Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Target Selanjutnya








Di lapangan, misi penyelamatan AGEN5 berubah menjadi perlombaan melawan waktu. Dengan Taehyun terluka parah, setiap detik terasa seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

Meskipun komunikasi dengan Beomgyu sempat terganggu, bantuan dari tim TSSI akhirnya datang setelah Beomgyu berhasil mengirimkan koordinat mereka di detik-detik terakhir.

Helikopter TSSI mendarat di lokasi yang telah ditentukan, lampu sorotnya membelah gelapnya malam. Tim medis dengan tandu berlari ke arah Yeonjun, Soobin, Hueningkai, dan Taehyun, yang bersembunyi di balik kendaraan berat di titik evakuasi kedua.

Yeonjun, meskipun wajahnya terlihat lelah, tetap siaga memimpin. "Taehyun dulu! Pastikan dia aman!" serunya, menunjuk ke arah Taehyun yang terkulai lemas di lengan Soobin.

Soobin membantu mengangkat tubuh Taehyun yang kini dibaringkan di tandu. Wajah Taehyun pucat, darah masih mengalir dari perut kanannya meskipun mereka telah mencoba menahannya dengan kain seadanya.

"Tahan, Tae." bisik Soobin pelan, matanya berkaca-kaca.

Hueningkai berlari ke arah helikopter, memastikan bahwa jalan mereka bersih dari ancaman. "Ayo cepat! Kita harus pergi sekarang!" serunya dengan nada panik.

Tiba-tiba, suara tembakan kembali terdengar dari arah gedung, memecah malam yang mencekam. Satu tim TSSI langsung bergerak membentuk barisan pelindung, membalas tembakan dari para penyerang yang masih berusaha menggagalkan evakuasi.

Yeonjun, yang tetap berada di garis belakang, mengangkat senjatanya dan memberikan tembakan perlindungan. Ia memastikan bahwa semua orang naik ke helikopter sebelum akhirnya melompat masuk, tubuhnya penuh dengan debu dan peluh.



Di markas TSSI, Beomgyu berdiri di depan layar besar, matanya menatap peta lokasi evakuasi tim. Tangannya bergerak cepat di atas keyboard, mengatur perintah untuk koordinasi tim bantuan. Wajahnya penuh konsentrasi, tapi keringat di pelipisnya menunjukkan betapa tegangnya situasi ini.

"Titik evakuasi kedua aman. Kirim tim medis ke koordinat ini." katanya, suaranya stabil meskipun jantungnya berdegup kencang.

Di tengah kerjanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan keras. Beberapa penjaga masuk, wajah mereka penuh kewaspadaan. Salah satu dari mereka berbicara dengan nada mendesak.

"Tuan Beomgyu, ada tanda bahaya dari sistem Anda. Kami mendapat laporan ada sinyal tak dikenal yang masuk ke jaringan Anda."

Beomgyu tidak menoleh, tangannya masih sibuk mengatur pergerakan tim di lapangan. "Aku tahu. Tangani situasi di sini. Jangan biarkan siapa pun mengakses jaringan ini tanpa izinku."

Namun, ketegangan meningkat ketika beberapa menit kemudian Jenderal Han dan Damien muncul di ruangan itu. Wajah keduanya tampak penuh kekhawatiran, terutama Damien yang langsung melangkah cepat ke arah Beomgyu.

"Apa yang terjadi di sini, Gyu?" Damien bertanya, suaranya lebih keras dari biasanya. "Kenapa ada sinyal asing masuk ke jaringanmu?"

Jenderal Han menambahkan, "Kau harus menjelaskan sekarang, Beomgyu. Kita tidak bisa main-main dengan ini. Ini ulah Eclipse?"

Namun, Beomgyu tetap diam, tidak langsung menanggapi pertanyaan mereka. Ia hanya menyelesaikan beberapa perintah terakhir di sistemnya, memastikan bahwa tim AGEN5 telah berhasil naik ke helikopter dan keluar dari zona bahaya.

Setelah memastikan semuanya aman, ia menarik napas panjang, lalu berdiri dari kursinya. Tanpa sepatah kata pun, ia berjalan menuju meja di sisi ruangan dan membuka salah satu laci. Dari dalam laci itu, ia mengeluarkan sebuah flash drive kecil.

Ia melangkah ke arah Jenderal Han dan Damien, lalu menyerahkan flash drive itu kepada mereka. "Ini yang kalian cari." katanya dengan nada datar tetapi penuh ketegangan.

Damien mengerutkan kening. "Apa ini?"

"Rekaman komunikasi antara aku dan seseorang." jawab Beomgyu singkat, suaranya bergetar ringan.

"Seseorang yang menyerang timku. Seseorang yang tahu aku ada di sini, di ruangan ini."

Jenderal Han langsung mengambil flash drive itu dan memasangnya di komputer di ruangan. Suara rekaman mulai terdengar, dan ruangan yang tadinya penuh ketegangan berubah menjadi sunyi, seolah semua orang menahan napas.


"Benar-benar mengecewakan,"

"Aku benar-benar menunggumu di sini, tapi kau tidak ada di antara mereka. Itu cukup membuatku marah. Ku harap kau tahu seberapa marah aku... ah, apa perlu ku tunjukkan padamu? Biar ku tunjukkan."


Wajah Jenderal Han mengeras, matanya menyiratkan kemarahan dan kekhawatiran. Damien, di sisi lain, terlihat membeku di tempatnya. Tangannya mengepal erat, wajahnya menunjukkan ekspresi penuh emosi yang sulit ditebak.

"Dia tahu kau di sini..." gumam Damien, hampir tidak percaya.

Beomgyu mengangguk pelan, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apa pun. "Dan dia tidak hanya tahu aku di sini. Dia juga tahu tentang tim di lapangan. Semua yang terjadi hari ini bukan kebetulan. Mereka mengawasi kita."

Jenderal Han menoleh ke Beomgyu. "Kita harus meningkatkan keamananmu. Kau adalah target mereka, dan mereka semakin dekat."

Namun, Beomgyu menggeleng. "Aku tidak peduli dengan itu. Yang kupedulikan sekarang adalah menghentikan mereka sebelum ada orang lain yang terluka."

Damien mendekat, menatap Beomgyu dengan serius. "Gyu, kau tidak bisa bertindak gegabah. Kita harus menyusun strategi."

"Aku sudah punya strategi." jawab Beomgyu dengan tegas, matanya bertemu dengan mata pamannya. "Kita serang mereka sebelum mereka menyerang kita."

Jenderal Han dan Damien saling bertukar pandang, memahami bahwa Beomgyu tidak akan mundur. Hari ini bukan hanya tentang menyelamatkan tim AGEN5-hari ini adalah deklarasi perang terhadap Eclipse.




AGEN5 ; {D124M4}




Suasana di ruang tunggu rumah sakit begitu hening, hanya terdengar suara jarum jam yang berdetak perlahan. Wajah Yeonjun, Soobin, dan Hueningkai tampak tegang, masing-masing duduk dalam diam, menunggu kabar dari ruang operasi tempat Taehyun tengah diperiksa oleh tim medis.

Langkah kaki cepat terdengar mendekat dari arah koridor, membuat Soobin menoleh. Di ujung lorong, ia melihat Beomgyu yang berlari ke arah mereka, napasnya terdengar sedikit terengah-engah.

"Beomgyu!" panggil Soobin, suaranya lega melihat sahabatnya tiba.

Yeonjun yang duduk bersandar pun ikut menoleh, sementara Hueningkai langsung berdiri dan berlari memeluk Beomgyu dengan erat. "Kakak baik-baik saja?" tanya Hueningkai, suaranya gemetar, meski senyumnya tetap terlihat.

Beomgyu tersenyum kecil, meski jelas wajahnya menunjukkan kelelahan. Ia mengusap kepala Hueningkai sebelum melepaskan pelukan itu. Matanya langsung menyapu tubuh anggota tim lainnya.

"Aku baik-baik saja." jawab Beomgyu singkat. "Kalian bagaimana? Ada yang terluka lagi selain Taehyun?"

Soobin menggeleng, menjelaskan dengan tenang, "Kami semua baik-baik saja. Di pesawat tadi, Taehyun mendapatkan pertolongan pertama yang sangat baik. Jangan khawatir, dia akan baik-baik saja."

Beomgyu mengangguk pelan, menghela napas lega. Namun, matanya tetap tertuju pada pintu ruang operasi, menunggu kabar lebih lanjut.

Yeonjun berjalan mendekat, ia pun menjelaskan apa yang terjadi selama misi mereka di Hong Kong. "Di lokasi tadi, semuanya terasa seperti jebakan. Mereka tahu kita akan datang, Beomgyu. Kita sudah diikuti sejak awal."

Beomgyu mendengarkan dengan serius, tetapi sebelum ia bisa menanggapi, Yeonjun melanjutkan, "Bagaimana denganmu? Apa yang terjadi di markas? Dan... apa yang pria itu katakan padamu?"

Pertanyaan itu membuat Beomgyu terdiam sesaat. Matanya menatap Yeonjun, mencoba mencerna kata-katanya.

"Tunggu... bagaimana kau tahu ada seseorang yang terhubung ke jaringanku?" tanyanya pelan, suaranya terdengar biasa, tetapi jelas ada kecurigaan yang mulai muncul. "Dan, bagaimana kau tahu itu seorang pria?"

Yeonjun tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan pandangannya sejenak sebelum berkata dengan tenang, "Kami mendapat kabar itu di pesawat. Salah satu penjaga yang berjaga di markas mengirimkan pesan."

Jawaban itu membuat Beomgyu mengangguk, meski ada sesuatu dalam nada bicara Yeonjun yang membuatnya merasa ganjil. Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, pintu ruang operasi tiba-tiba terbuka.

Semua perhatian langsung tertuju pada dokter yang keluar dari ruang operasi dengan wajah tenang. Hueningkai berdiri lebih dekat, matanya penuh harap.

"Operasinya berjalan lancar." kata dokter itu, membuat semua orang menghela napas lega hampir bersamaan.

"Peluru sudah berhasil dikeluarkan, dan kondisinya stabil sekarang. Namun, ia membutuhkan waktu untuk pemulihan, jadi kami akan memindahkannya ke ruang perawatan intensif untuk sementara waktu."

"Terima kasih, Dokter." kata Soobin, suaranya penuh kelegaan.

Beomgyu menundukkan kepala, memejamkan matanya sejenak. Rasa lega memenuhi hatinya, meski pikirannya masih sibuk memikirkan sesuatu yang tidak terjawab.




Di sisi lain, di ujung koridor yang berbeda, seorang pria berpakaian kasual duduk di sebuah meja kecil dekat jendela kafe rumah sakit. Di depannya, ada piring makanan yang sudah hampir habis, tetapi ia tampak tidak peduli. Matanya fokus mengamati ke arah ruang tunggu operasi, di mana Beomgyu dan anggota AGEN5 berkumpul.

Pria itu tersenyum kecil, tetapi senyumnya tidak memancarkan kehangatan. Itu adalah senyum dingin, penuh makna yang sulit dijelaskan.

"Menarik." gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. Ia meraih telepon di sakunya, mengetik pesan singkat, lalu berdiri dengan santai.

Pria itu berjalan keluar dari kafe, meninggalkan piring makanannya yang belum sepenuhnya habis. Saat ia melewati ruang tunggu, matanya sempat melirik sekilas ke arah Beomgyu. Tidak ada yang menyadarinya.

Namun, begitu ia menghilang di ujung koridor, satu pesan masuk ke telepon seseorang.

"Persiapan untuk target selanjutnya."




AGEN5 ; {D124M4}




Ruang rapat utama TSSI dipenuhi atmosfer yang mencekam. Semua petinggi yang terlibat dalam misi Hong Kong, termasuk Damien, Jenderal Han, dan Zee Cho, duduk di sekitar meja bundar besar. Di salah satu layar di ruangan itu, rekaman suara ancaman yang diterima Beomgyu kembali diputar, membuat semua yang mendengarnya merasa tidak nyaman.

Setiap kata yang terdengar seperti belati, menusuk suasana yang sudah tegang. Beomgyu duduk di ujung meja, tatapannya tajam, tetapi matanya menyiratkan kelelahan.

Damien yang berdiri di sisi ruangan, memukul meja dengan keras, membuat beberapa orang yang duduk di dekatnya tersentak. "Ini tidak masuk akal!" teriaknya.

"Ini misi rahasia. Tidak ada yang seharusnya mengetahui pergerakan tim ini kecuali kita yang ada di ruangan ini. Jadi, bagaimana musuh bisa tahu?"

Zee Cho menatap Damien, wajahnya serius. "Damien, tenang. Ini bukan saatnya untuk emosional."

Namun Damien tidak mengindahkan peringatan kakaknya. Ia melangkah ke tengah ruangan, menunjuk layar besar yang memutar ulang peta jaringan yang diretas oleh musuh.

"Tidak ada alasan logis kecuali ada pengkhianat di antara kita! Seseorang di TSSI telah memberikan informasi kepada musuh."

Ucapan Damien itu sukses membuat suasana ruangan semakin tidak kondusif. Beberapa petinggi mulai berbisik-bisik, nada suara mereka penuh dengan keraguan.

"Apa ini berarti kita bahkan tidak bisa mempercayai tempat kita sendiri?" ujar salah satu pejabat senior dengan nada khawatir.

"Bagaimana jika informasi kita yang lain juga sudah bocor? Bagaimana jika musuh sudah mengetahui lebih banyak dari yang kita bayangkan?" sahut yang lain.

Beomgyu memperhatikan semua ini dengan diam, tetapi pikirannya berputar. Ia tahu Damien benar-ada seseorang di dalam TSSI yang telah membocorkan informasi. Tapi siapa? Dan yang lebih penting, mengapa?

Jenderal Han mengetuk meja dengan keras, menghentikan bisik-bisik yang mulai memanas. "Semua diam!" perintahnya. Matanya memandang ke seluruh ruangan.

"TSSI telah menghadapi banyak ancaman selama bertahun-tahun, tetapi kita tidak akan pernah terpecah seperti ini. Kita harus tetap bersatu untuk melawan musuh kita, Eclipse, bukan saling mencurigai tanpa dasar."

Beomgyu akhirnya berbicara, suaranya tenang tetapi jelas terdengar dingin. "Tidak, Tuan Damien benar. Ini bukan hanya soal kebocoran informasi biasa. Musuh kita, Eclipse, tidak hanya tahu lokasi tim kami di Hong Kong, mereka bahkan tahu aku ada di sini, di ruangan ini, memantau mereka. Itu bukan sesuatu yang bisa mereka ketahui hanya dari data intelijen biasa."

Semua mata tertuju padanya. Beomgyu melanjutkan, "Ada dua kemungkinan, mereka memiliki akses langsung ke sistem kita, atau ada seseorang di antara kita yang memberikan informasi itu kepada mereka."

"Bagaimana mungkin mereka mengakses sistem kita?" tanya salah satu petinggi. "Sistem keamanan kita adalah yang terbaik di negara ini."

Beomgyu menatapnya dengan tajam. "Karena itu, kemungkinan kedua lebih masuk akal. Jika ada seseorang di sini yang sengaja membocorkan informasi, maka mereka tidak hanya mengkhianati TSSI. Mereka mengkhianati negara ini."

Damien kembali bersuara, kali ini dengan nada lebih tenang tetapi penuh ancaman. "Kita perlu memulai penyelidikan internal. Semua orang, tanpa kecuali, harus diperiksa. Tidak peduli seberapa tinggi jabatan mereka di TSSI."

"Damien, itu terlalu drastis." bantah salah satu pejabat senior. "Jika kita mulai saling mencurigai seperti itu, kita akan menghancurkan kepercayaan yang menjadi dasar organisasi ini."

"Kepercayaan?" Damien tertawa sinis. "Kepercayaan adalah hal pertama yang dihancurkan oleh pengkhianat. Dan aku tidak akan duduk diam sementara Eclipse bermain-main dengan kita seperti ini."

Zee Cho akhirnya angkat bicara, suaranya tegas tetapi terukur. "Damien, aku mengerti kekhawatiranmu. Tapi langkah yang ceroboh hanya akan memperparah situasi. Kita butuh bukti konkret sebelum mengambil tindakan besar."

Jenderal Han mengangguk setuju. "Zee benar. Kita akan memulai penyelidikan, tetapi kita harus melakukannya dengan hati-hati. Tidak ada yang boleh tahu bahwa kita mencurigai adanya mata-mata di dalam organisasi ini."

Salah satu agen pun menambahkan, "Sementara itu, kita harus mempersiapkan langkah untuk melindungi data yang tersisa. Aku akan mulai menyusun ulang sistem keamanan untuk memastikan tidak ada akses eksternal yang bisa masuk lagi."

Damien menatap Beomgyu. "Dan kau, Gyu. Kau tau jelas sekarang, bagaimana Eclipse benar-benar mengincarmu secara langsung. Jangan biarkan mereka mendekat."

Beomgyu mengangguk pelan, tetapi di dalam hatinya, ia tahu ini bukan hanya soal melindungi dirinya sendiri. Ini soal melindungi semua orang yang ia pedulikan-dan membalas Eclipse atas semua yang telah mereka lakukan.



Di tempat lain, jauh dari gedung TSSI, seseorang duduk di sebuah ruangan gelap dengan layar besar yang menampilkan rekaman video dari dalam markas TSSI. Wajahnya tersenyum dingin, puas melihat perpecahan yang mulai terjadi di antara mereka.

"Kalian mulai merasakan tekanan, ya?" katanya dengan suara pelan tetapi penuh ejekan. "Ini baru permulaan. Aku akan pastikan kalian semua jatuh, satu per satu."

Pria itu menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya tidak lepas dari layar. Ia menyalakan sebuah alat komunikasi kecil di tangannya.

"Target selanjutnya sudah siap. Tunggu perintahku."




AGEN5 ; {D124M4}




Langit malam begitu gelap, hanya diterangi oleh bintang yang bersinar redup. Soobin melangkah perlahan memasuki rumahnya, pintu kayu tua itu berderit lembut saat ia membukanya. Ia berhati-hati agar tidak membuat suara yang bisa membangunkan ibunya. Sepanjang perjalanan pulang, ia hanya ingin segera melihat ibunya, memastikan semuanya baik-baik saja.

Namun, saat pandangannya tertuju pada ruang tamu, langkahnya terhenti. Di sana, ibunya tertidur di sofa dengan selimut kecil menutupi sebagian tubuhnya. Wajahnya yang lelah masih memancarkan kelembutan seorang ibu yang selalu menunggu kepulangan anaknya, meskipun sudah dilarang berulang kali oleh Soobin.

Soobin menghela napas pelan, hatinya hangat namun bercampur rasa bersalah. "Kenapa selalu menungguku, Bu." gumamnya pelan, hampir tidak terdengar.

Matanya kemudian menangkap bunga-bunga yang berjatuhan di meja kecil di depan sofa. Soobin tersenyum kecil. Pasti ibunya sedang memangkas bunga sebelum tertidur, pikirnya.

Soobin merasa bersalah karena tidak membantu, biasanya ia yang selalu membantu ibunya memangkas bunga untuk dijual ditoko bunga mereka.

Aroma lembut bunga mawar yang mulai layu tercium samar, bercampur dengan kehangatan yang biasa menyelimuti rumah kecil itu. Ia berjongkok untuk membereskan bunga-bunga itu, tangannya dengan lembut mengangkat kelopak yang berserakan di lantai.

Namun, suasana hangat itu berubah dalam sekejap.

Saat ia sedang membereskan bunga itu, tiba-tiba sesuatu yang dingin menyentuh lehernya. Soobin langsung membeku. Itu adalah bilah pisau, tajam dan dingin, menekan kulitnya dengan cukup kuat untuk membuatnya tidak bergerak.

Sebuah suara pelan terdengar di dekat telinganya, berbisik dengan nada dingin dan penuh ancaman. "Kita tidak boleh berisik... Jika terlalu berisik, kita akan membangunkan putri tidur."

Soobin menelan ludah. Ia tahu dirinya dalam bahaya, tapi pikirannya tetap bekerja dengan cepat. Ia mencoba mengintip sosok di belakangnya melalui pantulan kaca kecil di meja, tetapi sudut pandangnya terbatas.

"Berapa orang?" pikirnya, mencoba menganalisis situasi. Ia merasakan tekanan pisau itu, namun ia tahu ia harus tetap tenang. Jika ia terlalu panik, ibunya yang sedang tidur bisa dalam bahaya.

Soobin bersiap untuk melakukan pergerakan cepat, memutar tubuhnya dan melumpuhkan orang di belakangnya. Namun, rencananya terhenti ketika ia melihat dua sosok keluar dari bayangan di depannya.

Mereka mengenakan pakaian serba hitam, wajah mereka tertutup separuh oleh masker. Dua pasang mata dingin menatap Soobin tanpa emosi.

Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, dua sosok lainnya muncul dari arah belakang, menyisakan hanya sedikit ruang gerak untuk Soobin.

Soobin mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Ia tahu dirinya telah dikepung. Orang-orang ini jelas tidak datang untuk main-main. Napasnya tetap stabil, meskipun detak jantungnya semakin cepat.

Soobin mengepalkan tangan, tapi tubuhnya sedikit gemetar. Ia tahu dirinya telah dikepung. Pikirannya mulai kacau, sulit baginya untuk fokus. Detak jantungnya begitu keras, seperti genderang yang memekakkan telinga. Napasnya terdengar berat, tidak lagi stabil.

"Si... siapa kalian?" tanyanya, suaranya terdengar bergetar meskipun ia berusaha keras untuk tetap tenang. Matanya bergerak gelisah, mencoba mengamati setiap sosok yang mengelilinginya, tetapi sulit baginya untuk berpikir jernih.

Salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar, tersenyum kecil dari balik maskernya. "Kami hanya ingin berbicara." katanya dengan nada sarkastik. "Tapi aku pikir kau bukan tipe orang yang suka mendengarkan."

Pria itu melangkah maju, membuat Soobin mundur sedikit tanpa sadar. Namun langkahnya terhenti ketika pisau di lehernya ditekan lebih kuat.

"Kau tidak punya tempat untuk lari, anak manis." bisik sosok di belakangnya dengan nada mengejek. "Kau tahu itu, kan? Jadi, jangan bergerak sembarangan."

Soobin mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasanya seperti udara tidak masuk ke paru-parunya. Pikirannya terus-menerus memutar skenario buruk: Bagaimana jika mereka menyerang ibu? Bagaimana jika aku tidak bisa melawan? Bagaimana jika...

"Pikirkan, Soobin. Pikirkan!" katanya dalam hati, mencoba menenangkan diri. Tapi semakin ia mencoba, semakin sulit baginya untuk fokus.




Di salah satu sesi pelatihan di kamp pelatihan muda, Damien berdiri di depan tim kecilnya, menatap setiap anggota dengan tajam. Di tengah mereka, Soobin tampak gelisah, menggenggam erat senjatanya dengan tangan yang sedikit bergetar.

"Setiap orang punya kekuatan." Damien mulai, suaranya tegas tapi tidak terlalu keras. "Dan setiap orang juga punya kelemahan. Mengetahui keduanya adalah kunci untuk bertahan hidup."

Ia berhenti tepat di depan Soobin, menatap pemuda itu dengan sorot mata tajam. "Soobin." panggilnya, membuat Soobin langsung berdiri lebih tegap meskipun wajahnya menunjukkan sedikit ketegangan.

"Kau cerdas, terampil, dan punya insting yang bagus." lanjut Damien, sedikit melunak. "Tapi kau punya satu kelemahan besar-kau mudah panik. Saat situasi mendesak, kau membiarkan ketakutanmu mengambil alih. Dan jika kau tidak belajar mengendalikannya..."

Damien mendekatkan wajahnya, menatap Soobin langsung di matanya. "...itu akan menjadi akhir bagimu. Atau lebih buruk, akhir bagi timmu."

Soobin menunduk sejenak, merasa tertampar oleh kata-kata itu. Namun, Damien menepuk bahunya dengan keras, memberinya dorongan. "Kau bisa mengatasinya, Soobin. Tapi hanya jika kau mau melawan rasa takutmu sendiri."

Kata-kata itu terus terngiang di benaknya, bahkan hingga sekarang, saat ia berdiri di tengah ancaman nyata, mencoba melawan rasa panik yang kembali merayap ke dalam dirinya.




Pria bertubuh besar itu melangkah lebih dekat, matanya tajam menatap Soobin. "Kau tidak akan membuat ini mudah untuk kami, ya? Sebenarnya, aku suka tipe keras kepala seperti kau."

Soobin menatapnya dengan wajah pucat, keringat mengalir di pelipisnya. "Aku harus melindungi ibu. Apa pun yang terjadi, harus..." Namun tubuhnya tidak bergerak, seolah-olah ia membeku di tempat.

"Tenanglah, Nak." kata pria itu dengan nada mengejek.

"Kau tidak perlu gugup seperti itu. Kami hanya ingin menyampaikan pesan. Tapi jika kau terus membuatku kesal, aku tidak yakin aku bisa menahan diri untuk tidak membuat masalah di sini."

Pisau di leher Soobin bergerak sedikit, cukup untuk membuatnya meringis. Tubuhnya menegang. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Tapi di balik kelopak matanya, bayangan ibunya yang tertidur di sofa terus menghantuinya.


"Tidak boleh panik. Kalau panik, mereka akan menang."


Namun, rasa takut dan kegugupannya tetap mencengkeramnya erat, membuat pikirannya sulit untuk bekerja dengan jernih.











AGEN5 ; {D124M4}


Aku update lagi sesuai janji yeay!!

Sebenarnya mau dilanjut cuma udah mau nyampe 3000 kata, makanya aku stop disini hehe

Jangan lupa vote + komen biar aku makin semangat nulisnya

Sampai jumpa di chapter selanjutnya

>_<





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro