Mantan yang sayang untuk dibuang
"Perjanjian kemarin, sah di mata hukum kalau kamu mau tahu."
Regi mendelik namun tidak bisa mengumpat. Dirinya kalah dengan semua pasal yang ada di sana padahal ia ingin banding. Semua pertanyaan yang hinggap selama membaca ulang draf perjanjian perbudakan romusa ala Barra Herdiyanto sungguh sangat tidak masuk akal. Tapi Regi mana bisa membantah.
Pertama, aura Barra kelam sekali. Sorot matanya setajam elang biarpun di dekat pelipisnya ada sedikit luka gores. Kedua, nada bicara seorang Barra seolah sulit dibantah. Mungkin Regi yang memang ketakutan atau sepengecut itu dengan terus kalah dengan apa yang dibilang Barra. Ketiga, Barra selalu bisa membuat Regi terus didera perasaan bersalah yang bertumpuk terus-terusan.
"Iya, Pak." Regi pasrah saja, lah. Ketimbang disuruh membayar kontan, semua harga benda bahkan koleksi tas berikut high heels-nya belum tentu cukup untuk mengganti semua biaya. Ketambahan, Disti sudah mulai ujian masuk universitas. Kalau diterima, Regi harus menyiapkan banyak dana bagi sang adik. Tak mungkin ia menunggu ibunya turut membantu keuangan karena Regi merasa, itu sudah menjadi tanggung jawabnya.
"Egil bilang, besok saya bisa pulang. Kamu dampingi saya."
"Tapi besok hari kerja, Pak."
"Cuti, lah."
Regi manyun. Baginya, cuti ketika pameran berlangsung adalah kesialan. Pameran yang diadakan itu dalam skala besar. Waktunya mengumpulkan pundi uang yang akan mengalir di bulan berikutnya. Gadis berambut cokelat itu mana mau menyia-nyiakan hal itu. Rugi bandar!
Saat Regi memperhatikan Barra yang memang sudah asyik dengan satu tube kecil entah itu salep atau krim siang atau sunblock, entahlah, Regi malas bertanya. Regi hanya berpikir, pria ini serius? Memakai skincare? Namun sepertinya Barra memang sangat memperhatikan penampilannya.
Dibalik matanya yang mirip elang, wajah itu diciptakan Tuhan demikian sempurna. Rahangnya tegas tanpa bulu-bulu halus, mungkin karena Barra sering shaving. Jerawat bahkan noda hitam pun tidak ada di sana. Bahkan yang lebih parah, Regi pernah curi-curi pandang pada hidungnya yang mancung itu, tidak ada black-head! Regi kalah sekian belas persen urusan merawat wajah sepertinya.
Mungkin ini juga yang membuat ibunya demikian heboh ketika melihat wajah sang putra lecet sana sini. Mungkin saja perawatan wajah sang putra melebihi budget Regi untuk sekadar memuaskan hasrat dengan baju dan tas branded.
Satu lagi yang menurut Regi sedikit mengernyitkan, oh tidak, takjub bin heran dengan tingkah Barra. Ia sering memergoki, selama hampir seminggu meladeni maha benar Boss Barra di rumah sakit untuk sarapan dan makan malam, pria itu mengoles lip balm pada bibirnya!!! Andai Maudy tahu hal ini, bibirnya yang tipis milik sang sahabat pasti sudah mengoceh dan membentuk satu panggilan aneh bagi Barra.
Regi yakin itu.
"Saya usahakan, ya, Pak." Regi menjawab dengan helaan pelan. Ia bingung harus bagaimana menghadapi hari esok. Sore tadi, ia buru-buru pulang karena ponselnya berdering terus minta diperhatikan. Regi sudah tahu siapa yang menerornya, sih. Hanya saja, seharusnya ia ada di brifing sore sebagai penutup hari kerjanya. Kata Maudy memang tidak ada yang terlalu penting, hanya bicara masalah target. Namun Pak Herman menanyakan dirinya.
"Harus bisa." Barra menutup tube krim untuk lukanya. Matanya menatap Regi tanpa belas kasih. "Saya mau jeruknya."
Yang bisa dilakukan sang gadis, hanya mengangguk patuh.
"Cuci tangan dulu."
Dalam hati, Barra terkekeh geli ketika mendapati Regi yang mendelik tajam ke arahnya. Seminggu sudah sejak kejadian naas yang ia alami, melihat si pelaku melempar tatapan tak suka namun tak berdaya ternyata semenyenangkan ini.
Barra tak bisa menyalurkan hobi usil tingkat dewanya jika di rumah. Mainannya di apartemen hanya kucing, Love, yang dirawat oleh Bobby sekarang. Di rumah? Ia mana berani membawa Love. Bisa-bisa Rere, permaisuri di istana itu, marah-marah dan membuang Love tanpa ampun. Ia tak mau menanggung risiko itu.
Terlahir sebagai anak tunggal keluarga Herdiyanto membuat Barra masih bisa bersikap manja padahal usianya sudah tua. Ibunya sering berkata, sebelum Barra dilepaskan untuk meminang anak gadis orang, sang putra masih bebas bersikap semanja mungkin padanya. Namun kemanjaan Barra hanya sebatas rengekan dan juga belai sayang pada rambutnya ketika tidur. Selebihnya? Hanya sang ibu yang merasa, Barra bayi besarnya.
Yang masih harus diperhatikan ini dan itu oleh Rere.
Mungkin Bobby sudah kenyang dengan banyaknya hal usil yang pernah Barra lakukan terhadapnya. Bobby sering protes, tapi tetap saja mengalah. Mungkin bagi Bobby, Barra memang dicetak seperti itu. Pernah Bobby berkata, sampai sekarang pun Barra masih mengingatnya. Bahkan Barra sering berpikir kalau apa yang Bobby katakan itu ada benarnya.
"Pas Tuhan kasih tingkah jahil, lo tunjuk tangan paling tinggi kali, ya, Bar."
Barra ngakak!
Mana ada hal seperti itu! Pasti otak Bobby konslet karena mandi air lumpur saat remaja dulu.
"Bapak diperbolehkan pulang jam berapa?" tanya Regi memecah sunyi. Potongan apel yang disuguhkannya pun sudah tandas dilahap Barra.
"Mungkin setelah makan siang. Kenapa?"
Regi tampak menimang. "Saya cuti setengah hari saja, ya."
Barra mengedikkan bahu. "Kalau kamu tahan ocehan mama saya yang bilang kamu mulai lepas tanggung jawab, sih, enggak masalah.
Regi kembali jadi kurcaci. Kerdil. Enggak bisa membantah.
***
Regi baru saja menurunkan barang bawaannya berupa berkas-berkas calon customer selama di pameran. Ia cukup beruntung, walau kepalanya dirasa luber karena banyak pikiran, ia masih bisa mendapat calon nasabah. Pun semuanya dalam kondisi deal. Bukan sekadar tanya jawab dan modus dengan nomor yang diberi pada brosur angsuran. Saat akan mengunci mobil, matanya bersirobok dengan sosok yang ingin sekali ia hantam menggunakan high heels.
Dion Adi Putra.
"Mau apa kamu ke sini?!" Di mana-mana kalau bertemu mantan, tapi sebenarnya bukan mantan juga, sih, ya. Regi kapan putus dari Dion? Astaga! Kalau ingat hal itu, niat untuk melepas high heels dan melemparnya ke kepala Dion, bulat 100%.
"Mau bicara, Yank."
Bangsat! Maki Regi dalam hati!
"Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan dan marah sama aku. Aku paham banget, Yank." Dion berjalan mendekat ke arah Regi. Perlahan. Ia merasa gadis itu mengawasi tiap langkahnya dengan pandangan tajam dan juga memusuhi. "Tapi serius, aku perlu bicara. Terutama tentang kita."
"Bicara aja. Gue dengar."
Dion terkekeh. "Ya enggak begini juga. Masa bicara sambil berdiri. Mana kunci mobil kamu, kita ke kafe sembari minum Frapucinno, ya?"
Semarah apa pun Regi, ia pun kalah dengan nada suara Dion yang lemah dan sepertinya benar adanya kalau pria itu punya banyak hal yang harus dijelaskan. Juga satu cup Frapucinno yang pria itu tawarkan. Dua tahun hubungan mereka, memang membuat Regi ada di titik tolol versi Maudy.
"Mobil kamu memang ke mana?"
"Di bengkel. Aku ke sini pakai motor Olla," kata Dion menjelaskan. Tatapan curiga itu mulai sirna dari netra Regi. Lalu Dion menangkap kunci yang dilempar sembarang oleh sang gadis ke arahnya. Beruntung, dia sigap. Kalau tidak? Mungkin kunci itu sudah mengenai kepalanya. Membuat benjol atau noda gores di kening.
Sepanjang jalan, Dion mencoba mengajak bicara Regi. Biasanya tak sulit membuat bibir yang kini sedikit luntur warna lipstiknya untuk terus mengoceh. Ia butuh bantuan Regi sebenarnya. Makanya ia bertaruh, untuk menemui dan menunggu sang gadis di kost-nya. Cukup lama Dion menunggu. Security bilang, akhir-akhir ini Regi sering pulang telat.
Dion tak pernah mempermasalahkan hal itu. Lagian, itu memang dunia Regi. Sering bertemu banyak klien di luar jam kerja. Ia tak menutup mata mengenai pekerjaan Regi sebagai sales mobil ternama. Kadang, gadis itu dituntut untuk bekerja di luar jam kerjanya di kantor ketika sang calon customer hanya bisa ditemui seusai pulang kerja.
Sejak kejadian di mall beberapa waktu lalu, Dion memang sengaja memutus komunikasi dengan Regi. Bukan tanpa sebab, ia sendiri kelimpungan menghadapi Rena. Wanita itu berisik sekali mengenai komunikasi pun dengan statusnya saat ini. Dion sendiri cukup terkejut karena Rena adalah sepupu Regi. Namun ia tak bisa banyak berkutik karena pengaruh wanita berambut hitam itu.
Sejak Rena mengetahui jika Regi adalah kekasih Dion, pria itu benar-benar tidak bisa beranjak sama sekali dari memperhatikan Rena. Mengabaikan satu kesempatan untuk sekadar menjelaskan pada kekasihnya itu walau kemungkinan didengar pun tipis. Ah, Dion memang berengsek. Tapi ia bisa apa? Ini harus dilakukan, kan?
"Aku capek banget. Jangan terlalu lama." Regi enggan membalas semua pertanyaan yang terlontar dari Dion. Ia memang lelah. Jujur, kan? Menghadapi Barra yang sangat amat menyebalkan memang membuat warasnya mulai habis. Pun pekerjaan dari kantornya yang memang harus segera ia selesaikan. Itu tidak boleh sampai tertunda. Bisa-bisa digit nol bonusnya melayang entah ke mana kalau dirinya tidak serius me-lobby para calon customer-nya.
"Penjualannya oke?" tanya Dion sembari melirik ke arah sang gadis yang sudah memejamkan mata. Memang, sih, sejak tadi melihat Regi penampilan gadis itu sangat berbeda. Lelahnya benar-benar tercetak di sana.
"Oke, sih." Regi menjawab tanpa perlu menoleh ke arah Dion.
"Udah makan?"
"Hem."
"Aku cuma mau bilang kemarin itu hanya sandiwara, Yank."
"Cuma kamu bilang?" Radar emosinya masih tinggi, kok, walau sudah kelelahan jiwa dan raga Regi. Ketika Dion membahas mengenai hubungan mereka dan apa yang dilihat di mall saat itu, yang sialnya, menyebabkan Regi dalam kondisi seperti sekarang, wajar kan kalau dia marah?
"Iya, makanya aku mau bicara dan menjelaskan. Tapi kalau kamu lelah gitu, aku gimana? Dari tadi kamu cuekin aku."
Regi melengos. "Basi banget. Sepanjang jalan juga bisa kamu jelasin kalau niat."
"Iya, aku niat, Yank. Masa enggak niat. Aku jarang-jarang, lho, mau pakai motor Olla Cuma untuk bertemu kamu. Artinya, kamu aku pentingin, kan?"
Regi bersedekap. "Terus?"
"Aku benar-benar harus bersandiwara, Yank, di depan Rena. Rena dijodohkan padaku tanpa bertanya aku setuju atau enggak."
"Kan, kamu bisa nolak."
"Harusnya gitu. Tapi Ayah ngancam narik aku balik kampung kalau enggak setuju sama rencana mereka."
Regi menegakkan punggung atas ucapan yang baru saja didengar.
"Jadi? Keluarga kamu ke Jakarta tapi enggak kasih tau aku, gitu?"
Dion mengatupkan bibir.
"Selama ini aku apa, sih, buat kamu?" Regi sudah benar-benar habis sabar. "Aku berusaha banget kalau-kalau keluarga kamu datang ke Jakarta, bisa aku temui dengan pantas. Tapi kamu kayaknya enggak ada berjuangnya untuk aku. Malah pasrah aja gitu? Terus sandiwara begini? Kasih tau aku? Gunanya apa?"
"Aku enggak punya kesempatan untuk itu, Yank."
Regi memejamkan mata. Kepalanya pusing mendadak.
"Terus sekarang mau kamu apa?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro