Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Cerita Manis

Hari ini aku izin kuliah jam sembilan karena waktunya bersamaan dengan lomba menulis kaligrafi. Aku tertarik mengikuti lomba karena hadiahnya yang menggiurkan. Juara pertama mendapatkan hadiah senilai lima juta rupiah, juara kedua empat juta rupiah, dan juara ketiga mendapat hadiah tiga juta rupiah. Aku membayangkan jika aku berhasil meraih posisi tiga besar, uangnya bisa aku gunakan untuk menyewa kontrakan. Kondisi Axel sudah lebih baik. Setelah dia bisa berjalan normal, kami memutuskan untuk tinggal di kontrakan.

Lomba kaligrafi ini diadakan khusus untuk mahasiswa. Saat mendaftar minggu lalu, jumlah pendaftarnya sudah cukup banyak dari berbagai universitas. Aku tahu pesaingku banyak. Tentunya karya mereka juga bagus-bagus. Namun aku tetap optimis. Jika Allah berkehendak, tidak ada yang tidak mungkin.

Sebelum berangkat, aku pamitan dulu pada Axel. Dia tengah mengetik artikel untuk website sepakbola. Selama kakinya belum benar-benar pulih, bekerja di depan layar memang menjadi pilihan terbaik.

“Pah, aku berangkat, ya. Doakan aku semoga menang.”

Axel tersenyum dan mengusap pipiku lembut.

“Aku pasti doain, Mah. Moga kamu menang. Aamiin.” Axel mengecup keningku lalu beralih mencium bibirku.

Terakhir aku jabat tangannya dan menciumnya. Tak lupa aku memohon doa restu pada Ayah Bunda.

Aku berangkat naik ojek online muslimah yang sudah aku pesan sebelumnya. Lomba diadakan di universitas lain. Sebelumnya aku dan Luna pernah datang ke sana untuk mengecek lokasi lomba. Jadi aku tak lagi bingung mencari ruangan diadakan lomba.

Setiba di sana, aku menghampiri meja panitia. Kuserahkan nomor peserta beserta keterangan biodata singkatku yang aku dapatkan saat mendaftar. Salah seorang panitia mengernyit, mengamati kondisi tanganku.

“Kamu beneran peserta lomba?” tanyanya seraya menaikkan alis.

Aku mengangguk, “Iya, buktinya saya memegang kartu ini.”

“Tunggu... Tunggu... Apa lomba ini juga diperuntukkan untuk disabilitas?” ia melirik temannya yang duduk di sebelahnya.

Perempuan berjilbab abu-abu itu ikut mengamati tanganku begitu menelisik. Ada ekspresi wajah yang sesaat berubah kaget.

“Memangnya kamu bisa menulis? Sebenarnya lomba ini bukan untuk orang-orang difabel.”

Aku tak heran dengan tatapannya yang terkesan meragukanku. Kondisi fisikku yang tak sempurna sudah biasa dipandang sebelah mata. Ingatanku melayang ke masa kanak-kanak dulu, saat ayah mengantarku lomba. Seorang panitia menolakku karena kondisi tanganku. Untungnya ketua panitia mengizinkanku. Apa yang tengah aku hadapi sekarang seperti dejavu ke masa silam.

“Kemarin saya sudah mendaftar. Saya diberi kartu ini, artinya saya diperbolehkan ikut.” Aku tak akan menyerah begitu saja. Barangkali mereka tidak teliti dengan aturan lomba yang diperuntukkan untuk mahasiswa tanpa kecuali.

“Jangan-jangan ini ada yang salah. Semua peserta memiliki tangan yang normal. Bagaimana mungkin ada peserta yang tak punya jari?” Perempuan itu setengah berbisik dengan teman yang duduk di sebelahnya. Aku bisa mendengarnya.

“Dalam peraturan disebutkan lomba untuk mahasiswa. Status saya mahasiswa, jadi saya boleh ikut, kan?” Aku menatap tajam panitia lomba itu. Rasanya tak adil jika aku ditolak hanya karena kondisi tanganku. Di mana hak asasi manusia yang dielu-elukan? Di saat semua orang berkoar-koar untuk menghargai hak asasi manusia, saat ini di depanku justru terjadi sebaliknya. Mereka membedakanku dengan yang lain.

“Sepertinya kamu nggak bisa ikut,” tegas perempuan berjilbab itu.

“Kenapa tidak bisa? Saya sudah dapat kartunya. Kenapa saya diperlakukan tidak adil?” Aku tak peduli, banyak orang menoleh padaku. Aku tidak bisa diam. Aku akan memperjuangkan hakku.

“Justru saya mencoba bersikap adil. Kamu berbeda dengan yang lain. Saya takut kamu nggak bisa mengikuti lomba karena kondisi tanganmu.” Panitia itu meninggikan suaranya.

Rasanya sangat sakit. Aku pikir diskriminasi itu tidak akan ada lagi, rupanya aku masih harus menerima dan mungkin sepanjang hidupku aku harus selalu siap diperlakukan seperti ini. Tiba-tiba seseorang mendekat ke arah kami. Gadis muda yang tak asing. Dia yang tak sengaja menabrak Axel dan hingga detik ini masih bertanggung jawab membiayai perawatan Axel.

“Lho Adira?” sapanya ramah dengan senyum khasnya.

“Mbak Navita?” aku terkejut melihatnya ada di sini.

“Mbak Navita panitia juga?” aku lihat seragam yang ia kenakan sama dengan yang dikenakan panitia.

“Mbak Navita kenal sama perempuan ini?” perempuan berjilbab abu-abu itu sedikit menundukkan wajahnya.

“Lain kali jangan kasar sama orang. Lomba ini diperuntukkan untuk semua mahasiswa tanpa kecuali, jadi Adira bisa ikut.” Mbak Navita menatap tajam perempuan itu dengan raut wajah yang menceritakan bahwa ia tak menyukai sikap panitia itu.

“Maaf, Mbak.” Gadis berjilbab itu tak berani membuat kontak mata dengan Mbak Navita.

“Minta maaf sama Adira,” ketus Mbak Navita.

Gadis itu menatapku sejenak lalu mengangguk.

“Maafkan saya.”

Aku mengangguk, “Tidak apa-apa. Saya sudah biasa mendapat perlakuan seperti ini.”

“Ya sudah, Adira, silakan kamu masuk ke dalam.” Mbak Navita menepuk bahuku.

“Makasih banyak ya, Mbak.”

Alhamdulillah, aku bertemu Mbak Navita di sini. Akhirnya aku bisa ikut. Peserta lomba ada 325 orang. Satu ruangan berisi 30 orang. Bismillah, aku memohon kelancaran mengikuti lomba. Semua alat disediakan panitia, mulai dari kertas, tinta, kuas, cat air, palet, marker, pen nib, pensil. Alat-alat ini harganya tidak murah. Perusahaan yang mengadakan lomba ini memang perusahaan besar. Wajar jika panitia sanggup menyediakan alat-alat dengan kualitas yang cukup baik ini.

Aku memilih menulis kalimat syahadat. Sebelumnya aku sudah latihan di rumah. Aku terinspirasi dari mualafnya Axel. Waktu yang disediakan panitia adalah tiga jam. Dari proses membuat sketsa, menebalkan tulisan termasuk memberi warna harus selesai selama tiga jam.

Tak terasa proses lomba telah selesai. Semua peserta keluar ruangan. Kami sholat Dhuhur dulu setelah itu menunggu hasil pengumuman lomba. Aku dapat teman baru, anak universitas lain yang kuliah di fakultas pertanian. Itulah asiknya mengikuti lomba. Selain dapat pengalaman juga dapat teman baru.

Tiba saatnya pengumuman pemenang lomba. Rasanya berdebar begini. Aku berdoa memohon yang terbaik. Apapun hasilnya, itu sudah ketentuan Allah.

“Sekarang saatnya mengumumkan pemenang lomba kaligrafi. Pertama dimulai dari juara ketiga. Pemenang ketiga adalah peserta nomor 075, Arifin Kurniawan.”

Seorang mahasiswa berkemeja biru muda maju ke depan diiringi suara tepuk tangan yang membahana.

“Juara kedua Diah Puspitasari, peserta nomor 215.”

Seorang mahasiswi berkerudung pink melangkah ke depan. Harapanku rasanya semakin menipis. Apa mungkin posisi juara pertama jatuh padaku?

“Sekarang pengumuman yang paling ditunggu-tunggu. Siapa ya juaranya? Juara pertama adalah peserta nomor 156, Adira Dayu Aiza.”

Aku terperanjat. Apa aku tak salah dengar? Aku berhasil memenangkan lomba? Alhamdulillah ya Allah. Terima kasih Engkau telah mengabulkan doaku.

Aku melangkah ke depan. Riuh tepukan tangan peserta lain semakin memeriahkan suasana. Ini rezeki luar biasa dari Allah, benar-benar rezeki yang tak disangka-sangka. Rasanya tak sabar untuk segera pulang dan memberi tahu orang rumah tentang kabar bahagia ini.

CEO perusahaan naik ke panggung untuk memberikan hadiah. Seorang bapak paruh baya itu tampak tak asing. Aku ingat sekarang, beliau ayah dari Mbak Navita. Saat Axel masih dirawat di rumah sakit, beliau pernah datang menjenguk dan meminta maaf atas tindakan Mbak Navita yang tanpa sengaja menabrak Axel.

Seusai menerima hadiah dan melayani wawancara dari media lokal, aku pulang ke rumah. Aku membayangkan, ayah, bunda, dan Axel pasti bahagia dengan berita membahagiakan ini.

Tiba di rumah, aku mengucap salam dan bergegas mencari kedua orang tuaku dan Axel. Kuceritakan kabar gembira ini pada mereka dan kutunjukkan sertifikat serta hadiah lomba. Ayah, Bunda, dan Axel turut berbahagia dan mengucap syukur berulang kali.

Aku berbincang dengan Axel di kamar, membicarakan langkah kami ke depannya.

“Pah, insya Allah uang hadiah lomba bisa dipakai untuk menyewa kontrakan. Kata dokter, minggu depan kamu udah bisa lepas gips.”

Axel menatapku lembut.

“Itu uang kamu, Mah. Kamu simpan saja. Aku ada tabungan sedikit. Nanti aku cari kontrakan yang bisa nyicil bayarnya.”

“Pah, ini uang kita berdua. Aku mohon, jangan merasa nggak enak. Aku ikhlas. Aku juga udah bilang ke Ayah Bunda kalau uang ini akan kita gunakan untuk menyewa kontrakan. Mereka setuju saja. Meski mereka nggak keberatan kita tinggal di sini, tapi lebih baik kita tinggal memisah dari mereka, agar bisa hidup lebih mandiri.”

Axel tersenyum dan mengusap rambutku, “Baiklah kalau begitu. Mengontrak memang lebih baik untuk kita. Aku janji untuk bekerja lebih giat setelah lepas gips dan kakiku benar-benar sembuh. Kerja apa aja bakal aku jalani, Mah. Yang penting halal.”

“Aku percaya kamu orang yang bertanggung jawab, Pah.”

Axel menarik tubuhku agar lebih dekat padanya.

“Duduk di pangkuanku, Mah.”

Aku mengernyit, “Emang kakimu kuat menopang badanku?”

“Yang digips kan betis. Kamu duduk di pahaku. Lagipula kakiku udah nggak begitu sakit dan udah bisa digerakkan.”

Aku turuti kemauannya meski agak aneh untukku. Axel menatapku begitu lekat seolah meneliti setiap jengkalnya. Ia kembali membelai helai demi helai rambutku yang terurai. Axel mengecup bibirku untuk kemudian melumatnya bagai mencicipi permen yang tak pernah bosan untuk diemut. Perlahan Axel membaringkan tubuhku. Tanpa kuduga ia merangkak naik dan menindihku dengan hati-hati. Ia menyisahkan celah kosong agar tubuhku tak keberatan menahan tubuhnya.

“Pah...”

“Sszzttt....” Axel menempelkan jari telunjuknya di bibirku.

Aku terdiam. Axel mendaratkan kecupan di seluruh wajahku lalu menurun hingga menjejakkan tanda di sepanjang leherku. Aku gigit bibir bawahku tuk menahan sensasi yang mulai menerbangkanku. Aku lupa, hari masih siang. Kubiarkan Axel menjelajah setiap jengkal tubuhku dengan sentuhannya. Ia berhak untuk itu.

Dengan mata sayu yang sudah diselimuti kabut gairah Axel berbisik lirih.

“Kamu mau sekarang?”

Aku membulatkan mataku, “Hah?”

Axel menggigit bibir bawahnya, “Mau?”

Entah kenapa dadaku semakin berdebar. Apa Axel sudah tak tahan untuk meminta haknya? Kakinya sudah membaik dan mungkin ia merasa, ia sudah mampu melaksanakan tugasnya.

“Mau apa?” tanyaku berlagak polos.

“Ehmm... Mau apa nggak?” tanyanya lagi.

Aku terdiam. Wajahku memerah karena malu.

“Kamu pingin, nggak?” ia bertanya lembut. Mata itu masih didominasi gairah yang terbaca jelas dari sorot matanya.

“Kamu?” aku balik bertanya.

“Sekarang?” dia malah bertanya.

“Sekarang apa?” aku balikkan pertanyaan.

“Ehm... Iya sekarang. Sekarang kamu pingin nggak?” Axel berbisik lirih di telingaku dengan nada memberat dan sudah dikuasai hasrat yang semakin membubung.

“Aku... Aku....”

“Mau, ya?” ia menatapku dengan jarak yang begitu dekat.

Kugigit bibir bawahku sekali lagi.

“Mau?” ia bertanya lagi.

Aku mengangguk dengan wajah tersipu.

“Dira, Axel, makan dulu...”

Panggilan Bunda membuyarkan keromantisan yang baru saja akan terjalin lebih intim. Aku dan Axel berpandangan sejenak. Kami tersenyum dan tertawa kecil, menertawakan hal konyol yang baru saja terjadi. Ini masih siang dan hampir saja kami tak bisa bersabar.

Axel bangun dari posisinya. Aku dan dia berjalan keluar menuju ruang makan. Aku baru ingat, aku belum makan siang. Axel juga belum. Makan bersama menjadi cara sederhana lainnya untuk membangun keromantisan.

******

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro