Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

FF(72) ● Menuju Rahasia

Panjang part ini, jadi disantain aja say bacanya wkwkwk

Ingetin aja buat vote dan komen huhu, biar semangat gitu :*

°°°

PELAMPIASAN amarah yang dulu Zion lakukan sangat salah. Dengan cara kotor, dia memainkan perasaan. Membuat para perempuan jatuh cinta dan setelahnya ... membuangnya ke tempat sampah.

Terdengar mengerikan, tapi dulu itu terasa menyenangkan buatnya. Saat melihat para perempuan jatuh dan bertekuk lutut karena kalah oleh perasaannya sendiri. Zion cukup menundukkan kepala dan melihat bagaimana tangis mereka yang menyayat hati.

Setidaknya dia tahu cara melampiaskan amarahnya. Melampiaskan sakitnya sebab kepergian sang mama. Menunjukkan kekuasan lelaki pada perempuan jika tidak ada kalah di kamus mereka.

Apalagi kalah soal perasaan.

Sayangnya, semua pemikiran itu berhenti saat Zion menginjak kakinya di SMA. Bertemu seseorang perempuan di gerbang sekolah. Jarak masih terbentang panjang, tapi Zion sudah terkunci di tempat. Melihat bagaimana bidadari itu menikmati lolipop di tangan. Begitu manis hingga Zion tak peduli oleh detak jantungnya yang ikut antusias.

Sebenarnya jijik untuk dijelaskan. Namun, Zion seperti ditembak panah sang arjuna. Untuk pertama kalinya dia ingin mengejar seorang hingga dia dapat merengkuhnya setiap saat.

Awalnya cuma suka pada pandangan pertama. Sebelum semuanya berubah jadi hal gila saat dia mengetahui namanya. Dan kalimat sinis yang terlontar dari bibir tipisnya. Zion merasa tertantang untuk memiliki, mendapatkan, dan mengklaim hatinya untuk jadi miliknya sendiri.

Mengejar cewek tidak ada di kamus Zion. Wajar jika dia bingung saat ingin melakukan pendekatan. Jalan pertama sedikit lancar. Namun, di pertengahan Zion melakukan kesalahan fatal hingga yang cewek mengikrakan kebencian.

Andai Zion berkata jujur sejak awal dan bukan malah menyembunyikan. Lihatlah dampaknya sekarang, cuma ada kesalahpahaman dan akhirnya cuma ada satu pilihan.

Yaitu; menjauh, membentangkan jarak agar yang cewek tidak lagi mendekat.

Dan sialnya ... takdir tidak pernah ditebak.

Pukul 10.00 pagi, Zion turun dari kamar dengan keadaan rapi. Jaket bomber yang membungkus kaus putihnya tampak begitu cocok dengan celana jeans. Apalagi sepatu adidas yang menambahkan kesan kasual.

Keinginan terakhirnya di pagi hari adalah melihat Linzy yang sudah mengobrol dengan sang Bunda di dapur. Lari dari situasi, sepertinya Zion bisa dianggap banci. Maka dari itu dia menarik kursi dan mendaratkan diri dengan santai. Anggap saja tidak ada orang di depannya.

"Kamu udah rapi pagi-pagi." Friska melongok dari dapur, mengernyit bingung. Linzy juga. "Mau kemana?"

"Mau pergi sama Zarlin."

Jujur ekspresi tertunduk Linzy melambungkan harapan Zion. Berpikir jika ada dia di hati Linzy. Oh betapa bodohnya, Zion jika berpikiran begitu.

"Mau pergi kemana emangnya?" Linzy bertanya sambil senyum.

"Bukan urusan lo!" bisiknya pelan. Sengaja agar Friska tidak mendengar.

"Ya ... gue tau." Linzy memainkan jarinya lalu memilih mengalihkan perhatian. "Bunda mau Linzy bantu?"

"Gak usah sayang, udah selesai ini!" Bunda berteriak dari arah dapur. Tampaknya Friska tengah sibuk dengan kue-nya. Selesai menuntaskan kerjaan di dapur, dia bergabung di meja makan.

"Nanti kalo kuenya udah jadi. Kita makan bareng oke?" Friska yang duduk di sebelah Linzy membelai rambutnya.

"Padahal Linzy cuma mau main ke sini, eh malah jadi ngerepotin Bunda."

"Sadar ternyata!" Suara Zion terdengar menyindir. Linzy langsung diam.

"Apa-apaan kamu, Zion!" Friska menatapnya marah sebelum tersenyum ramah pada Linzy. "Nggak ngerepotin sayang. Kan Linzy emang udah lama gak ke sini. Makanya Bunda buatin kue."

"Makanya kalo emang tau bakal ngerepotin, gak usah ke sini!"

"Zion!" Friska tidak suka nada bicaranya. "Kamu ada masalah?"

"Jelas!" jawab Zion sebelum bangkit berdiri. Hendak melarikan diri dari situasi ini.

"Kalian sebenernya ada apa? Lagi berantem?"

Langkah Zion berhenti berkat pertanyaan Friska. Senyum sinisnya terangkat. "Berantem? Pacaran aja enggak." Setelahnya Zion melangkah menjauh. Cukup melihat air muka Linzy yang muram, Zion punya alasan untuk buru-buru pergi. Takut dirinya terjatuh untuk kedua kali.

°°°°

Senja itu pemanis di ujung hari. Matahari yang terbenam, menebarkan jingga di angkasa adalah momen-momen yang patut untuk diabadikan lalu direkam dalam ingatan.

Zarlin bukan pecinta senja. Semua yang Tuhan ciptakan memang selalu menarik perhatiannya. Dan ... senja salah satunya. Ketika matahari tenggelam di ujung cakrawala seolah mengingatkan Zarlin untuk terus bersyukur atas segala anugerah yang Tuhan berikan.

Termasuk anugerah untuk bisa melihat dunia. Tidak perlu lagi meraba. Tidak perlu lagi mengandalkan suara. Cukup membuka mata, segalanya akan terlihat.

"Lo suka sunset?"

Pertanyaan itu menyadarkan Zarlin pada realita. Dia menoleh pada Zion yang duduk di sampingnya.

"Gak juga." Zarlin menjawab. Pukul 11.00 pagi tadi Zarlin terkejut luar biasa berkat Zion yang tahu-tahu datang menjemput.

Si cowok tidak mengatakan apapun. Cuma mengendarai motor di jalan yang padat. Hari pertama anak sekolah liburan rupanya membuat banyak orang ingin menikmati waktu berkunjung ke berbagai tempat.

Dengan motornya, Zion membawa Zarlin berkeliling Jakarta. Mampir ke kafe untuk istirahat sejenak. Bahkan jika lapar mereka makan di pinggir jalan. Zarlin tidak keberatan karena itu memang makanan yang dia suka.

Di penghujung sore barulah Zion menghentikan motornya di tempat tujuan. Aroma khas laut bercampur pasir yang dibawanya tentu bisa membuat siapapun menebak tempat tujuan itu. Zarlin tidak menyangka jika Zion akan membawanya ke pantai.

Jujur Zarlin tidak menyukai pantai. Pantai itu identik ramai. Sudah dia katakan di awal, jika dia tidak suka keramaian. Keramaian membuat Zarlin bisa bertemu banyak orang. Jadi tentu dia berusaha mungkin untuk menghindar dari tempat yang membuatnya bisa tenggelam dalam ketakutannya sendiri.

Tapi ternyata Zion mengerti keadaannya. Dia mencari pantai yang jarang dikunjungi. Cukup sepi dan terasa mendamaikan. Bersama Zion, dia duduk menikmati embusan angin dan suara deburan ombak yang menenangkan.

"Tuhkan bengong lagi!" Terkejut. Zarlin mengerjapkan mata beberapa kali. "Kalo gak terlalu suka senja, kenapa lo ngeliatinnya sampe segitunya?"

"Sampe segitunya gimana?" Zarlin bingung.

"Lo sampe ngelupain cowok ganteng di samping lo!" Yang cowok sangat percaya diri. Zarlin tertawa dan tak menggubrisnya.

"Aku suka senja," akunya jujur. "Tapi gak bener-bener suka. Cuma sebatas kagum karena aku gak pernah liat pas kecil."

Sambil menopangkan tubuh dengan kedua tangan di belakang, cowok di samping Zarlin mengerutkan dahi. "Maksud lo?"

Zarlin menerawang pada setiap ingatan lalu. Ingatan menyakitkan yang membuatnya selalu ketakutan saat bertemu orang baru. Dia takut dikucilkan. Dia takut dijadikan bahan ledekkan. Bayangan dulu membuat Zarlin sulit dekat dengan orang lain, berpikir jika mereka akan menjatuhkannya. Cuma baik diawal sebelum mendorongnya tanpa sepengetahuan.

Terlalu paranoid memang. Namun ... itu yang selalu dia pikirkan jika bertemu banyak orang.

"Dulu ... aku gak bisa ngeliat?"

Zion terdiam syok. "Gak ... gak bisa ngeliat?"

"Aku lahir premature. Aku gak ngerti gimana jelasinnya, cuma kata dokter ada yang salah di retina mataku sejak lahir." Selain Nara dan keluarganya tidak ada tahu dan entah apa alasannya Zarlin ingin memberitahu masalahnya ini pada Zion.

Memori kecilnya tentu masih membekas di kepala. Saat dia tidak tahu arah. Cuma mengandalkan tongkat dan suara-suara yang didengar. Semuanya gelap.

Beruntung dulu ada cahaya yang menuntunnya jalan. Dia mama dan kakaknya yang pergi entah kemana.

Reaksi terkejut Zion itu wajar. Zarlin sebelumnya tidak ada basa-basi dan malah langsung ke inti. Bagaikan bom, berita itu terdengar memekakan di telinga.

Lagipula Zion pasti tidak menyangka jika perempuan yang selama ini dia dekati ternyata dulu adalah perempuan buta—Oke ... Zarlin berpikiran negatif lagi.

Itu jelas keajaiban. Anugerah Tuhan yang sampai sekarang masih belum bisa Zarlin percaya.

"Jadi ..." Zion tampak kesulitan merangkai kata. "Lo bisa ngeliat kayak sekarang karena ada donorin lo mata?"

Yang cewek mengangguk dengan senyumnya.

"Lo jadi gak tau ... wajah ibu lo?" Zion bertanya takut-takut.

Zarlin sesaat diam sebelum menggeleng dengan perih yang mulai merayap. Mungkin Zion tidak mengetahui perihal kebutaannya. Namun ... tentang ibu kandungnya, Zarlin telah menceritakan semua. Termasuk kakaknya yang ikut pergi. Sekarang dia hanya tinggal bersama sang Papa dan ibu tirinya, yang beruntungnya sangat sayang padanya.

"Aku juga gak tau wajah kakak kayak gimana." Zarlin menunduk sedih. Mati-matian untuk menahan air matanya yang muncul sebab sesak.

Zion membetulkan posisi duduknya untuk menghadap Zarlin. "Terus gimana cara lo ngenalin mereka selain dari suara?"

Zarlin menoleh. Sebagai jawaban, dia mengangkat tangan dan diusapkan ke wajah Zion dari dahi hingga dagunya dengan gerakan yang sangat pelan. Zion memejamkan mata bersama senyumnya mengulas.

"Oh jadi kayak gitu. Manis ternyata!" Zion berkomentar sambil membuka mata.

Sebenarnya ada apa dengan Zarlin. Bukannya menjauhkan tangan, dia justru terdiam, menatapnya lama.

Di ujung cakrawala, matahari mulai membenamkan diri, berbaring di tempat peristirahatan.

"Zarlin sayang Kak Zion," akunya mengikuti perintah hati. Yang lelaki membeku. Sebelum diakhir menariknya ke pelukan. Kehangatan yang dibawanya seolah membuat Zarlin lupa pada pernyataannya yang tak berbalas.

°°°°

Malamnya Zion mengantarkan Zarlin pulang.

"Lo gak mau turun?"

"Eh!" Zarlin refleks menjauhkan tangan. Ternyata sudah tiba di rumahnya. Dia sampai tidak sadar. Buru-buru dia menapaki kakinya di depan gerbang. Zion cuma tertawa melihatnya.

"Kalo emang lo masih mau meluk, gak pa-pa." Yang cowok sengaja menggoda. Zarlin memelotot bersama pipinya yang memerah.

"Makasih buat hari ini!" Zion berganti topik dengan senyum lebar.

"Aku juga mau bilang makasih," Buat sekarang, Zarlin sudah berani menatap Zion tepat di mata. Justru itu adalah hal yang dia suka. Saat dia tenggelam dalam gelapnya mata Zion dan mengundang debaran gila jantungnya. "Hari ini aku seneng."

"Gue juga seneng." Zion mencubit pipinya, seketika Zarlin tersenyum lebar karenanya.

"Kak Zion!"

"Mm?"

Ada yang ingin Zarlin katakan. Namun, dia ragu. "Gak jadi."

Zion menatap Zarlin dengan pandangan 'seriously', yang membuat Zarlin refleks tertawa.

"Gue aja deh yang ngomong," Zion turun dari motornya. Berdiri di depan Zarlin. Tentunya yang cewek langsung mendongak. Tipisnya jarak mereka cukup menjadi alasan buat Zarlin menahan napas. Apalagi tangan Zion terangkat membelai pipinya.

Debaran jantungnya yang seperti berhenti berdetak membuat matanya kontan memejam.

"Good night baby bear!" bisik yang cowok tepat di telinga. Sontak Zarlin membuka mata di detik berikutnya. Zion telah menjauhkan diri darinya.

Zarlin menunduk malu. Apa-apaan itu! Kenapa dia berpikir jika Zion akan menciumnya?

"Gue ..."

"Zarlin!"

Baru saja Zion hendak pamit pulang saat seorang wanita berjalan dari arah pintu menuju gerbang.

Jika Zarlin tersenyum lebar melihatnya. Zion justru merasa bumi berhenti di porosnya.

"MAMA!" Zarlin langsung berlari memeluk. Yang dibalas sang Mama erat. "Mama udah pulang? Kok gak ngabarin Zarlin?"

Dari jauh, Zion menonton interaksi ibu dan anak itu. Tangannya refleks mengepal. Matanya menajam. Bagaikan disuruh berputar jalan kembali ke masa lalu, Zion merasa semua dunianya runtuh cuma karena melihat bagaimana wanita itu tersenyum lebar tanpa beban.

"Mama udah nelpon kamu. Tapi malah operator yang jawab." Mayra melepaskan rengkuhannya.

Zarlin mengernyit. "Masa sih?" lalu dia mengambil ponselnya yang tersimpan di tas selempangnya. Dan ternyata ponselnya mati kehabisan baterai. "Pantes, baterainya habis!" Zarlin tertawa. Mayra cuma menggeleng dan mengusap kepalanya penuh sayang.

"Mama! Zarlin mau ngenalin Mama ke seseorang!" Zarlin terlalu antusias menarik tangan mamanya menuju luar gerbang. "Ini Ma, Kak Zion!"

Cuma butuh sedetik, senyum Mayra memudar ketika melihat seorang pemuda berdiri di depannya.

Zion dan Mayra berpandangan lama. Sorot keduanya tak terbaca. Zarlin yang berdiri di antaranya mengernyit walau tak bertahan lama berkat Zion yang tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan.

"Zion, Tante!"

Seharusnya sesi perkenalan itu berjalan singkat. Mayra cukup menerima uluran tangan Zion. Bukan malah terdiam seperti ada sesuatu yang dipikirkan.

"Mama!" Zarlin memanggil. Mayra mengerjap mata beberapa kali. Senyumnya terulas, tampak terpaksa. Lalu mengulurkan tangan membalasnya.

"Mayra, mamanya Zarlin."

"Seneng ketemu Tante!" Zion menunjukkan senyumnya yang lebar. Mayra sekadar mengangguk. Jabatan itu pun terlepas.

"Kalo gitu saya balik!" Tidak ada tanda keganjalan yang Zarlin tangkap dari raut Zion. Cowok itu malah terlihat biasa saja bertemu mamanya. Zarlin pikir Zion akan gugup seperti dia yang waktu itu bertemu bundanya. "Gue balik ya, Zar."

Setelahnya, Zion menaiki motornya. Saat hendak memakai helm, dia sempat menoleh pada Zarlin dan Mayra. Zarlin melambaikan tangan, yang cowok tentu tersenyum melihatnya. Sebelum akhirnya dia mengegas motornya meninggalkan tempat.

Melihat motor Zion yang menjauh, senyum Zarlin mengulas sempurna.

"Dia siapa?"

"Apa?" Zarlin menoleh kaget. Saking bahagianya, Zarlin lupa pada Mayra yang masih berdiri kaku di sampingnya.

"Dia ..." sorot mamanya tak mampu Zarlin artikan. "Temen kamu?"

Yang ditanya seketika merasakan wajahnya yang memanas. Ya ampun Zarlin, itu cuma pertanyaan biasa. Lalu kenapa dia harus salah tingkah?

"Dia ... pacar Zarlin!" Tentu saja, Zarlin sudah siap oleh godaan Mayra yang membuatnya makin salah tingkah. Namun ... Mayra justru bertanya lagi.

"Sejak kapan?"

"Tiga hari lalu." Zarlin bingung. Kalau mendengar ada cowok yang dekat dengan Zarlin, biasanya Mayra bakal heboh.

"Oh ..." respon Mayra singkat. Sebelum melangkah masuk ke dalam rumah. Zarlin jadi keheranan.

°°°°

Sepertinya sudah waktunya Zarlin mengucapkan selamat tinggal pada insomnia. Akhir-akhir ini dia bisa tidur tepat waktu. Tidak ada lagi tidur jam 2 pagi atau terbangun jam 1 dan tidak bisa tertidur lagi. Tidurnya terasa nyenyak. Bersama matahari yang terbangun dari peristirahatan, Zarlin pun ikut terbangun dari mimpi indahnya semalaman.

Saat bangun dari ranjangnya yang nyaman, dia merasa tubuhnya terasa segar dan damai. Selama lima belas tahun kehidupannya, Zarlin tidak pernah merasa sebahagia ini ketika menyambut pagi. Bahkan kicauan burung rasanya sangat menenangkan hati.

Sekitar dua puluh menit Zarlin menghabiskan diri bersih-bersih di kamar mandi. Selesai memakai baju santai, dia merapihkan kamarnya yang jarang berantakan. Tangan Zarlin selalu gatal ketika melihat sesuatu tampak tak rapi.

Ketika yakin barang-barang kamarnya sudah tertata sesuai tempatnya. Zarlin mengambil ponselnya yang tergeletak di meja belajar. Kali saja ada pesan dari Zion.

Ternyata ... nihil.

Tidak ada chat satu pun dari Zion sejak semalam.

Zarlin mencebikan bibir muram.

Oh tidak! Tidak! Zarlin tidak boleh seperti ini. Cuma karena Zion tidak mengirimkannya pesan, Zarlin menjadi sedih. Berpikir positif saja, mungkin Zion masih tertidur. Ini hari libur. Orang lain pasti akan menikmati tidurnya seharian tanpa mau diganggu. Cuma Zarlin seorang mungkin, yang mau bangun pagi-pagi saat libur.

Akhirnya dia memilih turun ke bawah untuk sarapan. Di meja makan, Zarlin langsung disambut sang Papa yang tengah menikmati kopinya sebelum berangkat bekerja.

"Hei!" Papa menyapa. Zarlin senyum dan langsung menerjang papanya dengan pelukan.

"Zarlin kangen Papa!" ucapnya samar karena tenggelam di dada papanya. "Papa kapan sih cutinya? Zarlin kan bosen ditinggal sendirian mulu kayak kemaren."

"Aduh kasiannya anak Papa!" Mirza, sang papa mengacak-acak rambutnya. Zarlin cemberut dan melepaskan pelukan. Lalu bergerak duduk di samping papanya. "Kamu emang mau liburan kemana?"

"Mm ..." Zarlin berpikir. Tak lama akhirnya dia cuma mengendikan bahu. "Gak tau, terserah Papa, yang penting Papa sama Mama gak keluar kota terus. Zarlin kan jadi gak punya temen."

Mirza terdiam. Terlihat berpikir. "Gimana kalo kita ke Jepang?"

Kalau anak lain yang mendengarnya mungkin akan antusias. Sayangnya, ini Zarlin yang tidak suka berpergian jauh. "Kenapa enggak di Indonesia aja liburannya?"

"Kebetulan Papa ada perjalanan bisnis ke sana. Sekalian aja. Kita jadi bisa liburan."

"Kerja-kerja lagi." Zarlin cemberut. "Ya udah deh terserah Papa. Yang penting Papa jangan sibuk aja di sana."

"Gak dong!" Mirza kembali mengusap rambutnya. "Kita bakal seneng-seneng di sana."

Tidak ada lagi alasan buat Zarlin tidak tersenyum senang kan? Lalu dia menatap sekeliling. "Mana Mama Pa?"

"Udah berangkat sejak pagi," jawab sang Papa. Lalu meneguk kopinya. "Papa juga harus berangkat." Dia mencium keningnya lama. "Hati-hati di rumah. Jangan aneh-aneh." Setelah merapihkan lagi dasinya, Papa melangkah meninggalkan ruang makan.

Karena tidak ada kegiatan lagi, Zarlin memutuskan untuk ke taman samping rumah. Menyiram bunganya cukup membuat paginya menyenangkan. Pak Amin, tukang kebunnya biasanya bakal protes jika Zarlin mengerjakan tugasnya. Tapi, tentu saja Pak Amin tidak bisa membantah dan akhirnya membiarkan saja.

Baru juga bunga mawarnya disiram, Mbak Tari—pembantu rumahnya itu—tahu-tahu datang menganggu.

"Apa Mbak?"

"Ada cowok yang nyariin Non?"

Zarlin langsung melepaskan selang di tangannya. Matanya berbinar. "Kak Zion?"

"Gak tau Non."

Mbak Tari itu belum pernah bertemu Zion secara langsung. Bagaimana bertemu, Zion tidak pernah mau mampir masuk ke rumah. Setelah mengantarnya pulang, cowok itu langsung melajukan motornya pergi.

Zarlin melangkah ke arah gerbang. Menyipit saat melihat sosok lelaki yang membelakanginya.

"Siapa ya?"

Cowok itu memutar tubuhnya. Zarlin terkejut luar biasa.

"Gue boleh ngomong sama lo di luar?"

°°°°

Benar kata orang, yang terlihat belum tentu sesuai kenyataan. Yang tampak buruk belum tentu benar. Dan yang baik belum tentu sesuai dengan hatinya.

Sejak kecil Zarlin beranggapan jika hidupnya selalu bahagia. Walau cuma kegelapan yang selalu menemaninya. Jujur saja, dia ingin melihat dunia seperti temannya kebanyakan. Dia ingin berjalan sendiri tanpa tongkat di tangan. Bahkan dia selalu bermimpi untuk melihat matahari terbangun lalu tertidur kembali di singgasananya.

Namun, ternyata dia tidak perlu cahaya matahari. Dia tidak perlu cahaya bulan saat malam menjelang. Dia punya cahaya sendiri yang selalu ada di sisi. Terkadang tongkat tak lagi dia perlukan saat sosok itu ada.

Mereka adalah keluarganya.

Yang selalu ada dan tidak pernah pergi meninggalkannya.

Mama selalu membantu jika Zarlin kesusahan mencari sesuatu. Papa selalu menggendong Zarlin saat dia kelelahan berjalan. Dan kakaknya ... dia selalu melindungi Zarlin dari setiap ejekkan yang terlontar untuknya.

Cukup keberadaan mereka yang membuat Zarlin bahagia.

Dan ... sayangnya, dia lupa jika Tuhan suka memutarbalik takdir manusia.

Hanya terasa sedetik semuanya berubah.

Keluarganya hancur tanpa dia mengerti. Mama pergi. Membawa kakak ikut bersamanya. Meninggalkannya sendiri bersama Papa. Zarlin tidak pernah bertanya mamanya pergi kemana. Papa cuma pernah bilang jika mamanya tidak tahan tinggal bersama Papa.

Kehancuran itu Zarlin rasakan selama berbulan-bulan. Sebelum akhirnya Papa mengenalkan seorang wanita yang ingin dia nikahkan. Zarlin tentunya menerima. Karena jika papanya bahagia, Zarlin pasti ikut bahagia.

Ternyata benar. Wanita itu menjadi sosok pengganti ibunya. Dia begitu baik dan sangat menyayanginya. Membuat Zarlin lupa jika dia pernah menderita. Pernah hancur karena ditinggalkan ibu kandungnya.

Mayra, sosok ibu tiri yang sangat Zarlin sayangi. Dia sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Selama sebelas tahun yang dia jalani, Zarlin begitu beruntung memiliki ibu seperti Mayra.

Dia selalu mendengarkan curhatannya. Dia yang selalu menyemangatinya. Dia yang membantu Zarlin mencari pendonor mata. Dia yang menjadi penyebab Zarlin bisa melihat seperti sekarang.

Namun, fakta yang didengarnya barusan seolah memusnahkan seluruh kebaikan yang Mayra telah lakukan padanya.

Zarlin tidak percaya. Dia berharap jika perkataan tadi itu cuma karangan belaka. Sayangnya, Zarlin punya alasan kenapa dia percaya dengan orang itu.

Seolah ikut berduka. Langit menumpahkan kelamnya. Orang-orang sibuk berlari mencari perlindungan. Pengemudi beroda dua bahkan banyak yang meneduh di kedai-kedai. Tidak seperti yang lain, Zarlin justru membiarkan hujan membasahi bajunya.

Orang itu sempat menawarkan Zarlin pulang, yang ditolaknya langsung. Tempat pertemuan mereka tidak jauh dari rumah. Jadinya Zarlin memutuskan untuk berjalan kaki. Kedinginan memeluk. Begitu menusuk.

Namun, Zarlin hampa untuk merasakan. Belati seperti mengoyak habis indra perasanya.

"Kenapa kamu ujan-ujanan nak?!" Di ruang tamu, Zarlin langsung disambut Mirza yang menatapnya khawatir. Mayra bahkan langsung berlari untuk mengambil handuk.

Sepertinya Papa dan Mama pulang cepat hari ini.

Mayra kembali dan langsung melilitkan handuk di tubuhnya yang beku.

"Kamu habis kemana sayang?" Mayra mengusap pipinya. Zarlin langsung menepisnya kasar. Bukan Mayra saja yang terkejut, Mirza pun tak percaya melihatnya.

"Kalian pembohong!" teriaknya penuh kesakitan.

"Zarlin," Mirza tampak bingung. "Kamu ngomong apa?"

"KALIAN PEMBOHONG!" teriaknya lebih kencang.

"Hei, Mama sama Papa gak ngerti. Kamu kenapa?" Mayra mendekat, Zarlin melangkah mundur sebagai respon.

Bagaimana bisa Zarlin tertipu selama ini? Bodoh ... katakan Zarlin bodoh karena terpedaya. Kepolosannya seolah sengaja dipermainkan.

"Papa bilang Mama pergi karena gak tahan sama Papa?" Zarlin langsung melempar bomnya. Mayra dan Mirza tampak kaget. Seolah tidak menduga jika Zarlin akan mengungkit topik ini. "Papa inget itu kan?"

"Iya ..." Mirza mengangguk. "Kenapa emangnya? Kamu ... kangen Mama? Kamu pengin ketemu Mama?"

Zarlin menggeleng. Tersenyum di atas perih yang terasa menguliti. Andai dia bisa. Andai dia bisa bertemu ibu kandungnya.

Sayangnya, semuanya sudah terlambat.

"Papa bohong ..." Zarlin mendongak penuh kekecewaan. "Mama bukan pergi karena kemauannya sendiri," Butuh perjuangan besar untuk Zarlin melanjutkan. Sesaknya kian mengikat, yang berujung air matanya terjun bebas. "Mama pergi karena Papa yang ngusir dari rumah!"

Jika Mayra saja tampak terkejut, Mirza lebih menunjukkan keterkejutannya. Dia syok. Tentu saja, mereka syok karena ketahuan kejinya. Zarlin tertawa miris saat kesimpulan dia temukan lewat ekspresi mereka.

"Dan wanita ini ..." Zarlin menunjuk Mayra dengan kilatan kebencian. "Dia yang menjadi penyebab semuanya!"

●●●●●

Jeng ... jeng ... jengkelin wkwkwkwk

Udah bisa nyimpulin sesuatu gak nih? Hmmm

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro