Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Syukuri

Keindahan bumi,
Pristiwa
Dan banyak hal lagi
Semua tercipta sempurna
Atas ridho-Nya
Begitu pula
Kita

🕢🕢🕢

Setelah mencium punggung tangan Azzam aku segera berlalu menemui seorang perempuan ber syar'i merah tua itu. Siapa lagi kalau bukan Gisyel. Perempuan itu sepertinya sedang kesulitan membuka pintu toko.

"Hai," sapaku sambil menepuk punggungnya yang sedikit membungkuk.

Setelah pintu itu berhasil di buka. Ia memutar tubuhnya lalu memperhatikanku dari ujung kepala hingga ke kaki.

Aku mengibaskan tangan ke arahnya. "Hayo, kenapa liatin aku gitu banget? Ada yang beda?" heranku, Gisyel menggeleng. "Ini beneran kamu kan Az?" ujarnya, berhasil membuatku bingung.

"Iya dong. Emang kenapa sih?" timpalku semakin penasaran. Aku mengambil kaca dari dalam tas untuk memastikan tatanan wajahku. Menurutku tak ada yang aneh dari sana, lalu apa yang membuatnya begitu kaget? Gisyel memang aneh.

"Ahaha," tawa Gisyel berhasil membuatku bingung setengah mati. Yang aku takutkan kalo wanita itu lagi kesurupan.

"Kenapa sih?" Cemasku semakin serius.

"Ngga ada yang beda dari kamu kok, cuma aku kaget aja kamu bisa berangkat sepagi ini," celetuknya tanpa dosa berhasil membuatku melotot sempurna. "Kamu ini," kesalku.

Gisyel langsul merangkulku masuk ke dalam toko masih dengan tawanya yang belum reda. Sepertinya perempuan itu membutuhkan pukulan untuk membuatnya sadar.

"Jadi bagaimana?" Seriusku begitu kami sudah duduk di ruang kerjaku. Gisyel pun sudah menghentikan tawanya yang telah aku hadiahu pukulan di kepalanya.

"Bagaimana apanya," tanyanya bingung. Dan aku langsung menjelaskan padanya. Tentang pembicaraan kami yang tertunda dua hari yang lalu. Tentang penjualanan barang online.

Gisyel menyetujui ideku untuk menjual barang lewat sosial media. Admin tentunya Gisyel lah yang akan bertugas mengatur semua itu. Dan dia tidak perlu lagi harus menata barang dan lain lain. Dia hanya akan aku suruh mengatur sosial media untuk berjualan. Dan tentunya kariyawan akan bertambah di toko ini. Pastinya semua sudah aku persiapkan dengan matang.

"Minggu depan aku ke Bandung Gi. Ada undangan pasion show lagi," jelasku, Gisyel langsung mengangguk dan itu artinya dia akan mempersiapkan segala keperluan. Seperti data-data tentang barang yang akan di pentaskan. Begitu pula dengan aku.

Ketika kami sedang sibuk-sibuknya mengetik, seorang kariyawan datang menyampaikan maksud dari kedatangannya berbicara dengan Gisyel.

"Ada yang cari Bu Gisyel di depan Bu," kata Nani, dan wanita bertahi lalat di bawah bibir itu belalu setelahnya meninggalkan tanda tanya buatku dan tentunya Gisyel, sebab wanita itu jarang sekali di temui seseorang.

"Siapa Gi?" timpalku penasaran.

"Bukan siapa-siapa Azz. Mungkin adik aku minta uang saku," ucapnya sambil tertawa. Dan aku tau tawa yang ia berikan hanyalah tawa palsu.

Awalnya aku tidak ingin tau dengan urusan wanita itu tapi setelahnya rasa penasaran itu enggan aku tepis.

Aku mengintip Gisyel dari jendela kaca yang langsung terhuhung dari ruangan ke pintu utama.

Di sana seorang lelaki bertubuh tinggi sedang menatap Gisyel dengan pandangan memohon. Hanya itu yang aku tau. Setelahnya ia berlalu dari sana dan Gisyel kembali ke arah ruangan tempatku sekarang. Dan aku kembali ke posisi semula.

Gisyel terlihat lemas. Aku langsung bertanya, "Gi kalo ada masalah cerita ke aku, jangan pendam sendiri, siapa tau aku bisa membantu." Gisyel tersenyum penuh arti.

"Kamu lihat pria yang aku temui tadi?" tanyanya. Aku mengangguk kelu.

"Emm ...."

"Itu artinya iya," desaknya, aku pun akhirnya mengangguk.

"Siapa pria itu Gi?" tanyaku. Gisyel meneguk ludahnya. Wanita itu menahan tangis. "Pria yang tadi datang itu calon suami aku Azz. Dia ngebatalin semua rencana kami untuk menikah akhir tahun secara sepihak. Dia mau kembali dengan mantan pacarnya."

Aku memeluk Gisyel iba. Ternyata kisahku tidaklah sebanding dengan rasa sakit yang Gisyel dapatkan. Kejadian demi kejadian yang pernah aku lalui mulai terbayang-bayang.

"Gi yang sabar ya. Kamu tau kan jodoh ada di tangan Allah. Allah lebih tau mana yang terbaik untuk hambanya. Mungkin saja dia tidak baik bersanding denganmu. Aku yakin Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik lagi suatu saat nanti," hiburku, Gisyel tersenyum. "Iya, Azz."

Terlalu banyak penderitaan yang Gisyel dapatkan dalam hidupnya, tidak sebanding dengan kehidupanku ini. Seharusnya aku bersyukur masih memiliki keluarga utuh dan semua sehat dan ditambah lagi memiliki suami baik seperti Azzam meski tidak mencintainya. Dan aku tidak boleh menyia-nyiakan mereka.

Gisyel yang di tinggal ayahnya, ibunya pincang dan harus bekerja jadi tulang pinggung keluarga dan memiliki kehancuran membangun rumah tangga, masih bisa menerima semuanya dengan lapang dada. Ia tak mengeluh selama ini. Sedangkan aku selama ini sudah seperti wanita hancur di tinggal Iqbal yang semuanya berakhir dengan kesalah pahaman.

Gisyel melepaskan pelukanku lalu menghusap air matanya dengan punggung telapak tangannya. Ia berusaha kuat di hadapanku. Dan kembali mengerjakan pekerjaannya kembali. Aku memperhatikan semua itu dengan senyum bangga. Dan ini baru pertama kalinya aku melihat Gisyel menangis setelah kejadian pertama kali Allah mempertemukan kami dulu.

"Gi kamu butuh istirahat deh, kamu pulang aja ya. Biar hari ini aku yang urus semuanya."

Gisyel menggeleng lalu menampilkan senyum sebisanya. "Nggak Azz," katanya dengan nada yang masih menyimpan amarah. "Jangan gara-gara pria brengsek itu pekerjaanku terbengkalai dan aku tidak mau kamu yang kerjain Azz. Ini yang di bayar aku loh, dan kamu pemilik toko ini."

Aku hanya pasrah saja dengan keinginan Gisyel, mengenalnya cukup lama membuatku paham dengan sikap-sikapnya itu. Perempuan itu tidak bisa di paksa jika dia sudah bersikukuh dengan pilihannya.

Kami kembali mengerjakan pekerjaan kami dalam diam. Yang biasanya mendengar ocehan Gisyel, kali ini tidak ada suara itu lagi. Semua senyap. Aku bisa mengerti dengan keadaannya saat ini.

Hingga tiba makan siang aku mengajak wanita itu ke penjual sate di depan toko butikku. Kami makan di sana dengan sedikit canda. Gisyel begitu cepat mengubah ekspresinya itu, walau aku tahu di dalam pikirannya sekarang menyimpan banyak pertanyaan, kemarahan dan banyak lagi.

"Mang Jali makin tampan deh," timpal Gisyel sambil tertawa pelan saat kami lagi menunggu pesanan yang lagi di panggang Mang Jali, aku langsung memukul pundak wanita itu. "Dasar," kataku mengumpatnya.

Mang Jali yang sudah terbiasa mendapatkan kalimat itu hanya tertawa.

Ketika sate Madura telah tersaji di depan kami, Gisyel dengan gercap meraih piringnya yang masih mengeluarkan asap itu.

"Gi, ya ampun kaya ngga makan satu minggu aja kamu ini," candaku.

"Giyel tersenyum. "Aku udah laper banget Azz," katanya. Aku menggeleng.

Sebelum meraih sate di hadapanku. Suara ponsel lebih dulu berbunyi. Mau tidak mau aku harus mengangkatnya lebih dulu.

Terpampang nama Mas Azzam di layar lima inci itu.

"Ya, Mas?"

"Nanti pulang naik taxi ya, soalnya aku ngga bisa balik cepat hari ini."

"Iya Mas."

"Ngga pa-pa kan?"

"Iya ngga pa-pa."

Setelah telepon terputus aku menyantap makananku.

"Azz kamu sekarang sudah cinta sama Azzam kan?" tanya Gisyel.

"Ngga tau Gi, aku juga belum tau sama perasaanku sendiri." jawabku jujur.

"Ngga bisa di bohongi lagi kok Azz dari sikap kamu akhir-akhir ini, kamu sering tersenyum kalo lagi bersama Azzam, kamu juga terlihat bahagia sekarang."

Ucapan Gisyel menjadi kosa kata dalam diriku dan timbullah banyak pertanyaan. Tapi aku belum bisa menjelaskan dengan pasti kalau perasaan ini benar-benar perasan cinta.

🕢

"Bye, Gi, terimakasih tumpangannya."

"Sama-sama, Bye."

"Bye."

Gisyel melaju sedikit cepat menggunakan motor meticnya hingga tak lama menghilang dari balik gang. Rumah baru yang kini aku tempati bersama Azzam memang sedikit dekat dengan toko butik, meski seharusnya Gisyel tak lewat di sini, wanita itu bersikeras tadi mengantarku ke rumah.

Rumah sederhana kami begitu sejuk, terpaan angin di sore hari begitu terasa. Rumah yang sudah lama di beli oleh Mas Azzam memang tak ada mewah-mewahnya, jauh berbanding terbalik dengan rumah orang tuaku dan mertuaku. Tapi dari kesederhanaan inilah aku belajar tentang bersyukur, uang yang di cari bukan hanya untuk dinikmati sendiri. Ada berjuta manusia yang membutuhkan bantuan. Azzam membuatku kagum. Dari dialah aku belajar tentang berbagi semenjak usia kami masih terbilang kecil. Dan sipatnya itu tidak berubah hingga dewasa.

Meonggg ...

"Hai Kitty, siapa yang membawamu kesini?" kagetku.

Kitty mendekatiku, tentunya aku senang sekali dengan keberadaan kucing pliharaanku ini.

Cekrek ....

"Mas Azzam? Ih kenapa pake di foto segala sih." cemberutku tak suka.

"Ngga kenapa, nggak bikin kamu luka jugakan? Lagian ini bagus fotonya."

Azzam menunjukkan foto itu dan aku langsung mencondongkan tubuh sedikit berdiri untuk melihat hasil fotretnya. Hasil fotretnya mampu membuatku tersenyum. Hasilnya memang bagus.

Ekspresi kitty begitu menggemaskan sekali dalam poto itu.

"Oh ya Mas kok udah pulang, tadi katanya lembur?"

"Di batalkan lemburnya."

Aku mengangguk mengiyakan saja, tak mau bertanya lebih lanjut.

"Oh iya Mas aku belum masak, baru aja pulang. Aku kira Mas pulangnya malam, jadi aku tadi pulangnya sengaja agak sorean," kataku menyesal.

Azzam mengelus kepalaku lembut, aku menunduk sembari berjalan ke dalam, menerima kelakuan manisnya. Jujur setiap dia melakukan itu ada rasa nyaman menjalar keseluruh tubuhku.

"Kita masak bareng aja ya," katanya setelah meletakkan tas kerjanya, aku mendongak ke arahnya dengan kening mengerut.

"Nggak usah Mas, aku aja."

"Kita masak bareng ya," paksanya yang tak terelakkan, tangan kananku di raihnya lalu menggenggam jari-jemariku lembut. Dan kelakuan manisnya itu mampu membuatku beku seketika.

Azzam melepas kerudungku, awalnya aku menolak. Tapi akhirnya aku membiarkannya setelah dia berkata, "Biar kamu nggak susah masaknya, lagian nggak ada siapa-siapa di rumah ini selain kita."

Azzam mengikat ulang rambutku yang tergerai kusut, lalu menggulungnya hingga membentuk sanggulan.

"Nah seperti ini, biar kamu tidak kesusahan waktu masak," kata Azzam memegang gulungan rambutku, pria itu mampu menggulungnya sangat rapi, tidak tersisa sedikitpun rambut panjang yang masih tertinggal.

"Mas belajar dari mana sih bisa serapi ini?" heranku.

"Nggak belajar dari siapa-siapa kok, cuma hasil dari keseringan lihat Abi melakukan hal itu pada Umi."

Aku ber-oh

"So sweet ya Abi, Mas!" ungkapku mencondongkan wajah sedikit ke arahnya.

"Masa sih? Berarti kita juga so sweet dong."

.
Jangan lupa tinggalin jejaknya ya😉😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro