Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

「Apa Arti Merdeka?」

"Atas nama Bapak Noah Ardana Nishad?" tanya wanita penjaga resepsionis, ia membenarkan letak kacamatanya dengan buku jarinya menatapku datar.

Aku mengangguk, mencabut kartu identitas yang dijepit di saku jaketku, menaruhnya di meja resepsionis. Wanita resepsionis itu menunduk mengambil kartu yang telah dilaminating lalu mengamatinya, setelah memastikan informasi kartu cocok dengan pria di hadapannya, ia mengangguk singkat mengembalikan kartuku.

"Bapak Adam Pratama menunggu Anda di ruangannya, Anda bisa pergi ke lantai 5 ruangan 052."

"Terima kasih," ucapku sedikit membungkuk.

Aku membenarkan tali tas di pundakku lalu melangkah menuju lift, diam-diam menghela napas mengendalikan rasa gugup yang muncul. Ini pertama kalinya aku bekerja sebagai wartawan, narasumberku adalah novelis senior, Adam Pratama. Ia bekerja sebagai manajer di perusahaan ini, kami sudah sepakat akan bertemu hari ini di jam makan siangnya sebelum ia berangkat ke luar negeri. Aku--sebagai orang yang socially awkward--tidak memiliki kepercayaan diri yang tinggi untuk wawancara pertamaku.

Tentu saja aku sudah dilatih secara profesional selama tiga bulan, rekan wartawanku yang lain juga mengakui kemampuanku. Tapi, ini tetap pertama kalinya aku bergerak sendiri sebagai wartawan. Setelah menekan tombol lift, pintunya segera tertutup dan bergerak naik menuju lantai 5. Setelah lift tiba di lantai tujuan, aku berjalan memasuki lorong sambil mencari ruangan 052.

"Siang, Pak. Bapak Noah, ya?" Seorang satpam segera menghampiriku dengan senyuman ramah.

Aku mengangguk balas tersenyum sopan. "Benar, saya Noah."

"Mari ikuti saya, Pak. Ruangan Bapak Adam ada di sebelah sana."

Sangat profesional, seperti yang diharapkan dari perusahaan besar ... Aku mengikuti satpam itu ke ruangan 052, dengan pelayanannya, satpam itu membukakan pintu kaca dan mempersilakanku masuk. Ia kemudian berjalan melewati meja kerja yang masih dipenuhi kesibukan, para karyawan ingin menyelesaikan pekerjaannya sebelum jam makan siang tiba. Aku mengekor, tersenyum sopan saat bersitatap dengan beberapa karyawan.

"Permisi, Pak Adam. Tamu Anda sudah datang."

Satpam itu tidak mengetuk pintu yang terbuat dari kaca buram, yang tidak memperlihatkan aktivitas di dalam, melainkan langsung berbicara. Tak lama, terdengar suara berat seorang pria dari dalam.

"Oh, iya. Silakan masuk."

Satpam itu kembali membukakan pintu dan mempersilakanku masuk, aku mengangguk berterima kasih, kemudian berjalan memasuki ruangan putih modern. Terdapat lemari modern berwarna cokelat gelap menempel di dinding, bagian depannya berupa kaca, menampilkan hiasan patung perunggu dan emas dengan berbagai macam bentuk; ada kuda, citah, dan monumen.

Di depannya, berdiri meja kayu putih yang menempel dengan jendela, terdapat komputer dan alat tulis kerja di atasnya. Di belakang meja terdapat kursi berkualitas tinggi yang terbuat dari kulit, seorang pria paruh baya duduk di sana. Rambutnya sudah memutih, disisir rapi ke belakang. Iris matanya cokelat mendekati hitam sayu, memberikan kesan wibawa dari orang yang sudah hidup lebih dari setengah abad. Pria itu--Adam Pratama, tersenyum padaku, memperjelas keriput di wajahnya, sebelah tangannya terjulur mempersilakanku untuk duduk.

"Silakan duduk."

Aku menurut, menggeser salah satu kursi di depan meja untuk duduk. Tanpa terburu-buru melepaskan tas dari punggungku dan menaruhnya di lantai. Untunglah jaket seragam wartawanku tidak menggunakan bahan tipis, karena air conditioner di ruangan ini sangat dingin.

"Kopi atau teh?"

Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, "Teh."

Adam mengangguk, menyuruh satpam untuk membuatkan teh. Aku mengeluarkan ponsel khusus untuk merekam percakapan, tablet, dan stylus pen.

Melihat alat yang kukeluarkan, Adam berkomentar, "Aku ingat wawancara pertamaku dulu masih menggunakan pensil dan buku catatan."

Aku tersenyum mengangguk. "Hari pertamaku menjadi wartawan, aku juga bingung karena mereka malah memberiku ponsel baru."

Adam tergelak, membereskan peralatannya yang berserakan, lalu melipat tangannya di atas meja.

"Noah, ya? Jujur saja, aku terkejut saat ada wartawan muda sepertimu yang menginginkanku sebagai narasumber. Aku sudah tidak aktif menulis, topik yang kubawakan juga itu-itu saja."

Aku menggeleng tidak setuju. "Aku adalah penggemar Anda, aku membaca nyaris semua karya Anda. Menurutku, Anda memiliki pemahaman mendalam di bidang sejarah Indonesia."

Aku menyalakan rekaman di ponselku dan menaruhnya di antara kami, kemudian menggeser penaku pada layar tablet, memeriksa pertanyaan yang sudah kubuat. Adam memerhatikanku sambil tersenyum.

"Aku tidak merasa begitu," katanya dengan nada santai, "pemahamanku soal sejarah tidak membuat topik beritamu jadi menarik. Itu juga alasannya kenapa wartawan lain tidak tertarik mewawancaraiku kalau bukan membahas karyaku yang pertama."

Apa yang Adam ingin ketahui dari pernyataan ini ... Aku tahu Adam tengah mengetes permukaan air, ia ingin melihat wartawan seperti apa diriku dari respons yang kuberikan. Seberapa dalam pemahamanku akan pekerjaan yang kulakukan, dan caranya menyebut wartawan lain, secara tidak langsung menggiring agar aku beropini akan hal itu juga.

Bukan hanya wartawan berpengalaman yang bisa menggiring sebuah percakapan, narasumber berpengalaman juga bisa melakukan hal yang sama!

Aku tersenyum percaya diri. "Berita akan selalu menarik jika headline-nya pas dan informasinya on point."

Dengan kata lain, berita yang menarik bukan karena mengambil topik yang panas saja, tapi pembawaannya juga harus memancing rasa penasaran pembaca. Dan hal itu tidak bisa dilakukan jika penulisnya tidak becus!

Adam terdiam sejenak, kemudian mengangguk sambil terkekeh, "Sangat percaya diri. Aku jadi punya ide untuk karyaku selanjutnya. Topiknya tentang wartawan muda berjiwa nasionalis yang ingin membangkitkan sejarah yang hilang, ia memburu arsip dan dokumentasi asli, juga mewawancarai orang yang sudah pernah melewati sejarah kelam. Mungkin akan semakin menarik jika kutambahkan bumbu supranatural, mengingat sejarah Indonesia sendiri tidak lepas dari kepercayaan mistisnya."

Mendengar Adam berandai bisa membuatku seantusias ini ... aku bahkan berharap bukunya benar-benar rilis ... seperti yang diharapkan dari penulis senior .... Aku menatap Adam tanpa melunturkan senyum, menekan rasa kegiranganku sebagai penggemar.

Di sini aku datang sebagai wartawan profesional, bukan penggemar!

Untunglah Adam tipe yang santai, ia tidak langsung menilaiku hanya karena aku jauh lebih muda darinya. Ia juga pandai mencairkan suasana yang kaku, sikap inilah yang paling kusegani dari Adam Pratama.

"Jika sudah rilis, aku berharap bisa bertemu Anda lagi," candaku, tanpa sadar sudah tidak terlalu gugup seperti tadi.

Adam tersenyum, keriput di matanya semakin terlihat jelas. "Kita bisa memulainya sekarang."

Aku mengangguk, mulai melontarkan pertanyaan pertama. "Mengapa Anda memilih sejarah sebagai tema utama dalam novel-novel Anda?"

"Saat masih muda, aku memiliki jiwa nasionalis yang tinggi. Aku ingin mewariskan pesan Bung Karno soal JASMERAH; Jangan Pernah Sekali-Kali Kita Melupakan Sejarah. Aku yakin kau pernah mendengar slogan ini sebelumnya?" Adam menyentuh dagunya nampak bernostalgia. Kemudian dirinya terkekeh renyah, "Tak disangka, cerita yang kutulis meledak dan dibaca oleh banyak orang. Cerita pertamaku berjudul 'Pribumi', banyak yang bilang topik yang kubawakan sangat sensitif, tentang pribumi dan penjajah Belanda. Aku mendapat banyak kritikan dari sana, tapi semakin banyak kritik, semakin melejit penjualan bukuku. Banyak orang penasaran, senekat apa tulisanku itu?"

Di zaman penjajahan, topik ini memang sangat sensitif karena berhubungan dengan diskriminasi. Pribumi adalah kasta paling rendah saat negara ini masih dijajah. Bahkan beberapa tahun setelah merdeka, istilah "pribumi" sempat di-banned dalam undang-undang ....

Aku tenggelam dalam pikiranku, menyimak tanpa menyela.

"Setelahnya, aku merasa nyaman dengan tema sejarah yang kubawakan. Selain bisa membagikan cerita pada generasi muda, aku sendiri antusias setiap membahas sejarah. Aku bisa merekayasa ulang adegan dokumentasi dalam kepalaku, mengandai-andai detail yang tidak dijabarkan, lalu menuliskannya dalam bentuk cerita. Bagiku, menulis adalah cara ampuh berkomunikasi dari hati ke hati. Pembaca bisa berempati dengan karakter-karakter di dalam cerita, lalu belajar memahami sudut pandang yang belum pernah mereka lihat.

"Menulis adalah keajaiban, kau bisa menjadikannya sebagai terapi atau sekedar hobi. Membaca juga sama, temanku pernah bercerita, ia memiliki penyakit mental saat membaca sebuah novel, dalam novel itu ada adegan di mana seorang karakter melakukan sesi terapi dengan psikiaternya. Setelah membaca novel itu, keadaan mental temanku ikut membaik, bahkan psikiaternya bilang ia mulai pulih. Ajaib, bukan? Maka dari itu, aku juga ingin membuat tulisan yang bisa menghidupkan kembali sejarah. Semua buku yang kutulis tidak pernah lepas dan tidak akan pernah lepas dari tema sejarah."

Menulis dan membaca adalah sebuah keajaiban ... aku suka kalimat itu.

Aku berpikir sejenak, sebelum kami diinterupsi oleh satpam yang membawakan teko dan cangkir di atas nampan plastik. Adam mempersilakannya masuk untuk menaruh nampan di meja, dengan cekatan, satpam itu memindahkan cangkir ke hadapanku dan Adam, lalu menuangkan tehnya dari teko. Setelahnya, ia berpamitan dan beranjak pergi dari ruangan.

Aku dan Adam menyeruput teh sebelum melanjutkan, "Kudengar tanggal 17 Agustus nanti Anda akan merilis buku baru berjudul; Jiwa Yang Dijajah. Cerita apa yang Anda bawakan dalam buku Jiwa Yang Dijajah nanti?"

"Kali ini sedikit berbeda." Adam melontarkan senyum hangat. "Di buku sebelumnya, aku selalu menyenggol isu sosial dan moralitas pada zaman penjajahan. Kali ini, aku ingin berfokus pada makna kemerdekaan yang selama ini kita deklarasikan. Aku yakin setiap orang memiliki pandangan berbeda terhadap makna 'merdeka' itu sendiri."

Makna merdeka ... Benar, sederhananya merdeka itu terbebas dari belenggu penjajah. Saat negara ini terbebas dari penjajahan dan bisa berdiri sendiri, saat itulah Indonesia merdeka. Tapi, bagaimana dengan orangnya? Bagi setiap orang, apa yang dianggap belenggu itu berbeda-beda, cara melepas belenggunya juga berbeda. Lalu, apakah mereka bisa disebut merdeka?

"Apa arti merdeka ...," gumamku pelan.

Adam kembali menyeruput tehnya menatapku sejenak, kemudian menengok ke luar jendela. Aku ikut menengok ke arah yang sama. Terdengar seruan yel-yel dari bawah, semakin lama suaranya semakin mendekat. Di pinggir jalan raya yang agak sepi, sekumpulan pemuda-pemudi berpakaian serba putih terlihat tengah baris-berbaris.

Yel-yel yang mereka kumandangkan kedengaran seru dan bersemangat, sambil membentangkan bendera merah putih yang berkibar tertiup angin. Di sepanjang trotoar juga terpasang bendera merah putih, iklan-iklan yang tampil di billboard, memiliki tema seragam kemerdekaan.

"Ini pandangan pribadiku soal kemerdekaan," ucap Adam kemudian, membuatku secara natural menengoknya kembali, "di dunia ini, kita tidak pernah benar-benar merdeka. Kita selalu dijajah oleh sesuatu dan selalu berjuang untuk lepas dari penjajahan itu. Kita berjuang untuk bebas dari kemiskinan, berjuang untuk bebas dari kebodohan, bahkan berjuang untuk bebas dari diri kita sendiri, dan berusaha berubah menjadi lebih baik kedepannya.

"Menurutmu apakah mereka paham akan hal itu? Setiap upacara 17 Agustus berseru, 'Merdeka!' dengan lantang. Menurutmu jiwa mereka tidak mengeluh dan mempertanyakan dirinya sendiri? Aku mengalami penjajahan dalam hidupku, kau juga pasti mengalaminya. Kita semua akan mengalaminya dan menghadapinya. Lalu, apakah seruan merdeka yang kita kumandangkan memiliki makna yang sama?"

"Anda ingin membantu pembaca untuk merdeka dari penjajah dalam hidup mereka?" tanyaku penasaran.

Adam menggeleng. "Mana bisa orang membaca karyaku lalu tiba-tiba kaya. Tidak menjamin juga orang jadi pintar setelah membaca bukuku. Apalagi bebas dari dirinya sendiri. Kalau dilihat dari kacamata lain, bukankah tubuh kita sama dengan kurungan bagi jiwa kita? Apakah kita harus mati dulu untuk bebas dari diri kita? Tidak juga, kan? Tapi, setidaknya mereka akan merasa relate dengan kehidupannya sehari-hari, lalu perlahan menyadari berbagai hal."

Aku merenung mendengar jawaban itu, makna kemerdekaan bagi setiap orang berbeda-beda, makna penjajahan juga berbeda. Untuk bisa merdeka, setiap orang harus memahami dulu apa yang tengah menjajah mereka saat ini! Itulah tujuan buku yang ditulis Adam Pratama kali ini!

"Menurutmu apa yang menjajah kita saat ini?"

Aku tidak menduga datangnya pertanyaan itu, berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Teknologi ...."

Adam memejamkan matanya mengangguk takzim. "Benar, teknologi semakin canggih, sedangkan kita tidak bisa mengikuti arus kecepatannya. Akibatnya, masih banyak orang yang terjajah oleh benda kecil ini."

Adam menggenggam ponsel miliknya sambil menghela napas. Terlihat kekhawatirannya akan perkembangan teknologi yang pesat, tetapi manusia belum siap dengan perkembangan itu. Ia tahu perubahan ini tidak bisa dihentikan. Ia berharap agar manusia sadar bahwa teknologi hanyalah alat bantu, jangan sampai ketergantungan.

Isu teknologi ini juga masih menyenggol isu sosial dan moralitas di dunia online ... Kurasa dua hal itu memang tidak akan lepas dari masyarakat ....

Aku menyeruput tehku lagi, mencatat beberapa poin sebelum lanjut memberikan pertanyaan dan mendapatkan jawaban. Setelah puas mengumpulkan semua jawaban, Adam tiba-tiba bertanya, "Bagi pemuda sepertimu, apa arti kemerdekaan?"

Aku terdiam, memasang posisi berpikir. Adam menatapku sambil tersenyum, Adam ingin mengetahui pandangan pemuda sepertiku soal kemerdekaan ... jujur saja aku tidak pernah memikirkan hal ini secara mendalam.

Jika dipikir-pikir lagi, selama ini musuh terbesarku adalah diriku sendiri. Aku pernah gagal karena rasa pesimisku. Aku pernah hancur karena kebodohanku sendiri. Aku pernah terperosok karena abai akan banyak hal.

Penjajah dalam hidupku adalah diriku sendiri ....

Dari sini, aku bisa bilang kalau makna kemerdekaan bagiku adalah; "Terbebas dari sesuatu yang membelenggu."

"Terbebas dari sesuatu yang membelenggu ...." Adam mengangguk mengulangi ucapanku, ia setuju dengan pemikiranku, kami memiliki jawaban serupa.

Kami menyudahi wawancara setelah jam makan siang selesai, aku mengemasi barang-barangku, mengucapkan terima kasih, lalu berpamitan.

Aku pergi dari gedung, mengendarai motor pribadiku kembali ke kantor. Sebuah bangunan tiga lantai, dengan logo mencolok di bagian depan gedungnya. Aku memarkirkan motorku, lalu berjalan memasuki kantor.

Wartawan dan karyawan lain sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, beberapa fokus pada layar komputernya, beberapa lagi mondar-mandir sambil memeluk berkas di dadanya. Gelas-gelas kopi maupun teh menemani meja kerja mereka, diiringi suara ketikan nyaring yang memenuhi ruangan.

Aku dengan familiar melangkah menuju meja kerjaku yang berada di paling ujung, melepas tas dari punggungku lalu duduk di kursi empuk beroda. Rekan kerjaku yang tengah fokus menyadari kedatanganku, kepalanya refleks menengok ke arahku.

Seorang pria muda dengan air wajah yang cerah, ia memakai kacamata kotak berbingkai hitam dan lensa minus yang tebal. Perawakannya kurus ramping dengan warna kulit sawo matang. Matanya cokelat terang, rambutnya pendek berjambul, ditata rapi.

"Bagaimana wawancara pertamamu? Lancar? Atau ada kendala?" tanyanya sambil menaik-turunkan alis, seakan tengah menanyakan kencan pertama yang seru.

Aku menarik ujung bibirku ke atas, menjawab sambil mengeluarkan peralatanku dari tas yang seperti kantong ajaib Doraemon.

"Lebih baik dari wawancara pertamamu, kau bahkan lupa membawa ponsel rekamanmu."

"D-dari mana kau tahu soal itu?" Pria muda itu terkejut, ia tidak pernah menceritakan pengalaman wawancara pertamanya padaku.

"Pak Syahid bercerita sebelum berangkat, ia ingin menyemangatiku agar tidak gugup. Katanya, Pak Bimo lupa membawa ponsel rekamannya, jadi ia terpaksa memakai ponsel pribadinya. Bahkan saat wawancara lidahnya sempat tergigit--"

"Stop! Aku tidak mau dengar lebih dari ini," Bimo menepuk jidatnya sambil menggeleng, kedua pipinya merona merah, "Pak Syahid suka melebih-lebihkan cerita, aku tidak menggigit lidahku sendiri!"

Kau tidak perlu menyanggahnya dengan keras, reaksimu ini malah mengkonfirmasi lebih jauh ... Aku terkekeh, tidak melanjutkan candaanku. Setelah menyudahi percakapan, kami kembali fokus pada pekerjaan. Sampai jam pulang tiba, aku telah menyelesaikan artikelku, jadi bisa pulang tepat waktu.

Sebelum pulang, Bimo sempat memberitahuku soal berita yang tengah ditulisnya.

Ia mewawancarai sekumpulan mahasiswa yang membagikan pakaian layak pakai dan buku-buku secara gratis pada keluarga yang kurang mampu, saat Bimo bertanya apa yang membuat mereka melakukan kegiatan ini?

Jawaban mereka adalah; "Kami ingin semua orang, terutama anak-anak, untuk merasakan apa itu kemerdekaan. Dengan pakaian-pakaian ini, dengan buku-buku ini. Kami berharap mereka bisa merasakan hal baru, dan betapa spesialnya hari kemerdekaan ini. Kami berharap, mereka akan memandang hari kemerdekaan ini sebagai hari yang patut untuk dikenang dan dirayakan."

Bagi para mahasiswa itu, makna kemerdekaan adalah saat kita bisa ikut merasakan betapa bebasnya negara kita di hari itu, betapa spesialnya hari itu hingga selalu diperingati setiap tahunnya. Betapa bahagianya orang-orang zaman dulu saat mendengar seruan, "Merdeka!" dalam siaran radio-radio jadul.

Reaksi pertama mereka pasti tak percaya, tak menyangka, tapi dalam hati mereka, secercah harapan yang selalu mereka pendam akhirnya benar-benar menjadi kenyataan. Beban yang selama ini memberatkan hati mereka lepas seketika, dibuktikan dengan senyuman yang dihiasi air mata.

Sambil melirih, mereka dengan bibir gemetar berbisik, "Indonesia benar-benar sudah merdeka ...."

Membayangkannya saja membuat bulu kudukku berdiri. Momen sakral itu menjadi titik tercatatnya sebuah sejarah.

Kini aku sudah berada di rumah, sebuah kos kecil yang memiliki tidak lebih dari enam penghuni. Aku melepas sepatu dan memasuki kamarku, disambut oleh figura berbingkai cokelat yang berdiri di meja kecil.

Ada tiga sosok yang saling merangkul dalam figura itu. Sosok wanita berambut hitam dengan mata cokelat, tersenyum lebar sambil merangkul seorang bocah dari belakang. Bocah itu memiliki rambut hitam dan mata cokelat kekuningan, sama seperti pria di samping mereka. Dengan perawakan tinggi dan gagah, pria itu terlihat jauh lebih muda dari umurnya. Di belakang mereka adalah pasir putih yang berbatasan dengan laut biru.

Itu adalah fotoku dan orangtuaku. Ayahku meninggal empat tahun lalu karena kecelakaan kerja, tersisa ibuku dan aku. Tapi, kami hidup terpisah karena keputusanku untuk merantau.

Sebelumnya aku adalah seorang pengecut yang bertarung dengan diri sendiri, hanya karena gagal satu-dua kali membuatku putus asa. Aku terlalu stres memikirkan bahwa hanya diriku harapan satu-satunya untuk menghidupi keluargaku, padahal ibuku sendiri tidak menyuruhku untuk memaksakan diri, tapi justru hal itulah yang membuatku semakin bersalah jika aku gagal.

Aku tersenyum tipis, aku masih belum merdeka dari diriku sendiri, setidaknya, aku berhasil mengenal diriku lebih dalam. Perjalananku masih amat panjang, dan aku tidak akan berhenti berjuang sampai benar-benar merdeka.

◇❖◇◇❖◇❖◇◇❖◇❖◇◇❖◇❖

To Be Cont--maksudnya End

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro