Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kacamata

"Kalian yakin mau masuk Musica?" tanya Khirani pada si kembar yang menatapnya dengan penuh keyakinan.

Ujian sekolah sebentar lagi, si kembar sudah mulai digembleng dengan banyak les. Pendaftaran Musica Art School juga rumornya akan segera dibuka. Si kembar sudah mulai menyiapkan diri untuk mendaftar ke sekolah tersebut, meski restu untuk masuk ke sana belum diterima dari kakak tertuanya. 

"Kami siap lahir batin, Kak," kata Nana sambil menggelayut di tangan Khirani, "Jadi, kami minta tolong buat Kak Khi bujukin Mas Nu, ya, biar bolehin kita masuk ke sana, ya, ya, ya?"

"Iya, Kak. Tolooong..." bujuk Noni. 

Bhanu pernah melihat bagaimana jejak kelam Khirani yang pernah menjadi korban budaya pengenyahan di sekolah tersebut, Bhanu pernah menyaksikan bagaimana gurunya sendiri menyetujui budaya itu terus berkembang dan tubuh di tengah persaingan ketat para muridnya sebagai bagian dari pembentukan karakter. Khirani adalah hasil dari budaya pengenyahan yang butuh waktu bertahun-tahun untuk kembali bangkit. Sudah pasti Bhanu tidak akan setuju jika dua adik bungsunya masuk ke sekolah tersebut. 

"Memangnya kalian nggak takut bakal jadi kayak aku, ya?"

"Kayak gimana tuh? Cantik, pinter, berbakat? Sudah pasti maulah!" sahut Noni. 

"Bukan itu... kalian tahu sendiri kalau aku dikeluarkan dari sekolah karena cancel culture, kalian nggak takut jadi korban cancel culture?" 

Si kembar kompak menggelengkan kepala. Nana menarik tubuhnya menjauh dari Khirani, menatap calon kakak iparnya itu dengan tatapan yakin, "Kak, kita juga ada misi masuk ke sana."

"Misi?"

Kini giliran Noni yang melepaskan tangannya dari gelayutan, "Yap. Kalau kita masuk ke sana, kita akan membentuk klub anti cancel culture, menentang adanya budaya pengenyahan sebagai bentuk dari kemerdekaan siswa yang berhak meraih mimpi-mimpinya. Kita akan menjadi pionir untuk kali pertamanya mematahkan budaya gila itu ada di sekolahan."

Khirani tertegun untuk beberapa saat. Ternyata tidak hanya obsesi si kembar untuk masuk ke sana demi mimpi mereka, tetapi juga demi misi yang sebelumnya tidak pernah dipikirkan oleh siapa pun. Misi mematahkan budaya cancel culture

"Kalian serius?"

Si kembar mengangguk dengan kompak. 

"Tapi itu nggak akan mudah, budaya itu sudah ada sejak sekolah berdiri."

"Kami tahu, Kak. Karena itu kami akan berusaha dengan keras, kami sudah punya langkah-langkah untuk menjalankan misi itu. Tapi sebelum menjalankan misi itu, hal pertama yang harus kita lakukan adalah lolos seleksi masuk."

"Satu lagi, Kak," sahut Noni, gadis itu memegang dua tangan Khirani, "Misi kita akan berhasil juga tergantung dari Kakak. Kakak harus buktikan kalau cancel culture tidak bisa mematikan mimpi Kakak. Kakak harus semangat dan berusaha keras buat dapetin beasiswa dan jadi bintang lagi."

Nana mengangguk menyetujui kalimat kembarannya. Sementara Khirani menatap mereka dengan perasaan yang bingung, antara takut juga terharu. 

Dulu saat pertama kali tahu ada budaya pengenyahan di sekolahannya, Khirani berpikir untuk tidak menjadi bagian dari itu saat ada siswa yang bermasalah. Namun, diamnya Khirani ternyata secara tak sadar ikut menjadi bagian dari budaya pengenyahan. Andai waktu itu Khirani tidak memilih diam dan speak up atas budaya tersebut, mungkin ada pergerakan siswa yang menentang adanya budaya pengeyahan saat dirinya tersandung masalah. Dan mungkin saja Khirani masih bertahan di sana.

"Kita berdua akan berjuang dari dalam, sementara Kakak berjuang dari luar."

Tak sadar air mata mengalir dari pipi Khirani, buru-buru gadis itu hapus sebelum Bhanu melihatnya dan urusan menjadi panjang.  

"Gimana, Kak?"

"Ibu kita udah setuju, Kak, asal kita niat dan sungguh-sungguh buat memperjuangkan mimpi-mimpi kita. Kita tinggal nunggu persetujuan dari Mas Nu aja, gimana pun juga Mas Nu yang ngebiayain kita, jadi kita harus dapat restunya."

Setelah lama berpikir, Khirani menarik napas panjang kemudian tersenyum, "Kakak coba, ya?"

"Bener, Kak?" seru si kembar secara bersamaan.

Khirani mengangguk dan disambut dengan teriakan antusias si kembar yang loncat-loncat kegirangan. Berharap Khirani bisa membujuk kakak tertuanya untuk mengizinkan mereka sekolah di Musica Art School, sekolah impian mereka untuk meraih mimpi. 

Dengan menyanggupi membantu si kembar untuk membujuk Bhanu, Khirani juga menganggap bahwa keputusannya ini juga bagian dari mendukung pertentangan adanya budaya pengenyahan di sekolah. Semua siswa berhak atas mimpi mereka, berhak atas pendidikan terbaik tanpa takut adanya cancel culture. Sebagai bibit negeri yang akan membangun bangsa di masa depan, siswa berhak meraih pendidikan dengan rasa aman dan nyaman. 

*** 

Apa yang paling Khirani sukai ketika di gudang penerbit? Yakni Aroma kertasnya. 

Aroma kertas novel baru seperti menarik Khirani ke dimensi lain, merakit puzzle-puzzle ingatannya tentang sesuatu yang tak terdefinisikan, yang membuat pikirannya menjadi tenang. Alasan Khirani menumpuk novel-novel di indekosnya selain untuk dibaca juga untuk dihirup aromanya. 

 Namun, setelah mengenal Bhanu dan menjadi kekasihnya, aroma yang mampu menggantikan aroma buku favoritnya adalah aroma yang menguar dari tubuh Bhanu, bahkan saat pria itu berkeringat. Selain itu, Khirani kerap menatap kulit eksotis Bhanu yang menggilap karena keringat atau terkena air, menurutnya terlihat estetik.

"Ehem... kedip woy!" ujar Sugik saat mendapati Khirani menatap Bhanu yang membantu memindahkan buku-buku dari mobil percetakan ke gudang. Khirani langsung mengalihkan pandangannya ke buku yang sedang ia bungkus. Sementara Bhanu melirik Khirani sembari mengelap keringatnya, pria itu hanya tersenyum.

Setelah istirahat selama satu minggu penuh, Khirani kembali bekerja meski Aminah masih melarangnya untuk masuk. Tenggat tagihan utang ke keluarga Garu sudah mendekati jatuh tempo, mau tidak mau Khirani harus tetap bekerja. Tagihan utang rumah sakit Diandra sudah dilunasi Bhanu, hal yang perlu disyukuri meski rasanya malu harus memindahkan tanggung jawab pada orang lain.

"Kayaknya emang kalian ini pacaran, ya? Ngaku dah!" selidik Sugik yang curiga Bhanu dan Khirani menjalin hubungan lebih dari rekan kerja. "Mencurigakan banget... ih, bikin envy aja."

Bhanu berjalan mendekati Khirani, jongkok di depan gadis itu, "Khi?"

Khirani yang baru saja ketahuan memandangi Bhanu terlihat salah tingkah, ia berusaha untuk menyembunyikan pipinya yang memerah karena malu. Apalagi aroma Bhanu sedekat ini membuat dada Khirani berdebar, aroma yang ingin dihirup sepuas mungkin namun tertahan karena belum adanya ikatan halal.

"Mau makan siang apa?"

"Apa aja. Udah sana." Khirani mendorong Bhanu untuk pergi dari hadapannya tanpa menatap Bhanu balik. 

"Kenapa, sih? Memangnya kamu doang yang  boleh ngeliatin aku, masa aku nggak boleh ngeliatin kamu?"

Khirani menyipitkan pandangan ke Bhanu yang menahan senyum karena berhasil menggoda gadis itu. 

"Mau makan apa?"

"Apa aja ih."

"Makan aku, mau?"

"Hah? Maksudnya?" Khirani semakin menyipitkan matanya dengan kerutan kening.

Pria itu hanya melumat bibirnya menahan senyum, "Bercanda."

 "Nggak jelas, kan? Udah sana pergi, bentar lagi aku selesai."

Bhanu mengacak rambut Khirani sebentar sebelum akhirnya berdiri dari hadapan gadis itu. Hubungan mereka semakin serius, bahkan ibu Bhanu juga mengetahui hubungan mereka. Juga mengetahui rencana-rencana mereka sebelum mengikat resmi dalam pernikahan. Mayang mendukung penuh rencana Khirani untuk kembali meraih mimpinya, ia juga menawarkan bantuan apa pun jika calon menantunya itu meminta bantuan kepadanya. 

"Kamu nggak pernah ngunjungin ayahmu, Yang?"

Sambil melahap sotonya, Khirani menggeleng. 

"Kamu benci banget, ya, sama ayahmu?"

Khirani kembali melahap sotonya, kini tanpa menjawab apa pun.

"Kalau aku nikahin kamu nanti, boleh aku mengunjunginya buat minta restunya?"

"Nggak perlu. Anggap aja aku yatim piatu," sahut Khirani. 

"Khi?"

"Mas Nu, aku udah selesai, aku tunggu di depan." Khirani meletakkan sendoknya, kemudian beranjak. 

"Khi." Bhanu mencegah Khirani berdiri, "Maaf. Aku minta maaf. Kamu habisin, ya, makanannya?"

Khirani kembali duduk dengan perasaan kesal. Membicarakan orang tuanya bukan hal yang mudah baginya, apalagi soal sang ayah yang di mana semua kehancuran berawal darinya. Pembunuhan dan korupsi yang misal tidak dilakukan sang ayah, hidup Khirani takkan berakhir di sini. Mungkin gadis itu sudah mengepakkan sayapnya berkarir sebagai musisi di luar negeri. Dan mungkin juga Diandra tidak akan terbaring koma entah sampai kapan akan membuka mata. 

Bukan hal yang bisa dibicarakan dengan mudah. Namun, apa yang dikatakan Bhanu juga tidak salah. Kalau ingin menikahi Khirani, bukankah sang ayah masih wali sah Khirani. Meski nanti tidak hadir di acara pernikahan, setidaknya Bhanu meminta restu untuk menikahi Khirani. Satu kewajiban yang dilakukan oleh seorang pria sejati. 

Khirani membuang napas panjang sejenak sebelum meraih sendoknya kembali, menghabiskan soto yang baru beberapa suap ia lahap. Sementara Bhanu menatap kekasihnya itu dengan tarikan napas yang tenang, ia memahami Khirani bersikap seperti itu. 

Beberapa menit kemudian, Khirani meletakkan sendok padahal sotonya belum habis. Lalu ia menatap lama Bhanu yang mengunyah makanan. 

"Kenapa?"

"Si kembar minta tolong sama aku."

"Minta tolong apa?" Bhanu mencabut tissu, mengelap bekas kuah yang menempel di bibir Khirani. Kemudian menatap kekasihnya itu dengan rasa penasaran. 

"Bujuk kamu."

"Bujuk?" ulang Bhanu berpikir sesaat. "Oh, soal Musica? Bilang nggak. Aku nggak akan pernah izinin mereka sekolah di sana."

"Tapi, Mas, mereka itu berbakat."

"Kamu juga, kan? Tapi akhirnya kayak gimana?"

"Itu karena masalah keluargaku. Sementara mereka-"

"Keluarga kami juga cacat, Khi. Ayahku dituduh jadi penyebab karamnya kapal, dicap sebagai kapten terburuk sepanjang sejarah Angkatan Laut. Terus masalah-masalahku sebelumnya juga bakal berpengaruh sama mereka. Kalau teman-temannya tahu, nasib si kembar juga bakal kayak kamu. Aku nggak mau," ucap Bhanu dengan serius.

"Tapi, Mas, kamu belum denger-"

"Apa?" sahut Bhanu, "Soal misi mereka buat nentang cancel culture? "

Khirani terdiam. 

"Kalau mereka ngotot mau masuk ke sana, silakan masuk aja. Tapi, aku nggak akan ngebiayaiin mereka."

"Kamu serius nggak mau ngeliat dari kaca mata mereka?"

"Buat apa?" sahut Bhanu seolah tak memberi Khirani kesempatan untuk menjelaskan dari sudut pandang yang berbeda mengenai misi si kembar untuk masuk ke Musica. 

"Kamu serius nggak mau ngeliat dari kaca mataku sebagai korban cancel culture?" 

Kini Bhanu yang terdiam. Hanya menatap Khirani yang menatapnya dengan kecewa. Mereka saling diam dan saling menatap untuk beberapa detik, sebelum akhirnya Khirani memutus pandangan karena air matanya yang mengalir. 

"Aku duluan." Khirani mencabut tissu kemudian berdiri. Kali ini Bhanu tidak mencegah kekasihnya itu meninggalkan meja makan. 

Khirani berjalan keluar dari rumah makan. Sebetulnya Khirani memahami ketakutan Bhanu yang tidak mau melihat si kembar bernasib sama dengan dirinya. Namun, ketakutan Bhanu itu hanya akan membuat budaya pengenyahan semakin tumbuh dan menjadi batu penghalang bagi si kembar untuk meraih mimpinya, untuk meluncurkan misinya menentang cancel culture. 

Dari kaca mata Khirani pun, pergerakan penentangan cancel culture  menjadi jalan bagi siswa-siswa yang terhalang latar belakang keluarga untuk terus memperjuangkan mimpinya. Khirani berharap dirinya adalah korban terakhir dari budaya pengenyahan, tidak ada lagi di masa depan korban-korban selanjutnya. 

"Khirani!"

Baru saja Khirani membuang tissu, seseorang memanggilnya. Khirani menoleh dan mendapati mata elang itu kembali dilihatnya setelah sekian lama. Tidak ada yang berbeda dengan pemuda itu, baik penampilannya, semuanya tampak masih sama. Sukar untuk mengurai kebencian Khirani kepada pemuda itu setelah tahun-tahun berat penyiksaannya. 

"Garu?"

"Ayo ikut gue!" Garu menarik tangan Khirani. 

Buru-buru Khirani melepas tangan Garu, "Nggak!"

"Kita nggak ada waktu! Ayo ikut gue!"

"Nggak mau!" Khirani menoleh ke arah pintu rumah makan, berharap Bhanu segera keluar dari sana untuk menyelamatkannya dari paksaan Garu. "Kita udah nggak punya urusan lagi, Ru. Urusanku cuma sama ayahmu. Selebihnya kita udah selesai."

Garu menatap Khirani beberapa detik, kemudian pemuda itu mengatakan sesuatu yang membuat mata Khirani membulat, terkejut tak percaya. 

"Sebelum terlambat, gue antar. Ayo!"

Khirani masih mematung, tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari Garu. 

"Nggak ada waktu, ayo, Khi!" Garu menarik tangan Khirani untuk mendekat ke motornya.

Bersamaan dengan itu Bhanu keluar dari rumah makan. Melihat Khirani naik ke  motor Garu, buru-buru pria itu menyusulnya. Bhanu sudah berusaha untuk meraih Khirani, tetapi Garu lebih dulu menarik gas melajukan motornya.

"Khirani!"

Khirani menoleh tanpa mengatakan apa pun. Tatapan gadis itu seperti bingung dan terguncang. Apa yang dikatakan Garu membuatnya menarik diri untuk mengikuti ajakan pemuda itu. 

Melihat kekasihnya bersama orang yang pernah membuatnya tersiksa, serta merta Bhanu langsung berlari ke mobilnya kemudian melaju menyusul.

***

Kita mau masuk babak konflik utama, siap siap yaaa...

Terima kasih sudah membaca cerita ini

With Love, Diana Febi



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro