Benteng Lain
Pukul setengah tujuh malam. Khirani berdiri di depan pintu rumah Bhanu. Ia datang bersama Reyko untuk persiapan gladi bersih. Masalah biola yang akan dipakai Khirani sudah beres, Reyko meminjam dari salah satu temannya, sedangkan biola Khirani sendiri ada di reparasi biola, butuh waktu lama untuk memperbaikinya.
"Kotak bekalnya siapa, Khi?"
Khirani melirik kotak bekal di tangannya. Tadi siang di kantor, Bhanu menitipkan kotak bekal itu kepada Sugik untuk diberikan Khirani. Bhanu juga meninggalkan catatan agar Khirani menghabiskannya sesuai pesan dari Nawang. Karena merasa sungkan kepada Nawang, Khirani menghabiskan bekal tersebut.
"Punya Bu Nawang."
"Ooh, ya udah, yuk masuk." Reyko mengetuk pintu dan dibuka oleh seseorang tak lama dari itu.
Seseorang itu adalah Shireen. Perempuan itu memakai hoodie cokelat yang biasa dipakai Bhanu, mata Khirani langsung tertuju pada hoodie itu.
Shireen mempersilakan masuk, perasaan Khirani sudah tidak enak, tetapi ia harus ke sini untuk bertanggung jawab terhadap pertunjukan besok. Rasanya tak dewasa jika masalah pribadi harus mempertaruhkan acara besar yang sudah ditunggu-tunggu banyak orang.
"Ehh, Khi, Rey, sini-sini sekalian makan malam dulu," ajak Nawang sambil menyiapkan makanan. "Non, panggil Masmu," titah Nawang pada Noni.
"Biar Shireen aja, Bu. Mas Nu di gazebo atas, kan?" sahut Shireen dan langsung melangkah menuju gazebo atas.
Nawang menatap lama punggung Shireen menghilang di balik pintu tengah, sebelum akhirnya perempuan paruh baya itu tersenyum sambil menata lauk pauk di atas meja makan. Dan Khirani melihat itu, melihat senyuman hangat Nawang melihat punggung Shireen pergi.
Tak bohong, mendadak Khirani merasa tak nafsu makan meski anaconda dalam perutnya meronta minta asupan.
Berbeda dengan Nawang, si kembar terlihat lesu dan sedikit bete. Si kembar yang biasanya ramai mendadak menjadi pendiam dan kurang menikmati suasana. Biasanya waktu Khirani datang, si kembar antusias menyambut. Berbeda pada malam ini, mereka hanya tersenyum sambil melambai saja.
Khirani merasa atmosfer di ruang makan ini mendadak canggung dan sedikit dingin.
"Ayo, ayo, di ambil nasinya." Nawang mempersilakan Khirani dan Reyko untuk mengambil makanananya.
Khirani dan Reyko mengangguk. Tak lama, Shireen dan Bhanu turun, mereka tak berdua saja, ternyata Binna juga ada di rumah.
"Kak Khiiii!" Binna langsung berlari dari pintu tengah.
Khirani menoleh, tak hanya terlihat Binna dalam retinannya, tetapi juga Bhanu dan Shireen yang berjalan berdampingan. Lekukan senyum di bibir Khirani terkesan dipaksa hanya demi menyambut Binna.
"Nginep di sini lagi, ya, Kak? Maaf, kemarin malam aku nggak ada di sini. Padahal pengen nemenin kamu, Kak." Binna merangkul Khirani dari belakang, melingkarkan tangannya di leher gadis itu.
"Eee..." Khirani bingung mau menjawab apa, di sisi lain ia merasa tak enak kepada Bhanu karena tadi malam. Namun, ia juga ingin tetap di sini karena ada Shireen di samping Bhanu. Khirani penasaran,siapa sebenarnya Shireen itu.
"Haruslah, malam ini, kan, mau geladi bersih di gedung, kemungkinan pulangnya malam. Jangan pulang ke kos dulu, ya?" sahut Nawang.
"Yeee!" Binna justru yang kegirangan. Gadis itu langsung mendaratkan diri di kursi samping Khirani.
Bhanu duduk di seberang kursi Khirani, di sampingnya ada si kembar dan Shireen. Pria itu tak pernah melepaskan pandangannya pada Khirani, sekali pun Shireen di sampingnya mencoba menginterupsi. Itu tak bertahan lama, Bhanu teringat pesan Teyze untuk tidak mendesak atau memojokan Khirani.
"Siap buat besok, Khi?" tanya Bhanu, seolah tidak pernah ada apa-apa di antara mereka.
Khirani berhenti mengunyah, meski terasa aneh karena Bhanu nampak baik-baik saja, gadis itu mengangguk pelan.
"Tadi kita udah test biola, syukur biolanya pas." Reyko menambahi. "Mumet juga cari yang sama persis, nggak ada."
"Biolaku yang itu belinya di Itali," sahut Khirani.
"Uhuk!" hampir saja Reyko menyemburkan nasi dalam mulutnya, "pantes, banyak yang ngetawain waktu aku nanya biola itu."
Semua orang terkekeh, suasana yang terasa canggung dan sedikit kaku lamban laun mencair. Sambil makan, mereka bercerita banyak hal, termasuk tentang pertunjukan besok. Meski begitu, ada saja yang memecah fokus Khirani karena perhatian Bhanu kepada Shireen.
Rasa perutnya terasa mual mengetahui fakta bahwa saat ini Khirani tengah terembeti rasa cemburu.
***
"Ini ada apa kita ngumpul di sini? Keburu malem, kasian yang rumahnya jauh," ujar Aminah begitu sampai di backstage wardrobe belakang panggung.
Ada Bhanu, Khirani, Reyko dan semua karyawan Penerbit Cakrawala mengumpul di situ, semua atas permintaan Bhanu. Sebelum geladi bersih dimulai, Bhanu ingin mengutarakan sesuatu.
"Mas Bhanu, mana ini violinis kita? Besok udah pertunjukan loh, sampai detik ini saya nggak dikasih tahu siapa orangnya."
Bhanu melirik Khirani sebentar. Sebelum pergi ke tempat pertunjukan, Khirani meminta Bhanu untuk memberitahu semua karyawan Penerbit Cakrawala, khususnya Aminah, bahwa besok ia akan andil dalam pertunjukan sebagai violinis. Khirani tak mau membuat Aminah khawatir dan bisa tenang untuk acara besok.
Keputusan itu sudah dipikirkan Khirani jauh-jauh hari, setelah beberapa kali mendengar Aminah mencemaskan violinis rahasia di kantor. Khirani merasa bersalah jika harus menyembunyikan fakta ini di belakang orang yang selama ini telah membantunya.
"Dia di sini, Bu," jawab Bhanu.
"Hah? Di sini? Mana?" Aminah menoleh ke kanan kiri. Begitu juga dengan beberapa karyawan, wajah mereka tampak antusias.
"Saya, Bu," ujar Khirani, semua mata langsung tertuju pada gadis itu, wajah mereka berubah menjadi terpaku terkejut, "saya yang akan menjadi violinis besok mendampingi Kak Rey sama Mas Bhanu."
"Beneran, Khi?" Elsa seperti tidak percaya, matanya nyaris jatuh karena melebar kaget.
"Kamu bisa main biola?" sahut Rima, ditimpali pertanyaan yang sama dari Sugik dan yang lainnya.
"Iya. Saya pernah sekolah di Musica Art School jurusan Violin Classic, tapi nggak sampai lulus."
"Hah? Yang bener, Khi? Beneran?" sahut-sahutan beberapa karyawan seolah tidak percaya. Mereka selama ini hanya tahu kalau Khirani pernah bersekolah di sekolahan elit, tetapi tidak tahu persis sekolah yang mana. Mendengar sekolah paling hits itu adalah bekas sekolahan Khirani, mereka tak bisa berhenti untuk terkejut.
"Alhamdulillah, kalau begitu kita bisa mulai geladi, ya?" kata Aminah.
"Siap, Bu! Ayo semangat! Semangat!" seru Endro.
Aminah melipir ke arah belakang. Di balik dinding dingin gedung orkestra, Wanita empat puluh tahun itu membekap mulutnya, menahan isak tangis yang ia tahan sejak Khirani memperkenalkan diri sebagai violinis di acara besok.
Meski tak percaya, ia amat bersyukur Khirani bisa kembali ke panggung menggesek biolanya. Semua mimpi dan doa yang selama ini Aminah selalu panjatkan untuk Khirani, gadis malang itu.
"Bu Aminah?"
"Iya?" Aminah buru-buru mengusap air mata di pipinya, kemudian memutar tubuhnya.
Khirani berdiri di belakangnya, entah sejak kapan.
"Iya, Khi?"
Gadis itu melangkah mendekat, kemudian merengkuh pelukan ke Aminah. Pecah kembali tangis wanita itu, kini tangisannya lebih terlepas. Ia memeluk erat gadis itu, menciumi pipinya berkali-kali.
"Kamu hebat, kamu hebat, Khi. Terima kasih sudah mau kembali," ucap Aminah di tengah isakan tangisnya.
"Maafin Khirani sudah merahasiakannya selama ini."
Aminah mengusap air mata di pipi gadis itu lalu membelai rambutnya, "Gapapa, gapapa, yang penting kamu..." ucapannya tersekat, bibirnya bergetar menatap Khirani, detik berikutnya Aminah memeluk Khirani dalam rengkuhannya lagi.
"Terima kasih sudah mau kembali ke panggung, Khirani," isak Aminah penuh rasa haru yang bahagia.
Malam itu geladi bersih berjalan dengan lancar, Khirani menggesek bownya dengan baik, begitu juga Bhanu dan Reyko. Semua orang yang di gedung itu terperangah melihat pertunjukan mereka meski hanya latihan. Mereka tidak sabar menonton itu besok.
Aminah duduk di trimbun dengan air mata yang terus mengalir.
"Jadi nginep di rumahnya Bhanu, Khi?" tanya Reyko, mereka baru saja selesai latihan bersiap untuk pulang.
Khirani tak lantas menjawab, gadis itu sibuk memasukan biolanya ke dalam tas. Bhanu yang juga sedang sibuk mengemas kertas-kertasnya sempat melirik ke arah Khirani, pemuda itu juga penasaran.
"Kak Khi!" pekikan Binna dari arah pintu menjawab pertanyaan Reyko.
"Kok di sini, Dek?" tanya Bhanu.
"Jemput Kak Khirani, yuk, Kak." Binna menggamit tangan Khirani yang baru saja berdiri dari tempatnya.
"Jadi nginep di rumah? Bareng kita, aja."
"Duluan, Rey," pamit Khirani seraya berjalan ke arah pintu bersama Binna.
"Binna bawa mobil Tania, tenang aja. Duluan ya Mas Rey!" ujar Binna sembari melambai.
Binna baru saja kembali dari rumah Tania, teman yang biasa membuat konten youtube dengannya. Binna membawa banyak pilihan aksesoris, dress, sepatu dan perintilan make up untuk Khirani besok.
Terdengar cekikan Binna dan si kembar dari kamar Binna. Mereka sedang memilih dress untuk Khirani, tercetak jelas wajah bahagianya gadis itu. Ia tak sungkan lagi untuk menertawai candaan orang lain.
Hatinya benar-benar bahagia, Tuhan.
Namun, satu rasa yang mengganjal kala melihat Bhanu, Shireen dan Nawang sedang bercanda juga di depan TV. Shireen tampak menawan di mata Khirani, gadis itu memang pantas bersanding dengan Bhanu, bukan dengannya.
"Eh, Khirani, sini, nonton TV," ujar Nawang saat melihat Khirani berdiri di depan kamar Binna.
Bhanu dan Shireen menoleh. Jika dilihat dari sini, mereka tampak serasi. Tak bohong jika Khirani merasa cemburu saat ini. Saat mata Bhanu dan Khirani bertemu, tiba-tiba pemuda itu memalingkan pandangan kembali menatap TV. Khirani terkejap menyaksikan itu, baru kali ini Bhanu mengalihkan pandangannya dari Khirani.
"Mau ke kamar mandi, Bu."
"Udah selesai milih dressnya buat besok?" tanya Nawang, "kalian terdengar heboh sekali dari sini."
Khirani tersenyum tipis, "Maaf, Bu."
"Biasa itu, santai."
Khirani mengangguk, kemudian berpamit untuk ke kamar mandi. Di depan cermin di dalam kamar mandi, Khirani menatap dirinya yang sedang terbakar api cemburu.
Bukankah ia sendiri yang menolak Bhanu? Kenapa merasa menyesal saat pemuda itu sedang bersama perempuan lain? Saat pemuda itu berpaling pandang darinya? Kini Khirani merasa dirinya bodoh dan menyedihkan.
Saat kembali dari kamar mandi dan melewati ruang TV, Bhanu sama sekali tak meliriknya. Ia tengah mengobrol dengan Shireen. Begitu menutup pintu, suasana hati Khirani mendadak luruh, rasa cemburu benar-benar mengepung hatinya.
"Kamu sek kesal ta sama Mbak Shireen, Mbak Bin?" tanya Nana.
"Noni juga sih, sebenarnya," sahut Noni.
Khirani duduk di atas ranjang Binna, kebetulan sekalil mereka bertiga sedang menceritakan Shireen, yang sebenarnya sudah Khirani tunggu-tunggu dari tadi.
"Nggak tahu malu dateng ke sini lagi, waktu Mas Nu jatuh, ninggalin Mas Nu, sekarang Mas Nu terkenal, deketin lagi," gerutu Noni.
"Sst! Jangan keras-keras nanti orangnya denger," tegur Binna sambil menata alat make upnya di kotak penyimpanan.
Khirani benar-benar ingin ikut menimbrung, tetapi ia tahan karena tak ingin dicurigai kalau sedang kepo. Ia menunggu tiga bersaudara itu bercerita dengan sendirinya.
"Alasannya kuliah, cih, kuliah sih kuliah, tapi nggak usah nggak ada kabar gitu. Dateng-dateng masih nganggep Mas Nu pacarnya," imbuh Nana.
"Shireen pacarnya Mas Nu?" Khirani tak tahan untuk tidak tanya. Ia begitu penasaran.
"Dulu, waktu Mas Nu masih jadi tentara. Mereka pacaran mulai SMA. Pas Mas Nu mutusin buat keluar dari angkatan, Mbak Shireen tiba-tiba ninggalin Mas Nu ke Turki, katanya sih kuliah. Lama-lama nggak bisa dihubungi dan nggak ada kabar sampai tadi pagi, dia tiba-tiba datang," penjelas Binna.
"Bayangin, empat tahun nggak ada kabar, tiba-tiba datang dan masih tanya soal lamaran yang pernah dibicarakan lima tahun yang lalu," lanjut Binna.
"Lamaran?" Khirani terpantik.
Binna mengangguk, "Mas Nu pernah mau melamar Mbak Shireen, rencananya setelah Mas Nu naik pangkat jadi perwira, tapi gagal, karena ayah meninggal itu."
"Terus Mas Nu mau balikan sama dia?"
Binna mengangkat bahunya, "Ck, kayaknya sih—"
"Bakalan balikan," sahut Noni.
Khirani terkejap kaget. Dadanya lamban laun memanas, apalagi ketika Binna mengangguk mengiyakan tebakan adiknya.
"Mas Nu itu dulu bucin banget sama Mbak Shireen. Kayak nggak akan ada cewek lagi di hidup Mas Nu. Kak Khi baca nggak novel Mas Nu yang judulnya Perayaan Duka?"
Khirani mengangguk.
"Novel terkelam setelah novel Rembulan Memeluk Matahari," kata Binna.
Lima puluh bab Novel Perayaan Duka menceritakan rindu tak berkesudahan seorang tokoh utama laki-lakinya kepada tokoh utama perempuan yang memilih melompat ke jurang daripada menikah dengannya. Novel itu kurang laku di pasaran karena dinilai sangat kelam, bahkan diksi-diksinya tertulis pilu dan kejam.
Khirani sendiri tak kuat membaca novel itu dan memilih berhenti di bab 27 saat tokoh utama laki-lakinya memutuskan untuk tidak mencintai perempuan lain sampai ia mati.
Khirani tersentak kaget saat mengingat alur itu.
"Kenapa, Kak?" tanya Binna menangkap air muka terkejutnya Khirani.
"Nggak apa-apa." Khirani menarik napas panjang, mengembuskan pelan. Meski kenyataan itu menganggunya, setidaknya Khirani lega saat tahu Novel Gantari tidak terinspirasi dari Shireen.
"Yuk, ah, tidur. Today is big day!" ujar Binna.
"Iyaaa, aku nggak sabar!" kata Nana Noni nyaris bersamaan.
Khirani mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana ia bisa tidur dengan nyenyak saat Bhanu sedang berdampingan saat ini di ruang TV bersama mantan pacarnya.
Rasanya dada Khirani sesak, ingin sekali menemui Bhanu. Namun, ia tak bisa apa-apa, ia tahu diri untuk itu.
***
Yeay, Jumat nanti hari pertunjukan! Siaaaaaap nggak? WKWKWK, berasa mau pertunjukan asli yaaa hahaha.
Terima kasih sudah membaca cerita ini. Jangan lupa tinggalkan jejak vote dan komen.
With Love, Diana.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro