18. Saling Menguatkan
Dapat foto ini dari instagram, ditag sama salah satu pembaca Adira. Keterbatasan fisik itu bukan suatu penghalang untuk berprestasi.
Happy reading
Aku memapah Axel ke kamar mandi setelah membungkus kakinya yang dibalut gips dengan plastik agar tak terkena air. Sebelum masuk kamar mandi, Aku menuntun Axel berdoa sebelum masuk WC.
"Kaki kiri dulu yang masuk, Pah."
Axel mengangguk. Aku menuntunnya untuk duduk di kursi dalam kamar mandi. Mandi sendiri bukan hal yang sulit untuk Axel. Aku menunggu di luar selama Axel mandi. Kusiapkan pakaian ganti untuk Axel.
Setelah Axel selesai mandi, Aku kembali masuk ke kamar mandi dan memapahnya keluar. Axel sudah melingkarkan handuk di pinggangnya. Tak lupa aku mengingatkan Axel untuk keluar dari kamar mandi dengan mendahulukan kaki kanan dan melafalkan doa. Axel bisa dengan mudah mengenakan pakaian sendiri. Dia kesulitan mengenakan celana. Aku membantu mengenakan celana dalam juga celana luar yang aku masukkan hati-hati dari ujung kakinya, terutama yang dibalut gips. Sebelumnya aku buka plastik pembungkus kaki Axel yang dibalut gips. Awalnya Aku canggung melakukannya, Axel juga tampak malu-malu mau karena tak terbiasa. Namun lama-lama kami terbiasa. Axel masih tetap mengenakan handuk yang melingkari pinggangnya. Sebelah tangannya bersandar di dinding. Gerakan tanganku naik ke atas. Biasanya jika sudah melewati lutut dan menuju paha, Axel menghentikannya dan ia akan meneruskan memakainya sendiri. Kali ini diam saja. Kami beradu pandang. Aku mengernyitkan alis.
"Biasanya kalau udah sampai sini, kamu akan memakainya sendiri."
"Kali ini aku pingin Mamah yang makaiin sampai selesai."
Aku tersipu. Jarak kami yang begitu dekat membuatku bertambah gugup. Aku masih saja merasakan debaran kala berdekatan dengannya. Aku menaikkan kembali celana itu ke atas. Wajahku mungkin sudah memerah. Sebelum aku membantu Axel mengenakan celana luar, satu tangan Axel yang bebas menarik pinggangku hingga tubuhku menghimpit tubuhnya. Aku tersentak.
"Ih, Papah cari kesempatan meluk-meluk," tukasku. Aku bisa mendengar degup jantung Axel yang berpacu lebih cepat, seperti degupan jantungku.
"Udah halal mah sah-sah aja." Axel mengedipkan matanya.
"Celananya pakai dulu." Aku memungut celana Axel dan kembali membantu mengenakannya. Setelah itu, aku kembali memapah lengan Axel.
"Makan dulu, Pah."
"Duduk dulu di situ, Mah." Axel melirik ujung ranjang.
Aku menurut. Aku menuntun Axel untuk duduk di ujung ranjang.
"Makannya nanti aja," ujar Axel sembari tersenyum.
"Kenapa emangnya, Pah?"
"Pingin ciuman dulu sama Mamah," bisik Axel tepat di telingaku.
Lagi-lagi aku tersipu. Sejak tahu nikmatnya berciuman, Axel seakan tak pernah bosan menciumku. Ibarat game, ciuman bagi kami seperti permainan baru yang tidak ada game over-nya. Namun permainan itu tidak membosankan serta masih membuat kami penasaran.
Axel mendaratkan kecupan di bibirku lalu memagutnya lebih dalam. Kini ia mulai bereskplor lebih dengan menciumi seluruh wajahku dan menyesap leherku, menghirupnya dalam-dalam. Tiba-tiba aku merasa sedikit sakit.
"Pah, sakit... Kamu kok gigit aku?" kuraba leherku.
Axel malah terkekeh, "Ini bukan gigit, Mah. Ini namanya ngasih kiss mark. Papah pernah lihat di video, di laptop Devan."
"Membekas, ya, Pah?" tanyaku.
Axel mengangguk, "Iya, merah-merah. Nanti juga ilang. Dinikmati aja, Mah. Enak tau, Mah."
Aku tertawa kecil. Axel menangkup kedua pipiku dan kembali menciumku.
"Axel, Dira...."
Kami kaget bukan kepalang. Biarpun sudah halal, tapi saat ada yang memanggil kami dengan lantang, rasanya itu seperti maling kepergok. Kami segera melepas ciuman kami. Kuambil kerudung lalu mengenakannya untuk menutupi tanda merah di leher.
Suara ketukan pintu bergema.
"Ya, Bun..."
Pintu terbuka. Sosok wanita terbaik di dunia berdiri di balik pintu.
"Yuk, makan dulu," ucap Bunda lembut.
"Iya, Bun."
Aku dan Axel makan berdua di ruang makan. Ayah sudah makan lebih dulu karena berangkat ke pasar untuk membeli bahan yang kurang. Siang ini ada pesanan catering di tiga tempat. Bunda juga sudah selesai makan. Adika sudah berangkat ke sekolah.
Axel menyuapiku sesekali. Aku merasa malu sendiri, seolah aku ini anak kecil. Makan aja harus disuapi.
"Aku bisa makan sendiri, Pah."
"Nggak apa-apa. Aku pingin nyuapin Mamah." Axel menyendok nasi lalu menyuapkan ke mulutku.
Kami saling melempar senyum. Jari-jari lembut Axel mengelap sisa nasi yang menempel di ujung bibirku.
Samar kudengar percakapan di ruang tamu antara Bunda dan Budhe Maulid. Sepagi ini budhe sudah datang, ada apa gerangan? Bunda dan Budhe melangkah masuk ke ruang makan.
"Nih Budhe nganterin soto Sokaraja. Axel udah pernah makan soto Sokaraja belum?" Bunda meletakkan satu set rantang di atas meja dan membukanya. Aroma soto tercium begitu menggugah selera.
"Sudah, Bun. Soto Sokaraja memang khas banget," jawab Axel.
"Makasih ya, Budhe." Aku tersenyum melirik Budhe yang membalas dengan senyum juga.
"Kamu nggak kuliah, Dir?" tanya Budhe.
"Kuliah nanti siang."
"Hmm... Kamu disuruh kuliah yang bener malah minta kawin. Kalian masih kecil-kecil udah pada minta kawin. Teman-teman kamu masih pada bebas, seneng-seneng, kamu udah kerepotan ngurus suami yang apa-apa masih harus diurus. Nasibmu kok gini amat, Dir. Padahal kamu anak pinter, tapi masa depanmu nggak lebih baik dibanding teman-temanmu yang waktu sekolah nggak naik kelas atau dapat ranking terakhir."
Jleb...
Perkataan Budhe Maulid begitu menusuk dan menyakitkan. Aku lihat raut wajah Axel berubah muram. Kedatangan Budhe benar-benar merusak suasana.
"Mbak, jangan begitu. Masa depan Adira masih terbentang ke depannya. Insya Allah dia masih punya banyak kesempatan untuk meraih masa depan yang cerah bersama Axel. Jangan menganggap pernikahan ini sebagai penghalang dan penghambat. Banyak kok yang pada berhasil di saat sudah berkeluarga. Aku justru bersyukur, Axel berani menghalalkan Adira, sementara banyak anak-anak muda sekarang yang cuma berani macarin anak gadis orang bahkan merusaknya, naudzubillahimindalik." Bunda tak pernah sedikitpun mengecilkan hatiku dan Axel.
Suara sumbang dan nyinyiran itu selalu ada dari orang-orang yang menganggap bahwa kami terlalu terburu-buru menikah. Dari mereka yang menganggap setelah menikah, aku tak akan bisa berhasil dan tak dapat membahagiakan kedua orang tua. Banyak orang yang masih menilai materi sebagai ukuran kesuksesan seseorang sehingga anak dinilai berhasil jika mampu memberikan materi yang banyak pada orang tua. Aku bersyukur memiliki orang tua yang menerimaku apa adanya dan tak pernah menuntut. Aku bersyukur memiliki orang tua yang berpandangan bahwa memiliki anak shalih shalihah adalah kesukesan yang sebenarnya. Jika memang saat ini aku belum bisa memberi materi, setidaknya aku masih punya kesempatan membahagiakan mereka dengan berusaha menjadi anak yang shalihah dan berbakti.
"Ya, aku ngomong berdasar fakta yang sekarang ini aku lihat, Fir. Ponakanku yang digadang-gadang bakalan jadi orang sukses, kok malah mutusin nikah muda. Mana menolak calon yang sebenarnya udah sangat ideal. Misal Adira menikah sama Sakha, nggak masalah dia nikah muda. Kuliah, sandang, pangan, papan, ada yang biayain. Ibarat Adira setelah lulus nanti nggak kerja pun hidupnya udah terjamin. Nggak perlu kerja keras karena penghasilan suami sudah cukup. Dengar-dengar Sakha punya bisnis juga. Mau ngasih ke orang tua juga nggak bingung. Kamu dan Bayu bisa tenang melepas Adira. Lha faktanya sekarang, Adira nilah sama Axel yang kakinya masih sakit, belum bisa kerja. Kamu dan Bayu juga toh yang akhirnya biayain segala macam. Malah jadi menanggung menghidupi tiga anak, Dira, Dika, ketambahan mantu. Adira juga harus ikut kerja karena penghasilan Axel juga nggak banyak."
Kata-kata Budhe Maulid yang meluncur seperti kereta api seakan menusuk bagian hatiku yang terdalam. Entah kenapa, sakit sekali mendengarnya. Aku tak suka orang meremehkan suamiku. Kutatap wajah Axel yang sudah berubah mendung. Hatinya pasti terluka. Aku memikirkan perasaannya. Kakinya masih sakit, keluarganya di Jakarta tak ada yang peduli, di sini sudah ada aku dan orang tuaku yang telah menjadi orang tuanya juga, tapi masih ada saja yang berkomentar pedas.
"Insya Allah menikah dengan Axel adalah yang terbaik, Budhe. Sebelumnya Dira sudah sholat istikharah. Axel juga insya Allah bertanggung jawab. Saat ini kakinya masih sakit, makanya belum bisa kerja." Aku mengusap punggung tangan Axel dengan telapak tanganku. Kucoba menenangkannya agar tak mengambil hati omongan Budhe.
"Ya, tapi tetap saja, sekalipun dia nanti kembali bekerja, hasilnya apa cukup untuk biaya kalian sehari-hari? Apalagi nanti kalau sudah punya anak. Pendidikanmu juga bakal terhambat." Budhe masih saja ketus.
"Sudah, Mbak. Justru dengan Adira menikah dengan Axel, hikmahnya jadi ada yang mengurus Axel selama sakit. Aku juga nggak menuntut Adira harus jadi orang sukses secara karir atau materi. Bagiku udah cukup melihatnya bahagia, rukun sama Axel. Biarkan mereka meraih masa depan mereka bersama."
Kata-kata bunda selalu menyejukkan dan menetralkan ucapan pedas Budhe Maulid.
"Ya, sudahlah, aku pamit dulu, Fir." Budhe melirikku dan Axel bergantian.
"Ngomong-ngomong Axel sudah sunat, belum?" tanya Budhe Maulid sedikit sewot.
Aku dan Axel berpandangan. Axel menatap Budhe Maulid dan mengangguk, "Sudah, Budhe."
"Baguslah. Kirain belum." Budhe Maulid melangkah tanpa beban. Bunda mengikuti langkah Budhe.
Axel memintaku untuk mengantarnya ke kamar. Sepertinya ia kehilangan selera makan. Kupapah lengannya. Setiba di kamar, kubantu Axel duduk selonjoran di ranjang dengan hati-hati. Tatapannya kosong. Ada kesedihan yang aku tangkap dari sorot mata sayunya.
"Pah..."
Axel memiringkan wajahnya. Aku usap sebelah pipinya dan aku gerakkan wajahnya agar bisa menatapku. Ia menatapku sepintas lalu kembali memiringkan kepalanya.
"Pah, lihat aku. Aku tahu, kamu pasti kepikiran omongan Budhe."
"Aku merasa gagal, Mah," ucapnya parau.
"Gagal kenapa?"
Axel menatapku dengan tatapan pias. Jelas ada kepiluan di sana.
"Benar kata Budhe Maulid. Aku belum bisa kerja. Honor menulisku juga belum keluar. Belum ada yang pesen dibikinin website. Aku cuma merepotkan keluargamu. Kasihan Ayah Bunda yang harus merawat dan menghidupiku. Aku belum bisa kasih kamu apa-apa." Sudut mata Axel tampak berkaca.
Aku tangkup kedua pipinya.
"Jangan bilang gitu. Keadaanmu belum memungkinkan untuk bekerja. Aku tahu kamu juga sudah berusaha dengan terus mengirim tulisan. Aku ikhlas, Pah. Bagiku yang terpenting adalah kesehatanmu. Setelah kamu sembuh total, kamu bisa aktif bekerja lagi dan kita akan cari kontrakan agar bisa hidup mandiri."
"Aku datang ke kamu dan keluargamu di saat aku nggak punya apa-apa, nggak punya siapa-siapa. Aku cuma bawa niat baik..." Air mata berlinang membasahi pipinya. Di balik sikap Axel yang terkesan cuek dan selengekan, dia cukup perasa dan mudah tersentuh.
Kuhapus air matanya dengan telapak tanganku. Melihat bulir bening menetes dari matanya, mataku pun berair. Aku ikut menangis.
"Sudah jangan nangis... Aku nggak melihat apa yang kamu bawa. Aku melihat niat baikmu. Aku menerimamu apa adanya, Pah."
Gantian Axel yang menyeka air mataku.
"Aku juga menerimamu apa adanya, Mah. Meski Budhe bilang segala macem tentang keputusanmu menikah muda, aku nggak peduli. Aku nggak peduli entah nanti kamu berkarir, jadi ibu rumah tangga, sukses secara materi seperti yang digadang-gadang Budhe atau tidak, aku akan selalu menerimamu apapun kondisimu. Di mataku kamu selalu istimewa. Aku nggak peduli orang mau bilang apa."
Tangisku semakin deras, tapi aku berusaha menahannya agar suaranya tak terdengar sampai luar.
Axel menarikku dalam pelukannya. Ia mengecup keningku lembut lalu bergantian mengecup mata kanan dan kiriku.
"Cup..cup.. sudah jangan nangis... Kita fokus saja pada masa depan kita. Biarkan orang berkomentar apa, kita jangan terpengaruh. Ada Allah bersama kita," ucapan lembut Axel membuatku merasa tenang.
Kami berpelukan mengalirkan perasaan kami yang begitu dalam. Aku tahu, ini masih awal. Dalam pernikahan akan ada banyak kisah yang terpatri seperti cerita Ayah dan Bunda tentang ujian pernikahan yang selalu datang tanpa kita duga. Jika kita bisa melalui ujian itu maka insya Allah, Allah akan menaikkan derajat kita dan rumah tangga akan selalu diwarnai rasa cinta karena Allah. Ujian-ujian itu yang akan menguatkan rasa cinta dan kapal ini akan terus berlayar menuju Jannah-Nya.
******
Maaf kalau gak begitu panjang. Sekarang aku update gak selalu panjang ya partnya. Toh semisal suatu saat mau nerbitin, kadang ada pembatasan jumlah halaman juga. Panjang atau pendek diterima aja.
Yang belum mampir ke Dear, Pak Dosen 2, silakan mampir. Yang ini juga nggemesin.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro