Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11

Pagi di Kota Batu, kabut tebal, hawa dingin sejuk yang menyentuh kulit. Dari kejauhan seorang bocah bertubuh kurus berjalan memasuki taman kota yang masih sepi. Alun-alun Kota Wisata Batu.

Sebuah logo indah bertuliskan “Alun-Alun Kota Wisata Batu”, dengan latar kolam air mancur yang indah. Di salah satu sudut taman, terdapat ikon bertuliskan “Shining Batu”, diletakkan di ujung paling atas sebuah bangunan cantik beratapkan bahan tembus pandang.

Anak itu terus berjalan menyusuri alun-alun, mencari sebuah bangku taman untuk dia duduki. Tangannya membawa buku dan pensil yang diberikan oleh ibunya. Tarian dari air mancur yang indah menghentikan langkah Abi. Beberapa remaja juga berfoto yang mengahabiskan waktu pagi mereka si taman mengambil foto, ada juga sepasang pria dan wanita dengan anak-anak mereka bercanda di dekat kolam air mancur.

Laki-laki kecil itu mendekat. Memperhatikan liukan tarian dari air yang menyembur keluar dari lubang-lubang kecil di sana. Lama pancuran air yang terus menari tanpa henti, rasanya membuat kepala anak itu sedikit pusing.

Abi mengedarkan pangannya. Berharap ada kursi atau apapun yang bisa ia duduki. Dan ping pong, Abi tidak menemukan bangku taman yang kosong. Semuanya diisi oleh orang-orang dewasa yang semakin lama, semakin banyak yang berdatangan.

Namun, dia meneukan tempat untuk duduk meskipun bukan di kirsi. Abi meletakkan bokongnya perlahan di atas semen pembatas antara taman dan paving berhiaskan batu warna-warni. Matanya menyusuri setiap sudut dan kegiatan orang-orang yang berlalu-lalang di depannya.

Di sini, dia sendirian. Bocah laki-laki kumal yang duduk seperti anak kucing loar yang kehilangan induknya. Tanpa seorang teman, tanpa sosok ibu dan ayah yang ada di dekatnya, Abi menikmati pagi. Dia memang masih kecil, dan orang dewasa beranggapan jika dia tidak tahu apa-apa mengenai apa yang terjadi pada ibu dan ayahnya.

Abi tahu, Abi mengerti jika ibu dan ayahnua berpisah dan tidak akan pernah kembali bersatu. Abi tidak perlu tumbuh dewasa untuk memahami apa yang terjadi pada keluarganya. Dia sudah tahu namun, tidak paham kenapa mereka harus berpisah.

Apa karena Abi, ayah dan ibu berpisah?

Buku tulis yang sudah terisi tujuh halaman, dia buka. Tangan mungilnya menggambar sepasang laki-laki dan perempuan lagi. Di antara gambar laki dan prrempuan. Terdapat bentuk hati yang tidak terlalu beraturan terpisah di bagian tengahnya.

Sepasang gambar itu saling tersenyum. Di posisi agak jauh dari gambar awal, Abi menggambar anak laki-laki kecil dengan bibir melengkung ke bawah. Ada bentuk hati besar di bajunya yang juga retak di bagian tengah.

Bu,

Abi gak tau.

Ibu bilang yang ibu lakukan ada lah yang terbaik untuk Abi dan ibu.

Taoi kenapa rasanya sakit ya?

Kenapa rasanya Abi ingin menangis?

Walaupun sebenarnya Abi senang bisa jauh dari bapak.

Tapi ada seuatu yang bikin Abi pengen nangis.

Kenapa ya, Bu?

Bapak menangis waktu kita pergi subuh-subuh dari rumah?

Bapak sayang Abi gak, Bu?

Abi pengen tau.

Buliran bening jatuh membasahi kertas di buku Abi. Dia menangis entah karena apa, anak itu juga tidak tahu alasannya. Air matanya tidaj dapat dibendung, anak itu lantas menutup bukunya dan meletakkan peralatan menulis di samping tampat dia duduk.

Abi membenamkan wajahnya, menutupi jika ia sedang menangis. Kenapa rasanya sangat sesak ya?

"Nak," panggilan dari seorang wanita membuat laki-laki kecil itu reflek mendongak. Di hadapannya berdiri seorang wanita paruh baya dengan hijab putih susu dan baju hijau tua menunduk menyentuh pundak Abi.

"Kamu gak apa-apa, kan?" tanya wanita itu, matanya memperhatikan prihatin.

Abi menggelengkan kepalanya, dia kemudian menghapus air mata yang masih tersisa di pipi kurusnya. "Iya, De. Abi gak papa."

"Kamu tersesat, Nak? Gak tau jalan pulang? Ibu kamu di mana? Atau mungkin kepisah sama ibu ya?"

Sekali lagi Abi menggelengkan kepalanya, "Abi ke sini sendirian, De. Bentar lagi pulang."

Wanita itu mengerti, namun ada satu hal lagi yang mengganjal di pikirannya. Dia lantas duduk di samping anak kecil itu, sambil mengelus rambut ikal Abi dia bertanya. "Lalu kenapa kamu memangis di sini sendirian, Nak? Apa tadi kamu terjatuh?"

"Bukan, De."

"Lalu?"

Abi diam tidak menjawab, anak itu bahkan bingung harus memberikan jawaban yang bagaimana. Karena dirinya juga tidak tahu apa yang dia rasakan.

Perempuan paruh baya itu masih menunggu jawaban dari anak di dekatnya. Diam artinya ada masalah keluarga yang membuat banyak sekali kerutan bahkan sisa lebam di tangan kecil bocah itu. Apa mungkin KDRT?

Siti masih menunggu dengan setia jawaban Abi. Meskipun hanya pandangan kosong yang ia dapat dari mata bocah kecil itu. Dia tetap duduk menunggu sampai Abi ingin beranjak pulang. Tak disangka matanya menangkap sebuah buku di samping anak itu duduk, lengkap dengan sebuah pensil.

Tangannya mengambil buku, melihat dan membolak balikkan sekilas. "Ini punya Abi?" tanpa perlu bertanya Siti sudah tahu nama anak laki-laki ini.

"Iya, De."

"Boleh bude lihat isi di dalamnya?" Abi menjawabnya dengan anggukan.

Sampul depan ia buka, awalnya sedikit aneh dengan gambar laki-laki dan kata 'bapak' yang dicorat-coret, dia belum bertanya. Siti kembali membuka halaman selanjutnya, kemudian yanh selanjutnya lagi, begitu terus sampai berakhir di halaman yanh baru saja Abi tulis.

Kini dia paham tanpa perlu bertanya, apa yang telah terjadi pada anak ini.

"Abi sekarang umur berapa?"

Dengan polosnya dia menghitung jari-jari di tangannya. "Enam, De," ucapnya sambil memperlihatkan tangan.

Umur enam tahun? Ibunya pasti sudah menyekolahkan dia. Atau....

Siti tersenyum, "Abi sekolah di mana?"

Wajah Abi kembali tertekuk, sedih. "Abi gak sekolah, De"

Tidak bersekolah? Kalau begitu ibunya pasti yang mengajarkan anak ini berhitung dan menulis.

"Kalau gituu... Ibu yang mengajarkan Abi menulis?"

"Bukan." kepalanya menggeleng cepat. "Pak ustad yang ngajarin Abi menulis."

Siti mengangguk-angguk paham. Semua pertanyaan di kepalanya sudah terjawab meski hanya sedikit. Membaca tulisan Abi pun rasa iba menghampiri hati kecil wanita itu. Dia ingin menolong Abi. Melihat wajah sedih anak itu ketika dirinya menanyakan tentang sekolah membuat Siti merasa bersalah.

Dia ingin membantu bocah ini. Dia ingin melihat Abi tumbuh seperti anak lain. Karena dulu, dirinya juga bernasib sama seperti Abi sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro