Bab 10
Lima belas menit perjalanan menuju rumah, akhirnya Agnes dapat bernapas lega. Langit yang begitu cerah dan matahari yang terlalu terik, membuat Agnes jadi mudah kelelahan. Bahkan sapuan angin siang hari pun tidak ada efeknya sama sekali bagi Agnes. Rasanya Agnes ingin menyiram tubuhnya oleh air es.
Apalagi beban pikirannya yang entah kapan akan berkurang, membuat Agnes berkali-kali harus menghela napasnya. Berharap, sekali ia bernapas dapat menghilangkan seluruh beban hidupnya sedikit demi sedikit. Tetapi, faktanya malah terbalik. Semakin bernapas, justru beban itu kian meremas hati dan menguras sel otaknya untuk terus berpikir.
Sampai di depan bangunan rumahnya, langkah Agnes terhenti. Mobil pick up yang jarang sekali terparkir di rumahnya, kini terdiam dalam keadaan mati. Agnes mundur beberapa langkah. Kemudian sakit itu mulai merambah ke seluruh tubuhnya.
Agnes tidak ingin mengingat masa itu lagi. Rasanya Agnes mau terbunuh di tempat, entah oleh pembunuh berantai yang kebetulan lewat atau oleh pisau yang turun dari langit dan menancap di atas jantungnya. Intinya, Agnes berharap tidak mau hidup sekarang.
Agnes hendak pergi. Ia tidak mau bertemu manusia yang membuat Agnes terluka bahkan berharap tak pernah dilahirkan ke dunia.
Agnes pun beranjak dari tempat dengan linangan air mata yang mulai bergumul di kelopaknya.
**
"Thanks banget ya, Ten. Gue jadi hemat ongkos," ucap Mira setelah turun dari maticnya Tena.
Hari ini, Mira bisa mengenal dekat sosok Tena. Melihatnya dari jauh sewaktu kelas delapan, membangkitkan penasaran kalau Tena itu seperti punya trauma cewek.
Dan terbukti sekarang. Ketika Mira dibonceng Tena, Tena sama sekali tak terlihat risih. Malahan selama perjalanan, Tena senantiasa berceloteh membuat tawa mereka pecah. Khususnya sewaktu membicarakan Fahri. Mereka tak henti-hentinya terbahak. Mira senang.
"Selow ae, Mir. Gue lebih seneng nganterin elo daripada si siluman gayung."
Mira terkekeh geli, "Gitu-gitu juga temen elo, Ten."
"Iya sih! Ya mungkin karena gue udah kagok kesel kali ya sama dia."
Mira mengedikkan bahunya. Tena ternyata menyenangkan jika ia terbuka dan banyak bercerita. Bukannya menciptakan jarak pada seseorang dan memberikan tatapan tak bersahabat.
"Elo seru juga orangnya, Ten. Beda waktu kelas delapan. Elo kayak anti banget sama cewek."
Dipuji seperti itu, Tena bahagia. Ada desiran aneh yang merayap ke seluruh tubuh Tena. Salah satu reaksi yang sering muncul ketika bersama Mira.
Kalau dideskripsikan satu-satu yang dirasakan, Tena nggak tahu. Semua perasaan baru dan terasa ambigu berkecamuk di dalam dadanya. Yang Tena pahami cuma satu. Semua reaksi yang bercampur aduk itu, memunculkan satu efek padanya. Yaitu, Tena tidak bisa berhenti tersenyum ketika melihat wajah Mira di depannya.
"Makanya elo harus kenal gue lebih dalem lagi, Mir."
"Ohya?" tanya Mira menaikkan salah satu alisnya, "Emang lo nggak akan kabur dideketin cewek?"
Tena terbahak. "Enggaklah. Apalagi ceweknya elo."
Menyadari ucapannya, Tena spontan merapatkan mulutnya kembali. Membuang muka lantaran sudah salah ucap tadi. Tena nggak berniat bilang kata-kata manis barusan, sungguh. Tapi, seolah ada dorongan dari otaknya untuk berkata seperti itu pada Mira. Namun, Tena tidak bisa berkilah kalau dia enggan untuk meralat ucapannya.
Di sisi lain, Mira bersemu merah. Diberi kata-kata manis oleh seorang cowok, tidak ada yang bisa menolak. Khususnya cewek yang mudah baper. Ah, apalagi Tena yang gantengnya cuma beda satu level dari Gibran. Cepat atau lambat pasti gampang klepek-klepek pada Tena.
"Duh kok keceplosan. Bercanda, Mir," gurau Tena mencoba mencairkan suasana yang sempat canggung.
Mira pun hanya tersenyum kaku. "Gapapa. Gue tau. Gue nggak baper." Tawa Mira berderai. Dan tidak tahu kenapa selalu memberikan setruman aneh pada hati Tena untuk ikut larut pada tawa itu.
Hingga kebersamaan mereka pun harus diinterupsi oleh deruman motor serta klaksonnya yang tak henti-henti menyalak.
"Gue tau ya motor lo bagus. Tapi, bukan berarti lo bisa sombong, Gib," sembur Tena ketika Gibran mematikan ninjanya. "Trus nih kuping nggak ada serepnya," sambungnya sembari mengusap telinga karena terasa berdengung.
"Sorry, Ten. Gue takutnya kalian nggak denger karna keasyikan pacaran."
"Siapa yang pacaran?" tanya Mira dan Tena bersamaan.
Gibran tertawa. "Tuhkan ngomong aja bareng. Jangan jaim kali, Ten. Udah saatnya lo taken."
"Diem lo, Gib. Emang ada urusan apa lo ke sini?" tanya Tena mengalihkan pembicaraan.
Sejujurnya kalau tidak ada permasalahan penting, Gibran ingin sekali mengulik hubungan Mira dan Tena yang langka ini.
Siapa coba yang nggak tahu Tena yang anti baper-baperan kayak remaja lainnya?
Dan sekarang melihat Tena berdua sama cewek.
Ketawa bareng.
Nggak ada jarak.
Gibran jadinya curiga.
"Gue mau ngomong sama Mira."
Tena mendadak tak suka. "Mau ngomong apa lo sama Mira?"
Merasakan aura intimidatif dari Tena, Gibran yakin. Pasti ada sesuatu yang berbeda di dalam diri Tena.
"Woles, Pak. Gue cuma nanya soal Agnes. Bukan ngajak taken Mira," celoteh Gibran dan mendapat dengusan Tena karena kesal telah masuk ke dalam permainan Gibran.
Awas aja lo, Gib.
"Mau ngomong apa, Gib?" tanya Mira menengahi aura suram di antara Gibran maupun Tena.
"Waktu pulang lo nyebut-nyebut nama Agnes. Dia kenapa?" Gibran bertanya lantas mengingatkan, "jangan bilang nggak penting. Kalo nggak penting, buat apa lo bilang sama gue soal Agnes tiba-tiba?"
Mira berdecak. "Elo cowok paling nggak peka, Gib."
Gibran memberikan tatapan penuh tanya. Mira gereget lihat muka Gibran yang nggak berdosa itu.
Sudah buat Agnes cemburu, masih saja menaati titah Putri Elsa terhormat. Dan sekarang Gibran sok care sama Agnes? Mira baru tahu Gibran bisa setega itu.
Tapi, Mira juga nggak mau Agnes memendam sakit hatinya karena melihat Gibran tadi. Eh emang Agnes tadi aneh karena Gibran ya?
Ah, Mira yakin Gibran yang jadi inti masalahnya. Soalnya saat Agnes balik lagi ke kelas, di luar ada Gibran dan Elsa. Siapa coba yang nggak sakit hati lihat cowok yang disuka ngobrol sama rivalnya sendiri?
Jadi deh Mira menceritakan kronologi singkat yang Mira lihat tadi di sekolah. Tanpa ada pengurangan maupun dilebih-lebihkan. Plus wejangan agar Gibran harus tetap menjaga hati Agnes.
**
Menghirup udara, buang, hirup, dan buang. Agnes sedang berasimilasi sambil memerhatikan taman kota yang sedikit demi sedikit mulai ramai sejak ia datang.
Agnes bersyukur. Meski rumahnya terbilang sederhana, tapi letaknya strategis di dekat taman sejuk ini.
Sekarang cewek itu duduk sendiri. Tanpa satu manusia pun yang berniat melirik dan menemaninya. Namun, lebih bagus begini.
Agnes butuh waktu sendiri. Butuh waktu dimana ia berpikir bagaimana ia bisa duduk di sini dan tetap hidup hanya berbahan oksigen. Bukan motivasi atau semangat yang selalu dielu-elukan oleh orang-orang.
Dirinya tersedot kembali ke ruang waktu. Perasaannya kembali terselimuti perasaan pilu. Pikirannya kembali terperosok pada kejadiaan nahas itu. Dimana Agnes harus memilih sebuah pengakuan ataukah sebuah pembalasan budi.
Hingga pilihannya itu mengharuskannya menjadi sosok tak bernurani. Sosok yang bahkan memberi sedekah pada pengemis merupakan hal terberat. Bahkan memberi pertolongan pada teman pun seperti memberi bantuan pada gembong narkoba.
Saya menyesal membesarkan kamu!
Elo aja yang bego!
Agnes menghela napas gusar. Air matanya sudah merembes di kedua pipinya. Dan menahan isakkan yang hendak keluar sekuat mungkin.
Manusia terlalu cepat berkhianat. Manusia tak mudah ditebak alur keinginannya. Manusia penuh dinamika dan rahasia. Agnes tak mengelak. Masa lalunya mengajarkan banyak hal untuk berhati-hati. Memberi doktrin tersendiri untuk Agnes. Lebih baik jangan menolong daripada menyesal nantinya.
Kedua bahu Agnes mulai bergetar. Bibirnya dikatup rapat, tak ingin keluar isakkan. Dan kepalanya ditunduk dalam-dalam.
Ia lemah. Ia terkubur. Tidak ada yang menjulurkan tangannya hanya untuk menolong. Tidak ada setitik cahaya yang menuntun untuk keluar dari ruang gelap itu.
Agnes harus mengeluh pada siapa? Terbuka pada seseorang bukanlah pilihan terbaik. Agnes introvert. Mengeluhkan apa yang dirasakan pun sangat sulit ia lakukan. Seolah jika melakukan itu merupakan salah satu dosa besar di dunia.
"Nes," panggil seseorang membuat Agnes hampir tersedak dengan air liurnya.
Agnes cepat-cepat menghapus air matanya. Sayang sekali, pergerakannya tertangkap basah oleh orang yang sekarang duduk di samping Agnes.
"Elo nangis?"
Mendengar suara familier itu jiwa Agnes terguncang. Tidak percaya jika hari dimana Agnes terlihat lemah, terjadi begitu cepat. Bahkan Agnes belum siap sama sekali.
"Gue kelilipan," ucap Agnes sembari sibuk mengeringkan kedua mata dan pipinya.
"Jangan dikucek," tahan orang itu, "Mata lo bisa rusak."
Agnes menunduk. Gibran masih memberikan antensinya pada Agnes. Tangan Agnes mulai digenggam erat oleh cowok itu di atas pangkuannya.
"Maaf," ucap Gibran membuat Agnes menoleh, "Gue nggak tau perasaan elo. Gue sadar. Gue udah banyak nyakitin elo, Nes."
Alis Agnes tertaut. Cewek itu tidak mengerti arah pembicaraan Gibran.
Gibran menyadari kebingungan Agnes. Cowok itu kemudian menarik kedua tangan Agnes untuk digenggam. Agnes dengan seribu tanyanya hanya menurut.
"Mira udah cerita semuanya. Termasuk hari ini. Maaf gue gak peka sama perasaan elo. Tapi jujur. Gue gak ada apa-apa sama Elsa. Tadi gue cuma nganterin dia pulang. Gak ada yang spesial."
Agnes mengerti sekarang. Pasti Mira menyadari keanehan Agnes sepulang sekolah tadi. Sejujurnya, memang benar kalau Agnes sakit melihat pemandangan itu. Tapi Agnes tidak terlalu larut dalam asumsinya sendiri. Nyatanya sekarang Agnes lebih memilih berenang di ingatan masa lalunya.
"Jadi elo jangan nangis lagi ya," ucap Gibran sembari menghapus sisa-sia air mata di pipi Agnes.
Gibran salah paham. Agnes bukan menangis karena dirinya. Jikalau ditangisi, Agnes masih tahu diri. Agnes tidak berhak cemburu. Memang Gibran siapa? Keduanya sudah terpisah oleh batas tak kasat mata. Dan mengharuskan mereka paham tentang posisi masing-masing yang sudah tak terikat lagi.
"Gu-gue nggak nangis karna elo," aku Agnes mencoba menjelaskan kebenarannya. Bukannya membalas, Gibran malah membawa Agnes ke dalam dekapannya. Mumpung Agnes lagi sentimental, Gibran nggak mungkin menyia-nyiakan momen ini, 'kan?
"Udah. Jangan alibi lagi. Gue ada buat lo, Nes. Kalo bisa ya mungkin kita bisa sama-sama kayak dulu lagi."
Agnes tak menyanggah. Cewek itu mulai terbuai dalam momentum yang Gibran ciptakan.
Bolehkah waktu dihentikan beberapa saat? Agnes ingin merasakan hal ini beberapa lama lagi. Agnes ingin merasakan bagaimana rasanya beban hidupnya terasa terlepas walau sebentar saja.
Hanya saja, apa kesalahpahaman Gibran akan memberi hal baik untuk ke depannya? Ataukah sebuah bencana perlahan terbentuk untuk keduanya di masa depan?
Entahlah. Agnes ingin menikmati hal seperti ini dulu sejenak. Merasakan bagaimana rasanya dicintai secara sungguh-sungguh oleh seseorang.
**
Semenjak Agnes melemparkan bokongnya di kursi, suasana sarapan di rumahnya terbilang sepi. Faktanya, ada empat manusia yang melingkari meja makan tersebut, tapi tidak ada satu huruf pun terucap. Sekadar ada dentingan sendok beradu piring yang terdengar nyaring.
Kalau saja Agnes manusia super --tidak perlu pasokan karbohidrat, Agnes pasti akan melewatkan sarapan pagi ini. Makanan yang biasanya terasa nikmat, sekarang mendadak tak ada rasanya sama sekali. Agnes ingin segera pergi, terlalu muak berada di dalam situasi ini.
Takut, kalau Agnes terlalu lama di dalam kondisi sekarang, emosinya yang ia redam mencuat kembali ke permukaan.
"Agnes--"
"Mas--"
Kenapa dari tiga manusia lain Agnes harus bersamaan berucap dengan pria itu? Ah, bahkan Agnes tidak pernah sudi lagi menyebutnya Bapak.
Mengetahui dirinya adalah darah daging pria yang saat ini duduk di serong kanannya saja, rasanya Agnes ingin cepat-cepat membuat kuburannya sendiri. Menghilang dari dunia dan tidak lagi bertatap muka dengan pria kejam itu.
"Kamu mau berangkat, Sayang?" tanya Ibu memecah ketegangan yang sempat timbul barusan.
Agnes mengangguk dan menggendong ranselnya lantas berdiri.
"Kamu bareng aja sama Bapak."
"Gak usah."
"Gak perlu."
Lagi-lagi keduanya menjawab secara bersamaan. Agnes sudah gerah. Lebih baik dia pergi dari suasana yang tak bisa dideskripsikan oleh kata positif apapun lagi.
"Agnes pergi."
Cewek itu pun beranjak, sebelum niat jahat merasuki akal sehatnya. Berhubung Agnes juga tidak ingin menambah buruk moodnya yang biasanya sudah suram.
Agnes ingin menjalankan hari ini lebih damai. Walau ia tahu, sedamai apapun tempat yang Agnes kunjungi. Tetap saja beban itu tidak bisa ia letakkan di tempat.
**
Agnes selesai menutup pagar rumahnya, mengunci lantas berbalik. Hingga terlihatlah cowok di atas derum motornya serta cengiran khasnya yang membuat Agnes tak ingin kehilangan senyuman itu.
"Elo kenapa ke sini?" tanya Agnes setelah Gibran mematikan mesin motornya.
Dengan senyum yang selalu cowok itu andalkan, ia berkata, "jemput cewek yang semalem dateng ke mimpi gue."
Dibalik wajah dinginnya, pipi Agnes bersemu. Semoga Gibran tak melihatnya.
Sejak momen sentimental kemarin terjadi, hubungan keduanya seperti sekarang; dekat tanpa canggung bak hubungan mereka yang kembali harmonis.
Agnes tidak meralat salah paham yang menjadi asumsi Gibran. Biarlah hubungan mereka seperti ini dulu. Dimana Gibran tahunya bahwa Agnes menangis karena cowok itu terlalu dekat dengan Elsa.
Sementara itu, Gibran sejujurnya tahu kalau ada kesedihan lain pada kedua netra sendu yang kemarin ia tatap. Hanya saja, Gibran tak ingin menggalinya terlalu dalam. Ia tidak mau momen kedekatannya kandas karena dirinya yang terlalu membongkar privasi Agnes. Kendati Gibran membiarkannya, ia sendiri berharap. Semuanya kan terbongkar. Baik Agnes atau waktu yang menjawabnya.
"Elo nggak usah repot-repot. Gue bisa berangkat sendiri."
Gibran tak acuh pada pernyataan Agnes. Cowok itu memiringkan kepalanya dan mendapati pria paruh baya yang sedang memasang sepatunya di depan teras.
Gibran mengernyit bingung. Ia tak mengenal pria itu. Mengingat hanya Ibu Agnes yang biasa menjamunya.
"Itu ayah kamu?" tanya Gibran di tengah raut kebingungannya.
Seketika itu pula, tubuh Agnes mengeras. Ia tidak ingin masalahnya dengan pria itu muncul detik ini dan di depan Gibran.
"Ayo pergi! Atau gue sendiri yang duluan?"
Gibran kontan kelimpungan dan memberikan helmnya pada Agnes. "Kapan-kapan kenalin gue ya sama ayah mertua eh calon maksudnya."
Gibran cengengesan yang dibalas oleh gumaman singkat Agnes.
Sementara mereka menjauh dari rumah Agnes, tatapan nanar terlihat dari pria yang berdiri tegak menatap semakin jauhnya motor yang membawa putri semata wayangnya itu.
Kemudian diembuskan napasnya pelan sambil melangkahkan kakinya menuju gerbang. Sembari penuh harap agar pekerjaannya kali ini lancar meski harus menelantarkan keluarganya beberapa hari ke depan. Dalam harap itu, terbesit doa agar hubungannya dan sang putri dapat kembali seperti dahulu.
Semoga.
**
Tbc tralala~
See u next update😅
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro