Bab 13
Hari ini hari Jumat.
Hari yang Tena targetkan untuk nembak sang pujaan. Seperti mempersiapkan untuk ujian, Tena nggak kalah rajin untuk eksekusi hari ini.
Berkali-kali cowok itu memperhatikan penampilannya sebelum pergi sekolah. Padahal percuma saja karena pasti akhirnya acak-acakkan juga sebab terlalu sering mengacak rambut apalagi ada pelajaran Matematika hari ini.
Tena juga nggak kelewatan menghafal beberapa kata agar terdengar lebih sentimental. Kesimpulannya, Tena benar-benar melakukan hal yang menurutnya menjijikkan ketika belum mengenal jatuh cinta.
"Elo siap?" tanya Gibran sebelum bel masuk. Kelihatannya Tena anteng banget. Menjalani hari seperti biasa seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya. Belum lagi pemikiran optimis yang sering Gibran cekoki padanya, menimbulkan semangat tersendiri pada Tena.
Intinya Tena siap hari ini.
Gibran jadi mengingat dirinya beberapa bulan yang lalu. Tepatnya sewaktu menyatakan cintanya pada Agnes pertama kali.
Flashback
Semalaman Gibran nggak bisa tidur. Setiap memejamkan mata, rasanya ada bisikkan negatif agar cowok itu mengurungkan niatnya. Semacam syndrom pra-nikah. Kalau Gibran sih pra-jadian.
Nggak kayak Mira yang kelihatan banget memberi perhatian pada Tena, justru Agnes sebaliknya. Agnes senantiasa ketus dan tetap dingin setiap ada Gibran. Sekaligus membuang muka ketika Gibran menatapnya dan pipinya serta-merta merona merah. Sejak saat itulah Gibran yakin, hati Agnes sudah terketuk.
Saat itu kalau Gibran ingat adalah jam pulang. Seolah dapat rezeki anak sholeh, jam terakhir Gibran adalah jam kosong. Ah, bukan kosong juga. Melainkan ada tugas dan dikumpulkan hari itu juga.
Gibran yang punya otak encer, duluan ke luar kelas. Sambil membawa sekuntum mawar berwarna merah, Gibran menjadi pusat perhatian. Bukan hanya apa yang ia bawa. Akan tetapi, wajah Gibran yang bersemu merah sambil terlihat beberapa kali menghela napasnya di depan kelas.
Semua kaum hawa kontan memerhatikan Gibran. Ada yang secara terang-terangan menunjukkan diri, ada juga yang sembunyi-sembunyi macam pengagum rahasia. Tak terkecuali Elsa yang menjadi barisan terdepan, mengingat cewek itu punya tingkat GR yang tinggi kalau urusan Gibran.
Namun, cewek itu nggak tahu. Bahkan untuk meliriknya, Gibran tak punya waktu. Cowok beriris hazel itu terlalu sibuk meredam dentuman jantungnya yang kian membuncah.
Hingga setelah menunggu sekitar setengah jam, kelas Agnes ke luar. Langkah Gibran mantap meski dalam hati, Gibran tak punya keberanian sedikit pun. Kalau ditanya saat itu, Gibran mendadak bisu dan tuli. Dunianya hanya berpusat pada cewek berwajah jutek itu.
Bersama bunga di belakang tubuhnya, Gibran berdiri di ambang pintu. Agnes yang hendak ke luar mendongak. Seketika seluruh kerumunan masa semakin banyak. Isi kelas Agnes yang tinggal beberapa orang, mendadak panas dingin karena kegeeran.
Kalau Agnes beda lagi. Cewek itu bingung soal kedatangan Gibran. Meski dalam hati Agnes sendiri mengakui bahwa dirinya bahagia.
"Elo ngapain? Mau minjem buku lagi?" tukas Agnes saat itu. Lantaran Gibran memang sering meminjam banyak benda dari Agnes. Dari benda yang mulai nggak penting sampai nggak penting banget. Bahkan untuk penghapus pun, Gibran sampai ke kelas Agnes yang di ujung koridor saat itu.
"Jadi cewek gue ya?" tanya Gibran setelah menahan napasnya sejenak.
Agnes yang ditanya, gugup. Mulutnya tertutup rapat. Tapi ia takkan berbohong kalau perutnya bahkan terasa kram karena pertanyaan itu.
"Mau jadi pacar gue ya?" tanya Gibran kedua kalinya dan kali ini mawar itu dikeluarkan dari persembunyiannya.
Agnes menahan napasnya beberapa saat kemudian berkata, "Elo jail banget."
Gibran yang dari tadi udah deg-degan sekarang semakin tak karuan. Tanda-tanda ini sudah memberikan aura pesimistis. Membuat nyali Gibran menciut.
Sumpah. Gibran sudah menganalisis gerak-gerik Agnes. Dan kesimpulannya kalau cewek itu punya perasaan yang sama. Gibran nggak mungkin salah.
"Gue serius, Agnes," rajuk Gibran, tak peduli kadar kejantanannya turun beberapa derajat. Yang terpenting cewek yang di depannya sekarang tahu, kalau Gibran sedang bersungguh-sungguh.
Orang-orang yang menonton hampir memecah tawanya melihat Gibran manja seperti itu ketika berhadapan pada seorang cewek. Tak percaya kalau Gibran bisa bersikap seunyu itu. Seandainya direkam, pasti Gibran mendadak akan jadi viral di dunia maya. Dan masuk ke dalam 7 cowok unyu versi on the spot.
Agnes menghela napasnya panjang. Menyadari kalau Gibran tidak bergurau seperti biasanya.
Ia tak ingin jadi pusat perhatian seperti sekarang. Dunianya hanya ada Agnes dan oksigen. Oh dan Gibran yang perlahan masuk ke dalam lingkarannya.
"Elo mau jawaban apa?" tanya Agnes yang diam-diam membuka-mengepal kedua tangan di samping tubuhnya sebagai penyalur rasa gugupnya.
Gibran tersenyum. "Iya."
"Yaudah," jawab Agnes lugas.
Gibran melongo, belum memahami jawaban Agnes. "Yaudah itu... apa?"
"Gue kan nanya elo mau jawaban apa?"
Gibran mengangguk.
"Yaudah."
"Elo nerima gue?" tanya Gubran penuh suka cita.
Agnes mengusap tengkuknya dan mengangguk samar. Tetapi berhasil ditangkap oleh penglihatan Gibran. Sejurus kemudian, cowok itu memeluk Agnes menimbulkan jeritan nyaring dan meramaikan suasana yang sejenak sepi.
Semenjak saat itu, Agnes bukan lagi sebuah bayangan: ada namun tak dianggap keberadaannya. Karena malaikat berhasil menaklukan hati sang iblis.
**
"Nes, tau gak?" tanya Gibran selama perjalanan menuju ke perpustakaan sambil membawa beberapa buku paket yang harusnya dibawa oleh Agnes. Dengan alasan Gibran itu cowok, Agnes dipermudah pekerjaan dadakannya dari Pak Sholeh --sang guru PAI.
Agnes hanya bergumam menyahut pertanyaan Gibran.
"Hari ini Tena mau nembak Mira."
"Trus?" tanya Agnes merendam histerianya.
"Kita kapan?"
"Kapan apa?"
"Kapan balikannya?" sedetik kemudian, Agnes terdiam di tempat dan berpaling ke arah Gibran.
"Elo bercanda?"
Gibran mengendikkan bahunya. "Kalo lo bilang iya berarti serius. Kalo lo nolak berarti gue cuma bercanda doang."
Gak konsisten.
Agnes tak membalas. Cewek itu melenggang duluan menganggap tadi hanya kelakar Gibran semata. Ia tahu, itu adalah salah satu usaha Gibran membuat hubungan keduanya kembali.
Namun, Agnes belum siap. Tidak, Agnes tidak akan pernah siap. Lebih baik hubungannya seperti ini. Meski ia tahu, hubungan seperti ini hanya membuat lukanya semakin dalam.
**
Tena tidak percaya momen seperti ini akan tiba.
Dengan balutan setelan seragam putih-abu, Tena duduk berdua bersama Mira di tempat pertama kali mereka menghabiskan waktunya. Entah alasan spesifiknya apa. Atau Tena saja yang terlalu gugup soal kata apa akan disampaikan pada Mira, sehingga cowok itu nggak sempat memikirkan tempat yang akan dijadikannya sebagai tempat 'bersejarah' dalam hidupnya.
Hening. Lantaran sejak lima menit setelah Tena menyilakan Mira duduk, tidak ada yang memulai percakapan.
Kehangatan yang biasanya timbul entah dari celoteh Tena mengenai Fahri atau kekesalan Mira tentang Agnes, sekarang menjadi terasa dingin. Embusan angin sore hari seolah menambah suasana yang tercipta ini.
"Mir,"
"Ten,"
Mereka mengucap bersamaan. Dasar kebiasaan! Bungkamnya kompak, manggilnya juga barengan.
"Elo d-dulu aja," kata Tena gugup. Kata-kata yang ia hafal ternyata sudah menguap entah kapan. Tak menyisakan sepatah verbal maupun ajektiva. Yang ada hanya kepesimisan yang semakin lama semakin mencekik otak Tena.
"Elo aja, Ten. Kan elo yang ngajakkin main, jadi kayaknya elo dulu deh."
Tena tahu, cepat atau lambat ia akan mengungkapkan perasaannya. Mau sekarang atau nanti tetap saja hari ini. Akan tetapi, Tena ingin mengulur waktu. Meredam dentuman keras yang diciptakan inti tubuhnya.
"Elo dulu. Ladies first, Mir," ucap Tena mencoba santai.
"Gue malu." Serta-merta pipi Mira bersemu. Menundukkan kepala memandang converse miliknya. Tak mampu untuk menatap sang lawan bicara.
"Gapapa, Mir. Daripada dipendem. Atau nggak jadi aja?" tanya Tena persuasif.
Mira terlihat menghela napasnya pelan seolah bersiap memberikan kabar buruk pada sebuah keluarga bahwa salah satu anggotanya ditabrak oleh Mira.
"Mau sekarang aja. Mumpung gue berdua sama elo."
Saat itu juga, pasokan oksigen untuk Tena berhenti. Informasi yang ditangkap oleh saraf pendengarannya itu, sukses merayap ke sel lainnya dan berhasil membuat jantung Tena ingin meledak.
"Elo m-mau ngomong apa emangnya?"
Mira meremas kedua tangannya yang sudah dibanjiri keringat dingin. Menetralkan napasnya yang terasa sesak. Mau tidak mau Mira harus mengatakannya. Ia sudah terlanjur dan mungkin Mira tidak mau terus didesak oleh perasaannya.
"Gue...."
Mira menggantung kalimatnya membuat Tena semakin penasaran. Detakkan jatungnya beriringan dengan keluarnya keringat. Bak menunggu jadwal kematian yang akan diumumkan sang pencabut nyawa.
Tak berselang lama, Mira mencoba mendongak pelan. Kedua netra itu kontan menatap kedua iris Tena.
"Gue..." Mira memulai kalimatnya kembali, "Suka sama Fahri."
Deg
Jantung Tena terasa benar-benar putus ke perut. Bumi yang ia pijak selama tujuh belas tahun, seolah hancur lebur. Menyisakan dirinya dan satu nama yang bermetamorfosis menjadi sebilah belati yang terus menghunus hatinya.
"Fahri?" tanya Tena dengan raut wajah tak percaya dan luka yang tersirat di matanya.
Tak empati, Mira mengangguk. "Iya, Ten. Gue bingung mau bilang ke siapa. Jadi ya gue--"
"Kenapa?" Nada Tena terdengar begitu dingin. Menahan gejolak yang terus-menerus menyesakkan dadanya. "Kenapa Fahri?"
Mira berpaling kembali pada jalan raya di depannya. Semua yang dipandang seolah berubah menjadi layar lebar yang memutar masa itu. Masa dimana ia bertemu cinta pertamanya.
"Waktu itu gue dibully, Ten. Gue punya beberapa mantan temen. Dia gak terima gue jauhin. Dan kedatangan Fahri menyelamatkan gue. Dia bela-belain rambutnya pitak buat gantiin gue," papar Mira sembari mengulas senyumnya. "Dia pahlawan gue, Ten."
Tena dibunuh oleh realita. Tena mati rasa. Semuanya seolah mengolok-olok Tena yang terlalu banyak berharap.
"Gue minta maaf sama elo karna ngerasa manfaatin elo." Mira menatap kedua jemarinya yang saling meremas. "Gue minjem buku, biar ada alasan ketemu Fahri. Karna gue gak punya alasan buat ketemu dia."
"Kenapa gak sama Gibran?"
"Gue gak mau bikin Agnes salah paham."
"Dan kue ulang tahun yang elo kasih sama gue kenapa gak kasih sama dia?" Bahkan Tena sudah tidak sudi lagi menyebut sahabatnya yang sekarang berubah menjadi rivalnya.
"Gue malu." Pipi Mira semakin merona. Raut itu sudah tak ada maknanya sama sekali untuk Tena. Justru malah membuat Tena semakin terluka. "Gue maunya kasih dia, tapi takutnya ketahuan banget. Yaudah gue--"
"Cukup, Mir!"
Mira spontan menoleh mendengar tinggi nada yang Tena gunakan. Ekspresi Tena berubah. Tidak ada lagi raut keramahan di sana. Hati Mira sakit.
"Elo cewek jahat, Mir."
"Maksud lo?"
Tena menggeleng. "Kita pulang!" Ia beranjak.
"Elo kan belum--"
"Gak penting," jawab Tena tanpa menoleh pada Mira.
Tena pergi dan Tena kecewa. Mau menyalahkan pun, tetap saja percuma. Semuanya sudah terlanjur terjadi di depan matanya. Sudah terlanjur menggores luka di permukaan peraasannya.
Seharusnya Tena tahu.
Seharusnya Tena nggak baper.
Seharusnya Tena bersikap biasa aja sama Mira.
Ya, seharusnya dan seharusnya.
Semuanya tinggal penyesalan yang terus dirutuki oleh Tena.
Tena tidak habis pikir. Dirinya yang penuh kelebihan harus dilempar jauh karena tak ada tandingannya dari Fahri yang notabene cowok idiot nggak punya otak cerdas.
Tena menertawai takdir yang datang padanya. Kenapa kenyataan harus lebih kejam daripada sebuah pengharapan? Kenapa realita begitu menyukai mempermainkan perasaannya?
Baru pertama mencintai dan harus kalah oleh orang yang tak lebih dari dirinya sendiri? Apa Tena sebegitu menyedihkannya?
Harusnya Tena tahu. Mira minjem buku untuk melihat Fahri. Mira memberikan kue untuk menutupi perasaanya pada Fahri. Mira ramah pada Tena untuk mendekati Fahri. Alias, Tena cuma batu loncatan buat Mira agar menggapai pujaan hatinya. Harusnya Tena tahu diri.
Berani jatuh cinta berarti berani patah hati? Bulshit!
Nyatanya Tena tak sesiap itu. Tahu sakitnya sedalam ini, Tena lebih baik tidak jatuh hati. Tena lebih baik menjadi manusia tak berperasaan. Daripada merasakan derita yang entah disembuhkan oleh apa.
**
"Eh itu bukannya Gibran ya?" tunjuk Novi pada cowok yang sedang memboncengi cewek ke luar gerbang dari arah cafe.
Elsa yang dihadapannya Novi kontan menoleh.
Hati Elsa mendadak terasa teremas. Namun, sakitnya hanya sebentar mengingat cepat atau lambat, semua pemandangan menyakitkan ini akan berubah menjadi kebahagiaan yang nyata.
"Kok elo senyum-senyum gitu? Itu Gibran sama mantannya lho," ucap Novi mencoba memanasi Elsa.
Padahal lihat gebetan akur sama mantannya kok seneng? Kebanyakan mengkhayal atau Elsa yang memang sudah nggak waras?
"Gapapa, Nov. Nanti juga gue yang bakalan gantiin posisi cewek itu."
"Emang bisa?" tanya Novi meremehkan, mengingat Gibran begitu bersikerasnya mengejar cewek yang berjabat sebagai mantan pacarnya itu.
"Liat aja, Nov. Apa yang didapetin cewek itu bakal gue ambil semua," janji Elsa disusul seringaian yang membuat bulu kuduk Novi berdiri semua.
Kalau Elsa sudah yakin pada keputusannya, Novi tidak bisa mengelak lagi. Elsa akan mencoba berbagai cara untuk mencapai tujuannya. Karena Elsa punya rasa ambisius yang melebihi kadar sepantasnya.
**
Tbc tralala~
See u in next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro