61 • Bulan Selalu Terlihat Terang
Mata sayunya tidak bisa berhenti melirik laki-laki dengan bibir yang tergores berdarah jauh di belakang kursinya sekarang. Dia tahu, dia hanya harus terus belajar demi keluarganya--demi dirinya, demi melupakan bagaimana ceritanya yang menyedihkan, namun pandangannya tidak mau lepas pada laki-laki kecil yang rela dipukuli sejak dulu--demi dirinya hanya karena sebuah es krim cokelat manis seperti senyuman laki-laki yang ia suka.
Sinar matahari yang masuk ke dalam kelas menghalangi pandangannya, gadis itu sulit melihat bintang jauh di sana--namun ia tetap berusaha melihat bintang yang mungkin tidak bersinar, tidak seterang bintang di atas sana. Bulan membasahi buku tulisnya dengan air mata bodoh yang selalu ia buat.
Masih memandangi diam-diam laki-laki itu hingga jam istirahat berbunyi, membuyarkan semua orang kecuali dua orang pecundang di kelasnya. Gadis itu melihat kotak bekal, mengamati dua potong roti cokelat kemudian laki-laki yang sedari tadi ia pandangi tengah membenamkan wajahnya pada lengan kuat yang ia miliki sekarang.
Diam. Hanya suara angin, suara teriakan bahagia di lapangan sekolah, dan suara hati yang kebingungan.
Ia mau berjalan ke arahnya--memberi sepotong roti--membuat perutnya tetap terisi bahkan jika keadaan berubah menjadi lebih menyakitkan. Namun kala ia melihat seseorang yang ia rindukan tertawa bersamanya lagi datang dengan raut kesedihan yang selalu ia buat setelah semua yang Bulan lakukan padanya, membuatnya tetap di tempatnya--menantikan sesuatu dari sahabatnya itu.
"Lan."
Kata pertamanya. Panggilannya membuat Bulan memiliki harapan. Harapan agar kenyataan masih bisa berubah, ceritanya masih bisa bahagia. Seperti buku-buku di luar sana.
"Kenapa, Ya?"
Cahaya menaruh sekotak susu cokelat di meja. Bulan menerimanya.
"Buat aku, Ya?"
"Kita bisa bicara sebentar, 'kan, Lan?" tanyanya. "Pulang sekolah aku ada di kelas atas, kelas kita yang lama."
"Ada apa, Ya? Kenapa enggak sekarang aja, Ya?"
Tidak ada jawaban. Dia pergi begitu saja--berjalan sampai ambang pintu.
"Ya, kamu mau maafin aku, 'kan? Kita bisa jadi sahabat lagi, 'kan?" Penuh harapan.
Cahaya berhenti di sana. Dia tersenyum tulus. "Jangan lupa diminum, Lan," ingatnya. Pergi, meninggalkan Bulan yang tersenyum lebar karena rasa kangennya yang terobati.
...
Bulan membeli dua es cokelat setelah pulang sekolah terlebih dahulu--untuk Cahaya. Dia mau melihat senyuman tulus itu kembali--Cahaya satu-satunya teman yang ia cinta--satu-satunya teman yang peduli dengannya. Dia sayang Aya, lebih dari dia menyayangi dirinya sendiri. Panas memang menyerang rambut Bulan demi berdiri menanti pesanan es cokelatnya--apapun demi Aya.
Setelahnya, dia kembali menaiki gedung sekolah, menuju kelasnya--memberikan es cokelat pada Gemintang yang senantiasa tidur terlebih dahulu sebelum pulang sekolah.
"Bangun."
"Ada apa sih, Kuda Nil?! Ganggu gua aja lu!"
Bulan memberikan es yang ia bawa.
"Buat gue?" Dia meminum es cokelat itu sekarang juga--buru-buru--tanpa napas, membuat sisa-sisanya menempel di bibir.
Bulan mengambil tisu basah di tasnya--kemudian berikan pada Gemintang di tangannya.
"Pelan-pelan, bersihin bibir kamu, tuh."
Pemuda itu diam saja, meremas tisunya, Bulan memutar bola matanya--mengambil lagi tisu itu dari tangan Gemintang, mengusapkan di bibirnya yang berdarah--noda darah juga tertempel bersamaan dengan sisa-sisa cokelat.
"Terimakasih." Sang perempuan memberikan kembali tisu itu, membiarkan Gemintang membersihkannya sendiri.
"Karena?"
"Udah percaya sama aku."
"Percaya apaan?"
"Percaya kalau bukan aku yang ambil handphone sahabat aku sendiri."
Dia terkekeh. "Semunafik-munafiknya elu, gue tau lu enggak bakal buat lakuin kejahatan, 'kan?" tanyanya. "Lagipula gue liat sendiri kalau Shania yang naroh hape itu di tas lu." Dia kembali meminum es cokelatnya. "Ini demi keadilan, ya. Bukan karena cewek bodoh kayak lu, Kuda Nil."
Bulan mengangguk. Paham, namun tetap saja. Ia dipukuli karena Bulan, dan dia tidak melawan, mengapa?
"Ngomong-ngomong, kayaknya lu lagi seneng banget, ya, gue lihat-lihat."
Karena Cahaya memaafkannya. Karena Cahaya yang tersenyum padanya lagi. Karena ia punya sahabat lagi.
"Lu seneng gue dipukulin?"
"Kenapa pikiran kamu sempit banget, sih?"
"Terus apa?"
Tidak menjawab. "Pipi kamu masih sakit?"
...
Setelah berbicara pada Gemintang sampai seluruh sekolah kosong, Bulan sadar bahwa ia harus bertemu Cahaya. Ada yang harus Aya bicarakan, dan Bulan sudah membuat temannya menunggu--aduh, Bulan bodoh atau bagaimana, sih? Mengapa dia bisa berbicara begitu panjang dengan Gemintang? Mengapa waktu berlalu begitu cepat?
Maka gadis itu berlari manaiki tangga--mau bertemu Cahaya. Temannya itu pasti akan membicarakan tentang hubungannya dengan Samudra--dan Bulan sadar, dia memang seharusnya ada di luar lingkaran. Maka nanti saat Aya berbicara padanya, Bulan akan mengiyakan--akan pergi dari Samudra--melupakan mimpinya akan Samudra. Dia memang tidak pantas itu, dia tidak pantas untuk orang sesempurna pangerannya--pangeran orang lain bahkan.
Maka setitik air mata turun, meluapkan perasaan, mencoba melupakan cinta pertamanya.
Dia mengenggam es cokelat yang akan ia berikan pada Cahaya, dia membuka pintu kelasnya yang lama, tersenyum. Cahaya ada di sana--duduk di kursi guru--menantinya datang. Tampak cantik, cahaya matahari menyoroti wajahnya yang indah, tokoh utama di setiap cerita.
Bulan tersenyum padanya, memanggil. "Aya?"
Saat ia menghampiri sahabatnya, pintu kelas tertutup, tawa beberapa perempuan di sana--terkekeh kecil. Itu dua sahabatnya yang lain--Salma dan Audrey, serta dua perempuan yang membenci Cahaya dan Bulan--Shania dan Jesika.
Bulan kebingungan. Ada apa? "Ini ada apa, Ya?" tanyanya pada Cahaya. Yang ditanya hanya diam, memalingkan wajahnya dari Bulan--mendongakkan kepala ke atas, melihat awan dari kejauahan.
Salma maju, membuat Bulan mundur ke belakang. "Gue bingung beneran. Sebenernya yang spesial dari cewek rendahan kayak lu tuh apa sih? Sampe cowok-cowok sekelas Samudra dan Gemintang bisa belain lu terus?"
"Pake dukun kali, tuh!" celetuk Audrey.
"Lu tau apa yang udah lu lakuin tadi pagi?!" Shania mendorong gadis kecil itu.
Bulan diam, tidak bisa menjawab. Apa?
"Gemintang pacar gue, dan dia lebih belain lu daripada gue?!"
"Bukannya kalian enggak pacaran?"
Menoyor pipi itu. "KATA SIAPA?!"
"Dan lu lihat Samudra?!" Salma bergantian. "Dia lebih belain lu--dia banting hape pacarnya--sahabat gue--demi cewek kayak lu! Bisa enggak sih lu jauh dari sini? Bisa enggak sih enggak bikin sakit hati orang lain?" Satu tembakan. "Bisa enggak sih lu mati aja supaya semuanya bisa hidup bahagia?!"
Bulan ketakutan. Ia tidak bisa melawan, dia hanya bisa melihat Cahaya yang berpaling tanpa melihatnya juga--orang yang ia sayang masih menatap langit di atasnya. Dia tidak peduli Bulan, satu-satunya sahabat yang ia punya tidak peduli lagi padanya. Berdarah--hatinya tertusuk pisau tajam hingga luka itu menganga lebar melebihi palung paling dalam di lautan.
"LU DENGER ENGGAK, SIH?!"
Bulan terkejut. Ia mengangguk. "Aku akan jauhin Samudra, aku akan lakuin apapun demi Cahaya, Sal. Aku bahkan rela ngasih jantung aku sendiri buat Aya. Asal kita bisa jadi sahabat lagi, asal kita bisa ketawa bareng lagi." Dia berjalan ke arah Aya yang masih duduk dengan manis di kursi guru. Memegang pundaknya. Hujan turun dari mata. "Kita bisa jadi sahabat lagi, 'kan, Ya?"
Cahaya menatap Bulan, tanpa bergerak--dia hanya melihat Bulan tanpa raut wajah yang jelas--dia hanya melihat Bulan dengan sorotan mata sedihnya, Bulan tahu Aya masih peduli padanya, Bulan sadar itu. Dia cuman mau jadi temannya lagi.
"HEH!" Salma mencengkram tangan Bulan, menamparnya kemudian. "BUANG MIMPI LU JAUH-JAUH! Lu tuh nggak pantes buat jadi sahabat tau, enggak, sih? Kenapa lu enggak sadar-sadar, sih? Gue muak denger kata sahabat keluar dari mulut lu!" Salma mengambil paksa es cokelat yang Bulan genggam. "Jadi berhenti berharap buat sahabatan sama Aya atau sama kita lagi."
Salma menyiram es itu di muka Bulan. Mendorongnya--menamparnya lagi, lagi dan lagi. Membuatnya jatuh di lantai, Bulan membiarkan itu. Shania ikut meninju Bulan di lantai--Bulan hanya mesti bertahan--meski Audrey asik merekam wajah Bulan yang sedang dipukuli.
Mereka tertawa, yang lain menyoraki Salma dan Shania agar lebih kencang memukuli Bulan. Sakit, Bulan kesakitan, dia menangis di bawah sana tanpa suara, tawa mengiringi tangisannya. Mengapa? Dia hanya bisa bertanya dalam pikiran--salahkan jika ia menyukai seseorang? Apa juga salah jika ia mau berteman? Mengapa tidak ada yang berubah sama sekali?
"Jangan kasih ampun, Shan!"
"Dasar Jablay!"
"Harusnya lu tahu diri, lu siapa!"
Dia hanya bisa menangis, hatinya memang hancur--sangat, namun tidak sehancur saat ketika ia melihat Cahaya yang memperhatikannya dipukuli tanpa membelanya seperti dahulu. Perasaannya hilang ditiup angin, bahkan walau hujan membuat semuanya bahagia.
Akan tetapi Bulan sadar, ia tahu sorot mata itu--Cahaya masih pedulinya, iya! Dia masih peduli padanya, Bulan menenangkan hatinya--mencoba memperbaiki perasaan yang terluka dengan sebuah pernyataan bodohnya!
Aya pergi, berjalan meninggalkannya.
Sahabatnya meninggalkannya.
"Cahaya," lirihnya
...
Bulan sadar dia memang gadis tolol yang menjadi beban bagi semua orang, Cahaya, Gemintang, Samudra. Bulan hanya beban bagi mereka semua. Dia tidak bisa melakukan apapun tanpa bantuan mereka, dia hanya bebek jelek nan buluk yang bermimpi jadi angsa putih cantik yang terbang menari di atas danau demi pangeran tampan dan hidup seperti di istana awan.
Dia mengusap air mata yang terus keluar dari matanya meski pipinya kesakitan bekas tamparan Salma dan Shania. Tidak, mereka tidak salah. Hanya saja Bulan memang yang terlampau bodoh.
Gadis itu terhuyung berjalan keluar sekolah, masih menangis, mengelap wajahnya dengan lengan seragam yang sudah kotor. Dia terjatuh di selokan sekolahnya kemudian, air mata itu terus turun tanpa henti--terus bertanya mengapa dia bisa setolol ini?!
Dia kembali berjalan ke arah parkiran belakang sekolah yang sudah sepi, mau mengambil sepedanya--mau pulang ke rumahnya yang hangat.
Namun ia melihat beberapa laki-laki sekelas dengannya memukuli seseorang. Seseorang yang ia kenal, seseorang yang begitu membenci Bulan--namun ia tahu--ia juga peduli padanya.
Gemintang diam saja meski dipukuli beramai-ramai, wajahnya sudah babak belur. Dia hanya terus tertawa, menertawai Rangga dan lainnya yang masih bergantian menghajar Gemintang.
Maka Bulan mencari sesuatu, ia menemukan ember berisi air kotor bekas pembersih lantai. Ia berjalan tanpa takut sambil membawa satu ember berisi air kotor di tangan kanannya, dan tangan satu lagi memegang tongkat kain pel yang siap ia lemparkan juga.
Bulan berjanji, dia tidak akan menyusahkan orang lain lagi.
...
a.n
Astaga! Part ini adalah part paling panjang!!!
Terlalu banyak basa-basinya astaga, yang nulis udah kehabisan diksi. Wkwkwk
Ada yang mau disalamin buat my baby Aya?
Nanti aku sampain salamnya, karena penulisnya sendiri adalah selingkuhan Cahaya. Canda selingkuhan! XD
Salam,
Penulis Baik-Baik
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro