Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14

Seenggaknya kalau mau suka sama yang lain tuh mbok ya carinya yang lebih ganteng dari gue.

— Mandala Deryaspati

***

Jangan tanya gimana perasaan Dery naik mobil sebelahan sama calon mertua dari rumah sakit ke sekolah. Memang sih, yang nyetir Om Kun dan teknisnya, Om Kun itu supir keluarga Dery. Tapi nggak tahu kenapa malah Dery yang segan. Saking kikuknya, sebelum naik mobil, dia hampir saja lepas sandal, lalu membungkuk dan bilang 'nuwun sewu'.

Jef lebih banyak diam, sibuk menatap keluar kaca mobil sambil menggigiti kuku jari tangan kanannya. Dery memperhatikannya beberapa lama, kemudian menarik napas panjang. Kelihatannya Jef sedang bingung dan merasa tidak nyaman. Kenapa dia bisa menebak begitu? Soalnya, Sashi juga punya kebiasaan yang sama. Tiap kali terjebak dalam situasi yang tidak menyenangkan buatnya, Sashi pasti akan nggragas menggigiti kuku jari tangan kanannya sendiri. Sudah tidak terhitung berapa kali Dery mendengar Pat memarahi Sashi gara-gara kebiasaannya yang satu itu.

Sekolah masih ramai oleh orang saat mereka tiba. Mudah diduga sebetulnya, sebab insiden yang baru terjadi pasti tengah menjadi buah bibir diantara orang-orang sekota. Apalagi sekolah mereka adalah sekolah swasta yang memang terkenal dihuni oleh anak-anak orang berpunya. Masih ada sejumlah petugas kepolisian di lokasi, juga beberapa orang yang membawa kamera disertai dengan ID pers melekat pada badan mereka.

Jef mencoba membelah kerumunan tanpa menarik terlalu banyak perhatian, walau kelihatannya itu percuma. Postur tubuhnya yang tinggi dan tipikal wajahnya yang langsung mencolok diantara keramaian berhasil membuat sejumlah kepala tertoleh. Ada satu-dua wartawan yang mendekat, bermaksud meminta kesediaannya untuk diwawancara yang tentu saja langsung lelaki itu tolak.

Dery berinisiatif maju lebih dulu, kontan merasa lega tatkala dia berjumpa dengan salah satu petugas kepolisian tanpa seragam yang dia kenal. Dery kenal bukan karena dia pernah terjaring razia apalagi menghabiskan malam di penjara ya. Petugas kepolisian itu adalah salah satu kawan dekat Yang Mulia Tedra Sunggana.

"Om Anwar, aku boleh masuk nggak?" Dery bertanya tiba-tiba usai mereka basa-basi dan saling sapa.

"Wah, susah. Soalnya TKP sudah dibatasi garis polisi."

"Sebentar aja. Ada barangnya teman aku yang kayaknya ketinggalan di dalam."

"Hm... gimana ya?"

"Sebentar aja. Penting banget, Om..." Dery merayu, lalu mencondongkan badan dan bicara dengan suara yang direndahkan. "Handphonenya temanku kayaknya ada di dalam. Orangnya lagi di rumah sakit sekarang. Luka. Isi handphonenya penting, foto-foto sama mamanya dan mamanya baru meninggal, Om. Atau kalau masih nggak bisa juga, Om nego sama Papa mau nggak?"

Wajah Anwar langsung berubah. "Wah... mana bisa Om nego sama Tedra. Yaudah, kamu masuk nggak apa-apa. Kamu aja loh ya. Nggak boleh lama-lama!"

"Siap, Om!" Dery berseru sigap sembari berpaling pada Jef yang telah berdiri di dekatnya dan Anwar selama sejenak. "Om Jeffrey tunggu di sini ya. Biar saya yang masuk."

"Kalau kamu nggak bisa nemuin handphonenya, mending nggak usah temenan lagi sama Acacia."

"Loh, ini Jeffrey Gouw yang bintang iklan Indomie itu bukan sih?" Anwar malah salah fokus, bikin Jef meringis. Dery memanfaatkan situasi untuk ngacir melewati batas garis polisi yang telah terpasang. Jef kian dibuat tak berkutik saat Anwar mendekat, lalu menyalaminya seraya tersenyum lebar.

"Iya." Jef akhirnya membalas sekenanya.

"Wah, minta foto boleh nggak? Istri saya penggemar berat sampeyan loh."

"Hng... di sini?"

"Iya. Nggak apa-apa ya? Cuma buat dikirim ke istri saya aja, kok. Dia pasti iri kalau tahu saya ketemu sama idolanya."

"Oh... yaudah... boleh..." Jef salah tingkah, bingung harus memasang pose yang bagaimana ketika Anwar mengeluarkan ponsel. Mereka mengambil empat gambar—katanya sih biar gampang kalau mau di-college.

Jef baru bisa bernapas lega waktu Dery keluar dengan sebuah ponsel di tangan. Layar ponsel itu sudah retak dan ada bekas hangus di bagian belakangnya. Dia langsung memberondong Dery dengan tanya.

"Gimana handphonenya?"

"Ketemu." Dery menunjukkan ponsel tersebut agar kelihatan lebih jelas dan Jef baru tersadar, di balik case bening—yang bagian tepinya telah banyak meleleh—terselip selembar foto. Foto yang tampak di sana adalah foto Sashi bersama Tris dan Jo. Dalam hitungan sepersekian detik, ada rasa cemburu yang meninjunya tepat di ulu hati. "Tapi kayaknya udah mati dan waktu saya coba nyalain, nggak bisa. Mungkin rusak. Nanti saya coba bawa ke—"

"Biar saya aja." Jef merebut ponsel itu dari tangan Dery. "Kalau datanya masih bisa diselamatkan, nanti saya yang kasih ke Acacia."

"Emang berani? Nanti berantem lagi."

"Kamu nggak usah sotoy!" Jef merasa ter-to-ho-que.

Dery mengangkat bahu. "Oke. Berarti ultimatum Om nggak jadi ya?"

"Ultimatum apa?"

"Om bilang kalau saya nggak bisa nemuin handphonenya, saya nggak usah temenan lagi sama Acacia."

Jef mengibaskan tangan, ogah ambil pusing. "Terserah lah."

Dery terkekeh diam-diam sambil meraba kepalanya yang rada berdenyut. Sebenarnya, mencari ponselnya Sashi itu butuh perjuangan ekstra. Ruangannya gelap karena tidak ada penerangan, belum lagi benda hangus yang berserakan. Suasananya pengap, dengan bau benda terbakar yang menyengat. Dery harus mencari sampai ke kolong pantry dengan bantuan senter ponsel sampai-sampai jidatnya membentur tepi meja.

Untung aja nggak benjol, bisa-bisa Yang Dipertuan Agung Tedra Sunggana langsung mendatangkan tim dokter dari Jepang.

Jef dan Dery baru bermaksud kembali ke parkiran sekolah saat mereka berpapasan dengan Ojun. Ojun kelihatan pucat dan ada perban melilit sepanjang lengan kanannya. Dia tersentak waktu melihat Dery dan mengajak bicara lebih dulu.

"Mandala!"

Dery menoleh, bermuka masam sedikit. Gimana ya namanya juga ketemu sama saingan dalam masalah romansa. Tentu kalau tidak salty, bukan keturunan Tedra namanya. "Tangan lo kenapa?"

"Nggak apa-apa. Lo tahu keadaan Sashi gimana?" Ojun kelihatan sangat cemas. "Gue dikasih tahu kalau Sashi luka dan udah di bawa ke rumah sakit, cuma rumah sakitnya beda dengan rumah sakit korban lain. Dia nggak apa-apa, kan?"

"Sashi luka."

Ojun mengerjapkan mata berkali-kali, menelan ludah. Jef mengamati perubahan ekspresi wajahnya, diam-diam menilai jika Ojun tampak cool bahkan saat lagi ketar-ketir. Tidak heran jika Sashi memandangnya dengan tatapan lembut yang bahkan bikin Jef sempat iri. "Terus gimana sekarang keadaannya?!"

"Baik-baik aja."

"Tapi gue nggak bisa hubungin dia. Gue udah takut dia kenapa-napa."

"Handphonenya hilang." Dery menjawab alakadarnya. "Lagian lo juga, sih! Lo kan panitia buat kontes masak! Kenapa nggak dicek dulu? Bisa-bisa sampai ada miss yang makan korban kayak gini."

Jef manggut-manggut secara refleks, sepenuhnya setuju pada omelan Dery. Ojun selaku sasaran omelan langsung memasang wajah tak enak. Penyesalan yang berbaur dengan nuansa muram mewarnai matanya.

"Iya. Gue tahu ini salah gue. Gue tahu minta maaf juga nggak akan berdampak banyak, nggak akan bikin yang meninggal hidup lagi dan yang luka jadi baik-baik aja." Ojun menarik napas, tampak berusaha menegarkan diri. "Salamin ke Sashi ya. Maaf gue belum bisa besuk, situasi di sini belum kondusif."

"Santai, ada gue."

Reaksi Jef jilid satu:

Ojun mengangkat alis. "Makasih udah jagain dia, nanti kalau di sini udah bisa ditinggal, gue bakal kesana."

Reaksi Jef jilid dua:

"Oh, nggak usah."

Rasanya Jef kepingin gelar ring tinju dadakan. Namun dia diam saja, memilih melangkah pergi lebih dulu sehingga Dery dibikin tergopoh mengejar langkahnya. Tak berapa lama, keduanya tiba di parkiran. Lagi dan lagi, Dery harus mengetuk kaca untuk menyadarkan Kun yang sekarang lagi sibuk menggelar konser bertemankan lagu Firasat versi yang dinyanyikan Raisa.

Om Kun berusaha professional, walau pada sebuah persimpangan jalan, Dery tiba-tiba bertanya. "Om lagi suka karaokean ya sekarang?"

"Emang kenapa?" Kun melirik dari rear-view mirror.

"Soalnya tiap Mama atau aku nyamperin, Om lagi konser melulu."

"Sepurane, Mas Mandala. Next time nggak lagi."

"Nggak gitu. Ngomong aja ke Papa. Sapa tahu Om dikasih tunjangan bulanan khusus untuk karaoke." Dery mengedikkan bahu. "Tapi lebih bagus kalau mau ke-gap Papa, Om lagi karaokean lagunya Didi Kempot. Papa pasti senang. Jangankan tunjangan karaokean, bisa-bisa satu Inul Vista ganti nama jadi Kun Vista."

Kun tertawa gugup, sedangkan Jef diam saja, ogah turut campur tertawa pada selera humor Keluarga Sunggana yang menurutnya aneh. Dia menatap ke luar jendela, pada hujan yang kini turun rintik-rintik. Airnya menitik ke jendela, bikin Jef kelihatan seperti lagi bikin video klip.

"Om."

Maksudnya Dery tuh manggil Jef, tapi yang menyahut malah Kun. "Ya, Mas?"

"Bukan Om Kun, tapi Om Jeffrey."

Jef menoleh sedikit. "Apaan lo panggil-panggil?"

"Sashi itu kayak buah duren. Di luarnya berduri dan tajem, tapi di dalamnya soft dan gampang mblenyek. Anak yang barusan papasan sama kita tadi itu... Sashi suka dia dari kelas satu. Sashi suka tanaman, tapi nggak pernah berhasil kalau menanam apapun, pasti mati. Sashi nggak jago masak, tapi mi goreng buatan dia menurut saya mi goreng paling enak sedunia. Sashi ulang tahun besok, tapi dia nggak suka surprise. Sashi dekat banget sama Tante Patricia dan walau dia nggak sedekat itu sama papinya, saya rasa dia sayang banget sama Om Joshua. Sashi juga nggak suka warna pink. Dia nggak suka dilarang, apalagi diajak debat. Sashi alergi kacang, tapi dia suka es krim mochi rasa stroberi."

Jef mengernyit pada Dery. "Maksud kamu apa bilang gitu?"

"Biar Om bisa lebih kenal sama Sashi? Om sayang kan sama dia?"

Jef buang muka seketika, berusaha menyembunyikan rona merah yang kini menjalari wajah serta kedua telinganya.

"Sashi cuma butuh waktu. Semua yang baru terjadi, mulai dari Tante Patricia yang pergi sampai kehadiran Om yang tiba-tiba bukan sesuatu yang bisa dia terima dan dia anggap wajar dalam waktu singkat. Dia seperti nggak dikasih kesempatan untuk berduka. Orang-orang langsung berekspektasi dia baik-baik aja." Dery tersenyum sedikit, entah kenapa setiap membicarakan Sashi, ada sesuatu yang melembut dalam dirinya. "Sashi kelihatan keras kepala di luar, soalnya dia gengsian. Dia nggak mau orang-orang ngelihat dia lemah. Dia juga bukan jenis orang yang gampang percaya. Buat Sashi, eksistensi dirinya itu penting. Menurut Om, apa yang dia rasa ketika dia tahu kalau dia bukan anak kandung Om Joshua? Juga ada kemungkinan kalau dia nggak pernah diinginkan sama sekali..."

"..."

"Saya nggak ngomong gini buat menggurui Om, kok. Cuma saya melihat gimana cemasnya Om tadi waktu bawa Sashi keluar dari ruangan. Sashi butuh waktu buat ngerti dan menerima rasa sayang yang Om punya buat dia."

"Udah?"

"Udah, Om."

"Nggak sekalian kamu tambahin 'wabillahi taufiq wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh'?"

"Hehe, nggak, Om."

"Saya appreciate keberanian kamu ngomong gitu ke saya, tapi mbok ya kamu tuh ngaca. Kamu sendiri aja cuma bisa ambyar sendirian di belakang dan nggak berani nunjukkin sayang kamu ke dia, jadi ndak usah sok-sok-an ngajarin saya. Clear?"

Dery mati kutu. "Sepurane, Om." (Maaf, Om). 

"Next time kowe sok tahu lagi kayak tadi, tak pertimbangin jadi mantu kowe."

Dery tersedak, begitupun Kun yang langsung berdeham, pura-pura batuk. "Apa, Om?!"

"Halah. Nyatane dudu uthekmu tok seng pentium siji. Kupingmu podho wae." (Halah, ternyata bukan cuma otakmu doang yang pentium satu. Kupingmu sama aja). 

Dery mengabaikan cercaan Jef, malah melihat ke jendela sambil tersenyum-senyum sendiri.

YES, RESTU MERTUA NOMOR SATU SEPERTINYA SUDAH TERGAET.

*

Jef sengaja meminta Dery mengantarnya ke apartemennya, bukannya kembali ke rumah sakit sebab dia masih punya satu tugas yang belum selesai; membuat cake. Dalam beberapa jam lagi, hari akan berganti. Seperti yang Jef katakan pada Jennie sebelumnya, bukan hanya Tris, Jef juga akan membenci dirinya sendiri jika dia tidak membuatkan kue untuk ulang tahun Sashi tahun ini.

Tangan kanannya masih sakit, penuh dengan memar yang warnanya telah menggelap dan luka lecet yang ternodai oleh cairan obat merah, namun Jef tidak peduli. Lelaki itu membuka semua perban dan kassa yang membalut lukanya, kemudian mencuci bersih kedua tangan hingga yang tertinggal hanya memar serta garis-garis merah akibat tergores pecahan kaca. Luka terbuka itu lantas dia tutup dengan plester.

Kesunyian apartemennya terpecah oleh suara tepung, gula, cokelat bubuk, baking soda, baking powder dan entah apa lagi yang dia masukkan ke dalam mixing bowl. Jef mengeluarkan mixer, mengaturnya dengan cekatan dan mencampurkan semua bahan menggunakan mode low speed hingga semua bahan tersebut tercampur rata. Bahan-bahan berikutnya yang turut masuk ke dalam mixing bowl adalah telur, buttermilk, air hangat, cuka hingga pewarna makanan. Dia membagi tiga adonan yang telah dibuat dan mengecek ulang loyang yang sebelumnya sudah dilapisi mentega.

Jef mungkin bukan pria sempurna di dunia nyata, terutama dalam masalah cinta. Ada banyak situasi berantakan yang membuat Jennie terpaksa turun tangan buat menyelesaikannya. Tapi di dapur, Jef adalah chef penuh talenta yang mampu bekerja dalam waktu singkat tanpa membuat stationnya tak beraturan. Jarum pendek jam dinding baru mulai merambat melewati angka sebelas saat Jef menyelesaikan kuenya, sempurna dengan frosting yang melekat rata, dengan crumble merah memenuhi bagian putih dan garnish kepingan cokelat persegi dengan serentetan tulisan di atasnya; happy birthday.

Dia menatap kue buatannya sebentar, lalu menarik napas panjang. Jef bukan orang yang religius. Dalam masa-masa tersulit dalam hidupnya sekalipun, bisa dihitung jari kapan dia pernah betul-betul mengingat Tuhan. Tapi sekarang, sesuatu menggerakkan dirinya, membuatnya mempertemukan kedua tangannya dan membentuk sebuah kepalan.

My daughter, on your birthday, I pray that the Heavens bless you with the most important thing in this world. May the Lord bless you with prosperity and long life. May your heart and soul always know nothing but true happiness.

Usai membisikkan doanya dalam kesunyian, Jef membuka mata. Dia meraih ponselnya yang sengaja dia tinggalkan di sisi lain konter untuk bertanya soal Sashi pada kedua orang tuanya yang masih berada di rumah sakit. Jawabannya datang tidak sampai setengah menit kemudian. Ibunya bilang, anak itu sudah tidur.

Bagus, jadi Jef bisa meletakkan kue itu di sisi tempat tidurnya tanpa perlu dihinggapi gengsi. Namun Jef tidak langsung beranjak dan pergi ke rumah sakit. Dia memutuskan mendiamkan kuenya di freezer sejenak, memastikan kalau frostingnya sudah benar-benar solid. Sambil menunggu, Jef mengecek lagi ponsel Sashi yang rusak. Dia mencoba mengisi ulang daya ponsel itu, tapi tidak ada yang terjadi. Sepertinya, ponselnya betulan rusak.

Jef menyimpannya lagi, ganti memainkan ponselnya sambil melekatkan punggung pada sandaran sofa. Jarinya menari di layar, iseng membuka direktori penyimpanan foto-foto dan hanya begitu saja, tanpa sengaja dia menemukan foto Sashi dan Tris yang di-screenshootnya dari akun Instagram Sashi tempo hari. Dalam foto itu, keduanya sedang duduk bersebelahan, mengenakan baju berwarna senada yang membuat mereka lebih terlihat seperti kakak-adik daripada ibu dan anak. Tidak ada yang menatap ke kamera. Sashi dan Tris sama-sama terfokus pada semangkuk es serut warna-warni di depan mereka, tersenyum.

Senyum yang betul-betul serupa.

"Pretty." Jef bergumam, berpikir sejenak sebelum dia memilih serangkaian langkah yang berujung pada satu opsi.

Malam itu, foto tersebut jadi lockscreen ponselnya.

*

Apa benar, keracunan sabun pencuci piring bisa bikin tidur orang jadi lebih lelap sampai-sampai seperti mati?

Tanya itu tidak bisa pergi dari benak Coky setelah lima alarm yang dia setel seperti tidak ada efek apa-apa padanya pagi ini. Jadilah karena itu, Coky harus belingsatan kesana-kemari supaya tidak terlambat menjemput Jef pagi ini. Coky bisa jadi bukan manajer paling waras di dunia, tapi dia adalah salah satu manajer paling berdedikasi. Busa sabun belum bersih dari telinga pun dia sudah tancap gas dari rumah demi menjemput artis asuhan tercinta.

Seakan itu semua belum cukup untuk mendramatisir pengabdian Coky yang tanpa tanda jasa pada Jef, Coky masih harus meladeni banyak telepon sepanjang perjalanannya dari apartemennya ke rumah sakit. Semua gara-gara Jef ngotot buat me-reschedule segala jadwalnya mulai dari kemarin hingga waktu yang tidak dapat ditentukan. Alasannya sih sudah ketemu, tinggal bilang saja kalau Jef cedera akibat insiden yang terjadi di sekolah kemarin sore. Masalahnya ya mengatur reschedulenya itu.

Menilik dari bagaimana perhatiannya Jef pada Sashi—walau ditutup mati-matian oleh gengsi—Coky menebak Jef pasti menginap di rumah sakit. Maka dia langsung bertolak ke sana. Untung saja, meski kelakuannya kerap mengundang pertanyaan khalayak, muka Coky tidak zonk-zonk amat, jadi dia tidak dicurigai dan dibiarkan saja melenggang menuju lift yang akan membawanya ke lantai atas.

Tapi seperti kata sinetron Hidayah, selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Coky baru menekan tombol lantai pada panel lift ketika ada tiga orang lain yang masuk—salah satunya adalah gadis berambut panjang yang Coky lihat kemarin alias calon yeobonya di maa depan.

Hari ini, dia cantik serupa bidadari dengan rok jeans dan sweater lengan panjang yang digulung sampai ke siku. Rambutnya diikat satu, bikin dia kelihatan seperti Nawang Wulan turun ke Bumi buat mencari suami. Coky terperangah, lalu menarik napas panjang-panjang.

Amboi, wanginya seperti sari-sari dolar.

Pintu lift tengah bergerak menutup ketika gadis berambut panjang untuk mundur agak ke belakang buat mengecek notifikasi ponselnya. Coky memperhatikannya sembari tersenyum tengil tapi ditahan. Dua orang lainnya yang menyertai gadis itu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Satu sedang bicara dengan seseorang di telepon, satu yang lainnya fokus mendengarkan musik melalui headphone.

Coky masih sibuk menikmati syahdu dan indahnya taman bunga dalam wujud manusia di depannya ketika sebuah suara yang mirip pekikan burung Kasuari terdengar. Seakan tidak cukup sampai di sana, sebuah sepatu mendadak melayang—yang ajaibnya, mendarat tepat pada celah kosong antara kedua pintu lift yang belum menyatu.

Lift batal tertutup seketika, meninggalkan empat orang di dalamnya yang terhenyak dalam ketidakpercayaan.

"Papa, ih! Ngisini Mama wae!" seorang perempuan berambut panjang yang memegang tas Hermes hijau kangkung berseru pada laki-laki di depannya—yang sekarang hanya memakai satu sepatu.

"Wes toh, Ma, yang penting kan pintunya ora jadi nutup!"

Coky mengenali perempuan pembawa tas Hermes hijau kangkung itu sebagai Joice Maharadjasa alias nyokapnya Dery—yang juga teman dekat anak bosnya.

Joice mengabaikan pembelaan diri Tedra, melangkah masuk ke dalam lift sambil meringis sementara Tedra santai saja memungut sepatunya sebelum ikut masuk. Awalnya, Tedra tampak santai saja, hingga dia iseng melirik ke belakang dan mendapati bagaimana Coky curi pandang pada perempuan berambut panjang yang berdiri tidak jauh darinya.

Bukan hanya radar gosip Tedra yang bereaksi, insting jahilnya pun turut terbangkitkan.

Dia mesem-mesem, sengaja menunggu sampai lift berhenti di lantai yang mereka tuju (secara kebetulan, mereka sama-sama ingin menyambangi lantai yang sama). Satu per satu bergerak keluar untuk turun, tapi sebelum Coky sempat melangkahkan kakinya keluar dari lift, tangan Tedra sudah lebih dulu menahannya. Sontak saja, Coky dibikin panik sampai tidak sadar, laki-laki itu memekik kencang, bikin bukan hanya Joice, namun tiga orang lainnya turut menoleh pada mereka.

"Papa, ngapain?"

"Bentar, Mam. Papa mau berdialog antar lelaki dulu ama ni orang. Mama duluan aja."

Coky tidak sempat melawan ebab pintu lift sudah keburu menutup.

"Lucas Sahala Matondang, bener rak?"

"Omo, dari mana Om tahu nama saya?!" Coky praktis dibuat terkejut.

"Saya tahu segala yang ada di dunia ini." Tedra berujar. "Saya juga tahu, kamu manajernya Jeffrey Gouw. Benar nggak?"

"Benar sekali! Om kenal Bang Jeffrey?!"

"Koyok'e sih de'e besan saya di masa depan." Tedra membalas pede. "Tapi ini bukan tentang Jeffrey Gouw atau saya. Ini tentang kamu. Tadi saya lihat, kamu merhatiin itu cewek yang satu lift sama kamu."

"Iya, Om. Abisnya cantik sih. Kayaknya calon yeobo saya di masa depan." Coky membalas jujur. "Udah dua kali ketemu, siapa tau jodoh kan gitu."

"Naksir ya?"

"Belum ada rencana tapi kelihatannya sih bakal ngarah ke sana."

Tedra manggut-manggut. "Kamu kenal dia nggak?"

"Nggak."

"Arep kenalan, po?"

Kepala Coky manggut-manggut seperti hiasan kepala anjing yang kerap dipasang di dashboard mobil.

"Nek wes kenalan, terus nopo?"

"Berharapnya sih bisa memiliki, Om."

"Jenenge Erina Prajapati." Tedra berkata, merasa punya kesempatan untuk memamerkan hasil background check yang dia lakukan pada Keluarga Gouw. Habisnya gimana ya, setelah mendengar rentetan peristiwa dramatis yang terjadi kemarin sore dari istri tercinta, Tedra jadi terpicu buat mencari info sebanyak-banyaknya soal Keluarga Gouw. Dia baru tahu, selain si Kembar yang hobi bikin onar, Dek Ital kesayangannya punya anak perempuan super cantik yang kelakuannya macam playgirl cap gas karbit. "De'e ponakannya bos kamu."

"Namanya cantik banget kayak orangnya." Coky menanggapi.

"Wes, rasah naksir karo de'e. Jalanmu bakal abot."

"Maksudnya?"

"Erina Prajapati iku playgirl." Tedra menerangkan lebih jauh. "Mesakke atimu. Ganteng-ganteng gini kok jadi korban playgirl."

"Nggak apa-apa, Om. Siapa tahu saya bisa bikin dia gantung sepatu dan melabuhkan hati."

"Halah, kowe kira de'e Ronaldo pake gantung sepatu segala?!"

"Siapa tau!" Coky masih enggan menyerah. "Tapi kenapa tiba-tiba Om ngasih tahu ini semua ke saya?"

"Abis cara kamu ngelihatin dia ngingetin saya sama anak saya, jadi saya rada kasihan gitu." Tedra nyeplos tanpa berpikir. "Tapi saya tanya deh, kalau udah kenalan, kamu mau ngapain sama dia?"

"Saya sayangi."

"Terus?"

"Moga dia balik sayang sama saya dan—"

"De'e bakal gelem nerimo kowe opo onone. Gitu?"

"Yoi, Om. Cerdas juga nih Om, beda ama anaknya."

"Woyajelas!" Tedra makin nge-gas karena dipuji. "Yawes, saya cuma kepo gitu aja sih. Anyway, kamu di sini pagi-pagi begini mau ngapain?"

"Jemput bos saya."

"Lha, bosmu ora nang kene, Cok."

"Hah, maksudnya?"

"Dia nggak nginap di rumah sakit, menurut info yang saya dapat dari satpam saya."

"Kenapa Om nggak bilang dari tadi?!"

"Kowe ora takon geh."

*

Sudah hampir dua jam lewat sejak Sashi terbangun dan menemukan kue red velvet bertuliskan happy birthday di atas nakas di sisi tempat tidurnya, tapi dia masih belum bisa menebak dari mana kue itu datang. Saat dia bangun, kamarnya sepi. Kedua orang tua Jef tidak ada di sana, jadi tak ada yang bisa Sashi tanyai. Bukannya tersanjung, Sashi malah merasa curiga. Jadilah dia menyipitkan mata, menatap kue itu dengan pandangan sengit-sengit seperti sedang memandang musuh bebuyutan.

Tidak ada seorangpun yang tahu jika dia meminta Mami membuatkannya kue red velvet tahun ini—bahkan tidak Mami sendiri, sebab Sashi menjawab tanya perempuan itu dalam hati. Yah, ada sih satu orang yang tahu, tapi orang itu adalah orang random di Instagram yang tidak mungkin mengenalnya, apalagi tahu dimana dia berada dan punya akses untuk mengiriminya kue.

Sejujurnya, kalau Sashi dipaksa mengakui, sebenarnya kue itu adalah kue red velvet paling cantik yang pernah dia lihat. Tampilannya tidak seperti kue red velvet kebanyakan yang terlihat membosankan karena frosting putih tebal sebelum dipotong. Ada crumble merah menutupi seluruh bagian frosting putihnya, juga cokelat yang dibentuk beraneka ragam dan garnish menggunakan beberapa buah stroberi.

Hanya dengan sekali lihat, mudah menerka jika kue itu dibuat oleh professional.

Sashi mengerutkan dahi, berpikir lagi dan berusaha mengingat-ingat. Well, meki buram, semalam dia sempat bermimpi jika Mami datang. Perempuan itu membuka pintu kamarnya, mengamatinya yang sedang tertidur sambil membawa kue di tangan. Dia tersenyum kala meletakkan kuenya di atas nakas, lengkap dengan lilin dalam kemasan plastik yang siap ditancapkan lalu dinyalakan. Mami berdiri beberapa lama, menontonnya tidur sebelum kemudian meraih salah satu tangannya yang penuh luka.

Dalam mimpi Sashi, Mami menelusuri luka yang melepuh menggunakan ujung jarinya. Ekspresi wajahnya tampak sedih. Tapi dia berusaha tersenyum lagi, diikuti bisik pelan.

"Happy birthday, Acacia." Begitu katanya, disusul sebuah kecupan yang jatuh di atas dahi Sashi.

Namun tentu saja itu mimpi. Sashi tahu, Mami sudah tidak ada dan tak akan mungkin dia lihat lagi. Sashi melepaskannya, membiarkannya pergi karena itu berarti, Mami akan terbebas dari rasa sakit. Sashi mengantarnya ke pemakaman, menaburkan bunga di atas petinya sebelum tanah menjadi penanda perpisahan abadi diantara mereka. Anehnya, kue itu nyata.

Sashi jadi bingung.

Dia masih tenggelam dalam pikirannya waktu pintu diketuk samar dan tanpa menunggu balasan Sashi, seseorang di balik sana membukanya. Sashi mengangkat alis, tersekat kala matanya mendapati tiga orang yang baru datang. Dia sudah mengenal Erina. Mereka banyak mengobrol kemarin. Dari luar, Erina terlihat seperti cewek centil yang rajin pergi ke salon, namun dia sangat baik. Mungkin karena dia punya dua adik kembar yang berisik dan hobi membikin onar, dia bisa dengan mudah mendekati Sashi. Mereka juga menyukai jenis musik yang sama dan satu selera soal makanan, jadi tidak susah mencari topik obrolan. Namun dua orang lainnya tidak Sashi kenal.

"Good morning, Acacia." Erina menyapa seraya berjalan mendekat. "Loh, ada kue? Is today your birthday?"

Sashi mengangguk terpatah. "Tapi aku nggak tahu kuenya dari siapa."

"Mungkin dari pakdhe Jeffrey?" Erina menebak. "Pakdhe bukan jenis chef yang suka bikin kue, tapi dekorasinya terasa pakdhe sekali."

"Nggak mungkin."

"Kok nggak mungkin?"

"Buat apa dia—buat apa Om Jeffrey bikin kue ulang tahun untuk aku?"

"Because you're his daughter, of course. What else?"

Sashi tersenyum kecut, lebih memilih diam. Dia tidak bisa menjelek-jelekkan Jef di depan keluarga lelaki itu, kan? Sashi tidak punya rasa hormat untuknya, namun dia juga tidak sejahat itu.

"Happy birthday, then! Sayang banget, coba kita tahu sebelum ke sini, mungkin kita sempetin nyiapin surprise buat kamu."

"I hate surprise."

"Then I think you'll hate them." Erina mengambil sebutir apel, langsung menggigitnya tanpa peduli pada Jansen dan James yang berdiri dengan kening berkerut. "Mereka, terutama Jans—nggak pake cok ya—memaksa ikut. Bilangnya sih supaya jadi surprise untuk kamu."

"Mereka... siapa?"

"Jansen Gouw." Jansen ragu-ragu, tapi akhirnya mengucapkan namanya. "Teknisnya, saya sepupu kamu."

"Oh."

"Cuma 'oh'?"

"What else?" Erina melotot. "Acacia bukan cewek-cewek penghuni asrama putri kamu yang bakal histeris hanya dengan lihat kamu senyum kayak gitu. Now Paklik, it's your turn."

Sashi hampir tersedak kala mendengar Erina memanggil lelaki lainnya dengan sebutan 'paklik'. Mimpi apa dia tiba-tiba punya paklik semuda itu? Betul-betul tidak terduga. Dari tampangnya, Sashi menduga James itu masih mahasiswa.

Tapi ya seharusnya tidak mengherankan amat, mengingat sepertinya jarang ada yang bakal percaya jika Jef hampir berusia empat puluh tahun. Dunia memang betul-betul tidak adil, terutama pada Keluarga Gouw. Bagaimana bisa sebuah keluarga terberkati dengan begitu banyak hal, mulai dari tampang, kemampuan otak sampai kekayaan?

"James Gouw. Sepupu Mas Jeffrey. Your Paklik."

"Should I call you 'Paklik'?"

"Paklik is okay. Tapi kalau next time kamu datang ke konser saya, tolong jangan panggil saya 'paklik'."

"Konser?"

"Paklik ini musisi, Acacia. Dia rapper. Nama panggungnya CG."

"Siji?"

"Si-ji as in alphabet." James buru-buru menjelaskan. "Tapi Erina dan yang lainnya memplesetkan nama panggung saya jadi siji alias bahasa Jawa-nya satu. Ya nggak apa-apa, sih. Toh saya juga anak pertama. Angka satu cocok untuk saya." Mau tidak mau, Sashi tersenyum sedikit dan itu langsung menuai reaksi James. "You look prettier when you smile, Acacia. Happy birthday, anyway. Ulang tahun yang keberapa?"

"Tujuh belas."

"Sweet seventeen!" Jansen menanggapi. "Udah punya pacar belom?"

"Nggak usah punya pacar dulu." James menukas tanpa berpikir. "Pokoknya ponakannya paklik nggak boleh pacaran dulu sebelum umur dua puluh."

Sashi terbatuk, entah kenapa merasa aneh. Dia tidak biasa mendapat perhatian seperti itu dari orang-orang yang asing buatnya dan malah jadi penasaran, apa Keluarga Gouw selalu segampang ini menerima orang baru? Kedua orang tua Jef memperlakukannya seperti cucu sendiri tanpa peduli jika di mata hukum, dia bukan cucu mereka. Bahkan dua orang setengah baya itu bisa mudah akrab dengan kakek-nenek Sashi dari pihak keluarga Papi.

Ah ya, bicara soal Papi, lelaki itu belum tahu akan peristiwa yang menimpa Sashi. Sashi berharap dia bisa meninggalkan rumah sakit hari ini. Papi mungkin akan tersinggung jika nantinya tahu dia jadi satu-satunya yang tidak diberitahu.

"Dari roman-roman mukanya sih kayaknya Acacia udah punya pacar." Jansen berspekulasi.

"Kamu udah punya pacar?" James kontan menembak Sashi dengan pertanyaan.

"Hng—belum—"

"Really?" Jansen terbelalak. "I mean, a girl as pretty as you? Kalau kita nggak sepupu, aku pasti udah minta nomor HP kamu."

"Jansen."

"Yoi, paklik?"

"Another word from you and lambemu tak gaplok sandal yo." (Ngomong lagi loe tak gaplok sandal). 

"Sori toh yaaaa. Aku ki guyon tok lohhh..."

James misuh. "Guyon ndasmu peyot."

"Dih, bilangin Mama loh ngata-ngatain ndasku peyot."

"Yawes, uthekmu seng peyot."

"Quit all the non sense, Jans, Paklik!" Erina melerai. "Anyway, Eyang Putri dan Eyang Kakung Gouw Nomor Dua sudah ke sini lagi? Kayaknya sih mereka lagi balik ke hotel buat mandi dan segala macam. Kalau belum, kamu mau sarapan atau makan apa gitu? Atau tiup lilin? Mumpung ada tukang foto dan badut ultah di sini." Gadis itu menyambung, kali ini sambil melirik pada James dan Jansen.

"Aku cup tukang moto." Jansen berujar.

"Nopo toh?"

"Tukang foto lebih terhormat daripada badut ultah soalnya, Paklik."

"Oalah, wasem—eh ngko sek, Mbak Egi is calling. Tak tinggal terima telepon ndhisik yo. Ah ya, Acacia, wilujeng tepang taun." (Eh bentar, Mbak Egi nelepon. Gue tinggal terima telepon dulu ya. Selamat ulang tahun juga, Acacia!). 

"Paklik..."

"Opo meneh, Jansora nganggo 'cok'?"

"Kui basa Sunda, dudu basa Jawa." (Itu bahasa Sunda, bukan bahasa Jawa). 

"Oiya, efek ndue calon bojo wong Sunda seh." James terkekeh sebelum terburu-buru melangkah keluar ruangan untuk menerima telepon yang dibilangnya tadi. (Oya, efek punya calon istri orang Sunda sih). 

"Mbak Egi itu pacarnya Paklik." Erina memberitahu pada Sashi. "Udah lama pacarannya. Kayaknya dari jaman Paklik masih SMA. Ya nggak sih, Jans?"

Jansen mendekati kue red velvet Sashi dan tanpa malu, mencolek frostingnya menggunakan jari telunjuk. "Iya. Untung aja nggak sejak jaman Nona Meneer masih berdiri."

"Selera humor yang semakin menyedihkan dari hari ke hari memang hanya milik Jansen Gouw seorang." Erina berujar prihatin. "Mbak Egi udah nge-fans sama Paklik waktu Paklik masih bukan apa-apa. Mereka beda SMA gitu. Tapi sampai sekarang nggak direstui sama oang tuanya Paklik. Soalnya selain Mbak Egi dianggap nggak sederajat, Mbak Egi juga orang Sunda."

"Semua ini gara-gara Gadjah Mada, memang." Jansen manggut-manggut. "Coba tuh aku sejaman ama si Gadjah, udah aku tubirin dia bareng anak setongkrongan. Coba bayangin, ada berapa hati lanang Jawa dan awewe Sunda yang terpatahkan karena tidak bisa bersatu gara-gara ulahnya?"

"Hush cangkemmu!" (Hush, mulutmu!). 

"Ya gimana? Cintaku sama mojang Bandung kandas gara-gara Mama karo Papa ora setuju aku pacaran sama wong Sunda."

"Kayak bakal kamu seriusin aja."

"Hehe, iya juga sih. Aku nih kan bukan lelaki setia berhati seteguh batu karang macam Paklik."

"Jans tuh guanjene ngalah-ngalahke Vicky Prasetyo." Erina mendelik. "Tapi untung kamu sepupunya, Shi. Jadi kamu aman."

"Mas Jansen bukan seleraku, sih."

Jansen keselek, sementara Erina langsung tertawa puas. Sepertinya, fakta bahwa ada cewek yang nggak naksir Jansen cukup menohok harga diri lelaki itu. Dia merengut sambil lanjut mencolek frosting kue yang masih nangkring di atas nakas sampai Erina memukul punggung tangannya.

"He, dibiarin makin jadi! Bisa diajak sparing karo Pakdhe kowe kalau de'e sampai tahu kue putrine dicolek-colek koyok ngene!" (He, dibiarin makin jadi! Bisa diajak sparing sama pakdhe kamu kalau dia sampai tau kue anaknya dicolok-colok kayak gini!).

"Pakdhe iku lelaki letoy, nek sparing karo aku mesti aku seng menang." (Pakdhe tuh lelaki letoy, kalau sparing sama gue pasti gue yang menang). 

"Hadeh, cocotmu mambu loker Davy Jones." (Bacot lo bau loker Davy Jones). 

Sashi tertawa mendengar ujaran Erina, hingga perhatian mereka terpecah oleh ketukan lainnya di pintu. Kali ini, yang datang bukan orang tua Jef atau kakek-nenek Sashi (dari keluarga Papi), melainkan Ojun. Sashi tersedak, harus berupaya keras menahan dorongan untuk mencari kaca guna mengecek penampilannya. Erina dan Jansen tampaknya menyadari perubahan raut wajah Sashi.

"Koncomu a?" Jansen bertanya tanpa basa-basi. (Teman lo ya?). 

"Iya."

"Yaudah, kasih privasi." Erina berinisiatif menarik Jansen keluar dari sana, meninggalkan hanya Ojun dan Sashi berdua. Jika Jef tahu anaknya berduaan dengan lawan jenis di satu ruangan tanpa pengawasan, sudah pasti akan terjadi perang dunia. Tapi yah, untungnya Jef tidak tahu.

Ojun melangkah menghampiri ranjang tempat Sashi terduduk dengan canggung. Dia membawa keranjang berisi buah di tangannya dan paperbag di tangan yang lain. Matanya melirik pada cake di atas nakas, lalu dia menatap lagi pada Sashi dan tersenyum.

Hati Sashi, seperti bola bekel, terpental kesana dan kesini.

"Happy birthday, Sashi."

Sashi tersipu. "Makasih ya, Ojun."

"No. Jangan bilang 'makasih'. Gue malah harusnya minta maaf."

"Minta maaf untuk apa?"

"Gara-gara gue... lo jadi kayak gini..."

Sashi mengerjapkan matanya beberapa kali, butuh sejenak untuk mengerti maksud ucapan sang pujaan hati. "Ojun—itu semua musibah. Kecelakaan. Bukan salah lo. Lo sendiri juga luka, kan?" sambil berkata begitu, mata Sashi jatuh pada perban yang masih melilit sepanjang lengan kanan Ojun.

"Iya, tapi ini salah gue yang nggak mengecek ulang ruangan juga keamanannya sebelum kontes dimulai. Gue juga yang nggak memastikan kalau ada alat hydrant yang tersedia dan bisa berfungsi baik dalam ruangan. Kalau aja gue nggak teledor, mungkin... mungkin..."

"Ojun, gue nggak mau dengar lo menyalahkan diri lo sendiri kayak gitu." Sashi berujar tegas dan Ojun belum pernah mendengarnya bicara dengan nada seperti itu, sehingga praktis, dia dibuat terdiam. "Pokoknya semuanya musibah. Bukan salah lo. Lo juga luka. Jangan terlalu keras sama diri sendiri."

"Tetap aja. Gara-gara itu, gue memutuskan buat mengundurkan diri dari posisi gue sebagai ketua OSIS."

"You—what?!"

"Gue nggak capable dalam meng-handle tanggung jawab gue, sampai-sampai ada yang meninggal karena itu." Ojun tersenyum pahit. "Tapi itu nggak penting. Sekarang yang terpenting buat gue adalah... lo baik-baik saja."

Sashi tersekat, lidahnya mendadak kelu.

"Kemarin, gue takut banget waktu gue tersadar dan gue nggak menemukan lo. Gue mencoba mencari tahu kondisi lo dan orang-orang bilang lo dibawa ke rumah sakit. Gue mencoba menghubungi lo, tapi hasilnya nihil. Ternyata HP lo juga rusak. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue takut kehilangan lo." Ojun menghela napas, tidak sadar bagaimana ucapannya berhasil bikin dunia Sashi berhenti. "Tapi untungnya sekarang lo baik-baik aja."

"Ojun—" Sashi bingung harus bicara apa dan sebelum dia bisa berpikir, refleks tangannya membuatnya meraih telapak tangan Ojun, memegangnya erat tanpa melukai tangannya yang terluka. "—gue juga—gue juga senang lo baik-baik aja."

Ojun balik menatap Sashi, lalu senyumnya pelan-pelan tertarik. "Gue senang."

"..."

"Soalnya kayaknya, lo juga khawatir sama gue."

Otomatis, Sashi menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang kini terasa panas sekarang. Reaksinya membuat senyum Ojun makin melebar. Mereka terlalu fokus dengan kehadiran satu sama lain, sampai-sampai tidak menyadari keberadaan Dery yang diam-diam mengintip dari celah pintu ruangan.

Perlahan, Dery menutup pintu rapat-rapat, merasa dia tidak bisa menyaksikan lebih banyak. Dengan dramatis layaknya adegan dalam video klip untuk lagu patah hati, Dery menyandarkan punggung di pintu sambil menghela napas dalam-dalam. Sebuah pikiran terbersit tanpa bisa dikontrol dalam benaknya.

Seenggaknya kalau mau suka sama yang lain tuh mbok ya carinya yang lebih ganteng dari gue kek, Sas. Kenapa mesti Ojun?

"Dari bau-baunya, Papa merasa ada yang barusan potek."

Kesyahduan momen ambyar Dery terganggu oleh kehadiran Tedra yang muncul serupa Jin Tomang, tiba-tiba dan hampir tanpa suara.

"Papa, apaan sih?!" Dery melotot, berbisik keras supaya tidak terdengar Sashi dan Ojun yang berada di dalam.

"Sshh... Mandala... tenang. Sekarang, ikuti setelah Papa."

"Apanya?"

"Ikuti setelah Papa." Tedra mengulang, lalu meneruskan. "Niat ingsung amatek ajiku ki semar mesem—"

"Papa!" Dery sadar itu mantra semar mesem yang konon dapat digunakan memikat sang pujaan hati, cocok untuk digunakan mereka yang cintanya bertepuk sebelah tangan.

"Hush, ikutin aja hayo. Saktiku saktine jagad dunyo, aji pengasihan ora ono tombone. Ora ono wong bagus kejobo aku."

"..."

"Ndang ikuti opo seng Papa omongke. Dukune larang loh iki." (Ikutin apa yang Papa bilang cepetan! Dukunnya mahal loh ya!). 

"Sampeyan dudu Papaku!" (Kamu bukan papaku!). 

Dery mendengus sebal, berbalik dan berjalan pergi meninggalkan Tedra yang memiringkan wajah.

"Oalah, cah jaman now. Lebih memilih ambyar sendirian daripada main jalur belakang rupanya. Iku jenenge gemblung."





bonus

Di ruang tunggu Bandara Changi, sejenak sebelum penerbangannya, Jo sengaja menyempatkan diri untuk menelepon seseorang yang dia kenal setelah gagal menghubungi nomor Sashi. Setelah dia mengecek lagi, semua pesan WhatsAppnya pun tidak ada yang terkirim. Ini aneh, karena tidak biasanya Sashi begitu. Dan benar saja, kekhawatirannya terbukti setelah dia meminta salah satu bawahannya untuk mencari tahu apa yang terjadi di Jakarta.

Usai menerima kabar itu, Jo beralih menelepon nomor Jef.

"Halo?"

Jo tidak merasa harus berbasa-basi. "Kenapa kamu nggak memberitahu saya?"

"What do—ah, soal Acacia? Saya merasa kamu nggak perlu tahu. Lagipula, dia sudah baik-baik saja."

Ada sesuatu dalam nada suara Jef yang memantik emosi Jo. "Saya tetap berhak tahu."

"Look, Jo—"

"Saya tetap berhak tahu. Mana ada ayah yang nggak dikasih tahu ketika anaknya terluka dan masuk rumah sakit?"

"Saya merasa kamu nggak perlu tahu."

"Atas dasar apa kamu merasa kamu berhak berpikir begitu?"

"Saya ayahnya Acacia."

Suara Jo berubah jadi lebih kasar saat dia membalas tanpa berpikir. "Terakhir kali saya cek, nama belakang saya yang ada di belakang namanya, bukan kamu."

"You wanna play it that way?"

Jo terdengar marah waktu dia balik membalas. "Secara hukum, ayah Acacia hanya ada satu. Saya. Bukan kamu. Clear?"

"Come to Jakarta first. After that we can talk like true men.

Sashi: 





to be continued. 

***

Catatan dari Renita: 

hampura sepurane pisan telat yah jadi kemaleman banget gini tapi ini panjang terus targetnya gue korting wkwkwk 

jadi targetnya 2,2K vote dan comment aja dah. 

harusnya ini di update kemarin tapi  kemarin gue ada urusan mendadak yang tidak bisa ditinggalkan acie. 

ternyata banyak juga yang shipping jennie-jef ya hm. 

btw jangan di hate ya siapapun visualisasi atau pairing di cerita ini, ini kan cuma cerita, i dont take it seriously gitu jadi selow baeeeee wkwkwk 

selow aja, love line dalam cerita ini masih ribet dan kalau lo tanya ini bakal sampe chapter berapa, jujur gue nggak tahu. kita nikmatin aja ini mah nanti tau tau tamat kan seru wkwkwkwk 

hm terus apalagi ya, aku tau kalian pasti penasaran dengan sisi lain papi jo, apakah blio punya perasaan sedalam itu sama tris atau ngga hahaha 

tapi ya gini 

jo masih pake cincin kawinnya. 

jadi gimana tuch. 

dah daripada ntarnya makin kelamaan kalau gue banyak bacot wkwk

sekian dariku sampai ketemu di chapter berikutnya. 

ciao. 



mba egi, pacare mas CG. 

Rumah Suami Bermarga Suh, October 26th 2019 

21.45

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro