Chapter 13 - Mika
Laura masih mengelus punggung Mika beberapa kali untuk memberi kekuatan. Sudah hampir setengah jam sahabatnya itu terus mengeluarkan air mata.
Sebagai sahabat, Laura membiarkan Mika mencurahkan isi hatinya terlebih dahulu sampai di titik ia dapat diajak berbicara.
"Mika? Kamu minum dulu, gih." Laura menyodorkan gelas berisi air. Mika menerima dan meneguknya hingga setengah gelas.
"Aku takut, Lau. Rey dibunuh, tapi aku enggak bisa melakukan apa pun. Kamu udah dengar dari berita kan? Masa iya? Rey mau melakukan pelecehan seksual sama putri komandannya? Enggak mungkin. Rey bukan tipe pria seperti itu. Gue tahu semuanya. Akhir-akhir ini dia sering mengeluh. Si jalang itu yang suka sama Rey."
Laura masih terdiam dan menyimak semua keluh kesah Mika. Dia ingat, Rey adalah pria yang Laura lihat tempo hari di kantin kepolisian bersama Mika.
Konferensi pers telah diadakan kemarin. Sang Brigadir ditetapkan sebagai tersangka pelecehan seksual. Kendati demikian, pihak keluarga menuntut kebenaran.
Cadaver saat ini masih di rumah duka rumah sakit kepolisian. Bukan tim satu yang ditugaskan menangani kasus ini, melainkan tim tiga yang diketahui sebagai rival dari Airlangga dan kawan-kawan.
"Mika, aku akan membantumu mengusut kejanggalan ini. Apa pun yang kamu ketahui tentang Ray, kirimkan lewat gmail padaku. Sementara ini, sembunyikan identitas dirimu sebagai pacarnya. Akan ada pihak-pihak yang akan mengusut ini."
Laura berpikir sejenak. Dia teringat akan sesuatu. Sekarang, sorot mata Laura semakin serius.
"Mika!" Fisika meremas kedua bahu sahabatnya. "Tinggallah di unitku. Seseorang atau oknum tertentu pasti akan mengetahui keterlibatanmu cepat atau lambat."
Mika menyeka air matanya. Mencoba kuat dan berpikir positif secara bersamaan. "Ide bagus. Apa aku harus beres-beres sekarang?"
"Tentu saja," sahut Laura dengan mantap.
Sembari menunggu Mika menyiapkan kebutuhannya. Laura membuka ponselnya, diarahkan jempol tangan kiri membuka aplikasi instagram dan mengarah ke akun Mavros Koraki. Sang City Hunter Malakai.
Eksistensi Mavros Koraki sudah lama mengudara sejak lima tahun lalu. Namun, sampai sekarang tidak seorang pun tahu tentang seseorang yang berdiri di belakang nama tersebut. Berkali-kali diburu dan dilenyapkan akunnya, Mavros selalu muncul bagai hama bagi sejumlah pihak.
Dengan menggunakan bus bersama ke apartemen Laura. Mika tidak lagi bersedih, ia terus memegang tangan Laura sebagai sumber kekuatannya. Mereka tidak saling berbicara, hanya terdiam dengan pikiran masing-masing.
"Mika, ini."
Laura menyerahkan kartu identitas kepemilikan apartemennya pada Mika sesaat mereka turun di halte bus.
"Kamu tidak ikut?" tanya Mika dengan alis bertaut bingung.
"Enggak. Aku mau ke kantor bentar. Kamu ke rumah duluan aja. Istirahat di sana."
Mika menggeleng, ia tidak mau pergi dan tinggal jika Tuan Rumah tidak ada di sana.
"Gue mending tunggu lo pulang di cafe dekat sini. Nih, ambil."
Mika menyerahkan kartu identitas kembali pada Laura. Mau tidak mau, Laura pun kembali menerimanya.
"Lau," tukas Mika, "jangan tanya Sergio tentang ini. Dia pasti akan mencurigai sesuatu. Insting milik Sergio itu menakutkan."
Laura hanya tertawa kecil. "Aku enggak bilang mau ketemu Sergio."
"Halah, aku udah menebak. Kamu akan ke sana, bukan? Jangan dekati Sergio kalau kamu enggak pernah mau membalas perasaannya. Biar bagaimana pun, yang namanya digantung itu tuh sakit, Lau."
Laura menggeleng dengan tawa yang masih terselip. "Aku tuh enggak pernah menggantungkan perasaan Sergio. Aku udah pernah nolak perasaan dia."
"Tapi ... kayaknya. Kamu mau mengorek sesuatu dengan memanfaatkan perasaannya. Ayo ngaku?"
Laura menyerah. Dia tidak pernah berhasil menyembunyikan sesuatu dari Mika.
...
Laboratorium Forensik, selalu tidak pernah sepi. Setiap hari, akan ada banyak sampel yang diminta untuk diperiksa.
Sebelumnya, Laura menghubungi Sergio dengan alasan ingin bertemu. Tanpa menanyakan alasannya, Sergio langsung mengiyakan. Dia bahkan meminta Laura untuk menunggu di lobi depan.
"Lau!" panggil pria dengan kemeja putih panjang yang lengannya digulung. "Enggak dinas?"
"Oh, hai. Enggak. Hari ini free. Kamu enggak sibuk, 'kan?" Laura ingin memastikan.
"Enggak kok. Jadi, kita mau jalan-jalan ke mana? Nonton film? Ke pantai? Kebun binatang?" tanya Sergio antusias.
"Aku enggak ngajak kamu untuk jalan-jalan kok," jawab Laura, "aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Mungkin di salah satu cafe dekat sini."
Sergio menggeleng. Diraihnya pergelangan tangan Laura dan menarik wanita itu pergi bersamanya.
"Kita kencan!" ujar Sergio semangat.
...
Laura hanya bisa pasrah duduk di samping Sergio yang sedang menyetir. Dia seolah merasa deja vu.
"Gio, aku mau ketemu sama kamu karena —"
"Soal Mika, 'kan?" tebak Sergio cepat. Ia melirik Laura dengan ekor mata penuh maksud tersembunyi. "Aku tahu."
Laura tertengun, dia kehilangan kata-kata untuk beberapa detik.
"Maaf." Laura mengaku salah. "Ya, soal itu."
"Jangan terlibat Lau, itu pesanku." Mimik wajah Sergio berubah serius. Ia memelankan laju mobil saat mendekati lampu merah.
"Kasus ini janggal. Aku dan Airlangga sedang mengumpulkan bukti-bukti yang diduga dihilangkan."
Mendengar nama Airlangga disebut. Buku-buku tangan Sergio memutih. Tatkala ia memegang setir kemudi dengan kuat.
"Jangan sebut nama pria lain saat bersamaku, Lau. Aku enggak suka. Kamu tuh tahu, bagaimana aku bucin sama kamu."
"Tapi aku enggak ada perasaan apa-apa padamu." Laura mengakui. Ia jadi merasa semakin bersalah terhadap Sergio.
"Aku tahu, tapi aneh aja. Semakin aku mencoba untuk ikhlas. Aku malah makin sayang sama kamu. Tapi ...," Sergio sengaja menggantungkan kalimatnya.
"Apa?" pancing Laura.
"Aku akan membantumu mengenai Mika."
Binar mata Laura terlihat bahagia. "Sungguh?"
"Ya, tapi dengan satu syarat."
"Syarat?" Laura mendadak merasa tidak nyaman dengan perasaannya sendiri.
"Menikahlah denganku," ujar Sergio yang kini menghentikan mobil di depan toko permata.
Mata Laura terbelalak. Mulutnya terbuka, sesaat ... ia menjadi patung. Lalu, begitu tersadar. Laura mengerjabkan mata berkali-kali.
"Jangan bercanda, Sergio." Laura mencoba tertawa kecil. Walaupun, debar jantungnya sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Aku serius, Laura. Membantumu mengenai kasus Mika. Sama hal nya membawamu ke ladang ranjau. Sekarang, keputusan ada di tanganmu. Jika kau memilih kebenaran dan persahabatan. Harga yang harus kamu bayar adalah menikah denganku. Sekarang katakan Ya atau Tidak."
Ini terlalu mendadak. Laura perlu berpikir jernih di suatu tempat. Ia melemparkan tatapan ke arah lain. Lalu menggigit bibir bawah dengan gelisah.
Ada oknum perwira kepolisian yang terlibat.
Kata-kata Alka tergiang di kepalanya. Tim satu sempat mendiskusikan masalah ini. Laura punya ketakutan lain, dia tidak ingin Mika akan mengalami nasib serupa dengan ayahnya.
Istansi yang katanya mengayomi masyarakat. Nyatanya punya permainan politik di dalamnya. Salah satu alasan Laura belajar ekstra keras adalah melenyapkan oknum-oknum tertentu yang mencoreng nama kepolisian, membersihkan nama ayahnya dan memastikan semua kejahatan akan mendapatkan balasannya.
Sergio masih setia menunggu jawaban Laura. Apa pun keputusan Laura, itu adalah pilihan hidup yang akan ia jalani.
Setelah memantapkan hati. Laura menatap Sergio dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Baiklah, ayo menikah."
___/_/____
Tbc
Yes, aku tuh nulis ini suka goyah. Lanjut kagak, lanjut kagak. Pas dengar lagu Like A Star soundtrack dari drama korea Yumi Cell.
Entah kenapa, vibesnya tuh cocok banget sama cerita ini dan perasaan Laura yang cocok dengan nuansa lagu. Walau aku enggak tahu artinya apa😂😂😂
Mungkin Laura mirip Yumi. Emosi karakter mereka rada2 mirip. Ciah, Laura dilamar Sergio.
Apa kabar dengan perasaan kapten tim satu?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro