Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 15

Seorang cowok menatap gedung asing yang akan menjadi tempat barunya untuk bersekolah. Menatap papan nama bertuliskan huruf kapital SMA Perjuangan, cowok itu mengulas senyumnya menampilkan gigi berbehel dengan karet berwarna transparan.

Sambil mengemut permen susu Milkita melon, cowok itu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana abunya. Beberapa saat, hingga akhirnya ia mulai melangkahkan kaki ke arah bangunan sekolah itu.

"Permisi, Den. Siswa yang telat masuk sekolah dilarang masuk." Cowok itu menghentikan langkahnya dan melirik jam tangan yang dikenakannya.

07.30

Sekolahnya yang kerajinan.

Padahal di sekolah lamanya jam segini baru masuk. Tapi cowok itu lupa fakta kalau sekolahnya yang sekarang punya aturan berbeda yang membuat cowok itu menilai sekolah ini akan menjadi tempat buruk untuknya ke depan. Dan pasti akan membuat banyak jam bolos selama sekolahnya nanti.

Cowok itu lantas menoleh ke arah satpam dan melihat nametagnya.

Melepaskan permen lolinya, cowok itu berkata, "Maaf, Pak. Saya murid baru. Jadi saya gak tau masuk sekolahnya kapan."

Pak Eko memerhatikan penampilan anak yang ngakunya murid baru itu. Pak Eko memang tidak pernah melihat wajahnya. Tetapi seragam yang tak terlihat sebagai murid yang baik, membuat praduga sendiri kalau murid jenis ini bakal calon anak bandel yang memancing emosinya. Dan membuat darah tinggi Pak Eko kambuh lagi.

Seragam yang tidak dimasukkan ke dalam celana abu, rambutnya yang hampir menyentuh alis, serta sepatunya yang sudah tidak konsisten dalam warnanya, sudah cukup menimbulkan rasa khawatir pada diri Pak Eko.

Tetapi Pak Eko nggak mau suuzon dulu. Siapa tahu memang itu menjadi tata tertib di sekolah lamanya.

Ya. Semoga.

"Nama kamu siapa?" tanya Pak Eko menusuk. Menyadari seragam sekolahnya masih polos tanpa lambang bet, cowok itu tersenyum.

"Saya Devin, Pak."

Pak Eko mengangguk paham sembari tatapannya naik turun, masih mencoba menilai penampilan cowok yang baru mengaku namanya Devin itu.

"Kamu bener murid baru di sini?"

Devin mengemut kembali permennya. "Iyalah, buat apa saya bohong?"

Pak Eko maunya memarahi murid yang tidak memerhatikan perkataannya yang dinilai tidak sopan itu. Namun, mengingat Devin adalah murid baru dan mungkin sudah bawaan dari sekolah lamanya, Pak Eko harus memaklumi. Bukan hal yang bagus menunjukkan kebengisan di depan penghuni baru.

"Yasudah. Kamu masuk sana. Izin ke guru piket," ucap Pak Eko tegas dan diangguki oleh Devin.

Cowok itu dengan santainya melewati koridor yang terbilang sepi. Mengingat, saat ini jam pelajaran pertama baru berlangsung. Guru piket yang dijanjikan Pak Satpam tidak berada di tempat. Mau tak mau, Devin harus mencari jalannya sendiri menuju ruang kepala sekolah.

Devin mengesah. Kalau saja bukan paksaan dari tantenya, Devin akan senang hati tetap menyelam ke dalam mimpinya saat ini. Tidak seperti sekarang, berjalan tanpa arah menuju tujuan yang nggak tahu di mana tempatnya. Alias ruangan kepala sekolah terhormat.

Hendak berbelok, tubuh Devin terjungkal ke belakang dengan bokong yang mendarat duluan. Sambil mengulum permennya, Devin merintih kesakitan.

"Anjir bokong semok gue," rengek Devin mencoba menahan sakit ngilu pada seluruh bagian permukaan pantatnya. Rasanya mendadak rata dan tak berbentuk.

Dengan terpaksa Devin harus tahu tersangkanya. Agar ia bisa minta tanggung jawab karena telah mengurangi kadar kegantengannya.

"Elo jalan gak pake mata?!" sembur Devin setelah menetralisir sakitnya meski sedikit ada rasa ngilu di tempat pengeluaran hasil penggilingan perutnya itu.

Terlihat cewek yang sibuk menepuk-nepuk roknya. "Gue jalan pake kaki bukan mata," ucapnya dingin membuat Devin terperangah.

Cowok itu bangkit dan mencabut lolinya yang tinggal setengah itu.

"Lo rese ya jadi cewek," kata Devin kesal sambil menunjuk-nunjuk cewek itu dengan lolinya.

Kalau dilihat cantik sih ceweknya. Tapi sayang, mukanya macam papan triplek yang datar banget. Nggak kaya Devin yang sudah menunjukkan sejuta emosinya melalui bahasa wajah. Ah, Devin jadi penasaran. Barusan waktu cewek itu jatuh, ekspresi mukanya kayak gimana ya?

"Trus?"

Devin menghela napasnya. Baru menemui cewek spesies kayak gini yang nggak kenal emosi sepertinya. Devin sudah teriak, cewek itu tetap tak gentar. Harusnya kan cewek itu terpesona ketika melihat Devin. Jelas saja. Di sekolah lamanya Devin jadi idola cewek-cewek. Sekali berkedip, sepuluh cewek langsung klepek-klepek nggak bisa lepas. Biasalah. Risiko orang ganteng. Itu katanya.

Atau di sekolah barunya ini emang cewek-ceweknya alim semua ya?

"Harusnya lo minta maaf."

"Gue gak salah," tandas cewek itu. Devin menelan susah payah emosinya. Enggan berteriak lebih keras apalagi di depannya itu cewek. Nanti disebut banci bisa berabe.

"Elo yang nabrak gue."

"Gue gak ngerasa nabrak."

Devin mengepalkan tangannya kuat lantas menghisap kembali permen susunya untuk menyalurkan amarah yang sudah meledak-ledak di dadanya.

"Pokoknya elo yang salah," lawan Devin nggak mau kalah. "Sebagai gantinya elo harus anter gue ke ruang kepsek."

"Ogah," ucap cewek itu melengos pergi.

Devin melongo di tempat. Baru ketemu tipikal cewek yang bodo amat dan nggak mau menolongnya kayak gitu. Rasanya Devin ingin mencopot kepalanya sendiri dan dilemparkan pada cewek itu biar tahu rasa.

Namun, apa daya. Devin nggak senekad itu.

"Woy! Lo harus tanggung jawab," tukas Devin berlari dan menarik tangan cewek itu lalu dihempaskannya kasar.

"Gue masih ada kelas. Lo bisa pergi sendiri."

Kalau saja ada manusia lain, Devin akan meminta tolong pada manusia lain itu. Tetapi saat ini hanya ada keberadaan cewek yang sukses membuatnya emosi sampai ubun-ubun untuk pertama kali dalam hidupnya.

"Kalo gue tau, gue gak akan minta tolong elo."

"Ta--"

"Kalo ada orang lain juga, gue gak akan minta tolong lo," potong Devin seakan tahu arah kemana pemikiran cewek itu.

"Gue gak mau," ujar cewek itu lugas kemudian berbalik beranjak dari Devin tanpa menoleh lagi.

Kalau sudah begini, Devin tidak bisa memaksa lebih jauh. Bisa-bisa cara fisik yang Devin gunakan. Jadinya Devin harus siap berpetualang di sekolah barunya yang banyak lorong ini tanpa ada bantuan Dora dan peta.

Awas saja jika ketemu lagi cewek itu. Devin akan membuatnya menyesal karena tidak mau menolongnya tadi.

**

Agnes sedang sibuk pada makanan favoritnya. Btw, mejanya tidak sehangat biasa. Lantaran Agnes memilih tempat yang memang sudah penuh oleh juniornya dan hanya muat untuk satu orang. Tetapi, Mira punya cara agar bisa duduk di samping Agnes.

"Nes, kok elo milih meja di sini sih?" tanya Mira risih sambil melihat-lihat adik kelasnya yang sedang asyik bercengkrama dengan teman sebayanya.

Agnes mengangkat bahunya nggak peduli. "Kalo lo gak mau, lo bisa pergi."

Ucapan Agnes begitu menusuk. Membuat Mira menelan salivanya sendiri. Agnes tetap begitu cuek. Dingin dan tak tersentuh. Padahal Mira mau menyapa Tena yang baru masuk sekolah hari ini. Menanyakan kabar dari cowok itu setelah absen satu hari karena sakit.

Inginnya Mira mendatangi kelas Tena. Tapi, Mira terlalu pemalu dari biasanya. Mengingat kejadian terakhir bersama Tena tidak terlalu baik, mengurungkan niatnya untuk menyapa cowok itu duluan.

Kalau saja Agnes mau bergabung bersama Gibran dan kedua sahabatnya, Mira akan mudah menciptakan momen sendiri untuk berkomunikasi dengan Tena. Lah ini. Agnes malah menjauh. Seolah memang sengaja untuk menjauhi ketiga orang itu. Ataukah salah satunya saja?

"Elo ada masalah sama Gibran ya?" tanya Mira hati-hati dan membuat Agnes menghentikan kegiatan mengunyahnya sebentar.

"Biasa aja," jawab Agnes seraya melanjutkan kembali aktivitasnya.

Sementara itu, meja yang dihuni oleh tiga orang cowok sekarang diatapi oleh aura mencekam. Ah, itu terlalu berlebihan ding. Intinya, meja yang diisi oleh Gibran, Fahri dan Tena mendadak sepi dan dingin.

Gibran mengeluarkan kelakar saja tidak ada gubrisan sama sekali dari kedua sahabatnya. Tena yang biasa menimpali terlihat sibuk dengan nasi kuningnya. Tetapi, Gibran sesekali melihat cowok itu melirik Fahri geram.

Keanehan Gibran sebenarnya berawal dari mulai masuk juga. Tena yang biasanya jutek pada Fahri, sekarang semakin terlihat garang. Setiap Tena melihat Fahri, rasanya Tena ingin memakan cowok itu hidup-hidup.

Waktu Tena datang dan Fahri hendak memeluknya, Tena menggemparkan satu kelas dengan suaranya yang menggelegar dan menggema. Gibran saja bergidik ngeri melihat Tena berubah seperti itu. Seolah-olah Tena sedang dirasuki oleh sosok penghuni dari kelasnya.

"Elo kenapa sih, Ten? Elo ada masalah?" Gibran bertanya sebab sudah mulai jengah dengan situasi ini. Tena berpaling pada Gibran.

"Gue gak ada masalah," tukas Tena membuat Gibran semakin yakin kalau ada sesuatu yang terjadi pada cowok itu.

"Gue tau elo bohong, Ten," ujar Gibran sabar.

Tena membanting sendoknya hingga menimbulkan suara yang begitu nyaring. Cowok itu semakin menajamkan tatapannya dengan aura yang begitu mengerikan. Gibran tahu, dia sudah memancing sisi lain dari Tena.

"Elo jangan kepo urusan orang, Gib! Mending lo urus aja hubungan lo sama Agnes."

Tena pergi menjauhi mejanya. Gibran tercenung sejenak mendengar ucapan dingin Tena namun menghunus jantungnya itu. Fahri yang tidak mengerti apa-apa memerhatikan kedua sahabatnya dengan sorot mata lugu.

"Tena kenapa?"

Gibran menghela napasnya gusar. "Lagi PMS kali."

Fahri mencoba memahami. Tapi yang cowok itu tahu, kalau suasana persahabatannya sekarang sedang dilingkari masalah yang pelik. Fahri tidak mengerti. Yang jelas Fahri hanya bisa diam tanpa berbuat sesuatu. Karena Fahri tidak mengerti permasalahan orang dewasa.

**

"Gue kemarin diajakkin Elsa masuk teater," kata Gibran tiba-tiba menyela kegiatan memakai sepatu teman-temannya.

Cowok itu duduk sambil menyimpan sepatu di depannya. Bukannya dipakai, malah ditatap sendu. Seolah ada hal yang menyedihkan pada conversenya itu.

Gibran, Tena, Fahri, Mira dan Agnes sedang duduk di pelataran mesjid. Baru menyelesaikan ibadah sholat dzuhur pada istirahat kedua. Agnes baru saja beres menstruasi dan seolah disengaja, cewek itu berpapasan dengan gerombolan Gibran.

"Trus? Lo trima?" tanya Tena di samping Gibran. Bukannya menjawab, Gibran mencondongkan tubuhnya menoleh ke arah cewek yang ada di samping Tena.

"Menurut lo gue terima jangan, Nes?"

Agnes yang berpura-pura sibuk mengikat tali sepatunya sejenak berhenti. Tercenung mendengar pertanyaan dari Gibran yang lagi-lagi membuatnya bimbang.

Jawabannya jelas. Agnes tidak mungkin mengizinkannya, apalagi kalau ada sangkut-pautnya dengan cewek yang namanya Elsa. Kalau saja Gibran bisa membaca pikirannya, Agnes tidak perlu menahan perasaannya.

Namun, sialnya Gibran tipikal cowok yang nggak peka. Gibran selalu menyimpulkan ucapan Agnes secara harfiah, bukannya ditilik lebih dalam kalau apa yang diucapkan cewek itu selalu berkontradiksi dengan hatinya.

"Terserah elo. Elo kan yang ditawarin."

Gibran meraih sepatunya untuk dikenakan. Tena bangkit merasa dirinya menjadi penghalang antara Gibran dan Agnes.

Gibran menghela napas kecewa. Mendengar jawaban Agnes yang sama sekali tak mengandung beban berat di dalamnya.

"Tapi kata Elsa elo katanya seneng gue masuk teater, Nes," ucap Gibran agak keras di tengah kerumunan orang yang mulai memenuhi mesjid.

"Elsa bilang gitu?" tanya Agnes lalu menoleh dengan sorot mata tak percaya.

Agnes menggeram dalam hati. Bisa-bisanya cewek ular itu memanfaatkan Agnes untuk menarik Gibran. Agnes baru tahu, ada juga cewek licik kayak Elsa.

Oh, jadi ini permainan yang katanya dibuat Elsa. Mau bagaimana lagi. Untuk melawan dan berkata jujur, sama saja salah. Toh, Agnes bukan siapa-siapa lagi Gibran. Melarang pun, itu hal yang tidak pantas dilakukan Agnes.

"Ya... gue seneng," sambung Agnes akhirnya.

Cewek itu kemudian berdiri. Terlalu berat rasanya mengatakan hal yang bertolakbelakang dari hati. Padahal Agnes meminta Gibran untuk menjauhinya. Bukan cuma perintah Elsa juga, tapi karena dirinya yang tidak ingin terus-menerus mengatakan hal yang sebenarnya menyakiti diri sendiri. Tetapi namanya Gibran, selalu bersikeras seolah ucapan Agnes hanya angin lalu.

Kalau saja Gibran seperti itu juga dalam menerka jawabannya barusan, Agnes akan lega. Dan sekarang bukannya Gibran merasa Agnes terlihat aneh, cowok itu malah memekik senang.

"Beneran lo seneng?"

Agnes menoleh ke belakang dimana posisi Gibran masih duduk. Ada sakit yang merambak ke seluruh sel tubuhnya ketika melihat binaran mata Gibran yang membahagiakan.

Kalau cowok itu senang masuk teater, kenapa harus bertanya pada Agnes? Itu sama saja menyiram luka basah dengan air garam. Luka yang perih, sakitnya kembali berlipat-lipat.

Lebih baik Agnes tahu dari orang lain daripada Gibran sendiri yang membicarakannya.

"Kalo lo seneng, masuk aja." Agnes kembali manatap lurus ke depan. "Bagus kan lo bisa jago akting."

Agnes bergegas pergi. Tidak peduli Gibran mau membicarakan hal lain lagi. Sudah cukup Agnes melihat bahagia yang terpancar dari wajah Gibran. Tapi apa Agnes tidak bisa sedikit egois? Ia tidak suka melihat pancaran bahagia itu berasal dari hal yang tidak ia sukai.

Tidak menatap orang-orang di depannya, Agnes hampir terhuyung ke belakang karena bahu kirinya dihantam keras oleh orang yang sedang berlari dari depan.

Agnes sedikit merintih dan berbalik melihat cowok yang saat ini melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Agnes: mengusap bahu yang ngilu.

"Elo lagi, elo lagi," ucap cowok itu jengah. "Kenapa sih lo hobi banget nabrak gue?" tanyanya ketus menatap berang Agnes.

Agnes menurunkan lengannya dari bahu lantas menatap dingin lawannya. "Gue gak nabrak lo."

"Halahhh," ucapnya sambil mengerakkan tangan di depan wajahnya, "basi alesan lo!"

"Yaudah." Agnes hendak berbalik dan lengannya secepat itu juga dicekal oleh cowok itu.

Agnes terpaksa kembali ke posisi awal. "Kenapa?"

"Lo gak mau minta maaf?"

Agnes menghempaskan kasar cekalan cowok itu. "Gue gak salah."

"Elo jelas--"

"Agnes?" panggil seseorang dari belakang cowok itu memotong ucapannya. Agnes menelengkan kepalanya diikuti oleh perputaran haluan cowok itu.

Dahi Gibran berkerut melihat cowok yang berbincang dengan Agnes barusan. Sepertinya, Gibran merasa familier pada wajah cowok itu.

"Gibran Julian?" tanya cowok itu dengan raut wajah tak percaya.

"Elo...."

Melihat Gibran tampak tak mengingatnya, cowok itu berkata, "Gue Devin, Gib. Devin Jonathan."

Saat itu juga, Gibran tertampar oleh kenyataan baru lagi.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro