Bab 12
Mira masih ingat kapan terakhir kali dia bermain setelah pulang sekolah bersama teman.
Ketika itu adalah hari terakhir ujian semester satu. Yang berarti untuk hari berikutnya, Mira tinggal menyelesaikan remedialnya yang masih bisa dihitung jari.
Seperti sudah menjadi sebuah tradisi, bukannya mempersiapkan remedial untuk hari Senin, Mira serta teman-temannya yang terdiri dari lima orang cewek menghabiskan waktu di tempat karaoke. Tempatnya sangat terkenal di Jakarta dan tentu membutuhkan budget yang besar. Dan demi sebuah pengakuan, Miralah yang membayar penyewaan tempat serta seluruh makanan yang dipesan teman-temannya.
Mira tidak menapik ada rasa yang mengganjal selama ia bersama teman-temannya itu. Kendati seperti itu, Mira berusaha menikmati kehidupannya sebagai remaja.
Mendapat pengakuan, kepopuleran, decakkan kagum dari beberapa orang, pernyataan cinta dari beberapa cowok serta kebahagiaan sewaktu bersama. Mira bahagia ketika masa itu.
Namun satu kebenaran menggodam telak ulu hatinya. Sewaktu ia hendak menyusul teman-temannya ke toilet milik tempat karaoke itu, Mira mendengar percakapan mereka yang nyaring sampai ke luar.
"Gue udah gerah sama si Mira. Dia ngerebut perhatian Bimo dari gue. Kapan sih kita ngeluarin dia dari grup kita?" ujar salah satu cewek.
"Sabar aja. Kita porotin dia dulu, trus rusakkin dia. Kalo udah jadi ampas, kita buang aja."
Mira saat itu benar-benar terpukul. Mira serta-merta meninggalkan teman karaoke tanpa membayar bill yang ia janjikan. Dan keesokkannya, Mira dijauhi bahkan dikucilkan.
Mira semakin pendiam. Mira menjauhi kumpulan cewek yang hendak mengajaknya kembali. Mira tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama. Mira tidak ingin menyesal nantinya.
Dan ketika kenaikkan ke kelas XI serta penentuan jurusan, Mira bersyukur tidak sekelas dengan salah satu dari lima cewek yang membuat satu tahunnya di kelas X terpuruk. Namun, tetap saja Mira menjauhi sosialisasi. Hingga akhirnya Mira bertemu Agnes.
Mira terpaksa duduk di belakang bersama Agnes karena Mira memang menjauhi keramaian serta tidak ada kursi kosong lagi. Mira enggan berkomunikasi bahkan berkenalan dengan Agnes, sebab ia masih trauma untuk berteman.
Pada awalnya, Agnes dan Mira adalah sepasang orang asing. Tak ada kata sapaan maupun sepatah kata terucap. Mereka sibuk dengan pikiran dan ponsel masing-masing. Agnes yang enggan berteman dan Mira yang trauma dengan kata teman. Membuat keduanya tidak memiliki inisiatif untuk bersosialisasi satu sama lain.
Dan pada suatu hari, Mira mendengar beberapa orang membicarakan keburukan Agnes ketika makan di kantin. Manusia tak bernurani, iblis, nggak tahu diri dan umpatan lainnya, membuat Mira sendiri saja merasa sakit hati.
Hingga siluet Agnes tertangkap oleh ekor matanya. Agnes tengah mengantre di pedagang nasi goreng. Rautnya dingin menyiratkan tidak ada satu perasaan pun yang tersirat.
Sejak itu, Mira tahu, Agnes sama terlukanya dengan Mira.
"Elo ngelamun mulu," ucap seseorang menempelkan es krim di pipi Mira, membuat cewek itu terperangah lantas meraih es krim itu.
Mira tersenyum. "Gue lagi nginget-nginget aja kapan gue keluar main kaya gini sama temen."
"Emang kapan?" tanya orang itu setelah duduk di samping Mira.
Keduanya sama-sama duduk di kursi yang biasa ada di pinggir trotoar. Menikmati angin berembus sore hari.
Tena --orang yang saat ini bersama Mira entah dapat ide gila dari mana bisa mengajak Mira main. Entah itu ke tempat yang cukup membosankan seperti Monas dan taman di sekitarnya.
Mira menggeleng kemudian menjilat es krimnya. "Gue nggak mau inget," ucap Mira, "Dede sakit ingetnya," lanjutnya dramatis.
Tena kontan menoyor kepala Mira pelan membuat kepala Mira meneleng sebentar.
"Jangan noyor-noyor pala gue! Nanti gue tambah bego lagi!" sungut Mira sembari mengusap daerah toyoran Tena. Lalu cewek itu cemberut dan mengundang kekehan geli dari Tena.
"Lo lucu banget sih manyun-manyun gitu," ejek Tena ikut memajukan bibirnya seperti menghibur bayi yang sedang menangis.
Mira semakin merengut. "Gak lucu, Tena!" bentak Mira membuat Tena beringsut.
"Maaf deh, Mir! Elo lucu soalnya," cengir Tena.
"Gak ada yang lucu!" tukas Mira masih tak terima.
"Ya maaf. Gue kan baru main sama cewek."
Senyum Mira tersungging kembali. "Jadi gue pertama buat elo dong," ujar Mira sambil mencolek dagu Tena.
Tena semakin salah tingkah. Sentuhan Mira yang tiba-tiba memberikan getaran aneh pada tubuh Tena. Jantungnya semakin berdentam daripada dentaman awal.
"Aduhh muka Tena kok merah gitu."
Tena spontan memegang kedua pipinya dan otomatis melepaskan es krim cone yang ia genggam.
"Ten! Es krim elo!" Mira memelotot. Tena seketika merasakan dingin di pahanya.
Tena menatap celana abu panjangnya yang terkena lelehan es krim berwarna cokelat itu. "Es krim mahal gue," rengek Tena memprihatinkan. Apalagi es krimnya jatuh ke tanah padahal Tena baru saja menjilat es krim itu sekali.
Tawa pecah seseorang sedikit mengejutkan Tena. Cowok itu sontak menoleh. Tena mendapati Mira tertawa dengan wajah yang memerah. Belum lagi air mata yang muncul di ujung matanya.
"Muka lo lucu banget, Ten," ucap Mira di sela tawanya. "Kaya si Fahri."
Tena yang awalnya terpesona pada tawa Mira perlahan sadar.
"Elo nyamain gue sama Fahri?" tanya Tena dengan nada yang dibuat sesarkas mungkin.
Susah payah, Mira menghentikan tawanya. "Maaf deh! Elo abisnya lucu."
Tena mendengus. "Bodo! Gue marah sama lo."
Mira langsung merasa bersalah. Cewek itu lantas memelas. "Elo ngambekkan banget, Ten. Gue kan bercanda."
"Trus gue peduli?" tanya Tena ketus sambil beranjak menjauh.
Mira kelimpungan dan cewek itu berlari mengejar langkah panjang Tena. "Ten! Jangan marah! Celana lo semutan lho, Ten! Tena!"
Diam-diam, Tena mengulas senyumnya licik. Merasakan Mira mengejar dirinya memiliki kepuasaan tersendiri pada Tena.
Secepat mungkin, Tena harus meyakinkan perasaan apa ini. Tena tidak ingin terlalu tersiksa dengan rasa yang tidak Tena pahami.
**
Tena berbaring membentuk bintang di atas ranjangnya. Cowok itu menatap lekat langit-langit kamarnya yang temaram. Karena hanya lampu tidur yang ia nyalakan.
Untuk pertama kalinya, tugas untuk besok absen dulu. Salah satu kebahagiaan pelajar selain pengumuman kalau besok libur.
Lampu kamarnya memang mati, karena Tena tidak mau sang bunda melihat dirinya masih bangun. Dan Tena masih ingin menyelami dirinya ke dalam satu titik yang beberapa hari ini mengganggu jam tidurnya.
Kali ini Tena enggan berasumsi sendiri, Tena ingin membaginya pada seseorang. Mungkin berbagi pada pakar cinta, pilihan terbaik.
Cowok itu kemudian meraba kasurnya hingga merasakan benda persegi yang digunakan untuk berkomunikasi. Tena menyalakan ponselnya dan langsung mencari nomor yang hendak ia hubungi.
Beberapa jeda Tena menunggu dan akhirnya terdengar suara sapaan dari sebrang.
"Elo lagi sibuk gak?"
"Kok gue merasa homo ya diteleponin elo?"
Tena mendengus. "Gue serius, pea!"
"Iya iya. Gue nyantai kok. Tadi gue lagi chat-an sama Agnes."
"Tapi kenapa lo gak langsung ngangkat telepon gue kalo dari tadi lo megang hp?"
"Gue mikir dulu. Angkat atau jangan. Kalo gue angkat nanti gue chat-an gimana. Kalo jangan, batin gue bilang lo lagi galau."
"Batin lo leh uga. Kok lo tau, Gib?"
"Iyalah. Lo kan nelpon gue biasanya kalo ada butuh doang."
"Elo emang BFF gue, Gib. Makin sayang gue sama elo."
"Najis! Sekarang kan lo pasti mikirin Mira. Bilang aja tuh sama dia."
Sontak, suhu kamar Tena panas. "Kok elo tai? Eh tau?"
"Sialan manggil gue tai! Gue tutup, gegana lo nanti!"
"Iya, maaf. Trus gue harus gimana?"
"Gimana apanya? Elo kalo nanya kasih judul dulu kek, terus bismillah. Gue tau gue pinter. Tapi gue bukan cenayang, Atena."
Tena nyengir. "Iya, iya. Gue bingung, Gib. Perasaan gue ke Mira tuh gimana. Tiap malem gue mikirin dia mulu. Kenapa ya?"
Terdengar suara tawa berderai di sebrang. "Tena, Tena. Elo awam banget ya soal ginian. Kata gue, elo udah suka sama Mira."
"Kok lo bilang gitu?" Alis Tena tertaut seolah mendengar ada kucing tetangga Gibran yang melahirkan dan Gibran sendiri yang jadi bidan.
"Gini ya, kadang cowok tuh meski keliatan ngecengin banyak cewek, kalo sebelum tidur, pasti mikirin cewek yang dia suka."
"Elo tiap hari ngecengin Agnes. Ahh jangan-jangan tiap malam lo mikirin cewek lain ya?"
"Eits! Kalo ngomong gak ngambil wudhu dulu, Pak! Jangan asal ngomong! Sekarang kita lagi ngomongin elo, jangan ngalihin topik!"
"Iya deh! Trus gue harus gimana? Kok gue kesiksa banget sama perasaan gue sendiri?".
"Ya itu berarti lo harus bilang ke Miranya langsung, Pak! Kalo lo pendem mulu, yaiya pastilah sakit. Kaya gue aja dulu. Masih inget kan waktu gue panas dingin buat nembak Agnes? Itu tuh karena gue gak kuat mau bilang, tapi malu. Tapi kalo ga bilang, malah bikin gue mati kutu deket dia trus."
"Kalo dia gak suka gue gimana?"
"Ya itu risikonya. Jatuh cinta itu nggak akan lepas dari patah hati. Kalo lo berani jatuh cinta, berarti lo berani patah hati."
"Kok gue terharu ya dengerin nasehat elo?"
"Najis! Udah ah! Agnes gue keburu molor duluan. Ada yang mau ditanyain lagi gak?"
"Gak ada. Thanks--"
Tena menatap layar ponselnya yang tiba-tiba berbunyi panggilan ditutup. "Si anjir gak ada sopan-sopannya."
Lantas Tena melempar ponselnya. Nggak ada gunanya mengumpat, toh Gibrannya juga nggak ada di sini. Ia kembali larut ke dalam pikirannya. Entah kenapa, berbagi seperti tadi menghilangkan sebagian sesak yang terus membuncah dada Tena.
Jika pada orang lain terasa lebih ringan seperti ini, bagaimana pada orang yang disukainya langsung?
**
"Nes, kita ke kelas Gibran yuk!" ajak Mira pada Agnes yang baru saja menutup bukunya.
"Ngapain?" tanya Agnes dengan alis tertaut. "Eh elo katanya mau minjem buku tulis ini?" tunjuk Agnes sewaktu hendak menyimpan sebuah catatan bersampul cokelat.
"Iya. Tapi nanti deh waktu pulangnya." Mira berdiri. "Yuk!"
Agnes tak kuasa menolak. Sudah cukup Agnes membuat Mira tersiksa di sampingnya. Kendatipun, hatinya ketar-ketir kala mendengar nama Gibran.
"Eh kebetulan barengan ke luar," ucap Tena ketika melihat Mira dan Agnes ke luar kelas.
"Nih, Mir. Elo mau minjem catatan gue, 'kan?"
"Catatan apa?" Agnes ikut nimbrung ketika Mira meraih buku yang disodorkan Tena tadi.
"Sejarah," jawab Tena cuek.
Agnes memandang Mira curiga. "Elo kan minjem buku gue, Mir."
"Emang elo mau minjemin?" sindir Tena sukses mendapat mata elang Agnes. Detik itu juga Tena merasa merinding seperti melihat kuntilanak yang biasa nangkring di pemakaman dekat rumahnya.
"Gue pasti minjemin. Kalo enggak, gue bisa kena marah lagi sama Bu Anna. Lagi pula itu cuma catatan, bukan contekkan," papar Agnes menimbulkan reaksi yang berbeda dari orang yang mendengarnya.
Mira mati kutu karena ketahuan terlihat lemah selama ini. Tena memandang Mira menuntut penjelasan. Sedangkan Gibran sudah menyeringai puas. Jangan tanya Fahri, cowok itu memandang teman-temannya bingung.
"Yaudah deh. Daripada salah paham gini, mending ke kantin dulu. Keburu penuh nanti."
Mira diam-diam bernapas lega. Semuanya menyetujui ajakkan Gibran.
Saat perjalanan menuju kantin, Gibran berbisik pada Tena, "Mira juga suka sama elo, 'kan?"
Tena menoleh dengan tatapan tanya. Gibran kembali berbisik, "Dia aja modus minjem buku lo padahal udah ada Agnes yang minjemin."
Gibran tertawa mode silent. Wajah Tena bersemu merah mendengar opini Gibran. Tena tidak berdalih lagi, kalau ia bahagia pada asumsi awal Gibran itu.
"Cepet tembak! Keburu diambil orang, nyesel kan lo!"
Tena mengangguk mantap dengan ekspresi wajah yang meyakinkan.
**
"Mir," panggil Tena sebelum cewek itu masuk ke kelasnya menyusul Agnes yang sudah duluan.
"Besok jalan yuk?"
Mira menelengkan kepalanya. "Udah kan kemarin?"
Tena mengusap tengkuknya grogi. "Ada yang mau gue omongin."
"Tentang?"
"Nanti aja. Gih masuk kelas. Udah bel."
Tena lantas melenggang pergi meninggalkan Mira yang masih bingung dengan kemisteriusan Tena.
Tena harap, semoga cinta pertamanya ini akan berhasil. Tidak seperti kebanyakan kisah yang selalu berakhir dengan cinta bertepuk sebelah tangan.
**
Kedatangan Elsa ke gedung aula, membawa aura baru. Lebih tampak ceria seolah cewek itu sedang semangat audisi untuk menjadi aktris yang andal.
Semua orang yang hadir di aula kini memusatkan perhatiannya pada cewek yang masih mencetak senyum bahagia di wajahnya. Termasuk Mas Ret yang merasakan aura menggembirakan dalam diri salah satu aktrisnya itu.
Bukannya ikut duduk lesehan dengan teman-temannya, bersama ransel yang ia gendong Elsa menghampiri Mas Ret.
"Mas, aku perlu bantuanmu."
Mas Ret menautkan alisnya. "Bantuan apa, hmm?"
"Aku punya saran ide aktor baru sebagai Rama."
"Bukannya udah ada Evan?"
Evan yang mendengar percakapan mereka mendengus, tahu soal permintaan Elsa yang mengarah ke mana.
"Aku tau. Tapi ini biar aku semangat lagi buat berakting."
Mas Ret lantas menyorot Evan yang sedang duduk selonjoran dengan kedua tangan sebagai tumpuan. "Kamu dengar, Van? Kamu tidak keberatan?"
Mau menolak pun, Evan pasti kalah suara. Elsa pasti akan mendapat banyak dukungan. Menurutnya, untuk apa Mas Ret bertanya kalau akhirnya Elsa yang didukung.
Mungkin sudah menjadi kodrat kalau cowok harus mengalah.
"Gapapa, Mas. Aku bisa jadi peran lain."
Mas Ret tersenyum lega. Beruntung perubahan peran terjadi masih di jauh-jauh hari sebelum lomba terlaksana.
"Memang siapa saranmu, Sa? Apa dia lebih baik dari Evan?" tanya Mas Ret menguji opsi Elsa.
"Dia lebih baik dan aku yakin sangat cocok."
"Dia siapa?" Mas Ret bertanya penasaran karena baru melihat Elsa begitu antusias mengenai lawan mainnya.
"Gibran. Gibran Julian."
Saat itu juga seluruh manusia yang ada di dalam aula, menahan napasnya.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro