Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 14

Dalam sejarah hidup Tena, ini adalah pertama kalinya Tena nggak sekolah.

Catat!

Hari ini Tena nggak pergi ke sekolah, duduk di antara teman sekelasnya, memerhatikan pengarahan guru serta mendaratkan bokongnya di kantin.

Bahkan sewaktu di sekolah dasar dan Tena menderita cacar, cowok itu tetap masuk kelas. Dan alhasil teman-temannya yang harus absen dengan keterangan sakit lantaran ketularan.

Intinya Tena itu terajin dari yang terajin.

Dan hari ini Tena masih berbaring di atas ranjang sembari kompresan air dingin melekat di dahinya.

"Kamu ngapain aja sih kemarin, Ten? Sampe kayak sakit keras gini," ucap Bunda Tena setelah melihat suhu tubuh Tena dari termometer digital.

"Nggak tau ah, Bun. Tena pusing," keluh Tena sambil menutup matanya. Mencoba meredam sakit kepalanya yang terasa dibebani baja seberat lima ton.

"Bunda aneh aja, Ten. Kamu biasanya nggak pernah nggak masuk. Bisulan di pantat juga kamu bela-belain sekolah," jelas Bunda setengah bergurau.

Tena mendengus kesal mendengar Bundanya masih mengingat kenangan memalukan itu.

"Tena mau tidur, Bunda. Bunda ke luar dulu ya?" usir Tena halus sambil tetap menutup matanya karena tidak kuat menahan pening.

Bunda menghela napas pelan. Ikut prihatin pada anak sulungnya yang mendadak menderita.

"Yaudah kalo perlu apa-apa, panggil Bunda ya," ucap Bunda disusul anggukan lemas dari Tena.

Dirasa Bundanya sudah ke luar kamar, Tena mengesah. Ingatan kemarin terus saja berulang tanpa Tena pinta. Menambah godaman yang terus menghantam kepala Tena.

Tena ingin lupa.

Tena ingin mendadak amnesia.

Tidak peduli kalau dia sampai lupa berbagai rumus logaritma. Iya, logaritma saja. Jangan semuanya. Nanti Tena mati kalau lupa semuanya. Kan berabe harus ngapalin lagi.

Pokoknya Tena mau ingatan kemarin terbawa oleh berlalunya waktu. Ah, tidak. Tena mau mengulang lagi semuanya. Tidak memilih jatuh cinta melainkan tetap diam di tempat. Enggan mengikuti rayuan hati.

Tena mau tetap jadi cowok yang logis dan naif. Tidak tahu-menahu urusan percintaan jika urusannya berakhir seperti ini. Sekali lagi, Tena nggak mau sakit hati.

Bukan apa-apa. Hati yang sakit, jiwa ikutan sakit. Jiwa sakit, raga punya pikiran sendiri untuk ikut sakit. Semuanya benar-benar berkonspirasi untuk melumpuhkan fisik Tena.

Ponsel bergetar. Mengurai kembali ingatan-ingatan yang telah terbentuk dan pasti akan dibentuk lagi dengan sendirinya nanti.

Tena meraba-raba nakas di sampingnya tanpa menoleh, tanpa membuka mata.

"Hallo," sapa Tena setelah merasa ia sudah menggeser tombol jawab.

"Atena! Kemana lo? Tumben-tumbenan sakit! Kayak manusia aja bisa sekarat."

Tena tertawa miris. Karena fisiknya yang terlalu lemah tidak mendukung sama sekali pergerakan berlebihan. Padahal sebenarnya ia ingin menyahuti celaan Gibran yang seenak jidat itu.

"Emang selama ini lo anggap gue apaan?"

"Elo kan kayak Firaun, Ten. Nggak pernah sakit."

"Sialan lo!"

"Asli nih gue takut. Lo sakit apaan sih? Jerawat pecah aja biasanya lo tetep sekolah."

"Cie Gibran khawatir."

"Si anjir. Gue bener-bener jadi kasian sama si Mira. Bisa-bisanya dapet cowok homo kayak lo."

"Jangan sebut namanya! Gue keki!"

"Napa?" ada jeda sejenak, hingga terdengar suara histeris dari sebrang. "Elo ditolak?! Kok bisa?"

"Tau!"

"Ah gue tebak. Lo sakit karna patah hati?"

"Diem lo toil! Bukannya doain cepet sembuh, malah ledekkin gue."

"Bukannya gue kagak mau, Pak! Gue udah kebanyakan dosa ledekkin si Fahri, jadi takutnya doa gue malah gak diijabah. Tapi balesannya nanti gue bakalan jengukin elo bareng Fahri. Baik 'kan gue?"

Mendengar satu nama yang sedari kemarin membawa luka pahit bagi Tena, dalam hati cowok itu menggeram. "Gak usah! Jangan sekali-kali lo ke sini. Apalagi sama si cupu!"

Tena tahu, ia sudah berkata kasar. Dan ini pertama kalinya Tena mencela Fahri dengan sebutan cupu. Namun, mau bagaimana lagi. Tena sudah kepalang marah. Tena tidak bisa mengontrol emosinya hingga berakhir dengan panggilan kasar seperti tadi.

"Elo... manggil cupu?" tanya Gibran ragu, memastikan apa yang didengarnya itu salah.

"Udahlah! Gue mau molor. Inget! Jangan jengukkin gue. Nanti penyakit gue gak sembuh-sembuh."

Tena menutup teleponnya secara sepihak. Melemparnya asal disusul geraman gusar.

Luka itu... sakit lagi. Bahkan lebih menjorok dari yang Tena kira.

**

Agnes tidak tahu-menahu alasan Mira sekarang tampak berbeda. Mira seperti terlihat pendiam, yang biasanya menyapa Agnes duluan ketika di kelas.

Agnes juga heran. Harusnya Mira saat ini terlihat bahagia lantaran kata Gibran, kemarin Tena nembak. Mira bukannya suka sama Tena, 'kan? Kenapa sekarang cewek itu kelihatan bermuram durja?

Agnes ingin bertanya. Ah, tapi itu sama saja menunjukkan rasa simpatinya pada orang lain. Jadi, Agnes akan mengurungkan niatnya. Tapi Agnes tidak tega juga. Melihat Mira seperti sekarang tanpa emosi sama sekali, sangat salah di mata Agnes.

"Lo...." Agnes bersuara. Mira menoleh.

Agnes menelan lagi kata-katanya kemudian menggeleng. "Gak jadi."

Mira kembali ke aktivitas awalnya: melamun. Sembari memainkan sehelai benang --digulung, di luruskan, lagi dan lagi. Begitu saja terus-menerus karena pikiran ambigu membuat Mira tak bersemangat.

Saat ini, Mira merasa tak enak hati. Kejadian kemarin sewaktu bersama Tena, Mira merasakan perubahan signifikan dari cowok itu. Tena tidak lagi terlihat ramah. Sampai keduanya tiba di rumah Mira, Tena tidak mengucapkan kata apapun.

Tena seakan menjauh dan tak tersentuh. Tena seolah menjadi asing lagi bagi Mira. Tena seperti Tena dulu yang acuh tak acuh pada cewek. Mira merasakan itu semua sejak Mira mengutarakan perasaannya.

Apakah yang diucapkannya itu salah? Perasaan, Mira sama sekali tidak menyinggung Tena. Mira juga sudah minta maaf karena secara tidak langsung memanfaatkan Tena demi bertemu Fahri. Sisanya benar-benar tidak ada masalah untuk dipermasalahkan.

Mira menggeram dalam hati. Ketidaktahuannya membuat kepala Mira pening. Seperti mengerjakan soal Fisika nomor terakhir yang entah kenapa tidak ada jawabannya sama sekali. Padahal sudah menggunakan rumus yang benar. Tetapi tetap saja hasilnya menyimpang dari kunci jawaban yang hanya memberitahu angka saja.

Sama seperti masalahnya sekarang. Tahu-tahu Tena marah, dan Mira tidak mengerti alur yang benar hingga membuat cowok itu sekarang menjauh. Bahkan ditelepon pun, Tena kerap menolaknya. Dan Mira yakin pasti ada sesuatu yang salah di antara mereka.

**

"Tena sakit," ujar Gibran setelah menelan baksonya. Mira sontak berpaling dengan kerutan di alisnya.

"Kenapa? Bukannya Tena nggak pernah absen kalopun dia sakit?"

Gibran mengedikkan bahunya seolah tak peduli pada argumentasi Mira. Sedangkan Mira terus menahan gejolak penasarannya agar tidak terlihat ke permukaan. Mira nggak mau mengganggu kebahagiaan antara Gibran dan Agnes yang sedang bercengkrama sekarang.

Lantas Mira melihat Fahri yang saat ini duduk di depannya. Dengan belepotan kecap di ujung bibirnya, membuat Mira terkekeh.

"Mira kenapa senyum-senyum?" tanya Fahri lugu membuat Mira seketika salah tingkah.

"G-gak kok!" jawab Mira gugup. "Itu di bibir lo ada kecap," lanjutnya kemudian sambil menunjuk ke arah bibir Fahri.

"Ohiya?" Fahri hendak menghapusnya tetapi segera ditahan oleh Mira.

"Nih pake tisu aja. Nanti tangan lo lengket," kata Mira sambil menyodorkan sehelai tisu yang biasa ia bawa di saku seragamnya.

Mira menyunggingkan senyumnya melihat pergerakkan Fahri di depannya. Baru disadari, Mira baru bisa sedekat ini dengan cowok kacamata itu. Ini juga pertama kali bagi Mira bisa bicara banyak pada Fahri.

Sebagian hati Mira bahagia. Tetapi sebagian lagi, entah kenapa Mira merasa kosong. Ada sesuatu yang tidak bisa melengkapi kebahagiaannya ini.

**

Istirahat kedua, kelas Agnes dikejutkan oleh kedatangan Elsa yang tiba-tiba. Pasalnya kelas Agnes tidak dihuni oleh orang-orang yang punya keeksistensian khusus di SMA Perjuangan. Kecuali Diana yang notabenenya adalah sekretaris OSIS.

Bukan hanya kedatangan Elsa saja yang membuat kelas XI IPA 1 gempar. Tapi tujuannya sekaligus menimbulkan gonjang-ganjing di kelas tersebut.

Dengan wajah bak malaikatnya, Elsa mencari Agnes.

Sudah menjadi asumsi umum kalau Elsa merupakan rival Agnes dalam memperebutkan atensi Gibran. Tetapi melihat Elsa dan Agnes berinteraksi menjadi hal pertama yang mereka lihat.

Agnes yang menjauhi sosialisasi dan Elsa yang sepertinya tidak menyukai Agnes. Menimbulkan dugaan tersendiri kalau mereka tidak akan akur.

Tetapi melihat Elsa datang sekarang dengan aura pertemanan, membuat sebagian orang yakin, Elsa memang berniat baik. Dan sebagian lagi berasumsi kalau Elsa hanya memasang 'topeng' baik.

"Ada apa lo nyari gue?" tanya Agnes defensif setelah berada di ambang pintu.

Elsa tersenyum. "Gue mau ngomong sama elo. Elo ada waktu? Elo lagi gak sholat, 'kan?"

Agnes mengangguk ragu tanpa menyanggah semua pertanyaan Elsa. Keduanya pun beranjak dari kelas Agnes.

Agnes yang tidak tahu-menahu tujuan Elsa membawanya, hanya bisa mengekori dari belakang. Agnes terlalu tangguh untuk berspekulasi buruk soal kedatangan Elsa.

Lagian Agnes juga sudah jenuh untuk terus memupuk rasa benci tak beralasan pada Elsa beberapa lama ini. Mengingat Agnes pun baru bicara pada cewek itu sekarang.

Berdua.

Tanpa Gibran.

Tiba di taman belakang yang hanya dihuni benda-benda bekas pembangunan seperti atap, kayu dan lain-lain, Elsa berpangku tangan. Sikapnya berubah kontradiktif dengan sikapnya ketika di kelas Agnes barusan.

Topeng yang sudah jengah dipakai Elsa di depan orang kini terlepas. Menampakkan Elsa sebenarnya.

Agnes sedikit kaget. Elsa terlihat bukan Elsa biasanya. Tetapi Agnes berusaha mempertahankan aura intimidasi yang biasa ia munculkan.

"Lo ngomong apa aja sama Gibran?" tanya Elsa mulai mengintrogasi.

Agnes terdiam sejenak. Dugaannya tepat kalau Elsa memang tidak akan jauh-jauh untuk membahas persoalan Gibran. Hanya saja cara Elsa bertanya yang membuat Agnes terkejut.

"Gue gak ngomong apa-apa," aku Agnes sebab memang itu kenyataannya.

Elsa berdecih. "Emang gue bego? Lo pikir sekarang Gibran jauhin gue gara-gara siapa?"

Hati Agnes terenyak. Tidak menduga kalau kesalahpahaman Gibran berbuntut pada kesalahpahaman Elsa juga. Ternyata apa yang dianggap memberikan kebahagiaan, malah memberi derita di akhir seperti ini.

"Lo salah paham."

"Salah paham?!" tanya Elsa menaikkan nada bicaranya. "Gue gak bego, Agnes! Gibran jauhin gue demi lo! Dan gue gak suka!" Elsa mulai menyalak namun tak cukup keras untuk membuat pertahanan Agnes runtuh.

"Apa masalahnya sama gue? Gibran yang mau bukan gue."

Elsa mengangkat salah satu ujung bibirnya. "Dia gak bakalan gitu kalo bukan lo yang nyuruh!"

Elsa kehabisan kesabaran. Cewek itu mulai maju beberapa langkah mencoba menggertak ketahanan Agnes. Tetapi bukannya gentar, Agnes tetap tegak sembari melipat tangan.

"Elo jauhin Gibran!" tukas Elsa sembari menunjuk wajah Agbes.

Agnes menghalau telunjuk Elsa. "Emang lo siapa bilang gitu?"

Elsa berdecak meremehkan pertanyaan Agnes yang sedikit menohok hatinya itu. "Gue yang harusnya tanya. Emang lo siapa? Elo cuma mantan!"

Sejurus kemudian, pusat dunia Agnes terguncang. Sekujur tubuhnya bergetar hebat hingga rasanya ia ingin mengubur diri.

Agnes tahu. Dia tidak punya kekuatan seperti dulu lagi untuk membuat dirinya lebih tinggi dari Elsa. Agnes dan Elsa kini seimbang. Bukan siapa-siapa bagi Gibran.

"Elo mau apa?" tanya Agnes tanpa menunjukkan kekalahannya.

"Jauhi Gibran dan buat dia nerima tawaran gue untuk ikut teater."

"Bukan gue yang punya hak itu. Lo aja yang suruh."

"Elo gak usah banyak omong!" tunjuk Elsa lagi. "Ikutin permainan gue sebagai pembalasan karna elo udah buat Gibran jauh dari gue."

Untuk ke sekian kalinya, Agnes ditampar kenyataan. Kecerobohannya ternyata menciptakan bencana sendiri baginya. Agnes terpaksa menyanggupi permintaan Elsa. Sekaligus sebagai hukuman karena dulu ia tak meralat kesalahpahamannya.

Tersirat jelas, bahwa manusia selalu berhak memilih. Tetapi lagi-lagi semesta yang menentukan mukjizat yang dipilih oleh manusia. Agnes tidak mengelak. Hidupnya sudah terbiasa terbawa arus semesta yang ingin memecutnya oleh derita.

Agnes mencoba rela.

**

"Hai, Gib," sapa Elsa menahan langkah kaki Gibran yang hendak ke kelas Agnes. Dengan senyum terbaiknya, Elsa berdiri anggun di depan Gibran.

"Eh Sa. Sorry ya. Gue mau bareng sama Agnes."

Elaa tertawa. "Jangan GR. Gue gak ngajak lo pulang bareng."

Alis Gibran berkerut. "Trus?"

Beberapa saat dilanda kebingungan, serta-merta Gibran tersenyum bahagia. Melihat pujaan hatinya ke luar kelas, Gibran memantapkan langkah untuk menghampiri Agnes. Melupakan keberadaan Elsa yang tadi menahannya.

Lagi pula Gibran ingin mengikrarkan pada Elsa, tidak ada lagi celah untuk cewek itu mendekatinya. Seluruh tempat di hati Gibran sudah seutuhnya milik Agnes.

"Nes," tahan Gibran membuat cewek yang dicekal pergelangannya itu menghempaskannya.

Gibran bingung sekaligus heran. Agnes terasa berbeda sekarang. "Lo kenapa?"

Agnes berbalik menghadapi Gibran. Kedua tangan terlipat sembari memberi tatapan intimidatif. Mira mengundurkan diri karena ia tahu kalau Mira tidak harus berdiri di sana mengikuti drama dadakan yang tercipta.

"Jauhin gue," ucap Agnes lugas membuat Gibran merasa dunia menghentikan waktunya sekejap.

Ucapan yang masih terasa enigmatis itu sudah bermetamorfosis menjadi sebilah belati yang siap mengoyak hati Gibran.

Gibran sudah tahu arah ke mana pembicaraan ini. Gibran tidak mau dengar secara langsung dari mulut Agnes sendiri.

"Elo bercanda, 'kan?" Gibran tertawa sumbang. Berusaha menganggap pernyataan itu hanyalah kelakar pertama yang diciptakan Agnes.

Gibran benar-benar memohon. Jangan sampai mimpi buruknya menjadi kenyataan. Gibran belum siap bahkan tidak akan pernah siap.

"Apa gue pernah bercanda sama elo?"

Belati tadi sudah berhasil menghunus hati Gibran. Gibran sakit. Gibran terluka. Namun, tak ada darah. Maka dari itu, sakitnya benar-benar nyata dan terlanjur perih.

Padahal baru saja Gibran bahagia soal kehadiran Agnes. Dan kebahagiaan itu harus pergi tersepak oleh kenyataan yang membuat bahagia itu musnah dari permukaan.

"Please, Nes. Kita baru aja baikkan. Elo cuma bercanda kan minta gue jauhin elo?"

Gue harap gue bercanda, Gib

"Nggak, gue serius."

"Tapi kenapa?"

Agnes menghela napas gusar. Mengucapkan apa yang tidak diinginkan oleh hati sungguh terasa berat. Seolah mengungkapkan kejahatan di luar nilai perikemanusiaan.

Faktanya, Agnes ingin mendadak bisu. Harapannya, Agnes ingin cepat-cepat ditelan bumi. Dan mati rasa. Dan terkubur. Dan tewas.

Nyatanya, semua hal itu mustahil terjadi. Sepeti sekarang. Agnes berdiri. Gibran menatapnya. Elsa mengancamnya lewat tatapan dari belakang Gibran.

"Lo mikir gak sih, Gib? Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi?"

Semua tanda tanya merambah ke seluruh raut wajah Gibran. "Maksud lo?"

"Kita cuma mantan, Gib," ucap Agnes berat hati dan mulai putus asa. Agnes lelah. Ia sudah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk membohongi hati. "Jadi elo sama gue gak pantes deket kayak gini."

"Kita bisa jadi temen, 'kan? Gue rasa nggak ada yang salah sama hubungan dari mantan jadi teman?" papar Gibran seakan penjelasannya itu enteng dan tak berbeban berat.

"Tapi menurut gue itu masalah," tukas Agnes. "Elo gak mikir nanti orang bakalan mikirnya gimana?"

"Sejak kapan lo peduli sama omongan orang?" tandas Gibran membuat Agnes mau tak mau menelan kata-katanya sendiri.

Gibran sudah tahu seluk-beluk Agnes. Dan Agnes lupa soal fakta itu.

Orang-orang yang saat ini menonton, sama sekali tak diacuhkan Agnes. Dan Gibran menyadari hal itu.

Agnes kalah. Tapi Agnes tidak punya pilihan lain selain pergi dan beringsut menjauhi Gibran.

"Gue pulang sendiri."

Agnes berbalik.

Gibran diam di tempat.

Cowok beriris hazel itu mendesah pasrah. Rasanya ingin mengejar dan membuat Agnes berubah pikiran. Tetapi Gibran terlalu takut. Takut kalau Agnes mengatakan soal keputusannya lagi. Akhirnya Gibran enggan mengejar.

Agnes pasti lagi emosi karena terbawa masa menstruasi. Gibran yakinkan hal itulah yang menjadi kebenaran saat ini.

"Gib, gue rasa elo punya waktu buat ngobrol sama gue," ucap Elsa membuat Gibran menoleh ke sampingnya.

Gibran mengembuskan napasnya panjang kemudian mengangguk.

**

Tbc tralala~

See u next update😅

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro