah oleh Gladys. "Lo kenal ya, Nes?"

Agnes melirik sekilas. "Gak tau."

Gladys tidak berani bertanya lagi. Mungkin dia bisa langsung mengintrogasi anak baru itu sambil menuntut kesalahannya karena menularkan kesialan pada Gladys.

Lihat saja nanti.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro