Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 38. Teriakan Kekecewaan

I'm just want to be loved but I'm doing it wrong — Erlangga Auditama.

"Bram, tenang dulu. Ega nggak akan kenapa-napa. Dia pasti cuma butuh waktu sekarang." Ayah Tiana berbicara melalui sambungan telepon, di mana lawan bicaranya terdengar sedang menangis tersedu-sedu. "Ega sudah cukup dewasa dan sudah saatnya dia untuk tau yang sebenarnya."

"Ega belum siap." Papa Ega berbisik di seberang sana dengan suara parau. "Lukanya bahkan masih belum sembuh, Jaya. Dan yang aku lakuin sekarang adalah nyakitin dia lagi."

Ayah Tiana menggeleng, membantah semua penuturan lawan bicaranya. "Bram, memangnya mau sampai kapan kamu menutupi semua ini dari Ega? Hampir 11 tahun Laras menderita karena kebencian Ega. Mau sampai kapan kamu ngebiarin istri kamu diinjak-injak sama anak yang bahkan bukan darah daging kamu?"

"Kamu harus tegas sama Ega sesekali, Bram." Ayah Tiana menambahkan dengan penuh penekanan. "Nggak boleh kamu terus-terusan ngebiarin Ega bersikap seenaknya cuma karena kamu nggak mau nyakitin dia lagi. Dengan sikap kamu yang kayak gini, kamu juga nyakitin istri dan anak kamu yang lain, Bram."

"Aku ngelakuin ini bukan karena aku benci sama Ega. Nggak, Bram!" Sebelum dikira sengaja merusak hubungan ayah dan anak yang memang sudah sangat hancur itu, ayah Tiana menjelaskan maksudnya. "Justru aku ngelakuin ini juga untuk kebaikannya Ega.

Coba kamu bayangkan kalau Ega tau masalah ini setelah kamu meninggal nanti? Kamu pikir, gimana Ega bisa menebus rasa bersalahnya sama kamu? Semakin cepat Ega tau, semakin cepat juga hubungan kalian membaik."

Papa Ega tidak memberikan sanggahan lagi. Apa yang dilakukannya saat ini hanyalah menangis karena hatinya sakit saat melihat reaksi Ega tadi. Laki-laki itu melihat betapa hancurnya Ega saat kebenaran itu dia katakan. Lagi-lagi dia menyakiti putranya.

"Kasih Ega waktu sendiri, Bram. Biarin dia marah sama dirinya sendiri sekarang." Ayah Tiana kembali berbicara. Karena Ega adalah teman dekat putrinya, tentu dia juga ingin yang terbaik untuk laki-laki muda itu. Dia tidak ingin kalau sikap Ega selama ini akan mempengaruhi putrinya. "Setelah emosinya reda nanti, kalian bisa bicara."

Ketika laki-laki satu anak itu sibuk menenangkan sang sahabat di seberang sana, yang sedang menangis tersedu-sedu, sosok Tiana berdiri di belakangnya dengan tubuh yang begitu kaku.

Niatnya menghampiri sang ayah tadi adalah untuk mengajaknya makan malam, tetapi yang dia dengar malah membuat perut Tiana rasanya seperti dipelintir sekarang.

"Ega bukan anak kandungnya Om Bram?"

Mendengar suara putrinya membuat ayah Tiana menoleh. Dia buru-buru memutuskan sambungan teleponnya dan papa Ega setelah mengatakan kalau dia akan menelepon lagi setelah makan malam.

"Makan malamnya udah siap, ya?" Ayah Tiana mengalihkan pembicaraan, berpura-pura tidak mendengar pertanyaan sebelumnya. "Ayo, makan. Ayah udah lapar."

"Ayah, tunggu!" Tiana menahan tangan sang ayah yang ingin melarikan diri darinya. "Apa Tiana nggak salah dengar? Ega bukan anak kandungnya Om Bram?" Jauh di dalam lubuk hatinya, Tiana berdoa kalau tadi dia hanya salah mendengar.

Ayah Tiana menjilat bibirnya, kemudian menggeleng pelan. "Itu bukan urusan kamu, Sayang. Jadi, nggak usah dipikirin, ya," katanya seraya mengusap lembut kepala Tiana.

"Tiana harus cari Ega, Yah."

Ayah Tiana menggeleng keras. "Nggak, Tiana! Ini sudah malam."

Tiana mengambil langkah mundur untuk menjauhi ayahnya. "Maaf, Yah, tapi Tiana nggak bisa ngebiarin Ega sendiri sekarang. Ega butuh Tiana saat ini."

Ayah Tiana menatap dengan penuh peringatan tajam. Ini adalah kali pertama dia melakukannya untuk memperingati sang putri agar tidak membantahnya.

"Maafin Tiana, Yah." Gadis itu mengucapkannya dengan setengah bisikan yang penuh sesal. Kemudian berlari meninggalkan sang ayah, yang saat ini sedang memanggil namanya dan memintanya untuk tidak pergi.

Sekarang Tiana tahu kenapa Ega tiba-tiba pulang, padahal laki-laki itu berada di rumahnya tadi belum sampai 10 menit. Sang ayah tadi hanya mengatakan kalau Ega pamit pulang karena ada urusan mendesak dan sekarang Tiana tahu urusan apa yang mendesak itu.

Ketika Tiana mencoba untuk meneleponnya, Ega sama sekali tidak bisa mendengar dering handphone-nya karena teriakannya jauh lebih kencang sekarang.

Laki-laki itu melajukan motornya dengan kecepatan penuh, diiringi teriakan yang membelah langit malam. Ega melampiaskan kemarahannya, membiarkan tenggorokannya seperti dirobek saat puluhan teriakan yang penuh air mata dia lepaskan.

Bahkan puluhan teriakan saja tidak membuat Ega lega sekarang. Hatinya masih dipenuhi dengan rasa sakit ketika dia mendengar semua kebenaran itu dari papanya. Bagaimana mungkin orang yang dia sayang, justru malah menjadi pihak yang menyakiti dari orang-orang yang dibencinya selama ini?

Tidak! Ega masih tidak bisa menerima semua kebenaran itu. Baginya, sang mama bukanlah orang jahat seperti yang diceritakan papanya tadi. Ega mengenal mamanya dengan sangat baik dan tidak mungkin mamanya melakukan hal seperti itu di masa lalu.

Selama Ega mengamuk di jalanan, selama itu pula hatinya merasakan tusukan yang begitu menyakitkan hingga membuat dadanya sesak. Laki-laki itu hampir tidak sadarkan diri sekarang karena tidak mempertimbangkan nyawa-nyawa lain yang ada di jalanan yang sama dengannya saat ini.

Kalau laki-laki muda itu kecelakaan, bukan hanya dirinya saja yang terluka, tetapi pengendara lain juga. Namun, jelas pikiran Ega tidak dipenuhi dengan kepedulian seperti itu saat ini.

Motornya dia parkirkan sembarangan ketika sampai di pemakaman. Ya, memangnya ke mana lagi Ega akan pergi untuk mengadu, selain ke batu nisan mamanya? Ega memeluk erat makam mamanya dan menangis di sana.

"Ma, please, bilang sama Ega kalau apa yang papa ceritain itu semuanya nggak benar. Papa bohong, kan, Ma? Mama nggak mungkin ngelakuin hal kayak gitu, kan?" Ega menangis sesenggukan, memohon pada mamanya untuk diyakinkan. "Ma, jawab Ega!"

Oh, betapa menyedihkannya Ega saat ini karena harus memohon di makam mamanya dengan tangisan yang menyayat hati.

Tidak peduli seberapa keras dia berteriak dan memohon untuk diberikan penjelasan, laki-laki itu tidak akan mendapatkan apa pun.

"Mama, jawab Ega! Bilang sama Ega kalau papa bohong!" Ega masih memaksa mamanya untuk menjawab. Dia bahkan memukul batu nisan sang mama untuk membangunkan wanita itu. "MA, JAWAB!"

Ega mengamuk di makam mamanya. Hal yang tidak pernah dia bayangkan akan dilakukannya, bahkan saat dia hampir mati saat memikirkan masalahnya dan Tiana.

Ega tidak bisa berhenti memukul batu nisan mamanya untuk membangunkan wanita itu. Bahkan jika tulang-belulang yang berbicara padanya, Ega bersedia untuk mendengarkan.

Namun, sampai tangannya berdarah sekalipun, dengan pita suara yang sepertinya hampir robek, Ega masih tidak mendapatkan jawaban. Kemarahannya saat ini tidaklah berguna. Rasa sakit di hatinya tidak berkurang sedikit pun, bahkan ketika tangannya terluka parah.

"EGA!"

Suara itu beradu dengan teriakan yang baru saja Ega lepaskan. Tubuhnya jatuh di atas makam karena lelah mengamuk. Tangannya seperti mati rasa sekarang, tetapi tidak membuatnya berhenti untuk memohon.

"Ma, please, bilang sama Ega kalau papa bohong." Ega memohon nyaris tanpa suara. Tenggorokannya terasa begitu perih sekarang. Namun, rasa sakit di hatinya saat ini tidak sebanding dengan rasa sakit mana pun yang pernah dia rasakan di sepanjang hidupnya.

Ega kembali mengamuk ketika tidak mendapatkan jawaban yang sangat dia butuhkan. Tangannya kembali dipukulkan ke batu nisan secara bergantian.

Kalau sebelumnya Tiana tidak bisa menghentikan Ega yang mengamuk pada Rafael, kali ini Tiana bisa melakukannya. Gadis itu menarik paksa tubuh Ega yang sedang mengamuk dan memeluknya erat-erat dari belakang.

"Ga, udah, cukup! Jangan nyakitin diri lo lagi!" Tiana berteriak, mencoba menarik kesadaran Ega yang jelas sedang tidak ada dalam genggaman.

Sebenarnya Ega bisa saja melepaskan dirinya dari Tiana, tetapi laki-laki itu masih sadar untuk tidak melakukannya karena tidak ingin menyakiti Tiana. Jadi, dia membiarkan tubuhnya dipeluk dari belakang sementara dia menjatuhkan tubuh pada tanah di depannya.

Diam-diam Tiana menangis melihat keadaan Ega saat ini. Laki-laki itu sangat menyedihkan sekarang karena menangis seperti orang yang baru saja kehilangan dunianya.

Ini bukan kali pertama Tiana melihat Ega menangis, tetapi kali ini rasanya sungguh menyakitkan. Sampai-sampai Tiana merasa bisa mendengar jeritan hati Ega saat ini.

"Ma~" Ega masih memanggil. Tampaknya dia tidak ingin menyerah sampai mendapatkan jawaban yang diinginkan.

Pelukan Tiana tidak bisa mengurangi rasa Ega saat ini, tetapi setidaknya dia bisa memeluk Tiana untuk menggantikan pelukan sang mama yang tidak akan pernah dia dapatkan lagi.

"Gue bukan anak kandung papa, Ta." Ega berbisik dengan kesedihan yang berhasil merobek hati Tiana saat ini. "Gua ada di dunia ini bukan karena keinginan, tapi karena paksaan."

Saat Tiana mengatakan kalau papa Ega mungkin menyayangi Ega dengan cara yang tidak laki-laki itu ketahui, Tiana tidak menyangka kalau kenyataannya akan sepahit ini.

Kalau tahu kenyataannya akan seperti ini, Tiana pasti tidak akan mengatakannya pada saat itu. Dia akan mencari cara lain untuk menghibur Ega.

"Kata papa, bukan Tante Laras yang nyakitin mama, tapi mama yang nyakitin Tante Laras." Ega masih terisak, tetapi tidak menahannya untuk bercerita pada Tiana. "Papa bilang, mama yang ngerebut papa dari Tante Laras."

"Ga, udah, Nggak usah diterusin lagi." Tiana mengatakannya dengan penuh permohonan. Dia tidak ingin Ega menyakiti dirinya sendiri dengan mengungkapkan fakta-fakta yang membuat laki-laki itu terluka. "Lo nggak perlu ngejelasin apa pun sama gue. Silakan nangis sepuasnya. Gue ada di sini buat lo."

Lagi-lagi Ega melepaskan tangisannya dalam pelukan Tiana. Sudah berapa kali Ega menangis di pelukan Tiana? Rasanya sudah terlalu sering, hingga laki-laki itu tidak bisa menghitungnya lagi.

Bukankah Ega terlalu cengeng untuk ukuran anak laki-laki yang senang memberontak? Dalam sebulan ini saja, laki-laki itu menangis sudah lebih dari 3x dan hampir di setiap kesedihannya, selalu ada Tiana di sampingnya.

Ini lebih seperti Ega yang membutuhkan Tiana, dibandingkan Tiana yang membutuhkannya.

Tiana membiarkan Ega menangis. Bahkan ketika tubuhnya dipeluk terlalu kencang, gadis itu tidak melayangkan protes apa pun. Justru malah kata-kata menenangkan yang coba untuk Tiana katakan pada Ega.

Setelah hujan menjadi saksi atas kesedihan Tiana, sekarang hujan pun menjadi saksi atas kesedihan Ega.

Untuk beberapa menit pertama, Tiana membiarkan hujan membasahi tubuhnya dan Ega. Namun, hujan turun semakin deras. Kalau mereka tidak segera berteduh, keduanya bisa saja jatuh sakit besok.

"Ga, ayo, berteduh dulu! Hujannya deras." Tiana bermaksud untuk menarik Ega berdiri, tetapi laki-laki itu seperti memaku tubuhnya ke tanah. "Ega, please! Kalau nggak berteduh nanti lo bisa sakit."

Harusnya Tiana juga mengkhawatirkan dirinya. Namun, melihat bagaimana terlukanya Ega malam ini, Tiana merasa tidak pantas untuk mencemaskan dirinya.

Ega melepaskan pelukannya pada Tiana. Dengan ini, dia mengizinkan Tiana untuk mencari tempat berteduh sementara dirinya menangis di bawah guyuran hujan.

Tiana mencoba untuk menarik Ega berdiri sekali lagi, tetapi laki-laki itu seperti benar-benar menanamkan dirinya ke dalam tanah.

"Ega, ayo! Nanti lo bisa sakit kalau kelamaan kena hujan." Tiana membujuk lagi, kali ini dengan mengangkat dagu Ega agar menatapnya.

Sayangnya, laki-laki itu sedang tenggelam jauh ke dasar diri. Sekarang pandangannya terlihat kosong, tanpa terlihat tanda-tanda pernah ada kebahagiaan yang melimpah di sana.

Tiana merogoh saku mengambil handphone dan mengambil beberapa langkah untuk menjauh. Dia jelas tidak bisa menangani Ega seorang diri saat ini dan membutuhkan bantuan seseorang, Bara.

"Bara, Bara, Bara, please, please, please, please tolongin gue!" Tiana malah terdengar panik ketika Bara menjawab panggilan teleponnya setelah mencoba 3x. "Tolong jemput Ega di makam mamanya sekarang."

"Hah? Hujan-hujan begini ngapain dia ke makam?" Bara terdengar panik. Kursi yang tadi didudukinya juga terdengar bergeser keras. "Lo juga sekarang lagi ada di sana?"

"Tadi ada sedikit masalah di rumahnya, terus Ega kabur ke sini dan sekarang dia nggak mau pulang." Tiana hanya bisa mengatakan sampai sejauh itu. "Bar, please, jemput Ega sekarang. Gue tunggu di sini."

"Oke, oke, gue ke sana sekarang. Gue kabarin anak-anak yang lain juga."

"Makasih, Bar." Tiana terdengar lega. Setidaknya, dia hanya perlu menunggu beberapa menit untuk membawa Ega pulang dari sini.

Namun, siapa yang tahu kalau dalam waktu yang sesingkat itu ,Tiana bisa kehilangan Ega di belakangnya. Gadis itu berani bersumpah kalau dia tidak berbicara dengan Bara lebih dari semenit. Lalu, ke mana perginya sekarang?

"Ega?!" Tiana meneriaki nama laki-laki di tengah derasnya hujan. Tubuhnya berputar untuk mencari, sambil sesekali mengusap wajah guna menyingkirkan air yang menghalangi pandangannya.

Namun, sejauh mata memandang, Tiana tidak menemukan adanya orang lain selain dirinya dan gundukan tanah pemakaman. Meski khawatir, tetap saja Tiana takut juga kalau ditinggal sendirian di tempat pemakaman saat malam hari.

Gadis itu mencoba untuk mencari dengan berjalan keluar dari area pemakaman. Dilihatnya motor Ega masih ada di tempat sebelumnya, tetapi tidak ada sang pemilik. Mau tidak mau, Tiana melangkah lagi menyusuri jalanan basah sambil meneriaki nama Ega.

Rupanya, sosok yang dicari sedang berkeliaran di jalan, sekitar 500 meter dari tempat pemakaman. Langkahnya terlihat goyah dan bergetar karena lelah berlari. Wajahnya pun kosong, seolah-olah saraf di otaknya sudah tidak bekerja lagi.

Harusnya Ega menyeberang saat kendaraan tidak terlalu ramai. Namun, laki-laki itu sedang tidak bisa berpikir sekarang. Jadilah dia menyeberang tanpa melihat kanan dan kirinya.

Suara klakson yang merupakan protes atas aksi menyeberang Ega yang sembarangan jelas tidak laki-laki itu pedulikan. Dia terus saja berjalan tanpa tahu kalau nyawanya sedang melayang-layang.

"EGA, AWAS!"

***

Alasan kenapa Bara tuh ngejaga Ega banget biar nggak patah hati, ya karena Ega tuh kalau udah patah hati begini, gaes. Sukanya kabur-kaburan. Nyusahin pokoknya 😭😭😭😭

Tapi untungnya sekarang tuh udah ada Tiana. Kalau nggak ada Tiana dijamin pasti Ega tidur di makam lagi semalaman.

20Agustus 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro