Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

seorang merayu dalam kenangan

Aku melangkah perlahan di atas trotoar yang mengingatkanku pada jejak-jejak masa lalu. Angin sore yang berhembus seperti pelukan lama di masa lalu, membawa aroma kenangan yang terasa semakin kuat dengan setiap nafasku.

Sekolah Menengah Atas ini, seperti rumah tua yang masih tegar berdiri meskipun usianya sudah hampir satu abad. Di depanku, bangunan itu terlihat sama megahnya seperti yang kuingat, meskipun kini tampaknya dipenuhi dengan energi aneh di hari Minggu sore. Membuatku bernostalgia tentang masa lalu.

Seperti perkiraanku, akhir pekan ini ada clear area di sekolah. Menurut info dari Bumi, adikku, di sini sedang ada kegiatan malam pengakraban untuk klub teater. Ia menyuruhku untuk datang di hari Minggu pukul 4 sore saat kegiatan berakhir.

Masih ada beberapa menit lagi untuk bisa masuk ke dalam sekolah. Sementara itu, aku duduk di dekat pos satpam untuk menunggu kegiatan klub ekstrakurikuler tersebut berakhir. Sambil menunggu, aku menggoreskan ide-ide yang muncul di kepalaku ke buku catatan. Melengkapi alur cerita yang berhasil aku temukan saat berada di dalam kereta.

Aku meraih ponselku, mengambil foto-foto sudut halaman yang kini tampak begitu asing sekaligus penuh kenangan. Sekolah yang pernah menjadi tempat untuk menghabiskan sebagian besar hariku, kini terasa jauh dan tejangkau. Rasanya ingin mengulang waktu, meski aku tahu itu mustahil.

"Boleh saya duduk di sini?" Suara seorang pria paruh baya mengejutkanku dari lamunan.

Aku menoleh, memandangnya. Pria yang aku taksir berusia 60-an tahun itu tersenyum ramah. Rambutnya yang memutih dengan garis-garis halus di wajahnya menunjukkan jejak waktu yang telah dilaluinya. Aku memberikan anggukan yang sama ramahnya, dan ia pun duduk di sebelahku.

Kami mulai berbicara, awalnya hanya basa-basi, tapi kemudian ia mulai bercerita tentang cinta pertamanya. Itu juga yang menjadikan alasan kedatangannya ke sekolah di Minggu sore ini.

"Cinta pertama saya.... adalah orang yang sama yang telah menjadi istri saya. Kini dia sudah meninggal. Dia adalah cinta sejati dalam hidup saya, dan kenangan tentangnya selalu menjadi sumber kekuatan dan kehangatan."

Aku tersentuh. Juga tertarik untuk menggali lebih banyak kisah cintanya untuk aku jadikan inspirasi dalam novelku. "Jika boleh tahu, apa momen romantis masa muda yang paling berkesan bagi Bapak?"

Pria itu tersenyum. "Ah, ada begitu banyak momen yang kami bagikan bersama. Tetapi ada satu momen yang paling saya ingat, itu adalah momen saat kami pertama kali bertemu di bawah Rinjani." Jari telunjuknya terulur ke satu-satunya pohon beringin yang ada di halaman depan sekolah. Seingatku, di masa aku sekolah dulu, memang banyak pasangan-pasangan yang jatuh cinta di bawah pohon yang dijuluki dengan sebutan Rinjani.

"Dia berdiri di sana, dengan senyum yang membuat hati saya berdebar-debar, dan mata kami bertemu saling bertemu. Itu adalah awal dari cinta yang tak terlupakan," sambungnya.

Aku membayangkan betapa mendebarkannya pertemuan itu. "Wah, itu pasti momen yang paling indah."

"Ya, itu momen yang akan selalu saya kenang. Meskipun waktu telah merenggutnya, cinta dan kenangan kami tetap abadi di dalam hati." Pria itu menempelkan tangannya ke dada sebelah kiri.

Baru kali ini aku mendengar seorang laki-laki benar-benar mendefinisikan kata cinta dengan indah. Aku bahkan dibuat tertegun, ternyata ada pria yang selembut ini. Aku yakin pasti ia telah memperlakukan istrinya dengan sangat baik. Membuatku iri.

Namun, aku juga penasaran dengan apa yang membuat pria di sampingku ini bisa jatuh cinta pada mendiang istrinya.

"Apa yang membuat saya jatuh cinta padanya? Hmm, pertanyaan yang sulit. Tapi jika harus diungkapkan, mungkin karena kebaikan dan kelembutan yang selalu ada dalam dirinya. Dia adalah sosok yang penuh kasih, selalu peduli terhadap orang lain dan memiliki hati yang besar. Saat melihatnya, saya merasa seperti menemukan rumah yang sejati, tempat di mana saya bisa menjadi diri sendiri tanpa rasa takut atau cela."

"Jadi, kebaikan dan ketulusan hati ibu yang membuat Bapak jatuh cinta kepadanya?"

Pria paruh baya itu mengangguk. "Ya, itu salah satunya. Juga, saya melihat ada kekuatan dan keberanian dalam dirinya yang membuat saya terpesona. Dia adalah sosok yang berani menghadapi tantangan dan mengambil risiko untuk hal-hal yang diyakininya. Itu membuatnya menjadi sumber inspirasi dan membuat saya semakin mencintainya setiap hari."

Percakapan kita sempat terhenti saat mendengar ramai sorakan diiringi deru tapak kaki anak-anak sekolah yang berlarian. Sepertinya, kegiatan mereka telah selesai.

Mungkin sebentar lagi aku bisa berkeliling ke dalam sekolah.

"Dulu, ikut klub ekstrakurikuler apa, Nak?"

"Oh, saya dulu ikut klub fotografi, Pak. Klub Focus, namanya," jawabku sambil menjelaskan sedikit karena aku yakin saat pria paruh baya ini bersekolah di sini belum ada klub ekstrakurikuler tersebut.

"Klub baru, ya? Seingat saya waktu sekolah dulu, kamera masih jadi barang langka." Aku mengangguk.

"Saya juga tertarik dengan fotografi. Saya suka dengan seni visual yang membuat saya bisa mengekspresikan diri melalui gambar-gambar yang saya ambil. Fotografi memberi kesempatan untuk melihat dunia dari perspektif yang berbeda dan menangkap momen-momen indah dalam kehidupan."

"Sementara mendiang istri saya, dia suka membaca puisi dan menulis cerita pendek. Matanya bercahaya setiap kali dia menulis atau membacakannya. Dia memiliki bakat alami untuk menyampaikan emosi dan mampu memikat hati orang dengan kata-kata. Setiap kali dia membacakan karya-karyanya, saya merasa seperti tersentuh oleh keindahan dan kedalaman perasaannya. Itu membuat saya jatuh cinta lagi padanya, karena kecantikan jiwa dan kegairahan batinnya yang tak tergantikan."

"Luar biasa sekali istri Bapak. Saya berharap saya bisa sama hebatnya dengan istri Bapak suatu hari nanti," ujarku dengan tulus.

"Tentu, kamu pasti bisa. Saya bisa melihat kamu punya bakat untuk menyampaikan emosi lewat kata-kata." Ucapannya sangat berlebihan tapi aku tetap mengamininya.

Aku penasaran, "apakah Bapak dulu sering bertukar hasil karya dengan mendiang ibu?"

"Selalu," jawabnya dengan senyum lebar di wajahnya. Seolah-olah itu hal yang paling menyenangkan dalam hidupnya. "Saya mengabadikan foto-foto istri saya ke dalam sebuah album foto, saya menangkap kecantikan dan kehangatan dalam setiap momen bersamanya. Sementara, istri saya juga memberikan karya-karya tulisannya kepada saya. Setiap kali membaca tulisannya, saya merasa seolah dia membuka pintu ke dalam hatinya, memperlihatkan bagian yang paling dalam dan paling indah dari dirinya."

Aku semakin terkesima. "Apa puisi dari mendiang ibu yang paling Bapak suka?"

Kemudian, pria itu dengan sukarela membacakan sebuah puisi dari ponselnya.

Di tengah gemuruh badai yang tiada henti

Kita berdiri sebagai satu

Cinta kita adalah pelabuhan aman dan sejati

Di mana pelipur lara menemukan jangkarnya juga

Meski angin mungkin menderu dan ombak menerjang

Tangan kami terjalin, tergenggam erat

Melalui cobaan yang dihadapi, kita tak akan pernah tersesat

Satu hati, apapun yang terjadi

Suar cinta memandu melewati malam yang paling gelap

Menerangi jalan, redup maupun terang

Dalam tiap-tiap ujian, ikatan kita bertahan

Cinta yang abadi, akan selalu menyembuhkan

Puisi itu menggetarkan hatiku. Betapa indah syair-syair yang tertuang di sana. Juga, luar biasanya pria di sampingku ini yang berhasil menyampaikan puisi itu dengan indah. Mereka adalah sepasang kasih yang saling mampu mengekspresikan cinta mereka melalui karya yang dapat dikenang sepanjang masa. Betapa beruntungnya bertemu dengan belahan hati seperti itu. Sepertinya tidak ada penyesalan di antara keduanya.

"Pasti kisah cinta Bapak dan ibu selalu romantis, ya. Tidak ada penyesalan soal cinta sama sekali."

"Mungkin bagi orang lain begitu. Sewaktu saya seusia mereka," menunjuk ke anak-anak sekolah yang masih bermain di lapangan. "Saya pernah berada di masa bingung dan gugup. Dulu, saya adalah pemuda yang pemalu dan merasa tidak selevel dengan gadis itu, saya merasa seperti di bawah langit yang sama tetapi di alam yang berbeda."

"Lalu?"

"Seperti yang saya ceritakan tadi. Dia, sangat pemberani. Suatu hari, tanpa ragu, dia mengungkapkan perasaannya kepada saya. Dan saya? Saya cuma bisa terdiam saat mendengarnya. Selama ini, saya terlalu takut dan ragu sampai-sampai dia yang memulainya lebih dulu. Saya merasa seperti pengecut."

Aku memperhatikannya dengan serius, menunggu kelanjutan ceritanya. Namun, ia malah menatap ke atas, menatap langit sore.

"Kemudian saya belajar dari pengalaman itu, bahwa cinta tidak boleh ditunda. Seperti matahari terbit yang tiada henti, ketika ada cinta untuk seseorang, itu harus diungkapkan. Karena jika tidak, mungkin suatu hari, ketika kita berani, sudah terlambat."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro