Bab 19
Gue sama Tena jadian
Itulah pesan terakhir dari Mira siang ini. Agnes lega. Sekarang tidak akan ada lagi stimulus agar Agnes bergerak membantu orang lain. Dan pesan itu, hanya dipandangnya biasa saja. Meski dalam hati, Agnes senang karena kisah cinta Mira tidak seburuk yang Agnes punya.
Seperti saat ini. Agnes harus beberapa kali menghela napasnya sambil menatap kumpulan orang-orang yang melingkari pria paruh baya di tengah-tengahnya. Salah satu dari kumpulan tersebut, ada satu objek yang membuat Agnes berkali-kali menahan sesak di dadanya.
Padahal belum apa-apa, Gibran sudah terasa jauh. Dunia Gibran sudak mulai bertolak belakang dengan dunia Agnes. Dan Gibran sedikit demi sedikit melangkah ke luar dari dunia Agnes.
Agnes tidak pernah ikhlas. Agnes mau Gibran tetap menjadi Gibrannya dulu. Tapi, Agnes tahu hal itu adalah hal yang mustahil. Gibran punya kebebasan memilih. Dan Agnes tidak bisa seegois itu untuk mengikat Gibran tanpa ada alasan.
Lantas kumpulan tersebut semuanya berdiri. Berjalan mengarah ke atas panggung dan ada sebagian lagi yang ke belakang panggung. Menyisakan Gibran dan Elsa yang sepertinya sedang diberi arahan oleh sang pelatih sambil Gibran yang sedang sibuk membaca beberapa lembar kertas di tangannya.
Setelah beberapa lama pengarahan, Gibran maupun Elsa pergi ke samping panggung. Dan pria paruh baya itu turun ke bawah untuk mengamati.
Saat kedua joli itu ke luar, sedetik itu juga Agnes harus menahan napasnya. Dengan riang gembira, baik Gibran maupun Elsa saling bergandengan tangan seakan mereka berdua adalah sepasang kekasih yang merajut kasih.
Agnes baru menyadari. Gibran tidak mungkin diberi peran sepele. Apalagi Elsa sendiri yang meminta Gibran untuk masuk teater. Belum lagi paras Gibran yang terlalu sayang untuk disia-siakan sebagai peran biasa saja.
Dan Agnes sekarang tahu alur yang tersurat di dalam drama itu. Gibran adalah pemeran utama. Kekasih dari Elsa. Meski hanya sekadar peran, Agnes meras sakit luar biasa. Seolah-olah ada ribuan tangan yang meremas paru-parunya hingga terasa sesak seperti sekarang.
Kristal bening dari matanya, mulai menggumpal di kelopak. Agnes bahkan harus bekali-kali menyekanya agar tidak meluruh ke pipi.
Gibran dan Elsa benar-benar cocok bila disandingkan seperti itu. Tertawa bersama seakan kedua kekasih yang saling mencintai, sangat berkontradiksi bila posisinya antara Gibran dan Agnes.
Bodohnya ia sudah menyanggupi permintaan Gibran. Bodohnya ia menuruti kemauan Elsa. Dan bodohnya ia yang tidak meralat kesalahpahaman Gibran.
Agnes tidak sanggup. Apalagi sekarang Gibran tampak memandang Elsa penuh kebahagiaan sambil memegang tangan cewek tersebut seraya berkata, "Aku mencintaimu."
Agnes pergi. Agnes ke luar dengan satu tetes air mata yang lolos dari retinanya.
"Lo punya mata gak sih?" Agnes terperanjat. Ia bahkan tak menyadari telah menabrak seseorang.
Dengan mental yang cukup kuat, Agnes berbalik bersama wajah ketidakpeduliannya.
"Kenapa?"
Cowok itu berdecak. "Elo suka ya sama gue?" ucapnya percaya diri. "Udah tiga kali lo nabrak gue."
"Trus?"
"Masih bingung buat nerima gue sebagai pacar lo?"
Agnes nggak tahu. Cowok itu selalu datang ketika dirinya sedang menghindari dari Gibran. Dan berakhir bertabrakan. Entah sebuah kebetulan ataukah ada makna tersirat dari beberapa kejadian itu. Ah, Agnes tidak ingin terlalu acuh pada kejadian gaib seperti itu.
"Gue mau pergi," ujar Agnes tanpa peduli.
Secepat kilat, Devin mencekal pergelangan tangannya. "Lo aneh tau gak? Belum apa-apa udah balik." Tak lama, Devin menyeringai. "Atau lo lagi salting aja deket gue."
"Gu--"
"Agnes?" Suara familier itu tertangkap di pendengaran Agnes maupun Devin. Merasakan kehadiran Gibran di ambang pintu aula, Agnes secepat itu juga menghempaskan cekalan Devin.
"Lo udah selesai?" tanya Agnes datar.
Gibran merasa keberatan dengan posisi Agnes tadi. Tapi, Gibran tidak ingin berprasangka buruk dulu. Dengan memaksa datang Agnes saja, Gibran sudah merasa bersalah. Jadi, Gibran tidak ingin berdebat sekarang.
"Gue lagi istirahat."
Lalu, pandangan Gibran serta-merta menyorot keberadaan cowok yang di samping Agnes. "Ngapain lo ke sini?"
Devin mengangkat kedua bahunya. "Kebetulan lewat."
"Gib, Mas Ret manggil." Kedatangan sang jailangkung tanpa diundang, membuat ketiga orang tersebut menoleh. Elsa merasakan tatapan orang asing. Dan terlihatlah Devin yang sedang menatapnya menyelidik.
"Elo Elsa?"
"Devin?" panggil Elsa tak percaya. "Lo pindah ke sini?"
Devin menyunggingkan senyumnya. "Like you see, Sa."
"Lo beda banget sekarang."
"Dan lo makin cantik juga sekarang," puji Devin membuat pipi Elsa bersemu.
Ketemu gebetan SMP, memang bukan apa-apa kalau sudah lama tidak bertemu. Namun, tetap saja kalau ada cowok ganteng muji, Elsa merasa tersanjung.
"Lo bisa aja." Elsa mencoba bergurau. Meski sebenarnya Elsa bahagia dipuji seperti itu.
"Gue pulang."
Agnes berbalik tetapi kedua tangannya ditahan oleh dua cowok yang berbeda.
"Jangan."
"Gue anter."
Agnes menghempaskan kedua tangan cowok itu. Elsa sudah menggeram dalam hati melihat dua cowok sekaligus yang Elsa spesialkan memberi perhatian untuk rivalnya. Rasanya Elsa ingin menghunuskan samurai yang super tajam pada kepala Agnes. Agar cewek itu segera tewas secepat mungkin.
"Gue bisa pergi sendiri. Kalian reuni aja dulu."
Agnes cepat-cepat beranjak. Tidak ingin terlalu lama di dalam lingkaran asing yang memaksanya utuk masuk menjadi salah satu di sana. Agnes tetap ingin berada di zona zamannya. Yaitu, Agnes dan oksigen. Sudah cukup itu saja.
Gibran hendak menyusul. Dan lagi-lagi Elsa menahan kepergiannya. "Lo nyusulnya nanti aja. Kita latihan lagi. Gak enak sama Mas Ret, Gib."
Gibran menghela napasnya sambil menatap sendu kepergian Agnes. Ia mengangguk dan masuk kembali ke dalam aula. Elsa tersenyum pada Devin lantas menyusul Gibran.
Devin berfirasat. Pasti ada sesuatu antara Gibran dan Agnes yang membuat keduanya seakan terikat oleh benang tipis tak kasat mata.
**
"Lo suka sama Gibran?"
Agnes berjengit mendengar suara dadakan itu tepat di sampingnya. Niatnya ingin menenangkan diri di taman, malah mendapat kedatangan tamu tak diinginkan.
Devin dan permen milkitanya, bersandar begitu santai di samping Agnes. Tidak acuh pada tatapan laser milik Agnes.
"Lo ngapain di sini?" sergah Agnes.
Devin mengangkat bahunya tak peduli. Mencabut permennya dan menatap Agnes. "Gue rasa ini tempat umum," ucapnya dan kembali mengulum permennya.
"Lo habis ngerokok lagi?" tanya Agnes tiba-tiba membuat Devin menghentikan aktivitas memutar-mutar batang lolinya.
"Kok lo tau?" Dan seringaian Devin muncul. "Lo diem-diem merhatiin gue ya?"
Agnes mendengus. Menyesal, karena menanyakan hal seperti barusan. Agnes tidak peduli sejujurnya. Agnes hanya mengingat bau maskulin yang Devin gunakan itu pasti untuk menutupi bau khas tembakau. Dan entah kenapa, Agnes menanyakan hal tadi.
"Lo gak penasaran kenapa gue ada di sini?" tanya Devin setelah keheningan mengatapi mereka berdua.
"Gue gak--"
"Rumah gue ada di depan PAUD deket rumah lo," kata Devin menyela. "Tante gue kerja jadi guru di sana."
Agnes tidak menyahut. Ia berharap Devin pergi setelah Agnes tidak mengacuhkannya beberapa kali. Tapi, sepertinya Devin tidak menyerah.
Setelah memberitahu perihal tempat tinggalnya, Devin bercerita banyak hal.
Tentang dirinya yang selalu mendapat DO karena banyak bolos dan ketahuan merokok. Tentang dia yang tawuran dan melawan guru-guru. Bahkan sesekali Devin ikut balapan liar ketika dini hari. Membuat orangtuanya angkat tangan dan menyerahkan Devin pada tantenya. Berharap Devin bisa berubah meski harapannya kecil.
Hingga Devin mulai bercerita soal Gibran. Membuat Agnes perlahan memasang pendengarannya tajam dengan ditutupi wajah datarnya.
"Gue sama Gibran itu sekelas," ucapnya mulai bercerita. "Dia dulu culun. Kacamataan gitulah. Kadang gue juga risi liat dia."
Agnes mulai berfantasi, membayangkan Gibran yang nyaris sama dengan tampilan Fahri.
"Trus gue pernah mergokkin dia bikin surat cinta gitu buat Elsa."
Dan jantung Agnes berdenyut ngilu. Cewek itu tetap berusaha tak melakukan perubahan sedikit pun. Termasuk pergerakkan dan ekspresi wajah.
"Gue remehin dia dan ngasih tau kalo Elsa suka sama gue." Devin menatap Agnes meyakinkan. "Gue gak kepedean soal ini. Dia sendiri yang bilang sama gue."
Devin mendengus melihat ketidakacuhkan Agnes dan kembali menyandarkan punggungnya menatap hilir mudik orang-orang di depannya. "Dianya gak percaya. Dia cuma liat gue kesel dan tetep ngasih surat itu. Eh nggak tau juga sih. Soalnya gue udah keburu gak peduli."
Devin menoleh setelah ada jeda sesaat. "Lo gak sakit hati gue nyerita ini?"
Agnes tetap memasang muka dinginnya. "Buat apa?"
"Ya karna gue nyeritain soal orang yang lo suka."
Agnes tak menimpali atau mengiyakan. Agnes mulai beradu argumen di dalam otaknya antara akal sehat dan realita yang ada.
Jadi, Gibran kelihatan membenci Devin karena Devin merebut Elsa? Dan sekarang, Devin kembali lalu Gibran memang sengaja mendekati Elsa agar Devin merasa kalah?
Seperti itukah?
Hah! Harusnya Agnes tahu dari awal. Elsa sudah melesat tinggi dari posisi awalnya yang sejajar dengan Agnes. Elsa punya banyak kelebihan. Kecantikan, popularitas dan juga kelembutan. Elsa juga punya banyak faktor yang mendukung untuk mengikat Gibran agar tetap di sampingnya.
Bagian mana sifat Agnes yang bisa menyamai Elsa? Ia punya popularitas pun bukan karena kebaikannya. Melainkan gelar buruk yang Agnes dapatkan.
Tapi, kenapa cowok itu mudah mengutarakan perasaan dan atensinya secara gamblang pada Agnes?
"Gak ada gunanya perasaan gue gimana pun juga. Dan elo..." Agnes mulai menatap Devin. "Jangan urusin urusan pribadi gue."
Agnes beranjak bersama ranselnya. Devin tidak mengejar. Perasaan Devin semakin ambigu sekarang. Agnes punya banyak hal tersembunyi yang cewek itu tutup rapat.
Bahkan Devin sendiri seolah tidak merasakan pribadi Agnes sebenarnya meski keduanya baru saja mengenal satu sama lain. Dan Devin lagi-lagi ingin mengulik semuanya. Semua dari kehidupan Agnes secara detail.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro