14. Pertengkaran Pertama
"Peluang memang besar, tapi tetap ada kemungkinan kecil kamu bakalan kehilangan hak asuh anak, mengingat kamu yang jarang ngurus mereka. Waktu kamu sebagian besar di dunia kerja, kenal anak-anak dengan baik aja nggak bisa. Mana mereka nggak dapat jatah ASI sampai dua tahun karena kamu langsung fokus kerja. Jadi, ya ... anak-anak udah nggak perlukan sosok ibunya, bikin peluang kamu dapat hak asuh, makin sedikit."
Raisya mendengarkan penjelasan dari pengacaranya dengan saksama melalui sambungan telepon. Ia mengusap kening dengan kuat, demi mengurangi denyut sakit di sana.
"Tapi aku kerja buat anak aku sendiri. Apa itu belum cukup, Fan?" tanya Raisya, dengan suara putus asa.
"Nggak cukup sama sekali. Karena anak nggak cuman butuh materi. Itu bisa mereka dapat dari ayah mereka."
"Terus ... gimana?" Suara Raisya kian memelas, nyaris putus asa.
"Kamu bisa coba buat dapetin hati anak-anak kamu, dan usahakan sampai mereka membutuhkan kamu lebih daripada ayah mereka. Kamu harus bisa memberikan sesuatu yang hampir nggak bisa mereka dapatkan dari ayah mereka," jelas Ifan melalui sambungan telepon. "Btw, alasan kamu mau cerai, kenapa? Maksud saya, pernikahan kamu terlalu mulus buat pisah. Ada faktor eksternal?"
Raisya ragu menjawab, sebab ini masih dugaan yang terlalu kuat walau tanpa bukti. Ia bungkam cukup lama, sampai Ifan menjelaskan maksudnya lebih detail.
"Kamu bisa pakai kekurangan suami kamu, atau masalah yang suami kamu timbulkan sebagai tambahan alasan kenapa anak-anak harus ikut kamu. Misalnya aja ... perselingkuhan mungkin? KDRT—"
"Iya," potong Raisya agak bersemangat. "Aku harus ngapain?"
"Kumpulin bukti aja, Rai," balas si penelepon. "Setelah kamu merasa sudah cukup dengan dua hal tadi: rebut hati anak-anak, dan kumpulkan bukti permasalahan suami kamu—kamu bisa hubungi saya lagi buat bikin surat cerainya."
"Oke, Fan. Terima kasih," ucap Raisya dengan sedikit lega. "Aku bakalan usahakan semua yang kamu bilang tadi."
Gumaman rendah dikeluarkan oleh Ifan sebagai balasan. Mereka basa-basi sebentar, lalu mematikan sambungan telepon.
Meski Raisya sudah menemukan jawaban, ia mendapati masalah lainnya.
Bahwa pekerjaan ini, bagaimana? Raisya merasa berat untuk meninggalkannya, tetapi di sisi lain, ia butuh lebih banyak waktu untuk bersama anak-anak agar bisa mendapatkan hati mereka.
Raisya menumpuk lengannya di atas meja, untuk kemudian digunakan sebagai bantalan tambahan. Ia sedang di dalam kondisi kebingungan, ketika pintu ruangannya tiba-tiba terbuka. Membuat perempuan itu secara spontan menengadah.
"Aku ganggu, Rai?" tanya Theo, yang baru saja masuk.
Raisya segera menormalkan sikap, kemudian menggeleng usai mengusap rambutnya dengan tekanan kuat.
"Nggak. Masuk aja," balas Raisya. Ia kembali membuka laptop yang sempat ditutup, agar terlihat lebih sibuk.
Theo meletakkan sebuah kantongan plastik di atas meja untuk tamu. Ia mengeluarkan isinya yang berupa kotak kue di sana, untuk memamerkan aroma harum dari sana.
"Sudah makan siang tadi, Rai?" tanya Theo. "Kalau belum, sini makan bareng."
"Sudah," jawab Raisya tidak acuh. "Lagi nggak laper."
"Kamu beneran marah karena aku panggil nama Anna pas kamu jatuh, Rai?"
Pertanyaan Theo barusan langsung mendapatkan tatapan tajam dari Raisya. Perempuan itu seolah balas bertanya, menurut kamu? Namun, Raisya tidak mengatakan apa pun.
"Maaf buat itu, Rai. Aku nggak bermaksud apa-apa. Aku sebut nama dia, supaya dia tahan kamu biar kamu nggak jatuh. Cuman itu tujuan aku, Rai, nggak ada hal lain lagi," jelas Theo dengan suara memelas penuh permohonan.
"Tujuan kamu jelasin ini buat apa, Mas?" Raisya balas bertanya, sembari memindahkan arah pandangnya ke layar monitor walau tidak ada pekerjaan pasti yang dilakukan. Raisya hanya untuk memberikan batasan berupa suasana dingin antara dirinya dan sang suami. "Kalau kamu pikir aku cemburu, berarti kamu nggak tahu aku dengan baik."
"Tapi sikap kamu beneran kayak perempuan yang lagi cemburu. Marah, cuek, tapi nggak mau mengakui kalau lagi marah," balas Theo dengan senyum geli yang mengejek. Sekali lagi, berhasil memancing pandangan sinis Raisya mengarah padanya.
"Kamu nggak kenal aku dengan baik ternyata," balas Raisya yang mengandung makna misterius. Membuat Theo langsung meredupkan senyum dan berusaha untuk serius. "Kamu tahu poin plus kamu dibanding laki-laki lain yang bikin aku terima perjodohan sama kamu, Mas?"
Theo diam, tidak membalas selama beberapa saat karena bingung.
"Kamu jujur, dan bertanggung jawab." Raisya menjawab sendiri pertanyaannya. "Dan aku ragu, kamu masih punya dua sifat itu sekarang."
"A—apa, Rai?" Theo secara spontan memperbaiki posisi duduknya akibat tegang, takut jika Raisya mengetahui rahasianya.
"Aku yang harusnya tanya. Apa hal yang seharusnya aku ketahui, tapi malah kamu sembunyikan, Mas?" Sekarang, Raisya memperjelas sifat kerasnya dengan menutup setengah laptop sehingga bisa fokus pada Theo saja. "Aku nggak pernah langgar privasi kamu, tapi harus kamu pahami, bahwa ada beberapa hal yang wajib kamu beritahu ke istri kamu. Dan aku belum tahu hal-hal itu secara jujur. Jadi, jelasin sekarang, mumpung aku masih tenang kalau kamu yang cerita sendiri."
Theo tidak memiliki keberanian untuk membalas, tetapi pandangan sinis yang malas dari Raisya sudah cukup untuk membuatnya gentar. Pria itu tidak punya pilihan lain selain mengatakan apa saja yang sudah ia sembunyikan.
"Aku sama Anna—"
"Aku nggak peduli sama kamu atau Anna," potong Raisya dengan tegas. "Yang lain."
Theo semakin kebingungan. Pikirannya hanya didominasi oleh permainan rahasia antara dirinya, Anna, dan Dewi. Sehingga pria itu harus memeras otak demi mencari tahu sumber kemarahan dari sang istri.
"Pekerjaan?" Maka, Raisya menyerah dalam penantiannya, dan memilih memberitahukan topik yang sedang ia bahas kali ini.
"Ah, pekerjaan?" Theo secara spontan menggaruk pelipis demi menyamarkan gugup. Ia tersenyum bersalah pada Raisya, sekaligus meyakinkan diri sendiri agar berani menjawab. "Aku cuman nggak mau bikin kamu kecewa, Rai."
"Kecewa gimana?" Raisya balas bertanya. "Bukannya dari awal aku mau nyaranin kamu kerja di sini. Kenapa malah bohong kalau kamu sudah dapat pekerjaan? Kenapa?"
Kemarahan Raisya semakin sulit terkendali, seiring pertanyaannya yang berulang. Theo sulit bergerak di tempatnya, bimbang harus memberikan jawaban apa. Sebab ini pertengkaran mereka yang pertama, Theo tidak tahu bagaimana saja sikap dan tindakan istrinya saat marah.
"Aku cuman mau usaha sendiri, Rai."
Dengkusan geli yang terdengar jengkel dikeluarkan oleh Raisya seiring pengalihan arah pandang dari perempuan itu. Meski menampilkan sebuah senyum, Raisya jelas terlihat tidak tenang sama sekali.
"Usaha kayak gimana yang kamu maksud sebenarnya, Mas? Usaha biar kamu bisa punya banyak waktu di rumah buat dihabiskan sama Anna dan anak-anak aku?"
"Anak kita, Rai." Theo mengoreksi. Namun, Raisya sama sekali tidak menimpali. "Aku sama sekali nggak pulang ke rumah setelah antar kamu, Rai. Aku selalu usaha buat nyari pekerjaan—"
"Apa buktinya?" tantang Raisya, kali ini sambil berdiri karena nyaris kehabisan kesabaran. "Kenapa kamu nggak hubungi aku buat nyari kerjaan? Usaha sendiri gimana yang kamu maksud, Mas? Dari awal kita sama-sama sudah dewasa buat paham prinsip pernikahan itu apa: saling melengkapi! Aku kerja, kamu di rumah. Itu udah cukup banget, Mas! Aku nggak pernah ngeluh, dan aku harap kamu juga gitu! Tapi kenapa ... kamu yang sok-sokan mau usaha sendiri ini, lupa keberadaan aku sebagai istri kamu yang bakalan selaku bantu dan dukung kamu! Kamu lupa bahwa kita dari dulu saling melengkapi! Kamu lupa semuanya ... setelah Anna muncul!"
"Kamu mau pecat Anna? Oke. Aku bakalan hubungi Mama—"
"Itu bukan solusi yang aku mau!" balas Raisya dengan suara tegas, tidak lagi peduli jika pertengkaran mereka terdengar keluar. "Aku cuman ...." Raisya menahan napas sejenak untuk mengingat kalimat yang pas kepada suaminya. "Nggak kenali sosok Theo yang aku nikahi dulu. Sudah dua, Mas. Dua hal yang jadi poin plus aku terima kamu dibanding laki-laki lain, tapi dua hak itu juga yang sudah kamu rusak sekarang."
"Jadi?" Theo bertanya, tepat setelah Raisya menghentikan ucapannya. Ia terlihat ragu menunggu jawaban, sementara Raisya mengambil napas setelah kemarahannya yang meluap. "Kamu ... mau pisah dari aku?" tanya Theo, menuntut kejelasan lebih lanjut.
Raisya mengangkat kedua bahunya tidak acuh. "Sedang proses," jawabnya singkat. "Anak-anak ikut aku."
"Nggak." Theo menolak tegas walau suaranya masih rendah. "Aku nggak bakalan biarin itu terjadi!"
[UPDATE SETIAP HARI SELASA]
Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini LEBIH AWAL/secara lengkap di :
KBM App : Es_Pucil
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro