Bab 2
Sebenarnya nggak tahu bener atau nggak tahu salah sih. Nggak tahu fakta atau cuma mitos. Nggak tahu cuma kabar burung atau sekadar berita beneran. Kalau misalnya disuruh lari sewaktu pelajaran olahraga, malasnya setengah mati.
Kaki yang bisa dibilang nggak berat, mendadak beratnya jadi lima ton. Alias, kaki memang malas digerakkin buat lari maraton keliling lapangan di tengah hari. Khususnya cewek yang takut kulitnya gelap.
Nah, beda lagi buat ngejar gebetan. Kalau udah janjian ketemuan aja, mendadak kerasukan superhero flash.
Nggak usah pikir dua kali, kaki langsung berlari tanpa jeda. Emang beda ya kalau lagi jatuh cinta.
Salah satu realitanya si cowok murah senyum. Tidak lain dan tidak bukan, yaitu Gibran.
Gibran saat ini sedang terengah-engah. Menumpu kedua tangannya ke lutut di depan seorang cewek. Lantaran cowok itu habis berlari mengejar waktu, sebab takutnya Agnes malahan kabur. Dan akhirnya nggak jadi pulang bareng.
Nanti Gibran galau.
“Ma… maafin gu…e,” ucap Gibran sambil menegakkan tubuhnya kembali. Kemudian cowok itu menelan salivanya susah payah. “Tadi Elsa ngajak ngobrol gue dulu.”
Agnes menatap Gibran dingin --topeng yang selalu diandalkan oleh Agnes ketika di depan Gibran.
Perasaan Agnes sebenarnya ambigu. Tak berbentuk dan tak terdefinisi.
Awalnya Agnes senang ketika Gibran datang. Tetapi, ketika Gibran menyebutkan nama cewek, kontan hati Agnes merasa panas.
Padahal hubungan keduanya sudah kandas. Namun, perasaan cemburu seperti itu selalu saja menjadi momok bagi Agnes.
“Kenapa nggak lanjut ngobrolnya?” Bukannya marah karena sikap ketus Agnes, Gibran malah menyeringai lebar.
“Elo cemburu ya?”
“Ngapain?” Agnes membuang muka sembarang. Takut kalau Gibran dapat membaca pikirannya.
“Jujur aja.” Gibran dengan seenaknya menepuk puncak kepala Agnes. Membuat tubuh cewek itu menegang.
“K-kok elo so-sotoy banget sih jadi orang?!” cerca Agnes membuat Gibran terkekeh.
“Gue nggak sotoy kok! Gue cuma ngungkapin fakta kalau Agnesia Amanda sedang cemburu pada Gibran Julian. Apa gue salah?”
Agnes benar-benar ingin tenggelam ke dalam palung laut sekarang juga. Lantas membuat kuburan sendiri untuk ditinggali.
Pernyataan Gibran benar bahkan terlalu benar. Agnes tak bisa menapik hal itu. Tetapi, gengsinya serta fakta kalau mereka bukan sepasang kekasih lagi, membuat Agnes sadar diri. Rasa cemburu itu tidak pantas lagi bergumul di dalam dadanya.
“Yaudah.” Agnes tak ingin berkilah lagi. Gibran selalu bisa membuat Agnes bungkam.
Cewek itu kemudian meninggalkan Gibran. Gibran yang tahu kalau Agnes sedang berdalih, hanya tertawa. Melihat keunikan Agnes dibandingkan cewek lain, membuat Gibran semakin penasaran.
Hubungannya yang sekadar ‘mantan pacar’, harus tersambung kembali. Gibran nggak mau tahu.
“Lo tega banget ninggalin gue.”
“Elo sendiri yang rese.”
Gibran tak henti-henti menggoda Agnes. Bahkan ketika Agnes merona, Gibran malah menambah amunisi untuk mendobrak hati Agnes kembali. Kemudian merubuhkan keraguan pada otak cewek itu.
Siswa-siswi SMA Perjuangan yang melihat keakraban Gibran dan Agnes dibuat keheranan. Berbagai macam opini dan pertanyaan tumbuh di masing-masing pikiran mereka. Apa Agnes dan Gibran balikan? Apa Agnes menolak Gibran?
Tetapi, bisik-bisik itu tak diindahkan oleh Gibran maupun Agnes. Dunia mereka terlalu sayang untuk dilewatkan. Khususnya Gibran.
Akhirnya Agnes tidak menghindari dirinya seperti beberapa minggu lalu ketika pasca putus. Akhirnya Agnes mau menerima keberadaan Gibran lagi. Akhirnya Agnes mau berjalan di samping Gibran lagi.
“Elo mau ke mana?” Gibran menarik lengan Agnes. Lantaran melihat cewek itu terus berjalan ke gerbang sekolah utama, bukannya ke arah parkiran.
“Mau pulanglah.”
“Makanya kalo salting jangan kebangetan, jadi pelupa, kan.”
“Emang gue salah ngomong?”
“Jawabannya bener, tapi arah jalan lo yang salah.”
“Elo kali yang salah. Gerbang kan lurus aja,” balas Agnes sambil memutar haluan lagi. Dan Gibran berhasil menghalangi langkah Agnes di depannya.
“Kita kan pulang bareng, Sayang.”
Tubuh Agnes tiba-tiba kaku. Cewek itu hampir saja lupa untuk bernapas.
Panggilan yang dulu selalu terucap di bibir Gibran, terdengar kembali. Tetapi, efeknya masih sama. Membuat jantung Agnes semakin berdebar di luar ritme seharusnya.
“Yaudah yuk keburu kesorean.” Gibran yang tidak mengetahui reaksi Agnes malah seenaknya menarik tangan cewek itu. Menggenggamnya erat, seolah takut cewek itu malah pergi.
Agnes tak mengerti situasi. Agnes seakan sudah terhipnotis karena panggilan manis Gibran tadi. Kalaupun Agnes diculik sekarang pun, Agnes sepertinya tidak akan sadar diri. Jiwanya seolah sudah keluar dari raga Agnes.
“Nih!” Agnes terjerembab kembali ke raganya. Menatap helm putih di depan mukanya.
“Buat apa?” tanya Agnes bingung.
“Buat dijual.”
“Kok ngasih ke gue?”
Gibran malah ketawa. Agnes masih saja terlihat naif. Padahal usia sudah tujuh belas tahun. Atau cewek itu sedang salah tingkah saja? Karena keberadaan Gibran yang membuat akal sehat Agnes beku.
“Ya buat dipakelah, Agnes,” ujar Gibran gemas.
Gibran masih saja heran, kenapa dirinya bisa kecantol sama Agnes. Padahal banyak cewek yang mengantre untuk mendapat perhatian kecil dari Gibran. Tetapi, malah cewek jutek kaya Agnes yang beruntung.
“Ohh,” jawab Agnes masih menatap helm yang dipegang Gibran itu.
“Bukannya oh, ini dipake Agnes.”
Gibran semakin tidak sabaran. Maunya Gibran ingin mengulik isi otak Agnes. Kenapa cewek itu mendadak bego sih? Padahal Agnes nggak begitu bodoh kalau soal pelajaran. Cewek itu kan selalu masuk sepuluh besar.
“Ngapain?”
Gibran sudah mau menggorok lehernya sendiri. Kalau saja Agnes bukan cewek yang Gibran suka, sudah pasti Gibran akan meninggalkannya. Ah tidak. Tapi langsung memasukannya ke dalam karung, lantas menitipkannya di dalam gudang sekolah.
Beruntung Agnes itu cewek spesial. Jadi, Gibran tidak akan melakukan hal tercela seperti itu.
Sedangkan Gibran tidak tahu. Agnes sebenarnya mengerti. Tapi Agnes berusaha mengulur waktu. Agnes sudah memikirkan kondisi ke depannya. Sebab keduanya pasti akan duduk berdua di atas motor. Dan Agnes akan berpegangan pada Gibran.
Agnes sangat mengetahuinya. Makanya Agnes setenang mungkin mengulur waktu. Karena Agnes sibuk menetralkan debar jantungnya dulu. Takut-takut akal sehatnya buntu, dan Agnes malah bertindak gegebah nantinya.
Otak Agnes memang seperti sudah terprogram. Pikirannya akan memperhitungkan kejadian yang mungkin terjadi. Pantas saja nilai peluang di pelajaran matematikanya selalu terbaik. Karena cewek itu terlalu cerdas mempertimbangkan kesempatan dan peluang yang datang.
“Yaudah gue pakein.” Belum sempat Agnes berkilah kembali, Gibran sudah maju. Mengangkat helmnya dan memakaikannya pada kepala Agnes.
Agnes yang diperlakukan seperti itu, tentu saja ingin kabur. Pergi ke Negara Roma dan Gibran takkan bisa menemuinya. Tetapi, tubuh Agnes terasa terpaku pada bumi.
Waktu pun terasa berhenti beberapa detik. Agnes mendadak seperti mayat hidup. Yang hanya bisa bernapas dan mengedipkan mata.
“Yuk naik!” Agnes hampir tersedak. Gibran sudah duduk di atas motornya dengan helm yang entah sudah dipakai kapan. Agnes lagi-lagi tidak merasakan waktu sudah berjalan kembali.
“Ngapain?”
“Ya ampun Agnes. Elo naik atau sama gue gendong aja?”
Mendengar peringatan seperti itu, secepat kilat Agnes naik. Membuat Gibran terkekeh melihat pergerakan Agnes yang begitu cepat.
Sekarang Gibran tahu, ancaman untuk Agnes biar cewek itu nurut. Terdengar jahat memang, tapi Gibran juga senang punya trik seperti itu.
“Pegangannya jangan di besi. Ke pinggang gue aja,” saran Gibran membuat Agnes membulatkan matanya penuh.
“Gak mau!”
“Bahaya, Nes. Tas elonya ke depanin aja.”
“Gapapa. Asal lo gak ngebut.”
“Elo gak peka banget kalo cowok lagi nyari kesempatan.”
“Maksud lo?”
“Cepetan tas lo ke depanin!” perintah Gibran tanpa menggubris pertanyaan Agnes.
Akhirnya Agnes menuruti perintah Gibran. Meski sebenarnya, Agnes mengutuk perbuatannya sendiri. Sebab, bisa-bisanya ia patuh pada titah sang pangeran.
“Sekarang lo pegangan.”
“Ogah!”
“Cepet!”
Dengan berat hati, Agnes melingkarkan tangannya ke pinggang Gibran.
Gibran mengangkat kedua ujung bibirnya. Melihat Agnes lebih penurut, setidaknya bisa membuat Gibran sedikit gembira.
“Pegangan yang kenceng.”
Gibran pun mulai menyalakan motornya. Hingga akhirnya mereka berdua meninggalkan lokasi sekolah.
**
Kalau cewek lagi kerja kelompok, soal lima essai saja selesainya bisa lima jam.
Bukan karena soalnya yang beranak cucu. Atau nyari jawabannya sampai harus ke negara Paris dulu. Tapi karena obrolan mereka yang ke luar topik.
Dari soal mengenai limit fungsi jadi bisa nyambung ke obrolan doi yang nggak peka. Tahu deh cara nyambunginnya gimana.
Contohnya sekarang aja. Elsa dan teman sebangkunya lagi ngerjain tugas kelompok berdua. PRnya sih mudah. Disuruh jelasin reaksi redoks.
Tinggal nyalin dari internet dan buku paket, terus mikir sedikit akhirnya beres. Harusnya sih gitu.
Tapi gara-gara Novi, yang asalnya bingung reaksi oksidasi itu kayak gimana, berujung jadi ngepoin Elsa.
"Sa, katanya Gibran dulu pernah nembak elo ya?"
Elsa yang sedang menulis persamaan reaksi sontak berhenti sejenak. Menggigit bibir bawahnya sambil mengangguk malu.
"Elo gak bohong?"
"Enggak, Nov. Kalo lo gak percaya, gue masih nyimpen suratnya."
Mata Novi langsung membelalak sempurna. "Pake surat? Anjir gila so sweet banget. Liat dong."
Elsa dengan semangat membongkar tempat pensilnya. Tempat pensilnya terlihat sederhana. Cuma ada saku kecil di dalamnya. Ya lumayan tersembunyi buat nyimpen duit.
"Nih!"
Novi senangnya parah banget. Dia spontan ngambil surat yang dilipat kecil itu. Seolah surat itu buat dirinya sendiri. Emang nggak tahu malu.
Dibukanya kertas yang sudah lusuh itu dan terlihatlah tulisan yang memang tidak terlalu rapi.
To : Elsa
From : Gibran
Elsa, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Jadul ya pake surat kaya gini? Tapi aku malu kalo ngomong langsung sama kamu.
Elsa, aku sebenernya suka sama kamu dari pertama kita masuk. Kamu mau gak jadi pacar aku?
Kalo kamu terima, aku tunggu di taman sekolah ya.
Novi yang baru selesai surat singkat itu langsung menjerit histeris. "Trus elo dateng ke taman itu gak?"
Dengan santai Elsa menggeleng.
"Elo bego sumpah! Kenapa gak lo terima, Elsa?!"
Novi memberengut. Menurutnya, Elsa salah satu cewek bego tapi cantik.
Gibran itu idaman kaum hawa. Ditembak Gibran merupakan salah satu kebahagiaan sepanjang masa. Cuma orang gila dan cowok tentunya yang nolak Gibran.
Ah enggak. Kayaknya orang gila juga bisa jatuh cinta pada Gibran. Dan Elsa dengan begonya menyia-nyiakan kesempatan itu. Benar-benar bodoh.
"Dulu itu Gibran culun, Nov. Kayak si Fahri. Elo tau, 'kan? Nah, makanya gue gak dateng."
"Elo harusnya sabar dikit kek. Kalo elo terima dia, bisa jadi kalian masih awet sampe sekarang."
Elsa malah menyunggingkan senyumnya. Seolah penghakiman yang dilakukan Novi tadi tidak berarti apa-apa.
"Gue yakin Gibran bakal balik lagi ke gue kok."
"Iya kalo jadi."
Mereka pun kembali lagi menekuri persoalan redoks yang sempat tertunda tadi.
Mungkin yang dibilang Novi bisa jadi benar. Kalau saja Elsa dan Gibran dari dulu jadian, mungkin mereka sekarang masih awet.
Cuma itu baru satu kemungkinan saja. Padahal dunia itu penuh dinamika dan pilihan.
Satu kemungkinan Elsa dan Gibran langgeng. Dan satu kemungkinan lain bisa jadi Elsa dan Gibran malah jadi mantan abadi.
Tidak akan ada yang tahu soal itu. Karena semua yang terjadi di dunia adalah mukjizat dari apa yang dipilih sebelumnya.
Dan Gibran menyukai Agnes adalah mukjizat dari pilihan Elsa yang menolak Gibran waktu itu.
Sekali lagi, tidak akan ada yang tahu misteri semesta. Tidak akan ada yang tahu mukjizat apa yang terjadi dari pilihan yang dipilih.
**
Tbc tralala~
See u next update😆
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro