Bab 18
"Pak, saya izin ke toilet," izin Agnes pada Pak Sholih --sang guru PAI. Pria paruh baya itu lantas mengangguk, memberi izin pada Agnes.
Cewek itu kemudian ke luar kelas. Bukan toilet sebagai tujuan utama Agnes, sejujurnya. Melainkan UKS. Tapi, Agnes tidak berniat bolos. Agnes hanya sedikit tidak merasa tenang, ingat hanya sedikit.
Soalnya semenjak Mira, sang teman sebangku izin ke UKS seusai istirahat, Agnes merasa ada yang salah. Dan akhirnya nurani Agnes terketuk pada kondisi Mira yang sepertinya memprihatinkan.
Suasana lengang UKS menyambut kedatangan Agnes. Penjaga UKS atau dokter Rahayu, sedang tidak berada di tempat. Entah memang tidak ada jadwal ataukah sedang ke luar sebentar. Yang jelas, Agnes tidak peduli.
Kedua netra dingin itu langsung menyorot pada arah ranjang yang ditutupi gorden. Seolah penghuninya tidak mengizinkan satu manusia pun mendekat.
Tetapi, Agnes kelewat cuek. Cewek itu menyibakkan gorden itu. Dan terlihat kawan sebangkunya yang sedang tidur terlentang dengan posisi tangannya menutup mata. Lantas sesekali bahu itu naik turun dan terdengar suara isakkan.
Sepertinya Mira sedang menahan tangisnya pecah hingga terdengar pada gendang telinga makhluk hidup lain. Kendatipun, UKS sekarang terbilang sepi.
"Lo nangis?"
Mira tersentak. Cewek itu sesegera mungkin menghapus jejak-jejak air matanya dan duduk bersandar. Tak lupa senyum andalan mode fake smile, ia ulas dengan berat hati.
"Gu-gue cuma kebawa mimpi kayaknya."
"Ini ada hubungannya sama Tena?" tanya Agnes to the point tanpa mengindahkah jawaban Mira. Mira kelihatan gelagapan. Kedua tangannya mencengkram rok di atas pangkuannya.
"Ngg--"
"Elo sakit hati?" Agnes menyela.
Agnes tidak menyukai orang yang tidak jujur. Meski dirinya sendiri sering membohongi perasaan. Maka dari itu, Agnes tidak ingin orang lain merasakannya. Karena mengatakan sesuatu yang bertolak belakang dengan kebenaran benar-benar berat dan terasa berdosa.
Dan lagi. Agnes tidak ingin terlalu lama terlihat simpati pada luka orang lain. Agnes mau cepat-cepat mengakhiri drama ini. Agnes tetap ingin diberi label manusia tak bernurani.
Kalau saja Mira bukan temannya, sudah pasti Agnes tidak akan seacuh ini.
"Gu-gue gak tau." Mira menunduk. Tidak ingin langsung bertatapan pada kedua netra Agnes yang sekarang memandangnya datar.
"Apa yang lo rasain sekarang?"
"Tena...." Mira terlihat gamang untuk sekadar bercerita. Mira tidak yakin untuk menceritakannya pada Agnes. Mengingat, Agnes tidak pernah peduli sedikit pun pada penderitaannya. Tapi, Mira juga perlu pelarian. Mira nggak mau terus-terusan dihantui oleh masalah yang Mira nggak tahu penyelesaiannya.
Ya walaupun Mira tidak yakin Agnes akan memberi solusi, dengan bercerita pun masalah Mira akan terasa berkurang sedikit.
"Tena jauhin gue, Nes. Gue gak tau salah gue apa." Air mata Mira mulai meluncur lagi ke kedua pipinya. "Gue nggak tau, Nes."
Tangis Mira akhirnya pecah. Agnes tetap bergeming di samping ranjang Mira tanpa ada pergerakkan sedikitpun.
Mira tidak mengerti kenapa rasa sesak itu menyiksanya seberat ini. Tena bukan siapa-siapa. Tena hanya teman biasa. Mira sudah biasa dijauhi. Tapi, kalau Tena urusannya, semuanya benar-benar berbeda. Mira tidak tahu alasannya.
"Sebelum Tena jauhin. Lo ngomong apa sama dia?" tanya Agnes kemudian setelah tangis Mira mulai mereda. Nadanya pun dibuat sedatar dan secuek mungkin. Seakan tidak ada nada empati sama sekali di dalamnya.
"Gu-gue bilang ka-kalo gue su-suka sama Fahri."
Biarlah sekarang rahasia Mira terungkap semua. Toh, Agnes juga tidak mungkin menyebarkannya. Mengingat, Agnes sama sekali bukan manusia yang menginginkan perhatian orang banyak. Lagian Agnes mau bercerita pada siapa?
Fahri saja takut pada Agnes.
"Lo bukannya suka sama Tena?" Agnes bertanya dengan nada yang mulai terdengar berminat pada kisah Mira.
Mira menggeleng dan menyeka kembali air matanya. "Gue sukanya Fahri," jawab Mira dengan suara serak.
Agnes menetralkan kembali emosinya, menyadari kalau ia sudah kelewat peduli pada orang lain.
"Lo yakin?" tanya Agnes datar. "Elo orang yang gak peduli sama perilaku orang sama elo. Dan sekarang lo nangis karna Tena jauhin lo. Berarti Tena bukan orang biasa lagi di hidup lo, Mir."
Mira terdiam.
Penjelasan Agnes sama halnya dengan apa yang dipikirkan oleh Mira sendiri.
"Gue pikir perasaan lo sama Fahri bukan perasaan suka. Tapi perasaan kagum atau sekadar nganggap dia lucu," jelas Agnes penuh ketidakminatan. "Pokoknya gitulah. Gue gak tau urusan lo sama Fahri. Tapi yang terpenting, perasaan lo sama Tena yang beda, Mir."
Mira melongo tak percaya. Agnes yang ketus dan irit ngomong, sekalinya bicara, wejangan yang bijaksana yang ke luar. Bahkan seolah bermetamorfosis menjadi godaman keras pada ulu hati Mira sendiri.
Sebagian besar, Mira pun merasakan pernyataan yang logis pada urutan kalimat itu. Menciptakan kelegaan tak terhingga ketika pertanyaan sulit yang Mira pecahkan selama ini, begitu mudah diselesaikan oleh paparan Agnes.
"Lo--"
"Gue ke kelas."
Agnes cepat-cepat ke luar UKS meninggalkan Mira yang hendak mengujarkan sesuatu. Menurut Agnes, hal tadi sudah cukup ia ucapkan. Jangan lebih. Nanti Agnes kebablasan untuk terus menolong orang sejenis Mira. Dan Agnes tidak akan pernah mau hal itu terjadi. Biarkan hal tadi menjadi pertama dan terakhirnya lagi Agnes menolong seseorang di SMA Perjuangan ini dalam melewati masalah seperti itu.
Ah, sepertinya jangan dulu mencetuskan kalimat pertama dan terakhir. Soalnya ada satu manusia lagi yang harus Agnes sadarkan mengenai perasaannya.
Kalau saja masalah Agnes mudah diselesaikan dengan cara berbicara seperti masalah Mira, mungkin kepelikan hidupnya tidak akan serumit sekarang.
**
Agnes baru saja beberapa langkah melewati kelas Gibran untuk membawakan tas Mira pada pemiliknya. Dan seseorang menepuk pundak cewek itu membuat Agnes berjengit terkejut.
Dengan wajah datarnya, Agnes berbalik. "Apa?"
"Liat gue latihan teater yuk!" ajak Gibran seenak jidat tanpa memahami makna ajakannya tersebut.
Kalau bagi Gibran mungkin itu kalimat yang biasa saja. Lain halnya bagi Agnes. Menurutnya, urutan kalimat Gibran memang benar sesuai kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi maknanya yang jelas-jelas seperti koloni belati yang mengukir sesuatu yang indah di permukaan hatinya.
"Ngapain? Lo bukan balita yang harus ditungguin."
Gibran merengut. "Elo kan semangat gue, Nes. Gue juga kan masuk teater karna elo."
Agnes ingin sesegera mungkin mengatakan kejujuran. Bukan Agnes yang menginginkan Gibran masuk ekskul yang menurutnya terkutuk itu. Tapi nenek sihir laknat itulah yang membuat permainan secantik ini. Dimana Gibran melakukan hal yang berkontradiksi dengan keinginan Agnes. Dan malah menjadikannya bumerang secara tidak langsung.
Dasar licik!
Agnes baru tahu. Elsa bisa selihai itu.
"Gib, langsung ke aula yuk!" Elsa tiba-tiba menggandeng tangan Gibran.
Agnes kepanasan. Melirik gandengan tangan itu sambil diam-diam mendengus kesal. Rasanya ingin menjambak rambut nenek sihir itu hingga botak. Ah, bahkan Agnes punya keinginan utuk mematahkan tangan cantik itu.
Cuma beruntungnya Agnes masih punya akal sehat. Agnes berusaha untuk setegar mungkin. Belum lagi Gibran sepertinya tidak keberatan sama sekali. Dan lagi-lagi Agnes harus menelan ketidaksukaannya itu.
"Ikut ya, Nes?" tanya Gibran lagi. Elsa mendelikkan mata.
Elsa tahu, efek samping mengajukan permintaannya atas dasar kemauan rivalnya alias Agnes. Pasti apa-apa harus ada Agnes. Dan Elsa harus memutar otak agar Gibran tidak mengurungkan keinginannya untuk masuk teater. Sia-sia dong usahanya selama ini untuk berdrama di depan banyak orang. Dan Elsa paling nggak mau usahanya gagal.
"Ikut aja yuk, Nes!" Sekarang giliran Elsa mengajaknya. Tentu, dengan topeng perempuan baik. Apalagi Gibran sempat menatapnya sekilas. "Rame kok!"
Agnes sebenarnya ingin mendengus kasar layaknya banteng. Terus menubruk Elsa saking kesalnya pada kelihaian akting yang dilakukan Elsa itu. Sepertinya tidak salah Elsa menjadi ketua ekskul teater. Kepura-puraannya nyaris sempurna, menyamai keaslian tanpa celah sekecil pun.
"Gue sibuk. Besok ulangan."
"Yaudah gue gak akan latihan kalo gitu," timpal Gibran seraya melepaskan genggaman Elsa. Agnes sempat menghela napas lega sebelum Elsa memberikan tatapan tajam pada Agnes.
Kenapa hidupnya jadi penuh drama seperti ini sih? Agnes cuma ingin hidup tenang tanpa ada benalu yang menghambat dirinya bernapas. Tapi sekarang, paru-parunya terkadang terasa sesak karena beban masalahnya yang terus bertumpang tindih tiada hentinya.
Agnes tidak punya pilihan. Salahkan dirinya yang salah memilih dalam menunjuk satu pilihan. Dan hasilnya seperti sekarang. Agnes harus merasakan efek yang luar biasa menyakitkan.
"Lo duluan. Nanti gue nyusul."
Gibran hampir memekik senang kalau dia tidak ingat jika sekarang waktunya bubaran sekolah. Gibran masih punya sikap jaim dong. Orang ganteng masa lebay?
"Oke, gue tunggu."
Dan Elsa hanya bisa menyeringai mengerikan. Tanda-tanda kalau cewek itu bahagia karena bisa mengendalikan korbannya secara cantik.
Gibran pergi dan Agnes hendak berbalik. Tetapi suara cowok menginterupsi pergerakan Agnes.
"Tas Mira mau lo kemanain?"
Agnes mendelik. Ia kembali ke posisi awal. Tena berdiri dengan aura jahanam khas kalau ketemu Agnes.
"Apa urusannya sama elo?"
Tena mendengus. "Mira temen SMP gue. Dan sekarang temen SMA gue. Jadi gue berhak nanya."
Agnes ingin bertepuk tangan. Cewek itu ketemu lagi cowok yang nggak konsisten nyamain kayak Gibran. Awalnya Tena menjauh, sekarang sok dekat dengan Mira.
Tapi, Agnes sedang tidak ingin mencari perkara. Ia mau cepat-cepat keluar dari sangkut-pautnya permasalahan Mira dan Tena. Karena ada masalah hati yang pelik yang belum Agnes urusi.
"Lo tau Mira di UKS sekarang karna siapa?"
Alis Tena berkerut. Tidak mengerti arah pembicaraan Agnes yang selalu tiba-tiba tanpa dikasih judul sebelumnya.
Melihat Tena tidak ada keinginan untuk menjawab, Agnes menjawab, "Dia nangis karna elo. Dan dia bolos ke UKS karna dia mau nangis di sana."
"Kok jadi gue?" tanya Tena tak terima.
"Karna lo jauhin dia." Cepat-cepat Agnes menambahkan ketika Tena hendak menginterupsi. "Lo tau? Mira gak gampang peduli sama orang. Dan ketika lo jauhin dia trus dia sampai nangis, berarti lo beda bagi Mira."
"Maksud lo?"
Agnes menggeram dalam hati. Susah kalau memberi paparan ambigu seperti tadi pada manusia yang sedang sentimental macam Tena sekarang.
"Mira suka sama elo. Dan dia sakit hati karna elo jauhin dia."
Tena cengo beberapa saat. Agnes mengulang lagi kalimatnya lebih lugas dan sejurus kemudian, Tena merebut tas dari pelukan Agnes. Lantas berlari secepat kilat menemui cinta pertamanya itu. Sakit hatinya yang beberapa hari ini membuatnya menderita, seolah hilang tak berbekas. Yang Tena inginkan cuma satu.
Kebenaran perasaan.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro