Bab 28 "The Deepest Desire"
Puluhan pohon tumbuh dan tumbang. Semuanya berlanjut hari demi hari tanpa henti. Satu hutan penuh dengan pepohonan tidak bisa meredakan api yang berkobar di hati, tidak akan hilang sampai membakar sesuatu hingga habis.
Aku menembakkan bola energi hijau ke lantai. Sebuah pohon besar seketika tumbuh menjulang hingga ke langit-langit penjara yang terbuat dari kayu ini. Energi yang sama pekatnya kuluncurkan ke arah pohon, membentuk puluhan sulur yang mengikat kuat. Batang besar pohon terbelah akibat kencangnya ikatan sulur. Pohon entah apa jenisnya itu timbang ke lantai, menimbulkan bunyi dentuman kencang.
"Mau sampai kapan kau melakukan itu, Nak?" Suara lembut seorang wanita muncul setelah dentuman. Wanita yang sama, orang yang telah menyelamatkanku itu berjalan ke arahku dengan anggun. Ratu Adrysia membentuk sebuah bola energi hijau pekat mendekati hitam yang langsung diluncurkannya ke batang pohon yang baru saja tumbang. Tak lama kemudian, pohon itu membusuk menjadi kayu lapuk dan hancur menjadi tanah.
Aku mendengkus, kembali melanjutkan kegiatan menembakkan energi hijau. "Ini bukan urusan Anda, Yang Mulia."
"Semua yang berkaitan dengan Dryad, maka itu merupakan urusanku." Ratu Adrysia berdiri di sampingku. Ia membelai kepalaku pelan, membuat rambut coklat tembagaku semrawut—mungkin. Rambut Sang Ratu yang sewarna dengan rambutku menyentuh bahu yang lebih pendek darinya—aku. "Perasaan yang sedang kau alami ini, penyebabnya adalah aku."
"Bukan Anda yang memerintahkan mereka untuk membunuh." Aku membalas dengan ketus. Selama ini, dia hanya berdiam di penjara. Mana mungkin semuanya itu salah Sang Ratu? Dia hanya berdiam diri, tak berdaya untuk membela kaumnya.
Bola energi hijau meledak di alas ruangan, memunculkan satu pohon besar yang tingginya hampir menyentuh langit-langit. Sulur-sulur mengikat tanaman yang baru tumbuh itu, mencoba menghancurkan dengan ikatan kencang. Bukannya tumbang, pohon itu malah membusuk bersama dengan sulur yang melilit. Kedua tanaman itu berubah menjadi tanah, berakhir sama dengan pepohonan lain yang kutumbangkan.
Aku menoleh ke samping, tentu saja yang tadi itu ulahnya. Siapa lagi yang bisa membusukkan tumbuhan dengan instan jika bukan Dryad terkuat, Ratu Hutan Dryad sebelumnya, Yang Mulia Ratu Adrysia?
Ratu Adrysia menurunkan tangannya ke paha. Dia berpindah ke depanku, menghalangi pandangan ke tanaman yang sudah menjadi tanah itu. Kedua tangan putih cerah miliknya ditempatkan di bahuku yang penuh keringat akibat mengeluarkan energi terus menerus. Sepasang mata hijau tua menatapku lekat, tidak teralihkan ke arah lain.
"Kau tahu hanya aku yang bisa melakukan perubahan di Hutan Dryad, tetapi tidak mempercayaiku untuk menampung segala masalahmu." Wanita itu berucap lirih mirip berbisik. Setetes air jatuh dari mata indah Sang Ratu, melewati pipi berona kemerahan hingga terjun ke lantai. Tetesan lainnya menyusul, yang dibarengi isakan pelan dari bibir. "Ceritakanlah, Nak."
Aku berbalik, membelakangi orang yang merupakan mantan Ratu Dryad itu. Apa gunanya menceritakan itu kepada orang asing? Meskipun aku menceritakannya, apakah dia akan kembali hidup? Mustahil, meski ini di tempat yang memiliki sihir. Lagipula kekuatan Dryad bukanlah membangkitkan orang yang sudah mati. Dryad bukan makhluk yang bisa mengembalikan jiwa yang telah pergi ke Alam Baka.
"Aku memang tidak bisa membangkitkan beliau, Nak." Ratu Adrysia berkata sambil terisak. Tetesan air masih keluar dari kedua matanya. "Namun, menanggung sendirian sebuah kesedihan itu buruk untukmu."
Dia benar, aku sendirian. Tidak punya teman, kedua orang tuaku sudah tiada—jika ibuku sudah kehabisan energi. Siapa yang dapat kujadikan tempat mencurahkan isi hati? Apa kepada pohon yang sudah berubah jadi tanah itu? Atau kepada Ratu Dryad yang tidak bisa menyelamatkan kaumnya sendiri? Keduanya bukan tempat yang tepat.
Setidaknya Ratu Adrysia satu-satunya makhluk yang bisa kuajak bicara. Pilihan yang tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan pohon yang telah membusuk.
"Duduklah, Nak." Sebuah bangku mirip dengan bangku taman terbentuk di depan kami. Sang Ratu, orang yang membuat itu, duduk terlebih dahulu. Aku mengikutinya, duduk di samping Ratu Adrysia.
Apa yang harus kuceritakan, ya? Mendadak semua kejadian itu seperti hilang dari kepala. Tidak hilang, tapi sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seperti mencabut batang tanaman yang dipotong yang kemudian ditanam dengan cara stek. Belum ada akar, tidak berdaun, tapi masih segar dan hijau.
"Aku tahu, itu mungkin berat." Sang Ratu memegang bahuku erat. Sebuah kehangatan mendadak muncul di hati, entah energi macam apa yang dikeluarkannya. Ratu Adrysia kemudian melanjutkan perkataannya. "Ceritakan kejadian setelah kau berpisah dengan Amy."
Nona Amy, ya?
Aku berusaha mengingat kejadian yang sudah lebih dari satu bulan berlalu. Ingatan itu masih segar, tapi sulit untuk diungkapkan. Sedikit pancingan dari Sang Ratu membawa pencerahan. Kejadian itu, kata-kata yang membuatku bingung semalaman.
"Dia pergi setelah mengatakan bahwa 'mereka' akan muncul untuk mencariku. Di malam harinya, pepohonan sudah tumbuh memenuhi kebunku. Pohon itu ada yang bertuliskan 'kami telah menemukanmu', begitulah.
"Keesokan harinya saat sore hari, aku pulang setelah sekolah. Keadaan rumah tidak seperti biasa. Aku masuk dengan perasaan buruk. Ternyata perasaanku itu benar, ayahku … ayahku tewas terjatuh d-dari ketinggian karena enam D-dryad yang muncul."
Air mata tak lagi tertahan. Tetesannya bahkan sampai membasahi celana kulit pendek yang kukenakan. Bayangan kejadian itu kembali terputar di kepala. Masih membekas dengan jelas rintihan orang yang sudah merawatku dari kecil. Sebuah sulur hijau mengikat leher, tangan, dan kakinya hingga tidak bisa bergerak. Suara dentuman pelan dan retakan tulang membuat hati teriris. Tidak ada darah, tidak ada luka. Dia tewas seketika karena ulah jahat anak buah Sang Ratu Dryad yang kejam.
"Aku mengerti apa yang kaurasakan, Nak." Tangan halus Sang Ratu mengelus kepalaku pelan. Tubuh Ratu Adrysia bergetar, suaranya parau. "Ibuku juga dahulu dibunuh tepat di depanku, dibakar hidup-hidup oleh para manusia."
Dibakar hidup-hidup?
"Itulah penyebab adikku menjadi seperti sekarang. Manusia hanya bisa merusak, katanya. Namun aku tidak setuju dengan pendapatnya."
Aku mengusap air mata yang mengalir dengan tangan. "Me-mengapa bisa b-begitu?" Aku bertanya dengan terbata, tidak bisa menghentikan kesedihan yang meluap. Kenyataan bahwa Ratu Adrysia tidak menyimpan dendam kepada manusia bertolak belakang dengan adiknya yang sangat benci kepada mereka. Kehilangan seseorang yang berharga akan mengguncang jiwa. Dendam akan membara di hati, membakar sang penanggung dan musuhnya. Mana ada seseorang yang tidak bersedih dan marah karena penyiksaan terhadap orang yang dia sayangi?
"Tidak semua manusia itu perusak alam dan pendendam, Nak." Ratu Adrysia berkata dengan suara yang parau. Dia mengelap air mata dengan tangannya, kemudian melanjutkan ucapan yang sempat terhenti. "Aku sudah bertemu dengan seorang manusia di Dunia Luar, pria baik hati yang tak peduli siapa aku sebenarnya."
Manusia dari Dunia Luar? Dari dunia yang sudah modern?
"Persatuan kami berdua meredam permusuhan untuk sementara. Kami berdua menikah, tetapi kami ditentang oleh Kaum Dryad yang berpikir bahwa garis keturunan Dryad sudah tidak murni lagi. Namun aku tidak mempedulikan. Aku segera membuat perjanjian damai dengan Kerajaan Elenio. Sayangnya, penolakan Dryad semakin kuat dan kudeta pun terjadi."
Aku tidak paham mengapa Ratu Adrysia lebih memilih perdamaian daripada dendam. Apa yang dia pikirkan?
"Aku yang saat itu baru melahirkan seorang anak laki-laki mencoba menyelamatkan suami dan anakku. Mereka pergi ke Dunia Luar, sedangkan aku terjebak di sini entah sampai kapan."
Kelanjutannya aku tahu. Para bawahannya mencoba untuk membebaskan Sang Ratu. Namun anehnya, kenapa aku diperingatkan oleh Nona Amy dan Nenek Dryopea? Bukankah aku hanya anak manusia setengah Dryad yang terlahir dari bawahan Ratu Adrysia? Apakah itu ada hubungannya dengan ibuku?
"Apakah Anda tahu siapa ibu saya sebenarnya?" Untuk menghilangkan keraguan, aku bertanya pada Pemimpin Hutan Dryad itu. Menyelamatkan anak buah disaat dirinya sendiri terjebak dan bisa mati kapan saja, tidak masuk akal. "Dia salah satu anak buah Anda?"
Ratu Adrysia mengangguk dan menggeleng. Dia kemudian berucap, "Aku tahu siapa ibumu, Nak. Dia bukanlah anak buahku."
"Lalu siapa ibuku itu?" Kupikir Ratu Dryad akan mengetahui tentang semua warganya. Jika bukan anak buah Sang Ratu, sebenarnya ibuku itu siapa?
"Dia ada di sampingmu, Nak."
__________________________________
Bogor, Rabu 22 November 2023
Ikaann.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro