
DYEZRA 18 - Royal Boy
•
•
•
"Hiks ... Hiks ..."
Dyezra menelungkupkan kepalanya pada lipatan kakinya. Ia memeluk lututnya dengan erat, hatinya sangat sakit. Kalimat yang diucapkan Fero terus terngiang-ngiang di otaknya.
Dyezra saat ini tengah berada di sebuah gang sepi dekat sekolahnya, ia tak mau ada orang lain yang melihatnya menangis. Biarkan saja dia menangis sepuasnya di sini, menumpahkan semua rasa sakitnya di sini.
"Hei Nona, kenapa kamu menangis sendirian di sini?"
Suara tersebut membuat Dyezra mendongak, ia terkejut. Ia mengenali cowok ini. Hoodie hitam dan gaya yang sama. Cowok itu pun sama terkejutnya di balik tudung hoodienya.
"Anda lagi ternyata, kali ini ada apa?"
"Bukan urusan lo!" ketus Dyezra.
Cowok itu tersenyum kecil melihat respon cewek di depannya. "Kenalin, nama gue Roy." Ia mengulurkan tangan besarnya di depan Dyezra yang masih setia berjongkok sembari memeluk lututnya. Dyezra menatap uluran tangan itu, ia menyambutnya.
"Dyezra, nama gue Dyezra."
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Gimana, Yon? Udah ketemu Dyezra belum?" Devina berbicara pada Deon lewat telepon, mereka memutuskan untuk berpencar mencari Dyezra.
Deon di seberang sana menggeleng, meski Devina tak bisa melihatnya. "Belum, gue belum nemuin dia."
Terdengar helaan napas dari Devina. Viona meliriknya, gadis itu tengah sibuk menyetir sambil celingukan, siapa tahu menemukan Dyezra berjalan di sekitar sini. Namun nihil, tidak ada tanda-tanda Dyezra ada di sini. "Duhh, lo ke mana sih, Ra?" gumamnya. "Coba telepon ke rumahnya, siapa tau dia udah pulang," lanjut Viona.
Devina mengangguk setuju, ia langsung menelepon ke rumah Keluarga Wijaya.
"Halo?"
"Diorza! Ini gue Devina. Dyezra udah pulang ke rumah belum?"
"Ohh, Kak Devina. Belum tuh, Kakak belum pulang. Emang kenapa, Kak?"
"Enggak, gapapa kok. Udah lanjutin aja kegiatan lo, gue tutup dulu."
Devina menoleh ke arah Viona, ia menggelengkan kepalanya. "Dia belum pulang kata Diorza," ujarnya.
Viona menghela napas, lantas mengacak rambutnya frustasi. Ia mempercepat kecepatan mobilnya, ia harus segera menemukan sahabatnya itu. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Pertemuan kembali dengan cowok berhoodie hitam yang diketahui bernama Roy, tak pernah Dyezra duga sebelumnya. Mungkin ini hanyalah kebetulan yang menguntungkan. Roy menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Ia sudah menolaknya, tapi cowok itu tetap kekeuh ingin mengantarnya pulang dengan alasan, 'Kewajiban manusia itu untuk saling tolong-menolong'.
Yahh memang tidak salah, bahkan benar adanya. Sesama manusia dan makhluk sosial harus saling tolong menolong kan?
"Harusnya lo nggak perlu repot-repot nganterin gue pulang segala. Toh, kita juga baru kenal kan?" kata Dyezra memecah keheningan.
"Gaada salahnya mencoba menjalin pertemanan dengan seseorang, 'kan?" Perkataan Roy membuat Dyezra lagi-lagi bungkam. Dia berasa lagi main catur yang tiap kata dari Roy bakalan meng-skakmatnya.
"Lo emang kayak gini, ya?"
Pertanyaan Dyezra membuat Roy mengerutkan keningnya bingung. "Maksudnya?"
"Suka bikin orang skakmat karena kata-kata lo."
"Hahahaha." Roy tertawa.
"Apanya yang lucu?" Dyezra bertanya dengan heran.
"Lo," jawabnya.
Dyezra mendengkus. "Dikira gue anak kecil apa."
Roy menggeleng. "Bukan gitu-"
"Eh! Itu rumah gue!" Dyezra menunjuk sebuah rumah mewah dengan gaya minimalis yang catnya berdominan warna putih tidak jauh dari tempat mereka berdiri. "Lo anter gue sampe sini aja, gue ke sananya bisa sendiri kok," lanjutnya.
Roy tersenyum kecil, ia mengangguk.
"Ya udah, hati-hati. Salam sama orang rumah, bye." Roy melambaikan tangannya yang dibalas dengan lambaian tangan juga oleh Dyezra. Gadis itu lantas berlari menuju ke rumah.
"Kak, dari mana? Tadi Kak Devina nyariin lo."
Baru saja Dyerza memasuki rumahnya, ia sudah dicecar pertanyaan oleh adiknya. "Nggak dari mana-mana. Mampir ke minimarket bentar tadi," jawabnya.
Diorza hanya ber 'oh' ria sebagai tanggapan, anak itu kembali sibuk dengan stik PS di tangannya. Sementara Dyezra langsung berjalan menuju kamarnya. Ia ingin segera mengistirahatkan tubuh dan hatinya.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Dyezra menatap langit-langit kamarnya, air matanya kembali menetes. Ia mengusap pipinya kasar. "Ngapain sih gue nangisin dia?! Tohh, dia kan udah jahat sama gue. Dasar Fero nggak punya hati! Dikira gue nggak punya perasaan apa, seenaknya aja bilang gue murahan! Emang dia pikir dia siapa?!" Dyezra memaki-maki Fero dengan berbagai umpatan.
Gadis itu masih tidak menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut Fero, kata-kata yang bisa saja menyakitinya. Bodoh, tentu saja menyakitinya! Siapa cewek yang mau dibilang murahan sama sahabatnya sendiri?! Hmm, gue rasa gaada. Kalau ada, berarti dia gila.
Dyezra memutuskan untuk membuka ponselnya yang memang tadi sengaja dia matikan, dia sedang malas berhubungan dengan orang-orang saat ini. Baru saja ia menyalakan ponselnya tersebut, puluhan notifikasi langsung masuk. Kebanyakan telepon dan sms dari Viona juga Devina, mereka berdua menanyakan dia berada di mana. Ia pun segera membuka aplikasi instagramnya dan mengirim pesan pada grup yang hanya berisi tiga orang tersebut. 'Gue gapapa dan gue udah di rumah. Don't worry'. Setelahnya, ia kembali menonaktifkan ponselnya dan melemparnya ke atas ranjang.
Mungkin berendam akan membuatku merasa lebih baik.
Dyezra menyetujui ide yang masuk di otaknya tersebut. Gadis itu segera menyiapkan air dalam bathub dan mengisinya dengan sabun cair favoritnya. Sembari menunggu air penuh, ia menggelung rambut panjangnya supaya nanti tidak basah.
Setelah dirasa air yang dia butuhkan cukup, Dyezra mematikan kerannya dan berendam.
Gadis itu memainkan busa-busa di dalam bathub dengan riang. Perasaannya jadi lebih baik saat bermain air dan busa. Dyezra kembali terdiam saat mengingat perkataan Fero tadi. Benarkah Fero berpikir seperti itu tentang dirinya?
Dyezra menggelengkan kepalanya, "Nggak boleh, gue nggak boleh biarin perkataan Fero memengaruhi gue!" Gadis itu mengangguk dan mengepalkan tangannya. Ia bakal buktiin sama semua orang, kalau penilaian mereka salah. Terutama Nindi, juga Fero yang telah salah paham dalam menilainya.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Pukul 19.00, Dyezra saat ini tengah menemani Diorza ke mall. Mencari kado untuk hadiah ulang tahun teman sekelasnya katanya. Kebetulan yang berulang tahun itu cewek, jadi Diorza mengajak kakaknya saja.
"Beliin apa ya ...."
"Anaknya gimana? Biasanya suka apa?" tanya Dyezra.
"Anaknya tuh agak tomboy sih Kak, jarang liat dia pake hal-hal berbau cewek. Kecuali rok ya, kan itu seragam sekolah." Dyezra mengangguk, ia berpikir hadiah apa yang sekiranya cocok ya. Ia berbinar saat melihat sebuah toko pernak-pernik.
Ia menarik tangan Diorza. "Kita coba kes ana." Diorza memusatkan pandangannya pada arah yang ditunjuk kakaknya. Ia tersenyum kecil, sepertinya itu toko yang tepat.
"Silakan Mbak, Mas. Ada yang bisa saya bantu?" Baru saja mereka berdua memasuki toko tersebut, keduanya sudah disambut oleh penjaga toko yang tersenyum manis.
Dyezra balas tersenyum. "Kami mencari kado buat temen, Mbak. Anaknya cewek, tapi tomboy. Kira-kira beliin kado apa ya yang sekiranya cocok?"
"Ohh! Ini aja, Mbak." Penjaga toko menggiring mereka ke arah rak topi, ia mengambilkan topi hitam sederhana ala-ala Korea dengan 3 ring yang terpasang di sisi kiri depan dan rantai di bagian lekukan atas topi.
Dyezra berbinar menatap topi yang menurutnya keren tersebut. "Ya udah, ini aja Mbak! Sekalian bungkusin dua sama warna abu-abu, ya!" ujarnya antusias. "Eh, eh! Tunggu, Mbak! Sekalian yang item bungkusin sama kertas kado juga, ya! Yang rapih!" lanjutnya.
Diorza mendengkus melihat tingkah kakaknya, untung toko ini sedang sepi dan hanya ada mereka berdua. Kalau tidak, ya malu-maluin.
Setelah beberapa menit menunggu, penjaga toko memberikan sebuah paperbag pada keduanya. Yang satu punya Dyezra dan satu lagi untuk teman sekelasnya Diorza yang sudah terbungkus rapih. "Untuk pembayaran, silakan ke kasir kami ya," kata penjaga toko. Diorza mengangguk, ia memberikan bingkisannya pada Dyezra sementara ia ke bagian kasir untuk membayar.
"Hai! Kita ketemu lagi."
Dyezra mendongak, ia tersenyum saat melihat Roy berdiri di depannya. Cowok itu membawa banyak belanjaan. "Eh, Roy! Lagi belanja, ya?" tanya Dyezra.
Roy meringis. "Iya, nih. Nemenin nyokap gue belanja bulanan," jawabnya. Dyezra mengangguk mengerti. Dia juga biasanya nemenin bundanya buat belanja bulanan.
"Lo sendiri lagi ngapain? Sendirian?"
Dyezra mengangkat paperbag di tangannya. "Nyari kado buat temennya Adik gue." Roy tersenyum miring tanpa Dyezra sadari saat dia menyebut kata 'Adik'. Berarti benar informasi yang dia dapat. Kalau Dyezra ini kakak dari rivalnya, Diorza Wijaya Angkara. Ahh, bagaimana ya reaksi Diorza kalau melihat dia begitu akrab dengan kakaknya? Sepertinya seru. Ia tersenyum licik.
"Ayo Kak, udah gue ba ... yar. Lo ngapain di sini?!"
Dyezra terkejut akan kemunculan Diorza. Ia menatap bingung adiknya itu yang menatap Roy dengan tajam. "Kalian saling kenal?" tanya Dyezra.
Tanpa menjawab pertanyaan Dyezra, Diorza malah balik bertanya pada kakaknya. "Lo kenal sama nih orang, Kak? Lo nggak diapa-apain kan sama dia?"
Dyezra jadi semakin bingung. "Diapa-apain gimana? Lo jangan salah sangka, dia baik kok sama Kakak. Pernah nganterin pulang juga pas nggak sengaja ketemu di jalan."
Diorza menggeram, ia menatap tajam Roy yang justru tersenyum miring karena mendapat pembelaan dari Dyezra. "Jauhin Kakak gue! Urusan lo sama gue, ya! Jadi stop libatin orang-orang di sekitar gue yang gaada hubungannya sama ini!" Orza menunjuk-nunjuk bahu Roy dengan penuh penekanan pada setiap kata yang dilontarkannya. Napasnya memburu karena menahan emosi.
"Ayo pulang." Diorza langsung menarik tangan kakaknya agar bergegas pergi dari sana.
Dyezra yang merasa tidak enak dengan Roy akan sikap Diorza, akhirnya menoleh dan melambaikan tangannya dengan mengucapkan kata 'maaf' dengan gerakan mulut. Ia berharap Roy mengerti maksudnya. Setelahnya ia benar-benar mengikuti langkah kaki Diorza keluar dari mall.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
"Lo sama dia tuh punya masalah apa, sih?" tanya Dyezra. Mereka saat ini baru saja menginjakkan kaki di parkiran mall.
"Dia itu rival gue, anaknya licik. Jadi mending lo jauh-jauh dari dia," jawab Diorza sesaat setelah dia memakai helmnya.
Dyezra mengangkat bahunya tak acuh, ia juga langsung memakai helmnya dan mengeluarkan motornya dari barisan parkir. Diorza menjalankan motornya duluan, diikuti Dyezra di belakangnya. Kedua kakak beradik itu pun beranjak pulang karena hari sudah semakin malam. Ahh ya, mereka sampai di rumah Keluarga Wijaya pukul 20.20 malam. Tentunya setelah mampir untuk membeli martabak pesanan papanya di rumah. Arkabima pulang lebih awal dari biasanya. Katanya pekerjaan hari ini tidak terlalu banyak dan dia sudah menyelesaikan semuanya.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Tin.. Tin..
Suara klakson motor membuat Arkabima keluar dan membukakan pagar untuk kedua anaknya. Dyezra dan Diorza mengucapkan terimakasih pada papanya tersebut dan langsung memasukkan motornya ke garasi.
"Nih Pa, martabaknya." Dyezra menyerahkan bungkusan martabak itu yang diterima dengan senang hati oleh Bima. Ia segera menyuruh keduanya masuk untuk makan malam bersama.
"Udah nemu kadonya?" tanya Bima sesaat setelah ketiganya baru sampai dapur.
Diorza mengangguk. "Udah," jawabnya.
"Baguslah, itu nasinya udah matang. Tiga puluh menit juga udah cukup buat menanak nasi, sambil nungguin kalian pulang." Bima menjelaskan sembari mengaduk nasi di dalam rice cooker. Dyezra berdiri dan membantu papanya menyiapkan piring dan meletakkan martabak yang sudah dibelinya tadi pada piring yang memang khusus untuk meletakkan lauk pauk.
Setelah siap, Dyezra kembali ke tempat duduknya dan langsung mengambil nasi dan martabak bagiannya. Tidak lupa ia mengambilkan untuk papanya juga. Diorza? Ya ambil sendiri lah.
"Selamat makan!" ujar ketiganya sesaat setelah berdoa. Ketiga kelurga tersebut makan dalam diam. Seperti peraturan biasanya, dilarang berisik dan berbicara saat makan. Hal itu sudah ditanamkan Arkabima pada kedua anaknya sejak mereka masih kecil. Bahkan sekarang, mereka sudah terbiasa untuk itu.
⋆.◌°⋆.◌°⋆.✯✯✯°⋆.◌°⋆.◌°
Selepas makan malam, karena jam masih menunjukkan pukul 21.00, Arkabima mengajak kedua putra-putrinya untuk menonton film sebelum tidur.
"Mau film apa?" tanya Bima.
"Horror aja, Pa!" seru Diorza.
Dyezra mendelik, ia menggeleng tidak setuju. "Nanti gue nggak bisa tidur gimana," katanya.
"Ahh, cemen lo Kak!"
Bima terkekeh melihat perdebatan kecil kedua anaknya. "Kita nonton thriller aja," finalnya.
Dyezra dan Diorza mengangguk setuju. Dyezra mengambil tempat di tengah kedua laki-laki yang paling berharga dalam hidupnya. Ia tersenyum lebar, rasanya sudah lama sekali mereka tidak kumpul begini. Mungkin akan lengkap kalau ada bunda, pikirnya.
Ketiganya serius menonton film yang ditayangkan, sesekali Dyezra akan menutup mata kalau ada adegan kekerasan atau berdarah-darah. Ia berinisiatif untuk mengambil beberapa snack dan camilan di kulkas. Tidak lupa sebotol besar Coca Cola.
"Nih, biar afdol. Nonton harus sambil ngemil," ujarnya sembari menaruh camilan di atas meja.
Diorza langsung mengambil salah satu, membuka bungkusnya dan memakannya. Begitupun dengan Arkabima.
Like Father, Like Son.
Ketiganya kembali larut dalam film yang ditayangkan. Sesekali Dyezra akan berkomentar saat tokoh dalam filmnya membuat kesalahan kecil, gadis itu akan kesal sendiri. Padahal filmnya memang dibuat seperti itu.
Satu setengah jam telah berlalu, film yang ditonton sudah habis. Bima menyuruh kedua anaknya langsung ke kamar dan tidur. Dyezra dan Diorza mengangguk patuh, setelah membereskan sampah bekas camilan mereka, keduanya langsung menuju kamar masing-masing di lantai atas.
"Hoaamm ..." Dyezra menutup mulutnya saat menguap, ia merentangkan tangannya ke bawah dan ke atas beberapa kali untuk mengurangi rasa pegal. Setelahnya ia membuka pintu kamarnya dan langsung menjatuhkan dirinya ke atas ranjang. Bersiap memasuki alam mimpi.
Ingatkan dia untuk bangun pagi-pagi besok, ia tidak ingin terlambat sekolah. Karena besok masih Hari Selasa.
•
•
•
Wah, Dyezra kayaknya harus hati-hati sama si Roy nih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro