Bab 16
Tena menghindar.
Itu yang Mira rasakan sekarang. Semenjak kepergian Tena dari mesjid, Mira mengikutinya. Mira kerap memanggil nama cowok itu, dan tetap tidak ada gubrisan. Dan Mira tahu, Tena marah padanya.
"Tena!" panggil Mira begitu keras hingga orang-orang yang melintasinya menyorot cewek itu. Mira terlihat begitu putus asa. Bulir keringat berjejer di dahi cewek beriris hitam itu.
Tena berhenti dari pelariannya. Orang-orang juga memerhatikan dirinya dengan raut wajah bingung. Tena tidak suka menjadi pusat perhatian apalagi yang akan membuat namanya semakin buruk di mata orang-orang.
Faktanya, Tena tidak menyukai hubungan tidak sehat ini bersama Mira. Satu hari tidak ke sekolah dan tidak melihat wajah Mira, sukses membuat Tena kalang kabut karena rindu. Inginnya Tena menghampiri Mira dan melupakan semua kesesakkan itu. Tapi, Tena gengsi. Tena nggak mau terus menyentuh lukanya yang masih perih setiap melihat Mira.
Intinya, Tena sedang dilematis. Menahan rindu ataukah menahan luka. Keduanya sama-sama menyakitkan bagi Tena.
"Please, jangan pergi, Ten." Mira memelas dan berhasil mengguncang nurani Tena. Ada rasa ingin memeluk dan berkata bahwa semua ini terjadi karena keegoisan Tena. Dan sekali lagi, Tena gengsi.
Tena berbalik. Ia hampir saja menarik Mira dan membawanya ke dalam dekapan ketika melihat air mata merembes di kedua pipi cewek itu. Tena nggak tega melihat penderitaan di dalam mata Mira.
Waktu seperti berhenti berdetik untuk beberapa saat. Hingga membuat Tena hanya bisa terpaku pada bumi. Tidak ada pergerakkan. Membiarkan waktu berjalan kembali kecuali bagi diri Tena.
"Maafin gue, Ten. Gue gak tahu gue salah apa." Beberapa saat jeda sejenak dan Mira menghela napasnya panjang. "Jadi, gue mohon. Kita bicarain baik-baik ya."
Untuk beberapa detik, Tena merasa kosong. Tidak ada sekelebat pikiran kecuali keberadaan cewek itu. Mira tidak salah. Dirinya saja yang terlalu banyak berharap. Kalau saja Tena membentengi diri dari awal, Tena tidak akan sesakit ini dan menjauhi Mira.
"Gak ada yang harus dimaafin," ucap Tena berusaha dingin di depan Mira.
Cewek itu terisak. Pipinya basah dan kesedihan tersurat jelas di wajahnya.
Mira nggak suka Tena yang sekarang. Mira lebih suka Tena yang blak-blakkan menyampaikan undek-undeknya. Bukan begini, berkata seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal orang buta sekalipun tahu, kalau hubungan Tena dan Mira tidak ada kata baik.
"Trus kenapa lo ngehindar, Ten?" Mira menghapus air matanya. "Kalo gapapa, kenapa lo gak mau ngomong lagi sama gue?"
Tena terdiam sejenak. Semuanya ada jawabannya. Tapi bibir Tena seperti terlem super kuat untuk tidak mengatakan alasan sebenarnya. Tena juga tidak mau seperti ini. Sekaligus Tena juga tidak mau jujur dalam waktu bersamaan.
"Gak semua bisa gue bilang sama lo," ucap Tena memulai. "Dan gue pikir, kita lebih baik menjauh dulu."
Mira terpecut realita. Mira mau kebenaran, tapi bukan ini yang Mira inginkan. Mira maunya semua kembali baik-baik saja. Bukan menjadi lebih pelik dan menyelesaikannya dengan cara ini. Mira nggak mau.
"Tapi Ten--"
"CUKUP!" Suara Tena menggelegar. Sukses membuat Mira dan orang-orang yang menontonnya menahan napas.
Cowok kalem dan alim itu, sekarang menunjukkan sisi lainnya. Membuat Mira semakin ingin bunuh diri di tempat. Mira tahu, dialah yang menyebabkan Tena seperti sekarang.
"Gue rasa, ucapan tadi udah cukup jelas, Mir."
Tena beranjak dan Mira terduduk lemas di lantai.
Cewek itu tertunduk dan air mata terus-menerus menetes ke atas rok abunya. Tidak peduli ia menjadi bualan orang-orang. Mira hanya ingin mengeluarkan rasa sakitnya melihat sosok Tena barusan.
Beberapa lama, sebuah tangan terulur di depan wajah Mira. Merasakan keberadaan seseorang, Mira mendongak.
Seulas senyum dari sosok itu memberi sedikit semangat pada diri Mira. Namun, tak berhasil menghapus kesedihan yang Mira rasakan saat ini.
"Lo mau trus-trusan jadi bahan tontonan orang-orang?" tanya Gladys santai seolah Mira saat ini dalam keadaan baik.
"Gue gak peduli," jawab Mira serak dan Gladys berjongkok di depan Mira.
"Gue peduli," sahut Gladys. "Karna liat lo kayak gini cuma gara-gara cowok, sama aja udah ngerusak nama cewek tau gak? Keliatannya tuh cewek itu lemah banget. Padahal kan kita itu kuat, Mir," jelas Gladys seraya mengepalkan tangannya ke udara di kalimat terakhir.
Mira terisak. "T-tapi gue sedih, Dys. Apa gue gak boleh nangis?"
Gladys tersenyum penuh arti. "Boleh. Asalkan nanti. Ketika semua usaha lo nggak ada hasilnya. Tapi sekarang, gue pikir lo belum usaha banyak. Jadi, elo belum boleh nangis."
Gladys menghapus sisa-sisa air mata Mira. Lantas mengajak Mira berdiri.
Gladys seperti ini, benar-benar berubah dari Gladys dulu. Gladys dulu, selalu memberikan tatapan remeh pada orang-orang. Dan sekarang, Gladys terlihat berempati pada seseorang. Tetapi, mereka tidak tahu, sikap seseorang tercipta dari bekas luka yang terbentuk.
"Kita selesain masalah lo gimana? Tapi jangan sekarang. Lo tenangin hati lo dulu ya?"
Mira mengangguk. Melihat keyakinan Gladys memberi energi tersendiri membuat Mira bangkit. Dan cewek itu nggak sadar. Ada hati yang terketuk karena tangisnya tadi.
**
"Lo kenapa masuk sekolah ini?" tanya Gibran setelah beberapa saat keheningan menyelimuti dirinya dan Devin.
Gibran tidak bisa tenang sejak pertemuannya dengan Devin hari ini. Belum lagi posisinya Devin tengah berbincang dengan Agnes. Ada cemburu sekaligus kebingungan yang membuat Gibran memaksa Devin menemuinya di warteg belakang sekolah.
Emang nggak elit buat urusan ngomongin hal serius. Tapi daripada di kafe, nanti kelihatannya Gibran dan Devin disebut pasangan LGBT. Gibran mana mau.
"Gue gak tau. Tante gue yang masukin gue ke sekolah itu," jawab Devin lantas menyeruput kopi hitamnya. "Emang kenapa? Kok lo kayak yang gak suka banget sama gue?"
Gibran yang ekstrovert memang begini risikonya. Sukar sekali menutupi perasaannya. Tadinya Gibran tidak ingin memperkeruh suasana. Tapi, Devin sudah terlanjur menanyakannya.
"Gue emang gak suka sama lo."
Devin mengangkat salah satu ujung bibirnya, "Elo masih marah sama gue karna ngerebut Elsa?"
Gibran berdecak. "Gue udah lupain masalah itu. Yang jelas gue gak suka liat lo berkeliaran di sekolah gue."
"Maunya sih gitu. Tapi tante gue nggak bakalan biarin gue di DO lagi. Jadi lo anggap aja gue gak ada."
Gibran menghela napasnya kesal. Bagaimana mau tidak menganggap, kalau Devin adalah sosok yang membuat zaman SMPnya suram. Meski sudah berlalu, rasa benci itu masih saja berkecamuk. Gibran tidak tahu kalau dia akan kuat sampai kapan untuk menahan amarahnya pada Devin.
"Elo berubah banyak ya?" Ucapan itu seperti pernyataan bukan pertanyaan di telinga Gibran. Gibran hanya duduk terdiam tanpa menyahuti.
"Apa karna Elsa?" Gibran sudah muak. Devin selalu bisa meremehkan dirinya. Apakah dia tidak menyadari? Gibran yang saat ini ada di atas posisi cowok itu.
Pujian, pengakuan, binaran, kebahagiaan dan perhatian orang-orang tertuju pada satu poros, yaitu Gibran. Juara satu paralel dijabat oleh Gibran. Gelar boyfriend-able, didapat Gibran dengan mudah. Semuanya berjalan baik dan sesuai keinginan Gibran. Tetapi kenapa cowok seperti Devin masih saja besar kepala?
"Elo gak ngerti apa-apa soal gue, Vin," ucap Gibran dingin membuat Devin meliriknya sekilas.
"Ohya? Bukannya elo yang gak kenal sama diri lo sendiri?"
Begitu saja. Lagi.
Tapi membuat Gibran tertegun. Devin selalu mempunyai kalimat yang cocok untuk mengikat Gibran tak bergerak.
"Udahlah. Jangan ngomongin itu mulu," kata Devin begitu santai. "Gue mau nanya cewek yang tadi ngobrol sama gue. Siapa namanya?"
"Agnes?" tanya Gibran menautkan alisnya. Jantungnya mendadak seperti diremas. Sakit namun tak bisa terdefinisi. Jangan lagi. Jangan lagi Devin mengambilnya.
"Ohh Agnes." Devin mengangguk-ngangguk seakan menemukan fakta baru yang ia tunggu sejak ribuan tahun lalu.
"Kenapa emang?"
"Cantik," ucap Devin lugas namun menusuk di telinga Gibran. "Tapi jutek. Gue baru ketemu cewek kayak dia."
Gibran mendesah lega. "Jangan deketin dia."
Devin menyunggingkan senyumannya mudah. "Kalo emang udah takdir?"
Mata Gibran memincing. "Elo kan gak percaya takdir?"
"Tapi lo percaya."
**
Agnes sedang mengeluarkan beberapa catatan serta buku paket Kimia ke atas meja belajarnya. Berniat mengerjakan tugas yang diberikan Bu Esti. Tugasnya pun nggak kira-kira. Disuruh merangkum satu bab plus mengerjakan soal pilihan ganda serta essainya, dan jangan lupa pakai soal.
Tugas kayak gitu memang sudah menjadi bulanan buat pelajar. Tapi, menjadi hal termalas sepanjang masa. Toh, ada buku paket kenapa nggak jawabannya aja? Ah, namanya juga manusia. Nggak jauh dari kata malas. Padahal manfaatnya nanti kerasa sewaktu buku paket dikembalikan lagi ke perpustakaan.
Ketika Agnes sudah mulai membuka lembaran selanjutnya untuk merangkum, ponselnya terdengar bergetar dari tas yang ada di samping kaki Agnes.
Cewek itu mengangkat ranselnya ke pangkuan dan merogoh benda persegi canggihnya.
Tertera nama cowok familier di layarnya. Tanpa pikir panjang, Agnes menjawab.
"Apaan?" tanpa basa-basi salam Agnes menanyakan tujuan Gibran meneleponnya. Bukannya menjawab, Gibran malah cengengesan. Agnes bergidik ngeri. Kayaknya otak Gibran kehilangan banyak sel saking pintarnya cowok itu. Agnes jadi khawatir. Dia akan gila seperti Gibran nggak ya?
"Kalo gak penting, gue tutup," ancam Agnes.
"Jangan dong. Gue telpon penting kok!"
"Kalo penting, cepet ngomong."
"Kangen."
"Hah?"
"Gue kangen."
"Gue tutup."
"Jangan!"
"Apaan lagi? Omongan lo gak penting tau gak?"
Agnes mulai jengah pada omongan 'nggak penting' milik Gibran. Kedatipun, dalam hati Agnes sedang bergempita ria. Senyumnya pun terulas tipis di sela obrolannya. Untung Gibran nggak ada di sini. Jadi, Agnes bisa sebebas mungkin menunjukkan emosinya.
"Iya. Gue cuma mau nanyain soal tugas."
"Tugas apaan?"
"Listrik statis. Pak Rohandi gak masuk. Katanya gue harus tanya ke kelas lo tentang materinya."
"Apa yang mau lo tanyain?"
"Ini. Kalo ada rangkaiannya paralel sama seri, gue ngitung hantarannya gimana?"
"Ohh... lo ngitung yang serinya dulu trus paralelnya."
"Oh oke. Trus kalo ada sekarang atau besok, kita balikannya kapan?"
"Maksud lo?"
"Ya elo ngerti kan, Nes."
"Mau gue tutup?"
"Jangan. Gue mau ngobrol sama elo."
"Apaan? Gue lagi ngerjain tugas kimia."
"Kenapa sih lo kayaknya gak suka banget ditelepon gue?"
"Bukannya gitu. Gue lagi ngerjain tugas."
"Gak ada yang lo sembunyiin, 'kan?"
"Maksud lo?"
"Elo lagi deket sama cowok?"
"Cowok siapa?"
"Hmm... yang tadi ngobrol sama lo mungkin."
"Namanya aja gue gak tau. Apalagi deket."
"Kirain."
"Udah? Gue gak ada waktu banyak."
"Iya."
"Gue tutup."
"Nanti."
"Apa lagi?"
"I love you."
Agnes serta-merta menutup teleponnya tanpa membalas ucapan terakhir Gibran. Ditaruhnya ponsel di dadanya dengan dentuman jantung yang begitu keras.
Dengan napas terengah, Agnes bergumam, "I love you too, Gib."
Di sebrang sana, Gibran mengesah mengetahui Agnes tidak menjawab pernyataannya lagi. Tapi, semangatnya tetap tak urung untuk membiarkan hatinya terkuasai oleh Agnes. Gibran yakin, usaha akan berbanding lurus dengan hasil. Perjuangan besar berbanding lurus dengan bahagia banyak.
Lantas cowok itu melemparkan punggungnya ke atas ranjang. Menanyakan tugas, sebenarnya adalah akal-akalan Gibran untuk menanyakan hubungan Agnes dan Devin yang sedari tadi Gibran pikirkan.
Sepulang sekolah, Gibran tidak bisa tenang. Jadinya Gibran menanyakannya secara langsung pada Agnes. Ada rasa lega ketika Agnes menjawab keresahannya. Tapi, saat itu juga Gibran merasakan firasat buruk sekaligus. Gibran nggak tahu jelas apa rasa itu. Gibran hanya tidak suka.
Terlalu lama melamun, Gibran mengambil ponselnya kembali ketika teringat sesuatu. Kemudian ia mengetikkan beberapa kata di dalam apilikasi chatnya pada seseorang.
Elsyana Abimanyu
Gue ikut teater bareng lo, Sa
**
Tbc tralala~
See u next update😅
**Ini itu... udah mulai konflik hehe. Tapi lagi-lagi aku nggak tega gengs😭 dan lagi-lagi aku bringing feeling😭
But, aku usahain tega. Iya tega. Semoga😅
Aku gak tau ini cerita bisa dipahami nggak ya? Soalnya banyak yang aku masukkin selain kisah Gibran dan Agnes hehe😅
Tapi udah matang kok semuanya. Endingnya aku udah dapet. Konfliknya udah aku detailin, but aku nggak tau ke depannya gimana. Soalnya terkadang feelingnya suka ngilang (kayak doi😭) dan butuh refreshing ria.
And i promise, cerita ini akan selesai kok! Iyalah, orang dilombain.
And thanks for my reader...s. Sudah meluangkan waktunya buat baca ceritaku. Lopyu😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro