Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8 || Lebih Dekat

Zibran kembali tergelak. Ia tertawa pelan melihat tingkah Kaffa, sedari tadi anak terus mengoceh pada Firza, menasihati bagaimana cara bersikap ramah pada orang lain dan bagaimana cara agar menunjukan sikap ramah pada orang lain.

"Adeknya cerewet banget yah, Mas?"

Zibran sontak teralih pada pria yang tengah memperbaiki rantai sepeda Kaffa. Ia tersenyum mendengar kalimat tersebut. "Dia bukan adik saya, Mas," ujarnya menatap Kaffa yang telah membuat bengkel tersebut menjadi ramai.

"Oh yah, kirain adeknya. Mirip banget, tadinya saya kira anaknya, tapi tidak mungkin. Mas, masih mudah gitu masa sudah punya anak sebesar itu. Apa ponakannya?"

Zibran tertawa mendengar ucapan dari pria tersebut yang terlihat sangat penasaran. Ia sempat dibuat terkejut akan kalimat mereka yang terlihat mirip, sejelas itukah kemiripan mereka?

Ia kembali melirik Kaffa, syukurlah jarak tempat duduk ia dan kedua pemuda tersebut tidak terlalu dekat, Kaffa pun masih sibuk berbicara dengan Firza sehingga anak itu tidak harus mendengar perbincangan mereka.

"Dia putra saya, Pak, Alhamdulillah saya udah punya anak sebesar dan secerdas dia," ujar Zibran, ia tersenyum menatap Kaffa.

"Wah, umur berapa nikahnya, Mas?" tanya pria tersebut penasaran membuat Zibran merutuki jawabannya yang malah memancing rasa ingin tahu pria tersebut.

"Itu privasi Saya, Pak." Zibran berucap singkat. Ia tidak ingin lagi memperpanjang pembicaran di antara mereka yang sudah mulai melebar, ia pun panik melihat Kaffa dan Firza yang mendekat padanya.

"Sudah selesai belum, Pak?"  tanya Kaffa.

"Belum, mungkin sebentar lagi," ujar Zibran.

"Berapa menit lagi?"

"Kakak, kalau mau pulang duluan, pulang aja." Kaffa berucap, ia menatap Firza yang mendadak gelisah setelah menerima telepon yang ia tahu itu siapa.

"Yah udah pulang sama aku kalau gitu," putus Firza seenaknya menarik tangan Kaffa.

"Loh, bagaimana caranya, Kak?  Sepedanya belum selesai, masa nyuruh Pak Zibran yang bawa? Kan, Pak Zibran juga bawa motor?"

Firza membuang napas kasar sambil menatap Kaffa yang masih diperbaiki. Bukannya tidak ingin menuggui sepeda Kaffa selesai, tapi ia harus buru-buru pulan karena ayahnya pasti sudah tiba di pulang karena ibunya yang baru saja menelpon, memintanya untuk kembali secepat mungkin.

"Aku buru-buru, Kaf.  Nurut aja. Sudah sore juga, Tante Denia nanti khawatir," bujuk Firza untuk membawa Kaffa pulang bersamanya.

"Lalu sepedanya bagaimana? Pak Zibran?"

"Sudah kalian pulang saja,  sepedanya biar nanti Bapak antar." Zibran akhirnya ikut campur dalam perdebatan keduannya memberi solusi pada Kaffa yang tampak bingung.

"Repotin Bapak yang ada."

"Loh kok repot, Dek, orang Bapaknya juga,  kan rumahnya sama," cerocos pria yang tengah memperbaiki rantai sepeda Kaffa membuat jantung Zibran berpacu cepat.

"Kita enggak rumah, Pak, rumah Pak Zibran beda."

"Loh kok bi- auhhhhh!" Zibran bergerak cepat, ia memenggal kalimat pria tersebut dengan cara menginjak kakinya.

"Kalian pulang saja, biar Bapak yang menunggu," ujar Zibran pada Kaffa dan Firza yang tampak bingung setelah teriakan sang montir.

"Aku di sini aja, enggak mau merepotkan Pak Zibran," putus Kaffa. "Maaf, Kak."

"Terserah, Kaf," pasrah Firza yang kemudian melepas Kaffa yang tidak akan mengubah jawabaan lalu menatap Zibran. "Jaga Kaffa, Pak. Kalau ada apa-apa Bapak yang bertanggung jawab."

Zibrab tergelak akan kalimat Firza, ia hanya mengangguk menanggapi ucapan anak itu. Setelahnya ia membawa Kaffa agak jauh dari montir yang memperbaiki sepedanya, tak ingin Kaffa terlibat pembicaraan dengan pria tersebut yang bisa saja akan merusak semuanya.

"Bagaimana kalau kita ke sana dulu, sambil nunggu sepedanya diperbaiki?"

Kaffa mengikuti arah pandang Zibran, sebuah warung makan yang terletak di sisi jalan seberang. "Nggak usah, Pak. Kayaknya sepedanya juga sudah mau selesai. Lagipula Kaffa masih kenyang," tolaknya yang memilih duduk pada kursi panjang di belakangnya, tempatnya tadi bersama Firza.

"Firza memang begitu anaknya?" tanya Zibran yang mulai mencoba membuka percakapan di antara mereka.

"Tidak, Pak. Dulu Kak Firza ramah kok. Tapi, sejak orang tuanya cerai jadi kayak gitu. Sampai sekarang deh," jawab Kaffa yang kemudian mulai bercerita tentang Firza yang berbeda dengan sekarang.

Zibran yang mendengar cerita Kaffa tidak pernah melepaskan pandangan dari anak itu. Suaranya, caranya berbicara, gelak tawa dan raut wajah Kaffa menjadi candu baginya. Ia tahu bila putranya sangat manis, tapi ia tidak menyangka bila dirinya akan tergila-gila seperti ini. Rasanya ia tidak ingin berhenti mendengar celoteh putranya.

"Tenang saja, Firza pasti akan kembali seperti dulu," ujar Zibran mengusak puncak kepala Kaffa dengan lembut setelah putranya usai bercerita.

"Aamiin. Oh yah, Pak. Kita bisa ikut DBL tahun ini, 'kan?" tanya Kaffa menatap antusias pada Zibran.

"Tentu saja, maka dari itu harus kalian  latihan lebih giat. Dua bulan lagi babak seleksi," ujar Zibran yang masih mengusap kepala putranya.

"Siap, Pak!" seru Kaffa penuh semangat membuat Zibran harus bersabar menahan diri agar tidak memeluk anaknya, atau bahkan mencubit pipi Kaffa karena gemas.

***

"Besok berangkat sama Bapak, mau?" Zibran bertanya ragu pada Kaffa. keduanya kini telah berada di persimpangan jalan di mana arah keduanya akan berbeda.

"Boleh, Pak," jawab Kaffa yang menerima dengan baik tawaran Zibran dengan senang hati. Mengenal pelatihnya lebih dekat ternyata cukup menyenangkan, orangnya cukup baik menurut Kaffa.

"Besok Bapak tunggu di sini," ucap Zibran yang kembali mengacak rambut Kaffa penuh sayang. Ah! Rasanya ia tidak ingin berpisah dengan putranya walau hanya sesaat.

"Kalau gitu, aku duluan yah, Pak. Assalamualaikum." Kaffa berpamitan dengan santun, kembali melajukan sepedanya meninggalkan Zibran yang tersenyum senang di sana.

Zibran memekik heboh setelah Kaffa tak terlihat lagi, ia kegirangan akan apa yang terjadi hari ini.  Ijin dari Denia, pendekatannya dengan Kaffa, demi apa pun hari ini adalah  hari terbaik dalam hidupnya setelah hanya bergelung dalam luka.

"Mulai hari ini, kita akan bahagia, Nak."

***

Kaffa mengulum senyum, setelah perjanjiannnya dengan Zibran petang itu. Kini keduanya kian dekat, Zibran selalu menyambutnya di persimpangan jalan lalu berangkat bersama ke sekolah, saling beradu kecepatan dengan motor vespa jadul pelatihnya yang berjalan sangat lambat dari sepedanya. Kaffa selalu tertawa saat berhasil mendahului laju kendaraan Zibran.

"Museumkan saja, Pak. Kayaknya sudah tidak kuat," ujar Kaffa. Keduanya kini berjalan beriringan memasuki area sekolah.

"Mungkin memang sudah harus, bagaimana kalau sebentar sore, temani Bapak untuk liat-liat."

"Boleh tuh," sahut Kaffa yang setuju akan ajakan Zibran. Ia selalu suka bila Zibran membawanya, selalu banyak hal menyenangkan di antara mereka bila bersama.

"Ok,  sampai!" seru Zibran setelah behasil mengantar Kaffa ke depan kelasnya hal yang entah sejak kapan menjadi rutinitas mereka. Ia tersenyum puas rasanya benar-benar menyenangkan dengan hal tersebut, ia merasa seperti ayah yang tengah mengantar putranya ke sekolah.

Zibran bersyukur hubungan keduanya kian dekat, tidak ada lagi canggung dan perlahan ia dapat menunjukan kasih sayangnya pada Kaffa. Membuat Kaffa nyaman dan memberikan perhatian pada putranya dengan lebih leluasa, Denia pun bekerja sama dengan baik dan perlahan menerima hadirnya, tak jarang mereka bertemu untuk membahas tumbuh kembang Kaffa selama ini. 

Sekarang tidak ada lagi hal yang harus ia khawatirkan. Ia akan tetap bersama putranya, mencoba menjadi ayah yang baik dan bila bisa ia akan membawa Denia kembali padanya hingga Kaffa merasakan keluarga yang utuh.

___________________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro