Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Crown Princess

Malam sudah semakin larut, gelap menyapa langit. Gumpalan awan suram bertaut dengan berbintang cerah yang menghiasi dengan purnama sebagai pemeran utama malam ini. Udara berhembus dengan kencang, dingin menyapa kulit, membuatnya para makhluk menghangatkan diri.

Para prajurit silih berganti berlatih, dengan semangat yang masih berkibar dalam dada, terus melatih kemampuan bertarung semakin baik dan baik. Yang lain pun berjaga-jaga dengan berpatroli mengelilingi penjuru camp, memastikan keamanan pasukan sempurna. Sementara sedikit yang lain lebih memilih beristirahat menghangatkan diri serta berbincang kecil dengan rekan pertempuran.

Besok adalah di mana hari pertama mereka menyerang. Semangat serta kegelisahan terpendam dalam hati mereka yang terdalam. Tidak ada yang berbicara terang-terangan tentang hari esok, di mana mereka bisa mati atau kembali hidup-hidup.

Sedangkan pria dengan surai perak dan manik darahnya bersinar, menatapi peta besar di atas meja dengan miniatur mini yang sekali-kali dia gerakkan setelah berpikir panjang. Sementara di sampingnya sang sahabat merebahkan diri di atas dipan membaca buku sembari mengamati setiap gerakan yang dilakukan sahabatnya. "Sudahlah, strategi saat ini sudah bagus kawan. Tidak usah menyusahkan diri sendiri lagi."

Amaris melirik pria surai biru tua yang terlihat sangat menikmati waktu lenggang. Sedangkan dia masih saja berkutat dengan strategi yang terus bermunculan di kepalanya. Melihat pria surai perak yang masih terdiam Leo menghembuskan napas panjang. "Aku tahu kamu mau ini sempurna. Tapi kita hanya manusia. Kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin."

"Berisik." Amaris berdecak sebal tidak menggubris semua kata-kata pria santai itu. Lagipula apa salahnya untuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi? Malahan ketika gagal nanti dia masih bisa menggunakan strategi cadangan yang sudah dipikirkannya matang-matang.

"Hoam.., Aku akan tidur lebih dulu. Kamu juga jangan begadang. Besok hari penting." Tidak merasa tersinggung dengan kelakuan Amaris, Leo segera keluar menuju tendanya sendiri, dia sudah merasa letih dan ingin tertidur lelap.

Dengan kesal pria surai perak mendengus, lantas merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Tidak ada salahnya juga mendengarkannya kata-kata si biru tua itu. Dengan merilekskan dirinya dia mulai menatap langit-langit tenda dengan cahaya remang dari lentera yang tergantung. Pikirannya yang kosong mulai melayang memikirkan banyak hal, banyak penyesalan, banyak kebingungan.

Hingga pada pemikiran di mana dirinya akan pergi setelah semua ini usai. Dia harus kembali ke rumah. Kediaman Scheinen tempat di mana menjadi saksi atas seluruh kisah hidupnya selain medan tempur. Apa yang harus dilakukannya ketika sudah kembali? Yang pertama terpikirkan adalah adiknya- Stella. Hubungan mereka sekarang benar-benar buruk, mungkin dia harus memperbaiki hal itu. Dan juga bagaimana dia harus mengendalikan emosinya yang terkadang meledak tidak terkendali. Memikirkannya saja sudah membuatnya lelah.

Setelah pemikiran itu penyesalan tidak berguna kembali membuatnya pesimis- tentang kesalahannya yang tidak pantas terampuni. Tentang dia hampir membunuh adiknya sendiri. Gila memang. Bisa-bisanya ayah hanya memeluknya lantas mengatakan tidak apa-apa, walau itu dilakukan setelah mematahkan satu kakinya. Tapi kejadian itu tetap membuatnya cemas. Ini mengerikan. Dia tidak pernah berpikir sedalam ini tentang berhubungan dengan manusia selain sang ayah. Dan sekarang dia berusaha membangun hubungan dengan adiknya? Lupakan. Mungkin ini semua ide bodoh.

Waktu berlalu cukup lama. Mata Amaris masih belum bisa terpejam dengan pemikiran yang semakin buruk menggema di kepalanya semakin keras sepanjang waktu. Merasa insomnia miliknya kambuh, dia turun dari atas dipan, dia harus menghirup udara segar untuk menenangkan diri.

Dengan jubah yang disampirkan di pundaknya, Amaris keluar tenda memperhatikan para prajurit yang beraktivitas dari kejauhan. Sebagian dari mereka yang berpapasan langsung menunduk hormat atau menyapa hormat. Dengan anggukan salam dijawabnya dengan langkah menuju sumber percikan air.

Maniknya yang semerah darah menatap aliran sungai yang berada di pinggiran area camp. Suara deras sungai dan malam saling bersautan menghidupi gulita dalam rimbunan dedaunan. Nada serta melodi relaksasi yang dihasilkannya terdengar nyaman menemani ketenangan dalam kesendirian.

Dirinya mulai merasa tenang dengan kedamaian yang alam berikan. Hingga di satu sisi, untuk sekejap dia dibuat terperanjat dengan kehadiran Putri Mahkota yang hendak menerbangkan burung pengantar surat. Menyadari hal tersebut, buru-buru dirinya melemparkan belati untuk membuat burung itu terluka lantas terjatuh menghantam tanah.

"APA YANG-" Suara yang selalu damai dengan intonasi tenang itu mengeras, menatap tajam dirinya yang mulai mendekati burung yang terluka. "Ceroboh sekali Anda, Putri. Apa Anda tidak mengetahui pasukan musuh bisa saja menemukan posisi pasti kita dengan burung yang hampir saja Anda terbangkan." Tenang. Dia menjelaskan dengan fakta logis sembari mencabut belati dari burung yang hampir sekarat.

"Apa maksudmu?" Intonasi gadis dengan manik biru samudera itu mereda mulai menenangkan diri. Dia berusaha memahami penjelasan yang diberikan gurunya itu. Tapi di satu sisi dia tidak suka dengan apa yang dilakukan pemuda yang telah melukai burungnya.

Surai perak pemuda itu berombak diterpa angin. Tangannya cekatan mengobati burung dengan obat. Lagi. Dia menjelaskan dengan seksama membuat pengertian yang mudah dicerna gadis di hadapan. "Kita sedang dalam misi Putri. Ketika Anda menerbangkan burung pengantar surat seperti tadi, itu bisa membuat musuh mengetahui pasti letak posisi kita. Karena burung pengantar surat itu mengartikan bahwa ada orang di tempat tersebut. Sekarang musuh memang mengetahui dimana kita berada, yaitu di Hutan Ceres. Tapi mereka tidak tahu di mana letak tepatnya."

Mendengar semua penjelasan yang diberikan, dia mengusap wajahnya menghela napas. Sekarang dia memahami kesalahannya, ya, sepertinya memang pengetahuannya masih kurang. "Maaf. Atas kecerobohan saya, Ketua."

Senyuman hangat mengembang dari bibir pemuda bermarga Scheinen. Tangannya terulur, memberikan burung yang sudah dia obati pada Putri Mahkota. "Maaf juga atas burung Anda."

Keduanya saling terdiam satu sama lain dengan pemikiran rumit. Hingga keheningan itu pecah dengan Amaris yang kembali membuka mulut. "Besok Anda akan ikut menyerang bersama prajurit yang dipimpin Wakil Ketua Kesatria. Saya harap Anda tidak jauh-jauh darinya. Dia adalah kesatria yang berpengalaman."

"Baik. Terima kasih, Ketua."

Lagi-lagi hening melanda hingga Putri Mahkota memberikan salam perpisahan sembari tersenyum lantas pamit untuk pergi. Sebelum menjauh, Ketua Kesatria kembali bersuara menghentikan langkah putri. "Oh, ya. Putri. Untuk siapa Anda mengirim surat? Mungkin Anda bisa menitipkan surat itu pada salah satu prajurit."

Putri Mahkota berbalik menatap pemuda di hadapannya, mungkin saja pemuda itu merasa bersalah lantas menawarkan bantuan. Tapi dirinya tidak membutuhkan itu. Sebelum akhirnya menemukan kata-kata yang tepat dia berkata sopan. "Tidak usah repot-repot, Ketua. Terima kasih atas perhatiannya."

Setelah mengatakan itu Putri Mahkota lantas pergi meninggalkan Ketua Kesatria yang kembali bersama keheningan dalam kesendiriannya yang dalam juga bermakna, ditemani malam yang masih berjalan panjang.

.

.

.

"Apa yang sedang kamu lakukan, 'Nak?"

Gadis dengan surai perak serta manik merah darah menyala kini tengah berbaring sembari berbicara tidak tentu arah sendirian. Sedangkan pria dengan surai persis seperti dirinya dengan manik ungu menatapnya hangat, menyempatkan diri menemani gadis itu untuk tidur.

Tidak digubris. Pria berstatus ayah dari sang gadis bangkit dengan helaan napas panjang. Dengan akting buruk dia memajukan bibirnya melipat kedua tangannya di dada. "Baiklah, Putriku sedang sangat sibuk sepertinya. Kalau begitu aku pergi saja."

Baru saja pria itu beranjak pergi menuju pintu. Gadis itu langsung menarik tangannya dan menggigitnya kuat-kuat. Tertawa renyah dirinya dengan tangan yang lain mengusap lembut kepala sang putri. "Kamu pikir aku merasa sakit hanya digigit? Hahaha, bahkan gigitanmu tidak lebih sakit dari gigitan anak anjing."

Jujur sekali ini aneh. Stella memang didiagnosa gila oleh dokter dan tidak bisa menyadari dunia nyata seutuhnya. Tapi keanehan muncul, seakan ada celah dari diagnosis yang diberikan. Stella ternyata bisa merespon ketika dirinya dalam kondisi diperlakukan dengan tidak baik. Selain itu tidak ada waktu di mana gadis itu kembali bereaksi jelas.

Karena itulah walau akhirnya nanti Stella mengamuk diakhir. Dalam waktu seminggu ini pria itu senang sekali bisa membuat putrinya kesal, seakan putrinya bisa merasakan dunia nyata walau sesaat. Walaupun sebenarnya itu hanya pemikiran pribadi dirinya sendiri. Stella yang kini sangat kesal dengan ayahnya yang terus memanasi suasana menarik rambut perak itu sampai tercabut helai demi helai.

"Ouch! Cukup, Nak. Ouch!" Pria itu mulai menghindar dari keganasan putrinya yang kembali mulai mengamuk. Sekarang dia mulai menyesali keputusannya telah mengusik kedamaian sang putri.

"AHHH!" Stella mulai berteriak keras karena keinginannya menarik rambut sang ayah tidak terpenuhi membuat dirinya meringis menutupi kedua telinga. "Dengar, 'Nak. Lama-lama nanti aku botak jika kamu cabut seperti itu."

Bukannya semakin tenang setelah diberi penjelasan. Stella makin menjadi, menangis histeris, dan mengguling-gulingkan diri di atas lantai. "Siapa yang meminta Anda mengganggu putri." Kepala Pelayan dengan ketua mengomel membawa satu kotak coklat

"Aku hanya ingin dia hidup."

"Putri hidup. Dia bernafas."

"Kamu tidak akan pernah mengerti."

Perdebatan itu diakhiri dengan anak asuh yang kini memalingkan wajah bertingkah kekanakan berusaha menenangkan putrinya."Nak, nak..." Tidak ada perubahan yang terjadi walau dirinya sudah membujuk dengan cara paling lembut yang dia tahu. Gadisnya masih tertidur di lantai dengan mengamuk histeris.

Dirinya yang pasrah mengambil beberapa coklat putih dari kotak yang dibawa ayah asuh dan langsung memasukkan makanan tersebut ke mulut putrinya yang langsung menjadi tenang. Mendekati dirinya kembali meminta coklat. "Hah, baguslah. Cokelat lebih baik dibandingkan obat penenang. Sepertinya aku harus menyetok cokelat putih mulai sekarang."

Ilios dengan lihai membersihkan noda coklat di mulut putrinya dan memberikan minum segelas air putih hangat. Dengan hati-hati. Kini dirinya mulai menidurkan Stella di atas ranjang dan mulai menyanyikan lagu pengantar tidur. Mungkin lagu yang pernah dia dengar dari sang istri

"Lavender's blue, dilly dilly,

Lavender's green

When you are king, dilly dilly,

I shall be queen

Who told you so, dilly dilly,

Who told you so?

Twas my own heart, dilly dilly,

That told me so

Call up your friends, dilly, dilly
Set them to work
Some to the plough, dilly dilly,
Some to the fork

Some to the hay, dilly dilly,
Some to thresh corn
Whilst you and I, dilly dilly,
Keep ourselves warm

Lavender's blue, dilly dilly,
Lavender's green
When you are king, dilly dilly,
I shall be queen

Who told you so, dilly dilly,
Who told you so?
'Twas my own heart, dilly dilly,
That told me so."

"Saya tidak mengerti mengapa putri bisa tidur dinyanyikan lagu dengan suara sumbang." Ilios menyentuh lembut kepala sang putri, lantas menatap ayah asuhnya. Sepertinya sedari awal pria tua ini hanya ingin membuat dirinya kesal.

Song: Lavender's Blue Dilly Dilly - (OST Cinderella 2015)

Bersambung...

30/07/2021

Edit: 28/05/2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro