Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 4 part A

By Your Side - Chapter 4 part A

Kai’s POV

Pesta ulang tahun Hotaru berjalan dengan lancar. Semua juga dapat merayakannya dengan penuh suka cita. Namun tak ada satu pun yang bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi hari itu. Ya, tidak semua. Aku bertanya pada [Name] dan bahkan juga Rui tapi keduanya tak menjawab apa pun. Mungkin tidak rela untuk berbohong padaku ataupun berterus terang.

Dan sejak hari itu, [Name] mulai menjaga jarak denganku. Dan Rui juga selalu mengunci diri di gudang (yang kini sudah disulap menjadi kamar untuknya) untuk bermain piano.

“Aku pergi duluan.” [Name] mengambil tasnya dan berjalan menuju bibir pintu.

Awalnya aku bingung dengan sikapnya itu. Lantas aku menahannya dengan berseru. “[Name], tunggu. Sarapannya sudah mau siap. Setelah itu kita pergi sama-sama.”

[Name] tidak berbalik untuk menatapku dan hanya berdiri diam. “Aku ada pertemuan pagi dengan anggota klub musik. Jadi aku akan pergi duluan.”

Aku tak bisa berucap lagi setelah mendengar alasannya. Aku hanya membiarkan sosoknya berlalu begitu saja. Aku mencoba berpikir positif, mungkin saja dia sedang sibuk dengan kegiatan klubnya dan sedikit stres. Akhirnya kuputuskan untuk menghiburnya saat jam makan siang nanti.

“Kai! Apa yang kau lakukan?” Tahu-tahu, Hiro sudah muncul di hadapanku dengan ekspresi kaget.

“Apa maksudmu? Ya, mau pergi ke kelas untuk jam mata pelajaran pertama.” Alhasil, perjalananku ke kelas terhenti untuk meladeni Hiro yang terkenal cerewet ini.

“Pelatih kan sudah bilang! Aduh, kau ini bagaimana, sih?” sambil menepuk jidatnya dia segera berkata, “Mulai minggu ini sampai pertandingan nasional kita akan fokus latihan. Sudah disetujui kepala sekolah, kau tidak ingat?”

Mendengar itu lagi membuatku ingat. “Ah, aku lupa. Maaf, Hiro. Sejak akhir pekan pikiranku sedikit kacau.”

“Hmm? Sangat jarang terjadi seorang Fuzuki Kai melupakan sesuatu. Apa yang terjadi?” Sudah kuduga Hiro akan bertanya. Ya, itu juga bukan sesuatu yang harus disembunyikan. Dan bukannya lebih baik untuk menceritakan masalahmu pada sahabat?

Selama perjalanan ke ruang ganti baju olahraga, aku bercerita pada Hiro. Mulai dari tentang Rui yang datang sampai kejadian saat persiapan ulang tahun Hotaru.

“Eh? [Name]-chan menjauhimu?” seringai muncul di wajahnya. “Jangan-jangan dia baru sadar kalau dia menyukaimu..”

“Jangan bercanda. Aku dan [Name] kakak-beradik loh.” Tegasku. “Tapi apa kau merasa aneh pada ceritaku ini?”

“Baka.” Hiro, walau dia agak cerewet dan hyperaktif, namun dia itu seorang pemikir yang hebat. “Dari awal ceritamu itu sudah aneh, kan? Lihat saja, [Name]-chan mendadak berubah. Si Rui itu langsung menghindar. Pasti ada yang mereka rahasiakan darimu.”

“Apa yang dia rahasiakan? Apa kau tahu, Hiro? Tolong katakan padaku!”

“Seperti biasa, sis-con mu kambuh lagi.” Hiro mencoba menenangkanku dengan tatapan mata yang datar dan serius. “Dengar, Kai. Kau harus mentraktirku ramen kalau aku berhasil memecahkan kasus ini.”

“Hah?!” Sudah kuduga. Ada maksud tersembunyi dari niat baiknya itu.

“Harus ada balasan untukku, kan? Atau… kau harus mengizinkanku berkencan dengan [Name].”

Kepalan tanganku langsung mendarat ke puncak kepalanya hingga berasap. “Tidak akan kubiarkan! Cari wanita lain untuk kau kencani!”

“Kejamnya!”

/////

“Aneh, ya?” melipat lengannya ke belakang kepala dan mencoba memikirkan beberapa kejadian yang menimpaku hari ini. “Jarang-jarang [Name]-chan tidak di kelas saat jam istirahat.”

“Teman sekelasnya bilang dia keluar kelas begitu jam istirahat dimulai.” Ujarku yang tengah berjalan di sampingnya. “Aku sempat kekantin untuk mengeceknya, namun dia tidak ada. Dia tidak bawa bekal tadi pagi. Dia juga tidak biasa pergi sendirian mengingat buta arahnya.”

Hiro menghela napas, bukan karena dia menyerah tapi untuk memikirkannya lebih jauh. “Tunggu!”

Kami kompak menghentikan langkah. Kutatap wajahnya yang dengan seriusnya berpikir. “Dia buta arah. Bagaimana dia pergi ke sekolah sendirian?” Matanya berbinar seolah baru saja mendapatkan hadiah.

“Eh? Mungkin dia pergi dengan salah satu teman klubnya.” Senggahku. “Dia mungkin sudah membuat teman yang lain selain Yuki.”

“Yuki?”

Aku ingat kalau Hiro tidak mengetahui masalah [Name] dengan gadis itu. “Ah, dia itu pernah jadi temannya [Name]. Tapi sayangnya dia bilang hanya menggunakan [Name] untuk mendekatiku.”

Hiro mendengar itu dengan memasang ekspresi yang biasa. “Jadi, apa yang sedang [Name] lakukan sekarang? Sudah pulang?”

“Dia bilang ada kegiatan klub dan tidak usah khawatir dengannya.”
Hiro memberiku satu tatapan tajam dari matanya seolah hendak menelanku. “Dan kau percaya begitu saja? Bukannya ini waktu yang tepat untuk memata-matainya? Terkadang kau agak bodoh, ya?” cecar Hiro dengan emosi yang meluap-luap. “Kau tidak tahu apa yang terjadi dengannya sekarang, bagaimana kau bisa setenang itu?”

Benar-benar tidak terpikirkan olehku. “Hiro? Kau ini siapa?”

“Memang siapa peduli siapa aku? Cepat kembali kesana dan cari adikmu!”

Aku segera kembali ke gedung sekolah sesuai perintah Hiro. Aku tidak peduli harus mengganti sepatu terlebih dahulu dan segera melesat ke ruang musik tempat [Name] berada. Kenapa perasaanku jadi gelisah sejak dimarahi Hiro? Bukankah aku sudah percaya pada [Name]?

Aku sampai di depan pintu kelabu dengan papan kecil bertuliskan ‘ruang musik’ bertengger di sana. Kugeser pelan pintu itu sehingga sinar matahari senja kala itu menerangi sosokku. Namun betapa terkejutnya aku melihat seorang gadis di sana. Dan dia bukanlah [Name].

“Ada yang bisa kubantu?” tanyanya dengan sopan sementara aku masih memindai ruangan berisi puluhan instrument itu baik-baik untuk mencari sosok bersurai (h/c).

“Aku mencari seseorang. Dia anggota klub ini. Namanya Fuzuki [Name].”

Dahi gadis itu berkerut. “Fuzuki [Name]? Tidak ada anggota klub musik dengan nama itu.” Jawabannya itu membuatku terbelalak. Aku tidak percaya. Apa [Name] baru saja membohongiku?

Tiba-tiba ponsel dalam saku celanaku berdering. Dan saat kulihat layarnya menampakkan nama Hiro. Tanpa basa-basi aku langsung mengangkatnya. “Kai? Bagaimana?”
Aku meneguk ludah. “[Name]… bukan… anggota klub musik…”
“Sudah kuduga dia akan berbohong lagi.” Ada jeda sebelum Hiro kembali bersuara. “Kai, dengarlah. Jangan katakan apa-apa dulu pada [Name]. Ikuti apa yang aku katakan ini, berusahalah bersikap seolah kau masih tertipu olehnya.” Kata ‘tertipu’ itu terngiang-ngiang di benakku. Bahkan sampai aku sampai di depan pintu rumah.

Rui’s POV

Diriku duduk termenung sambil menghadap jendela kamarku. Pemandangan kala itu sedikit menarik minatku untuk sekedar memutar video masa lalu di otakku. Sinar matahari yang mulai menyiratkan warna jingga kemerahan mengisi indera penglihatan itu perlahan mulai terhalangi awan kelabu. Padahal [Name] dan Kai belum juga pulang ke rumah.

[Name], memang benar-benar gadis yang baik. Hari itu dia menjelaskan mengapa dia diam saja menerima perlakuan Yuki.

Untuk melindungi Kai.

Itulah alasan yang dia tuturkan sambil tersenyum membuatku merasa miris. Belum lagi saat dia memintaku untuk merahasiakan ini dari Kai sampai turnamen nasional berakhir. [Name] juga berhasil meyakinkan yang lain walau sedikit menerima penolakan dari mereka. Namun sepasang mata yang kulihat hari itu memohon pada mereka tetap tak bisa aku lupakan. Matanya menyiratkan niat yang begitu dalam ingin melindungi sosok Kai yang dia kagumi. Mana mungkin adik-adiknya tidak terpaksa mengatakan baiklah?

“Tadaima…”

Itu suara Kai. Aku ragu menemuinya karena takut mengingkari janjiku pada [Name] untuk tidak mengatakannya pada Kai. Tapi aku malah membawa diri ke celah pintu untuk mengintip. Pemuda bersurai coklat itu tanpa mengganti bajunya terlebih dulu langsung menghampiri kulkas.

Tangannya membawa entah berapa banyak mangkuk puding caramel dari sana. Segera setelah itu, dia membanting diri ke sofa dan menyalakan TV, saluran olahraga yang dia pilih dan tanpa babibu langsung menyantap puding-puding itu dengan 2 kali sendokkan saja.
Kai terlihat agak kesal, apa dia sudah tahu tentang [Name]?

“Ng?!” Kai memukul-mukul dadanya karena tersedak. Salahkanlah cara makannya yang membabi buta itu. “Ohok! Ohok!”

Karena mencemaskannya, aku segera membuka pintu lebar-lebar dan menatap sosoknya. “Kai!”

“Rui?” benar saja. Dari raut wajahnya bisa terlihat bahwa sang pemilik tengah dilanda depresi tingkat akut. “Aku tidak tahan lagi!” telapak tangan Kai menghantam permukaan meja hingga suaranya mengisi seluruh ruangan. Dengan satu sentakkan saja, Kai berbalik menghadapku dan tangannya menyenggol mangkuk pudding tadi hingga jatuh. Sungguh suasana yang amat ricuh sama seperti pikiran Kai. “Katakan kumohon! Tolong katakan semua yang kau ketahui tentang [Name]!”

Sudah kuduga memang benar dia penyebabnya. Tapi janji tetaplah janji dan aku tak ingin mengingkarinya. “A… ano… aku…”

Tatapan mata Kai yang menjurus langsung ke iris kehijauanku. Membuat aku jadi merinding dan tergagap. “Kumohon, Rui! Hanya kau satu-satunya harapanku!”

“A-A-Aku tidak bisa.” Kutundukkan wajahku dan menatap lantai yang tengah kupijak. Ingin sekali aku mengatakan ini pada Kai dan menyelamatkan [Name]. “Aku tidak bisa… aku sudah janji pada [Name]…”

“RUI!” Kini kedua tangan Kai mencengkram kuat kedua bahuku. Aku dapat merasakan tatapan matanya walau aku tengah menatap lantai. “Tolong aku sekali i—“

Ucapan Kai terhenti di tengah jalan. Dan yang kini terdengar adalah suara telepon masuk dari ponselnya. Kai berusaha menenangkan dirinya sebelum mengangkat telepon itu. “Hiro?”

Setelah beberapa saat mendengar ucapan pemuda di ujung teleponnya, iris biru Kai melebar dan berusaha fokus dengan apa yang dituturkan orang itu. “Aku akan segera kesana!” Dan tanpa basa-basi, Kai buru-buru memutar badannya menuju pintu keluar.

Namun karena rasa ingin tahuku yang tinggi, tanpa sadar jemariku menahan lengan bajunya. “Kai, ada apa?”

Raut wajah Kai diisi keseriusan yang membuatku menahan napas. Jelas sekali telepon barusan bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh dan dikesampingkan olehnya. “Jangan halangi aku, Rui. Kali ini aku sendiri-lah yang akan mendengar semuanya dari mulut [Name].”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro