Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 24: Dilema

Rumaisha? Kenapa dia ada di sini? Sambil menangis pula! Jangan-jangan semua perbuatannya sudah terbongkar sebelum aku menyerahkan bukti-bukti ini! Atau justru dia membuat pengakuan dosa sendiri?

Serentetan pertanyaan itu melompat keluar dari pikiran Za. Dia semakin dilanda penasaran. Dengan hati-hati, Za menyelinap ke teras dan bersembunyi di balik dinding antara daun pintu dan jendela. Dia menempelkan telinga sambil menajamkan pendengaran. Jika yang terjadi ternyata sesuai dugaannya tadi, berarti sia-sia saja rencana pembalasan Za untuk mempermalukan Rumaisha, seperti yang cewek itu lakukan dulu padanya.

"Ustazah, saya mohon, Ustazah. Tolong beri saya kesempatan. Saya akan berusaha lebih keras lagi. Saya ...." Ucapan Rumaisha terputus. Za mencoba mendengarkan lebih cermat. Namun, yang terdengar hanya suara isakan tanpa putus.

"Rumaisha ... Ustazah mengerti keinginanmu. Tetapi menghafal Al-Qur'an itu bukan sekadar melisankan kembali ayat-ayat suci tanpa membuka mushaf. Apa yang lebih penting daripada hafalan mutqin? Ustazah yakin, kamu pasti mengerti."

Terdorong rasa kepo yang lebih besar, Za mengintip dengan hati-hati lewat jendela. Rumaisha tampak menunduk dengan bahu masih naik-turun. Kedua tangannya meremas rok gamis di atas pahanya dengan gelisah. "Tapi, Ustazah ...."

"Rumaisha ...." Ustazah Syarifah memotong ucapan Rumaisha dengan lembut dan sabar. "Seperti saran Ustazah Laila, sebaiknya untuk saat ini kamu fokus mengulang lagi hafalan kamu sebelumnya, biar makin kuat. Insyaallah kalau nanti sudah benar-benar lancar, kamu bisa lanjut lagi ke juz berikutnya, ya?"

Za bisa melihat punggung Rumaisha yang duduk membelakanginya bergetar hebat. Isakan kecil yang tadi sempat terdengar berubah menjadi tangisan deras. Ustazah Syarifah sampai bangkit dari duduknya untuk memberi cewek itu pelukan penenang. Buru-buru Za berbalik dan menyembunyikan diri dengan semakin merapat ke dinding. Bisa gawat kalau sampai dia ketahuan menguping di sini!

Sementara menunggu tangisan Rumaisha berhenti, Za memikirkan kembali semua yang didengarnya barusan. Jadi, penyebab Rumaisha menangis karena dia tidak bisa menambah hafalan? Tapi apa alasannya sampai dia se-ngotot itu?

"Terima kasih, Ustazah. Kalau begitu, saya pamit dulu. Assalaamu'alaikum."

Entah Za melewatkan sesuatu atau bagaimana, tiba-tiba terdengar suara Rumaisha yang berpamitan. Seketika dia kelabakan. Namun, sudah terlalu terlambat untuk kabur atau bersembunyi. Rumaisha yang muncul dari balik pintu memergokinya yang berdiri canggung di teras.

"Ngapain kamu di sini?" tanyanya dengan tatapan curiga. Wajah Rumaisha masih tampak basah oleh bekas air mata, begitu pula dengan hidungnya yang merah. Untung saja Za sudah lebih dulu menyembunyikan pouch yang tadi dipegang ke balik punggung sehingga Rumaisha tidak sampai melihatnya.

"Emang ruangan ini punya moyang kamu?" Lagi-lagi Za membalasnya dengan sengit. Namun, kali ini Rumaisha tak meladeni ucapan itu. Dia hanya melengos dan memakai kembali sandalnya sebelum kemudian berjalan ke arah asrama.

Za memandang punggungnya yang menjauh sebelum hilang disembunyikan kegelapan malam. Pandangannya lantas beralih ke pouch merah tua yang kini dipegangnya lagi di depan badan. Entah kenapa tiba-tiba hatinya digelayuti rasa bimbang. Apa yang sebenarnya dihadapi cewek angkuh itu hingga membuatnya tampak rapuh seperti hiu yang terdampar di pinggir pantai?

"Zainab? Kenapa kamu berdiri di sini?" Ustazah Syarifah yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang mengejutkan Za. Refleks dia pun memutar badan dan menarik tangan lagi ke balik punggung.

"Eh, anu. Itu ...," bola mata Za bergerak gelisah. Sejujurnya dia belum memutuskan apakah akan tetap maju membalas dendam untuk membuat hatinya lega atau mundur dengan gagah seperti seorang Heroine. Di saat-saat penuh dilema itu, pandangannya tidak sengaja menangkap keberadaan sebuah buku dengan sampul penuh warna yang tergeletak di atas meja yang biasa digunakan Ustazah Naila untuk berjaga. Kalimat selanjutnya meluncur spontan begitu saja, "Saya mau pinjam buku 'Generasi Penyelamat Islam' yang waktu itu belum selesai saya baca, Ustazah."

Ustazah Syarifah diam menatap Za selama beberapa detik sebelum berkata dengan sudut bibir terangkat, "Oh, belum selesai, ya? Masih kurang banyak?"

"Eh—em, itu ...," Za yang masih kaget dengan ucapannya sendiri semakin gelagapan karena tidak menyangka akan ditanyai. Tentu saja masih kurang sangat banyak, bukunya saja sama sekali belum pernah dia buka!

Ustazah Syarifah kembali tersenyum sebelum berbalik untuk mengambilkan buku yang dimaksud. Beliau tidak mempermasalahkan gelagat Za yang terlihat kikuk. Tidak lama kemudian, beliau sudah kembali dan menyodorkan buku itu.

"Saya senang kalau kamu bisa menikmati membacanya. Saat membuat buku ini, penulisnya terinspirasi dengan pengalaman dia saat masih duduk di bangku SMA lho, seusia Zainab," terang Ustazah Syarifah tanpa diminta. Za hanya tersenyum-senyum sambil melirik nama penulis yang tertera di buku. Ashandrea, dia baru pertama kali ini mendengar nama penulis itu.

"Semoga kamu bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari apa yang tertulis di buku ini. Kalau tidak ada keperluan lagi, segera kembali ke asrama. Sudah malam."

"I-iya, Ustazah. Assalaamu'alaikum."

Za menerima buku dari tangan Ustazah Syarifah dan segera pamit tanpa banyak bicara. Buru-buru dia memakai sandalnya dan pergi dari tempat itu. Namun, sepanjang perjalanan kembali ke asrama, batinnya dipenuhi pergolakan.

Ah, kenapa tiba-tiba dia mundur? Padahal itu tadi kesempatan yang bagus untuk membalaskan sakit hatinya. Rumaisha saja tidak ragu-ragu saat mempermalukan dia dulu di depan umum.

Tidak bisa dipungkiri ada rasa penyesalan saat kakinya menjauh dari ruang pengawas. Namun, ketika ingatannya memutar kembali suara isak Rumaisha dan air matanya yang jatuh, entah kenapa sudut hati Za ikut bergetar. ()

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro