Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab22 | Double Rindu



💬Bantuin gue😭

💬Gue gak mampu 😫

💬Bales dong.

💬Lo kemana sihh?

💬Ustadz mudaaaaaaa 😭😭😭

💬Lo jahatttt! 😡

💬Zwzwzgsvbdjgjjahshsahsh. Keseeeelllll😠

Sudah lama Azam tak mengabari Syifa. Dan kadang itu membuat Syifa rindu. Rindu memarahi Azam. Rindu mengundang wajah merah Azam. Rindu kesabaran Azam. Rindu rindu rindu. Ah, berat. Dan kali ini Syifa memberi Azam banyak pesan. Ia rindu. Ah, rindu lagi. Ia rindu mendapat nasehat dan teguran dari Azam. Tak apa membuatnya darah tinggi akibat sikap dingin dan cuek Azam, asal ia dapat bertemu dengan Azam. Ingin dipeluk jika boleh.

"Rindu itu beraaaaaaatttt," Syifa berteriak di kamarnya. Mungkin seisi rumah pun dapat mendengar.

Sudah sekitar 5 jam Syifa menunggu balasan pesan dari Azam, namun Azam tak kunjung membaca. Bahkan Azam tidak online. Diambilnya ponsel, untuk memastikan jika Azam telah membalas, namun nihil. Kemudian, ia lempar ponsel itu ke kasur. Beberapa menit kemudian, diambil lagi, dan melakukan hal yang sama berulang-ulang.

Karena Azam masih saja tak online, Syifa pun kesal. Ia memutuskan untuk pergi ke dapur. Entahlah, sejak kapan menunggu membuat perutnya terasa lapar. Hatinya sudah cukup lama menunggu. Daripada nanti dia makan hati, lebih baik ia pergi ke dapur, mencari apapun yang bisa dimakan dan membuatnya kenyang. Sehingga itu cukup untuk energinya menunggu balasan.

Ah, kadang yang ditunggu kehadirannya justru malah tak pernah datang. Namun sebaliknya, yang tak pernah ditunggu kadang malah yang datang.

"Kamu abis ngapain di kamar? Sibuk banget, Nak. Sampe teriak-teriak segala lagi," ucap Nissa saat mendapati Syifa duduk di kursi meja makan.

Syifa menyengir kuda. "Rindu itu berat, Mi."

"Kok, rindu sih yang berat? Istiqomah jauh lebih berat, Sayang." Nisa menasehati sambil menuangkan nasi ke piring untuk Syifa makan. Dia tau Syifa lapar. Sedari tadi siang dia belum makan.

Syifa terkekeh pelan. Lantas, ia menyantap nasi dan sayur bayam yang disiapkan Nisa. Tak lama setelah itu, Ilham datang. Sepertinya baru pulang dari sekolahnya. Di belakang Ilham ada sahabatnya. Mereka akan mengerjakan tugas sekolah bersama malam nanti, seperti biasa.

"Lo rindu siapa sih?" tanya Ilham sambil mencium tangan Nisa. Sepertinya Ilham mendengar percakapan Syifa yang tadi.

"Gue rindu-"

"Assalamualaikum, Tante." Salam dari seseorang memotong ucapan Syifa. Reflek, Syifa menoleh ke sumber suara.

"Waalaikumussalam, Bagas?" jawab Nisa, sambil menyambut ramah salaman dari Bagas.

"Rindu mantan?" sindir Ilham.

Syifa menunduk. Terlebih saat tadi matanya dan mata bagas berpapasan. Ah, mata teduh itu lagi. Syifa juga rindu itu. Rindu saat Bagas datang ke rumah dan yang disapanya pertama kali adalah Fafa. Ya. Dirinya.

Rindu saat Bagas menggelitikinya di ruang tamu. Rindu rambutnya diacak-acak Bagas. Rindu dengan marahnya Bagas, yang ia ketahui jika itu tanda sayang. Tapi, rindu hanyalah rindu semata. Kerinduannya tak bisa mengubah kenyataan jika mereka sedang berhijrah.

Rindu itu licik. Kenapa harus hal yang tak mungkin terjadi lagi. Rindu boleh pada yang lain selain itu. Tapi jika bisa, jangan pada hal yang ingin dilupakan.

"Kita ke kamar dulu ya, Mi. Mau belajar malem bareng, kaya biasanya. Nanti suruh Bibi Inah buat ngambil makan ke kamar ya, Mi," perintah Ilham. Lantas mereka berdua pergi menuju kamar Ilham.

Nisa hanya tersenyum sambil mengangguk.

Mengetahui Syifa yang masih terdiam, Nisa heran. "Ko makannya berhenti, Fa?" tanyanya.

Syifa seperti tersadar dari lamunan rindunya. "Hah? Eh, iya, Mi. Hehe."

Nisa menggelengkan kepalanya.

"Syifa. Besok Om kamu pulang dari Madinah," ucap Nisa yang lantas meminum teh dihadapannya.

Waktu berdetik. Syifa mengernyitkan dahinya bingung. "Om aku? Om mana?" tanya Syifa.

"Om Adit. Dia itu kalo gak salah kan, Adiknya dari Ayah kamu. Masa lupa?"

"Oh iya. Syifa lupa. Om Adit yang kuliah di Madinah itu kan, Mi? Euh, dasar Om yang satu itu. Kalo pulang gak inget waktu. Masa gak kangen sama keponakannya yang lucu imut ini." Syifa mulai teringat.

"Umi terakhir ketemu Adit itu pas nikahan Umi sama Ayah kamu, jadi gak terlalu tau tentang dia."

"Iya Mi. Om Adit abis dateng ke nikahan Umi langsung ke Madinah lagi buat ngelanjutin S2. Kebetulan juga dia kuliah bareng sama Istrinya yang mau S1. Jadi kalo tanggung, ya mereka gak bakalan pulang sampe pernah 2 tahun gak balik ke Indonesia," cerita Syifa.

Nisa memandang Syifa. Kemudian tersenyum hangat. Ia membelai kain yang menutup kepala Syifa. "Syifa udah besar ya? Jadilah anak sholehah, Nak. Om Adit akan menjadi wali kamu nanti."

Syifa tersedak. "Uhuk, uhuk."

Segera Nisa menyodorkan segelas air putih. "Syifa gapapa, kan?" tanyanya yang hanya dibalas dengan gelengan kepala Syifa.

"Umi kok, ngomongnya kemana aja sih. Syifa emang udah gede. Tapi Syifa masih tetep anak Umi yang manja kok."

Nisa tersenyum.

"Umi... Syifa nanti mau sekolah sambil mesantren aja ya, pas kelas 11. Syifa cape, kalo harus hijrah di lingkungan yang gak mendukung. Syifa cape dibully si Fiany. Syifa-" ucap Syifa terpotong saat jari telunjuk mendarat di bibir merah ranumnya, sehingga ia berhenti berbicara.

Nisa mengangguk sambil tersenyum. "Tentu, Syifa. Umi akan kabulkan permintaan Syifa. Tapi, niat Syifa jangan karena ingin menghindar dari bullyan aja. Tapi niatnya harus ikhlas karena Allah, ingin menuntut ilmu Allah." Syifa mengangguk cepat, lantas memeluk sang Ibu tiri yang sangat ia sayangi.

"Oh iya, Nak. Abis ini, Umi mau ke dokter. Mau cek kandungan aja sih, apakah calon Adik kamu sehat, atau gimana." Nisa perlahan melepas pelukan hangatnya.

Syifa meneguk segelas air putih sampai habis, tak tersisa setetespun di dalamnya. "Oh. Mau Syifa anter gak, Mi?"

"Gak usah. Umi ditemenin sama Mamah ko." Mamah di sana berarti Nenek tirinya Syifa.

"Tapi hati-hati ya, Umi. Jangan sampe kecapean. Awas loh kalo susah dibilangin sama Nenek."

Nisa hanya mengangguk sambil mengelus kepala Syifa.

Setelah 2 bulan lebih Arif- Ayahnya Syifa- meninggal, Nisa baru menyadari jika dirinya tengah mengandung anaknya Arif. Seakan, Sang Penulis Skenario Terbaik memberi isyarat, jika Dia mengambil apa yang kita punya, pasti Dia akan menggantinya. Kini, sebagian darah Arif tumbuh di rahimnya, dan kelak akan membentuk segumpal daging, hingga terlahirlah warisan dari almarhum sang Suami. Keadaan janin di rahimnya membuat ia merasakan, jika Arif sangatlah dekat. Walau saat ini mereka sudah terpisahkan oleh alam yang berbeda.

Sesekali Nisa sampai menitikkan air mata, jika kembali mengingat Arif. Seorang suami gagah tampan dan penyayang itu kini sudah tak ada. Dan dia menitipkan keturunannya pada Nisa. Yang kini sedang tumbuh, berusaha untuk tetap hidup di rahim sana. Agar kelak dapat menjadi penerus. Kehadiran janin itu membuat Nisa merasa sangat cukup. Baginya, dengan ada janin itu, tak perlu ia merasa kesepian sebagai seorang istri yang ditinggal pergi suami. Justru, ia semakin cinta dan sayang pada keluarga Arif. Tak apa, jika hidupnya yang masih terbilang muda itu tanpa suami. Ilham, Syifa, orang tuanya, itu sudah cukup baginya.

Alhamdulillah...
Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?

___________________________________

Kamar bertema Sky blue itu terlihat indah jika dipandang oleh mata. Semua yang merasa lelah, akan terbayar jika tidur di kasur king size yang terdapat di dalamnya. Sebuah ponsel di atas kasur itu bergetar, tanda ada pesan masuk. Namun, hallo? Tak ada siapapun di kamar itu.

Beberapa menit kemudian, datanglah sang pemilik kamar. Ah, perutnya sudah terisi. Energinya mungkin sudah cukup untuk menunggu lagi. Menunggu? Sepertinya penantiannya telah berakhir. Pesan darinya telah direspon.

💬Laa tahzan. Innallaha ma'ana.

Hanya itu balasan dari ustadz muda yang sedari tadi ia tunggu. Ah, Syifa tak butuh itu. Lagi pula, Syifa tak mengerti itu artinya apa.

💬Gue cape, ustadz muda. Lo gak mau bantuin gue.?

Send.
Syifa mengirimnya dengan sekeping rasa kesal. Tak lama setelah itu, datanglah sebuah jawaban.

💬Allah sebaik-baik penolong, Ukhty.

Balas Azam. Syifa terdiam. Ia mulai mengetik pesan lagi.

💬Lo gak rindu gue? (Deleted)

Bukan dikirim, Syifa malah menghapus pesannya. Kemudian ia mengetik lagi.

💬Gue kangen... (Deleted)

💬Lo apa kabar? (Deleted)

Ah, Syifa benar-benar bingung. Ia masih ingin chat dengan Azam. Jika boleh ingin bertemu. Namun, dia malu. Sudah beberapa kali ia tak jadi mengirim pesan lagi. Malah delete lagi, delete lagi.

💬😥😭😭😭

Dan akhirnya, hanya emoticon pengganti perasaan sedihnya yang menjadi sebuah pesan untuk Azam. Dia bingung. Hatinya berkecamuk. Antara berdebar senang, Azam telah membalas pesan, gugup, sedih. Ah, dia sendiri pun tak mengerti.

💬Ukhty kenapa? Laa tahzan:)

Balas Azam. Sebuah senyum mengembang di bibir tipis Syifa. Dia senang Azam masih peduli dan punya sedikit perhatian.

💬Sedih gue. Hidup gue gini amat. Kalo lo tau, setiap hari gue selalu dibully sama si Fiany. Bahkan kemaren, sampe satu sekolah ngetawain gue gara-gara gue jatoh ke kolam di taman sekolah. Dan itu ulah si Fiany. Gue kesel. Dia juga pernah, nyampe narik kerudung gue. Dan saat itu kebuka deh, kerudungnya. Gue nangis kalo lo tau. Gaada yang nolongin gue. Alya gaada. Dia gak masuk. Gue sendiri. Semuanya benci gue. Gue gamau kaya gini terus😭😭😭😭

Send.
Ia mengirim curhatan panjangnya. Walau masih banyak yang belum ia ceritakan. Kembali ia merasa sedih.

"Haha, mendadak jadi orang pendiem gini lo. Biasanya kan lo suka nyerang, kalo ada yang ngebully lo."

"Tobat gengs tobat. Haha. Palsu tobat lo!"

"Orang gak sopan mendadak alim dan anggun gini. Gak percaya dia berubah asli ah, haha."

"Gue bakal tetep cap dia buruk di mata gue!"

Kata-kata sinis dan kasar itu teringat kembali oleh Syifa. Memenuhi otak. Sampai air mata kembali menetes.

Dijambak. Dijaili. Dimaki. Dihina. Dibully. Itu yang selalu ia rasakan akhir-akhir ini. Miris memang. Ingin membalas, tapi tak ingin. Seperti ada yang menahannya.

Syifa terisak.

Kemudian sebuah pesan masuk lagi.

💬Sabar.
💬Allah sedang menguji Ukhty. 💬Allah pasti ganti dengan sesuatu yang indah di hari nanti. Sabar ya. Saya yakin Ukhty bisa menghadapinya. Minta semua hal sama Allah, maka Allah akan kasih. Ujian dalam hijrah itu udah biasa. Itu tanda Allah sayang. Allah hanya ingin menguji iman ukhty.
💬Semangat 💞

Beberapa menit ia membaca, sebuah senyuman indah mengembang di tengah air matanya yang mengalir. Terlebih saat Syifa mendapati emoticon love. Ah, senang.

💬Afwan ukhty. Salah emoticon:)
💬 Harusnya jempol 👍

Gubrag!

Tak ada senyum lagi setelah itu.

"Nyebelin, udah bikin terbang. Ehh, malah dijatuhin" gumamnya.

___________________________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro