The Enveloping Darkness
Keramaian pesta mulai terurai. Sedikit demi sedikit tamu menghilang dari aula—sesederhana pulang, atau berpindah ke pesta yang lebih privasi dan bergairah, atau menikmati kota kecil Elentaire di tengah malam yang sunyi senyap. Julian berbincang pada sejumlah bangsawan elit untuk membicarakan rencana-rencana kerja sama. Tara, yang sungguh-sungguh tak keberatan tidur di sarang musuh, mulai memejamkan mata lebih lama daripada biasanya.
Aveline akhirnya turun menjelang tengah malam. Kecantikannya sama sekali tak berkurang, kecuali pesona janggal yang memudar. Aveline mendekat dengan senyum capek dan helai-helai rambut menempel pada leher. Kemunculannya pun otomatis menarik Julian dari lingkar obrolan, dan menghampiri Tara yang mengerjap-kerjap kantuk.
Tanpa berlama-lama lagi, mereka meninggalkan pesta. Toh Aveline juga setengah mendesak agar mereka bergegas, sebelum "Maxim sadar apa yang terjadi dan menyisir kota untuk mencari Aveline" dan itu terdengar cukup meneror.
Buruan itu, serta jilatan angin musim dingin saat mereka bergerak menuju asrama Julian, efektif untuk membangunkan Tara. Kantuknya terlibas sempurna dengan rembesan tipis di matanya.
Kedatangan mereka disambut Emmett. Bangsawan pongah itu baru saja kembali dari Nordale. Ia menanti di ruang duduk bersama segelas bir jahe, dan refleks melotot saat melihat Aveline dengan gaun hitam kemerah-merahan. Sejujurnya, daripada warna Fortier yang identik dengan merah menyala dan kuning telur, gaun Aveline lebih cocok untuk menggoda sang pewaris Erfallen yang identik dengan warna hitam dan merah.
"Apa-apaan yang kau pakai?" sentaknya, dan sempat membuat Tara bingung. Bukankah harusnya Emmett tersipu-sipu?
Aveline balas mendelik, tetapi sebelum perdebatan pecah di antara mereka, Julian menengahi. Ia memperingatkan Emmett dengan satu acungan tangan. Paham bahwa itu juga tak boleh terjadi, Tara cepat-cepat memantik obrolan.
"Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau dapatkan, Ave?"
"Yah, malam yang tidak akan pernah kulupakan." Aveline menyeringai, sengaja membuat para pendengarnya salah tingkah, terutama Emmett. Ia lantas menambatkan pandangan pada Tara seterusnya. "Coba tebak, Sayang? Aku mendengar sesuatu yang tak kuduga. Kukira aku bisa mengetahui di mana posisi Karlo, tetapi sayangnya tidak, meski aku yakin ini ada kaitannya."
Aveline merogoh saku gaun dan mengeluarkan sebuah sarung tangan. Tara seketika mengenali sepasang yang mulai menguning itu. "Itu dulu punyaku." Jantungnya berdegup tidak nyaman. "Bagaimana bisa Maxim memilikinya?"
"Apa ada sesuatu yang tidak kuketahui?" Emmett mengernyit. "Apa hubungannya dengan sarung tangan itu?"
Tara menceritakan tentang persiapan Pesta Pewaris tempo hari—saat Karlo menjemputnya dan memberikan sepasang sarung tangan baru, dan menyimpan sepasang yang lama. Cerita singkat itu cukup membuat semua menyepakati satu hal.
"Kalau begitu biar kutambahkan," kata Aveline muram. "Mula-mula Maxim mengoceh soalmu, Tara. Lalu, dan maafkan aku karena mengatakan ini, Maxim menghina keluargamu. Ia bilang suami Deana—Lord Mayfard—lebih memedulikan bisnisnya daripada kemalangan keluargamu."
Tara refleks menarik napas. Tangannya mengepal. "Bagaimana Maxim bisa mengenal kakak iparku?"
Aveline mengatupkan bibir. Agak bersalah, kendati ini bukan perbuatannya. "Sebab Lord Mayfard menghadiahkan sebuah vila kepada Maxim, dan aku curiga itu adalah vila yang disebutkan Karlo kepadamu."
Mulut Tara terbuka, meski tak ada suara terucap. Ia terlampau syok untuk mencerna itu semua. Julian sendiri termangu di sofa, dan hanya Emmett yang mampu membalas pertama kali.
"Jangan bilang bahwa Fortier diam-diam mulai mengincar kakak iparmu untuk diajak kerja sama, Tara."
"Tolong luruskan persepsi kita," kata Julian. "Bagaimanapun Fortier telah menyerang keluarga Wistham dua kali. Keluarga istrinya. Jika kakak ipar Tara memang diincar, maka itu berarti dia akan menjadi target selanjutnya."
Kejengkelan Tara akan suami Deana berubah menjadi kebimbangan. "Lord Mayfard memang seorang pebisnis. Sudah sewajarnya andaikan ia pernah terlibat sekali dengan Fortier, atau akan terlibat," akunya, dan mengangkat pandangan kepada Julian. "Jika persepsiku bisa membantu kalian menegaskan posisi Lord Mayfard; dia adalah pria yang baik. Tidak sepenuhnya baik macam malaikat begitu, tetapi dia sangat dermawan dan mencintai Deana. Walau, jujur saja, kami masih kecewa karena ia tak pernah mengizinkan Deana pulang. Mungkin saja ... jika aku boleh menduga ... dia barangkali sudah tahu apa yang terjadi antara keluarga kami dan Fortier, sehingga ia menyembunyikan Deana agar tidak terseret masalah."
"Itu berarti ia sesungguhnya tahu apa yang terjadi. Jika benar, maka dia telah bertransaksi bersama Fortier sebelum atau saat menikahi Deana. Dan, menikahi calon wali kota di kala bertransaksi dengan musuh negeri adalah sebuah kesalahan." Emmett menggerutu.
Tara menghela napas. Andai saja ia mengetahui soal ini lebih awal.
Tunggu. Apakah orang tuanya tahu?
"Tapi aku yakin sekali Fortier menculik kedua orang tua Tara," kata Julian. "Fortier harusnya paham untuk tidak mengusik keluarga kliennya."
"ATAU," kata Emmett, "mungkin Lord Mayfard telah melakukan sesuatu yang merusak kontraknya bersama Fortier. Jika dia warga negara yang baik, dan akan menikahi calon wali kota, maka sepantasnya dia menghentikan hubungan bisnis bersama Fortier dengan cara apa pun itu."
"Dan dia memang menghentikannya."
"Dan berakhir membuat Fortier menagih dengan cara yang brutal: menarget keluarga istrinya."
Jantung Tara berdebar-debar. Ia sebenarnya sudah meraba-raba kemungkinan itu, tetapi Emmett jauh lebih paham mengenai dunia bisnis dan segala remah-remahnya. Segala informasi dari sang konglomerat muda sudah pasti terpercaya untuk saat ini.
"Itu baru masuk akal," bisik Tara, "mengingat sifat Lord Mayfard yang serba tegas untuk memutuskan sesuatu." Yah, termasuk keputusannya untuk tidak membiarkan Deana berkunjung sejak hari kedua pernikahan.
"Dunia bisnis memang selalu menjebak." Emmett berkacak pinggang. "Sekarang apa perintahmu, Jules?"
Julian menghadap Tara. "Ini akan menempatkan kakak iparmu sebagai korban juga. Namun, walau semua ini benar, ia juga tetap harus menghadapi penalti di masa depan karena telah berbisnis bersama Fortier tanpa seizin Dewan Erfallen—menteri perekonomian kita."
"Itu bisa diurus setelah semuanya berakhir, bukan?" Tara memastikan dengan agak panik. "Aku khawatir dengan keselamatannya. Dan Deana."
Julian mengangguk. "Tentu dia masih dalam perlindungan kita." Ia lantas menoleh kepada Emmett. "Telusuri jejak Lord Mayfard dan semua kapal dagangnya."
Emmett mengangguk. Ia pun keluar dari ruangan sembari meneriakkan nama seorang pengawal.
"Lalu? Apa hubungannya sarung tangan ini dengan segala informasi barusan, Ave?"
Aveline menyunggingkan senyum kecut. "Maxim mendapat itu dari pengawalnya. Katanya itu adalah yang tersisa dari seorang bangsawan rendahan, yang ... rela membahayakan nyawa demi kekasihnya."
Tara dan Julian seketika beranjak. "Dia memang tahu di mana Karlo berada," komentar sang pangeran jengkel. Ia meminta sarung tangan lama Tara untuk memelajarinya.
Tara menyetujui itu, meski ada kejanggalan yang mengusiknya. Ia menatap Aveline yang kini berulang kali menguap di sofa dengan begitu nyaman. "Maxim bercerita banyak sekali padamu, Ave Sayang?"
"Percayalah." Ave tertawa sumbang. "Kau tak tahu betapa sulitnya mengumpulkan tiap pecahan informasi dari sialan itu."
"Oh, Ave." Tara memeluknya erat-erat. Wajahnya merah membayangkan apa yang telah Aveline lakukan pada Maxim hingga mau mengumbar segala hal pada gadis yang baru ditemuinya dua kali. "Kau telah melakukan terlalu banyak hal."
"Tidak ada yang terlalu banyak untukmu, bodoh." Aveline terkekeh, kali ini dengan tulus. Ia menepuk-nepuk punggung Tara dengan gemas. "Sekarang keputusan ada padamu, Tara. Bergegaslah sebelum Maxim mencapai Karlo duluan. Aku khawatir itu yang akan ia lakukan. Maxim bilang akan mulai berkeliling dunia besok, untuk menyelesaikan berbagai urusan."
"Itu yang dia katakan di awal pesta." Tatapan Julian mengeruh. "Tak kusangka dia sudah mengolok-olok kita sejak itu."
Ujung-ujung jari Tara meremang. "Kita tak bisa membuang waktu lagi. Apa kalian tahu cara menemukan Karlo dengan ini? Apa pengawalmu bisa, Julian?"
"Lebih baik daripada itu." Julian tersenyum. "Sekarang kita sudah mendapat Kepingan Karlo untuk ber-Etad."
Etad! Opsi yang semula mustahil bagi Tara karena risikonya yang besar. Ia tak menduga bahwa sekarang opsi itu bagai pintu terbuka lebar-lebar di hadapannya. Meski begitu, Tara tidak terkesima saat Julian mengulurkan tangan kepadanya.
"Apa?"
"Genggam tanganku, kecuali kau sudah tahu caranya ber-Etad."
Tara merutuk keharusan untuk bersentuhan lagi, walau sarung tangannya yang tebal belum lepas. Ia sempat melirik Aveline yang memberi anggukan penuh keyakinan.
Tara sempat terheran-heran. Aveline, yang semula sangat membenci Parasian, sekarang sedang menyemangati Tara untuk bekerja sama dengan mereka demi menyelesaikan ini semua. Secercah kelegaan menghangatkan dada Tara. Tidak ada dukungan yang lebih ia butuhkan daripada dukungan sang sahabat.
Tara meraih tangan Julian dengan ragu-ragu. Jari mereka saling menjalin erat sampai Tara agak kesakitan dengan tekanan jari pria itu. Namun, sebelum Tara mampu protes, dunianya mendadak melumat dan segalanya terdistorsi.
Baiklah, Tara tak tahu cara menggambarkannya kepadamu, tetapi yang jelas: isi perutnya terlempar ke dada dan jantungnya terjatuh ke perut, dan otaknya mengerut sebesar kotoran debu. Pandangannya menggelap selama sepersekian detik dan tahu-tahu ada ledakan cahaya yang membuatnya spontan memejamkan mata. Ia bahkan tak bisa merasakan tangan Julian karena tak ada tangan, sehingga Tara mempererat apa pun yang terasa bagai genggaman, dan setelah sentakan besar yang membuatnya melotot, Tara menginjakkan kaki di sebuah tanah berumput.
Sekeras sensasi yang menghantam belakang kepala, sekuat itu pula keinginan Tara untuk muntah. Tanpa memerhatikan di mana ia berada, selain kegelapan total langit dan angin malam yang menampar-nampar, Tara pun muntah.
Demi Tuhan, ia—MEMBENCI SENSASI INI. OH TUHAN. INI JAUH JAUH LEBIH BURUK DARIPADA SAAT IA LUMER MENJADI SULUR!
"Maaf, Julian." Tara masih sempat-sempatnya mengerang. "Aku tidak bisa—"
"Aku tahu. Aku sering mengalaminya dahulu." Julian sama sekali tidak terdengar jijik, atau mungkin karena ia juga tak bisa melihat apa-apa ... tunggu. Julian bisa melihat dalam kegelapan. Sementara Tara sibuk terbakar dalam rasa malu, terdengar suara gemerisik, kemudian tercium aroma peppermint di hidungnya.
Aromaterapi. Tara bangkit dengan sedikit terhuyung-huyung. "Kau ternyata sudah punya persiapan."
Julian terkekeh. "Ayahku menyuruh untuk tidak pernah lupa membawanya ke mana-mana. Aku punya setidaknya satu botol kecil di setiap jas. Bawalah itu."
"Trims," gumam Tara. Ia berulang kali menghirup napas dalam-dalam sementara Julian mengedarkan pandangan.
"Oh, sial," komentar sang pangeran. "Kau pasti lebih membenci ini."
Tara mengernyit. Ia mendongak untuk meresapi situasi sekitarnya. Gelap, dan aroma tanah basah larut di udara. Ini sudah pasti di luar, dan di ujung bawah sana ada kerlap-kerlip lampu yang menunjukkan sebuah desa. Tara berputar untuk mengikuti arah pandang Julian, dan seketika mengutuk apa yang dilihatnya.
Satu-satunya bangunan yang tersiram cahaya bulan, vila putih Lord Mayfard benar-benar tampak seperti rumah berhantu alih-alih hadiah mulus. Segala stereotip melekat dengan sempurna: ilalang tinggi, lumut dan rambatan kerak di sekujur dinding, dan kegelapan total. Namun, jendela-jendelanya masih utuh dengan lapisan debu tipis, begitu pula pintu-pintunya yang kokoh menyembunyikan kekosongan di baliknya.
Rahang Tara jatuh. Ini sih mimpi buruk yang menjadi nyata. Tambahkan bola-bola api dan tentakel tulang Julian, maka sempurna sudah semuanya.
"Apakah ini vilanya? Kau tidak salah tujuan, Jules?"
"Sarung tangan lamamu yang membawa kita kemari." Nada Julian yang enteng membuat Tara mengira bahwa rumah berhantu itu tidak memiliki ancaman berarti selain traumanya sendiri. "Atau kita kembali esok pagi?"
"Apa kau bercanda? Dan berisiko didahului Maxim?" dan, muntah kedua kali? Nah, terima kasih. Tara sudah berjanji dalam hati untuk tidak ber-Etad lagi hingga waktunya memelajari itu secara resmi tahun depan. "Mari kita masuk."
"Tunggu. Mungkin saja ada preman."
Tara mendesah. Ia pun mengerahkan seutas sulur di bawah tanah. Tak butuh waktu lama hingga ia menemukan dua manusia sedang terkantuk-kantuk di pekarangan belakang. Julian memimpin perjalanan ke sana, dan Tara terpaksa berpegangan pada ujung jasnya agar tidak kehilangan sang pria. Satu tangannya yang lain mengangkat gaun agar tidak menimbulkan suara gesekan dengan rerumputan.
Mereka merapat pada dinding luar vila. Sementara itu Julian mengambil satu langkah maju, melongok, dan Tara tak mau tahu apa yang ia kerahkan. Yang jelas Energi Julian mulai menggelora. Suara desing angin, disusul suara pukulan yang keras, membuat Tara terperanjat.
"Apa kau membunuh mereka, Jules?"
"Duh, tidak." Julian mengerang. "Aku cuma memukul sampai pingsan!"
Tara tertawa, dan Julian sempat bengong. "Aku bercanda," katanya. Suaranya agak gemetaran karena terkungkung kegelapan yang tak bisa diraba. "Baiklah, ayo masuk."
"Apa kau tak apa-apa?" tanya Julian. Ia menggandeng Tara untuk menuntunnya masuk. "Vilanya benar-benar gelap tanpa cahaya. Aku tak masalah karena aku bisa melihat di kegelapan, tapi—"
"Kita tidak akan pernah berada dalam kegelapan total selama ada aku."
Julian sempat ingin bertanya apa maksud sang gadis, tetapi Energi Tara mulai panas dengan cepat. Dalam kegelapan, Julian menyaksikan sulur-sulur tumbuh dari tanah di sekeliling bangunan, membuka kenop pintu atau menyusup melalui celah jendela, dan satu per satu cahaya muncul.
Tara kini menarik Julian masuk mengikuti sulur, dan membiarkan sang pria terperangah dengan apa yang terjadi di hadapannya.
Sulur-sulur Tara merambat ke segala dinding dan langit-langit, menggendut dan melebar. Kuncup-kuncup di batang sulur mekar menjadi bunga-bunga lumen berpendar. Dalam sekejap, gulita vila tergerus oleh cahaya yang merambat ke seluruh sudut ruangan dan lorong, seolah-olah matahari terbit di dalam bangunan.
Mata Julian berbinar-binar. "Ini cantik sekali." Komentarnya sama sekali tidak terpikirkan dahulu. Mula-mula ia terpukau, sampai-sampai Julian hampir tersandung karpet karena kepalanya kerap mendongak. Sadar bahwa kerlap-kerlip lumen di atasnya sangat terang dan menarik perhatian, Julian berbalik.
"Rumah ini bakal terlihat terang benderang dari luar," katanya. "Apa kau keberatan jika aku menutup rumah ini dengan asap?"
Tara mempersilakannya. Sementara Julian sibuk melapisi luar vila—termasuk setiap jendela dan lubang pintu—dengan asap hitam agar cahaya tidak tampak oleh dunia luar, gadis itu mengedar. Ia menyusuri furnitur-furnitur berlapis kain putih berdebu. Yakin tak ada lagi orang asing, ia pun memberanikan diri untuk berseru.
"Karlo! Karlo, apa kau ada di sini?"
Tara berusaha menajamkan sensitivitas dari ratusan sulur yang dikerahkan.
Julian ikut melangkah di sisinya. "Karlo!" serunya. "Apa kau mendengar kami?"
Mula-mula tak ada suara, selain desau angin yang menggedor-gedor jendela dengan mengerikan, dan suara gemerisik rerumputan di luar. Kemudian, sebuah suara yang sangat pelan terdengar, lirih dan mungkin sedang meregang nyawa.
"Tara?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro